Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Karo

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Hutan pegunungan Sinabung merupakan hutan lindung berupa hutan alam pengunungan yang tergabung dalam Tahura Bukit Barisan. Gunung Sinabung ini mempunyai ketinggian mencapai 2.451 mdpl dan dikenal secara lokal, nasional bahkan Internasional. Penelitian ini dilaksanakan pada areal yang terkena debu vulkanik di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Desa sukanalu berjarak 3 km dari Puncak Gunung Sinabung. Erupsi pertama kali terjadi di Desa Sukanalu pada 23 November 2013 yang ditandai dengan jatuhan lapili atau batu kecil seukuran 0.5-1 cm (Saputra, 2013). Untuk areal yang tidak terkena debu dilaksanakan di Desa Kutagugung Kecamatan Nemanteran Kebupaten Karo. Desa Kutagugung berjarak 5 km dari puncak Gunung Sinabung. Tanah di daerah hutan di desa Kutagugung tidak terkena debu vulkanik (Daulay, 2014).

Menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, bulan kering adalah bulan yang memiliki tebal curah hujan kurang dari 60mm, bulan lembab adalah bulan-bulan yang memiliki tebal curah hujan antara 60mm – 100mm dan bulan basah adalah bulan-bulan yang memiliki tebal curah hujan lebih dari 100 mm. Data curah hujan Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo yang terlampir pada Lampiran 1 memiliki jumlah bulan basah sebanyak 29 dan bulan kering sebanyak 5, sehingga perbandingan bulan kering dan bulan basahnya adalah 16,6% yang diklasifikasikan ke dalam iklim basah yang memiliki nilai antara 14,33%-33,3% (Utoyo, 2007). Curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang


(2)

terbawa aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah meningkat, kemudian timbul masalah keracunan Al.

B. Erupsi Gunung Sinabung

Aktivitas gunung Sinabung terjadi pada tanggal 27 Agustus 2010, gunung ini mengeluarkan asap dan abu vulkanis. Kemudian, tanggal 29 Agustus 2010 dini hari sekitar pukul 00.15 WIB, gunung Sinabung mengeluarkan lava. Tanggal 7 September, Gunung Sinabung kembali meletus. Ini merupakan letusan terbesar sejak gunung ini menjadi aktif pada tanggal 29 Agustus 2010. Debu vulkanis ini tersembur hingga 5.000 meter di udara. Gunung sinabung meletus kembali, sampai 18 September 2013, telah terjadi 4 kali letusan. Letusan pertama terjadi pada tanggal 15 September 2013 dini hari, kemudian terjadi kembali sore harinya. Pada 17 September 2013, terjadi letusan siang dan sore hari. Letusan ini melepaskan awan panas dan abu vulkanik. Pada tanggal 3 November 2013 pukul 03.00 WIB. Letusan-letusan terjadi berkali setelah itu,disertai luncuran awan panas sampai 1,5 km. Pada tanggal 20 November 2013 terjadi enam kali letusan sejak dini hari. Pada tanggal 24 November 2013 pukul 10.00 WIB status gunung sinabung dinaikan ke level tinggi, level 4 (awas). Status level 4 (awas) ini terus bertahan hingga memasuki tahun 2014 (Ebo, 2010).

Berbagai aktivitas gunung berapi tentu saja memberikan dampak positif maupun dampak negatif pada penduduk sekitar gunung. Dampak negatif ada yang secara langsung dapat dirasakan oleh penduduk sekitar gunung berapi, misalnya pada saat gunung berapi meletus mengeluarkan awan panas dan lahar yang mengalir dengan kecepatan beberapa puluh meter per detik yang menempuh jarak hingga beberapa kilometer dengan membawa panas/energi yang cukup besar.


(3)

Hasil dari erupsi tersebut mengeluarkan kabut asap yang tebal berwarna hitam disertai hujan pasir ,dan debu vukanik yang menutupi ribuan hektar tanaman para petani yang berjarak dibawah radius enam kilometer tertutup debu tersebut. Debu vulkanik mengakibatkan tanaman petani yang berada di lereng gunung banyak yang mati dan rusak. Dampak negatif yang tidak langsung dirasakan adalah apabila terjadi peristiwa letusan yang menyebabkan material-material vulkanik maupun radioaktivitas dikeluarkan oleh gunung berapi tersebut (Suntoro. 2014).

Material yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi salah satunya adalah abu vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan piroklastik bahan material vulkanik, yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus. Batuan yang berukuran besar (bongkah kerikil) biasanya jatuh di sekitar kawah sampai radius 5 hingga 7 km dari kawah. Sedangkan yang berukuran halus dapat jatuh dengan jarak mencapai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah tergantung pada kecepatan angin (Suryani, 2014).

Tanah-tanah yang berada disekitar kawasan gunung berapi sebelum meletus akhir-akhir ini memiliki kesuburan yang lebih tinggi sehingga tanaman yang tumbuh di atasnya dapat tumbuh subur. Hal ini disebabkan oleh material-material yang dikeluarkan dari gunung tersebut pada letusan sebelumnya mengandung hara yang baik bagi tanah setelah melapuk. Debu dan pasir vulkanik yang disemburkan ke langit mulai dari berukuran besar sampai berukuran yang lebih halus. Debu dan pasir vulkanik ini merupakan salah satu batuan induk tanah yang nantinya akan melapuk menjadi bahan induk tanah dan selanjutnya akan mempengaruhi sifat dan ciri tanah yang terbentuk (Fiantis, 2006).


(4)

C. Abu Vulkanik

Gas-gas utama yang dilepaskan selama aktivitas gunung berapi adalah karbon dioksida, sulfur dioksida, hidrogen, hidrogen sulfida, karbon monoksida dan hidrogen klorida. Gas sulfur di atmosfer akan teradsorpsi ke permukaan abu vulkanik. Unsur belerang banyak terdapat dalam abu. Abu vulkanik merupakan bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan atau erupsi gunung berapi. Material tersebut menyebabkan banyak tanaman yang terkena menjadi mati, sehingga dilakukan penelitian mengenai kandungan abu vulkanik (Nandi, 2006).

Abu vulkanik mengandung beberapa unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, sehingga dalam jangka panjang mampu memperbaiki kesuburan tanah. Abu erupsi gunung berapi mengandung belerang, dan mengandung unsur-unsur hara tanaman yang belum tersedia atau rendah ketersediaannya bagi tanaman dan

tidak berkonstribusi yang signifikan bagi pasokan hara tanaman (Suntoro, 2014 ). Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai sifat kimia abu vulkanik

yang dihasilkan oleh gunung Merapi dan gunung Kelud, memiliki kandungan kimia yang tidak jauh berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi dasar abu vulkanik terdiri dari SiO2, Al2O3, Fe2O3, MgO, CaO, Na2O, S, P, K dan

logam yang sedikit yaitu Ba, Cu, Mn, Sr, V, Zn, dan Zr (Suntoro, 2014; Suriadikarta et al, 2010). Kandungan abu vulkanik ini kemudian mempengaruhi sifat kimia tanah.

D. Sifat Kimia Tanah

Komponen kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat kimia tanah


(5)

merupakan sifat dari tanah yang ditinjau secara kimiawi seperti kemasaman tanah, kejenuhan basa, unsur-unsur hara dalam tanah, dan lain-lain (Sutanto, 2005).

1. Reaksi tanah (pH Tanah)

Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat penting, sebab terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat beberapa hubungan antar pH dan pembentukan sifat-sifat tanah (Foth, 1994). Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut, dan jumlah ion OH- di dalam tanah berbanding terbalik dengan jumlah ion H+. Pada tanah-tanah yang masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada jumlah ion OH-, sedang pada tanah alkalis sebaliknya. Bila kandungannya sama maka tanah bereaksi netral, yaitu mempunyai pH 7 (Hardjowigeno, 2003).

2. C-Organik

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya tanaman. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika, maupun biologi tanah. Penetapan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik. Selain itu, menurut Kohnke (1968) dalam Utami (2009) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai berikut : (i) sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme, (ii) membantu keharaan tanaman melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran humusnya, (iii) menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan pemantapan agregat-agrerat tanah, (iv) memperbaiki kapasitas mengikat air dan melewatkan air, (v) serta membantu dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi.


(6)

Bahan organik tersebut dapat berasal dari tubuh manusia, hewan dan juga tumbuhan. Dalam hal ini, seperti yang telah diketahui bahwa bahan organik ini dapat tersusun dari bahan humus dan non humus. Dimana bahan non humus ini merupakan suatu organisme yang telah mati sedang melalui proses dekomposisi di sebagian tubuhnya untuk kemudian dapat digunakan sebagai unsur hara bagi mikroorganisme dan tanaman. Sedangkan bahan humus yaitu suatu organisme mati yang telah sepenuhnya terdekomposisi sehingga menjadi salah satu lapisan tanah yang sangat subur. Faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik yaitu iklim yang dapat memperlambat bahkan mempercepat terjadinya proses dekomposisi, tipe penggunaan lahan dimana lahan tersebut berfungsi sebagai sumber bahan organik yang baik bagi lahan tersebut, bentuk lahan yang membantu dekomposisi pada proses pengumpulan bahan-bahan organik tersebut, dan adanya kegiatan manusia ini pun akan sangat berpengaruh pada terjadinya proses dekomposisi (Atmojo, 2003).

3. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kapasitas Tukar Kation (KTK) atau Cation Exchange capacity (CEC) merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid yang bermuatan negative. Berdasarkan pada jenis permukaan koloid yang bermuatan negative, KTK dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : a) KTK koloid anorganik atau KTK liat yaitu jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid anorganik (koloid liat) yang bermuatan negative, b) KTK koloid organik yaitu jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid organik yang bermuatan negatif, dan c) KTK total atau KTK tanah yaitu jumlah total kation yang dapat dipertukarkan dari suatu tanah baik kation pada


(7)

permukaan koloid organik (humus) maupun kation pada permukaan koloid anorganik (Madjid, 2007).

Besarnya KTK tanah tergantung pada tekstur tanah, tipe mineral liat tanah, dan kandungan bahan organik. Semakin tinggi kadar liat atau tekstur semakin halus maka KTK tanah akan semakin besar. Demikian pula pada kandungan bahan organik tanah, semakin tinggi bahan organik tanah maka KTK tanah akan semakin tinggi (Mukhlis, 2007).

4. Kandungan hara dalam tanah

a. Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak, diserap tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (Gardner et al, 1991). Nitrogen adalah unsur yang diperlukan untuk membentuk senyawa penting di dalam sel, termasuk protein, DNA dan RNA. Tanaman harus mengekstraksi kebutuhan nitrogennya dari dalam tanah. Sumber nitrogen yang terdapat dalam tanah, makin lama makin tidak mencukupi kebutuhan tanaman, sehingga perlu diberikan pupuk sintetik yang merupakan sumber nitrogen untuk mempertinggi produksi (Dewi, 2007).

Menurut Hardjowigeno (2003), nitrogen dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein (bahan organik), senyawa-senyawa amino, amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Fungsi N adalah untuk memperbaiki

pertumbuhan vegetatif tanaman (tanaman yang tumbuh pada tanaha yang cukup N akan berwarna lebih hijau dan membantu proses pembentukan protein.

Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah bahan organik halus dan bahan organik kasar, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara,


(8)

pupuk, dan air hujan. Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer, dan lainnya berasal dari aktifitas didalam tanah sebagai sumber sekunder. Fiksasi N secara simbiotik khususnya terdapat pada tanaman jenis leguminoseae sebagai bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan senyawa lainnya setelah

mengalami proses dekomposisi oleh aktifitas jasad renik tanah (Hardjowigeno 2003).

Tanaman menyerap unsur ini terutama dalam bentuk NO3, namun bentuk

lain yang juga dapat menyerap adalah NH4, dan urea (CO(N2)2) dalam bentuk

NO3. Selanjutnya, dalam siklusnya, nitrogen organik di dalam tanah mengalami

mineralisasi sedangkan bahan mineral mengalami imobilisasi. Sebagian N terangkut, sebagian kembali scbagai residu tanaman, hilang ke atmosfer dan kembali lagi, hilang melalui pencucian dan bertambah lagi melalui pemupukan (Dewi. 2007).

b. Phosfor (P)

Fosfor tergolong unsur hara makro utama dan diserap tanaman umumnya dalam bentuk anion ortofosfat (H2PO4- dan HPO42-). Andisol pada umumnya

kahat unsur fosfor karena Andisol memiliki kapasitas fiksasi fosfor yang sangat tinggi, dan bila terjadi kekurangan fosfor akan menghambat pertumbuhan tanaman (Yunus, 2012).

Sering terjadi kekurangan P di dalam tanah yang disebabkan oleh jumlah P yang sedikit di dalam tanah, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis (Hardjowigeno, 2007). Adapun peranan phosfat yang penting adalah dalam proses fotosintesa, perubahan-perubahan


(9)

karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan, glikolisis, metabolisme asam amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup. Oleh karena itu, phosfat merupakan unsur yang sangat penting dalam transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy et al, 2003).

Ketersediaan dan bentuk- bentuk P di dalam tanah sangat erat hubungannnya dengan kemasaman (pH) tanah. Pada kebanyakan tanah ketersediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH antara 5,5 – 7. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah lebih rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7. Adsorpsi P dalam larutan tanah oleh Fe dan Al oksida dapat menurun apabila pH meningkat. Apabila kemasaman makin rendah (pH makin tinggi) ketersediaan P juga akan berkurang oleh fiksasi Ca dan Mg yang banyak pada tanah- tanah alkalin. P sangat rentan untuk diikat baik pada kondisi masam maupun alkalin. Semakin lama antara P dan tanah bersentuhan, semakin banyak P terfiksasi. Dengan waktu Al akan diganti oleh Fe, sehingga kemungkinan akan terjadi

bentuk Fe –P yang lebih sukar larut jika dibandingkan dengan Al –P (Buckman dan Brady, 1982).

Selain pH yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi katersediaan fosfat di dalam tanah, ada juga faktor yang mempengaruhi pasokan P dalam tanah sebagai berikut; (1) Aerasi. Ketersediaan fosfat pada tanah yang padat atau tergenang air, penyerapan unsur P dan unsur – unsur lainnya akan terganggu; (2) Temperatur. Pada temperatur yang relatif hangat, ketersediaan P akan meningkat karena proses perombakan bahan organik juga meningkatkan ketersediaan P menipis di daerah yang bersuhu rendah; (3) Bahan organik. Fosfat


(10)

yang mudah larut diambil oleh mikroorganisme tanah untuk pertumbuhannya. Akhirnya P ini diubah menjadi humus. Karena itu, untuk menyediakan cukup P, kondisi tanah yang menguntungkan bagi perkembangan mikroorganisme tanah perlu dipertahankan; (4) Unsur hara lain. Kekurangan unsur hara mikro dapat menghambat respon tanaman terhadap pemupukan fosfat (Novizan, 2002)

c. Kalium (K)

Kalium adalah unsur hara yang berasal dari mineral yang melapuk dan melepaskan ion kalium. Ketersediaan kalium di dalam tanah dipengaruhi oleh tipe koloid tanah, suhu, pembasahan dan pengeringan (Yunus, 2012). Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium dan melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah.

Kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan

negatif nitrat, fosfat, atau unsur lainnya. Hakim et al (1986) dalam Sinuraya (2007) menyatakan bahwa ketersediaan kalium merupakan kalium yang

dapat dipertukarkan dan dapat diserap tanaman yang tergantung penambahan dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri.

Kalium merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan tanaman. Peran kalium untuk tanaman adalah sebagai pembentukan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata, proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan, dan dalam perkembangan akar (Hardjowigeno, 2007).


(11)

d. Kalsium (Ca)

Kalsium diserap tanaman dalam bentuk Ca2+. Kalsium dalam larutan tanah dapat habis karena diserap tanaman, terikat oleh kompleks adsorpsi tanaman, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci. Di dalam tanah kalsium berada dalam bentuk anorganik, namun dalam jumlah yang cukup

signifikan juga berasosiasi dengan materi organik dalam humus (Leikawabessy et al, 2003).

Kalsium penting dalam pembentukan zat putih telur, mencegah kemasaman pada cairan sel, mengatur permeabilitas cairan. Zat kapur ini terdapat pada daun dan batang dan berpengaruh baik pada pertumbuhan ujung dan bulu-bulu akar. Kalsium diperlukan untuk semua tanaman, baik tingkat tinggi maupun rendah (Sarief, 1989).

e. Magnesium (Mg)

Di dalam tanah, magnesium berada dalam bentuk anorganik (unsur makro), diserap oleh tanaman dalam bentuk Mg2+ (Hardjowigeno, 2007). Magnesium di dalam tanah berasal dari dekomposisi batuan yang berisi mineral, antar lain biotit, dolomit, serpentin, klorit, dan olivin. Menurut Sarief (1989) sumber-sumber magnesium antara lain adalah:

1. Dolomitic limestone (CaCO3 MgCO3)

Batuan ini berisi campuran Mg dan Ca. Jumlah magnesium yang dapat dikeluarkan dari sumbernya di dalam tanah ke dalam tanaman lebih rendah daripada kalsium.


(12)

2. Sulfat of Potash Magnesium (Sul Po Mag). Kandungan sulfur adalah 22%, sulfat 67%, kalium 18,2%, K2O 22%, magnesium 11,1%, dan kandungan

MgO 18,5%.

3. Epsom salt (MgSO4.7H2 O). Sifat dari batuan ini adalah sangat mudah larut di

dalam air, sehingga pemakaian dengan jalan penyemprotan melalui daun akan memberikan pengaruh yang lebih baik bagi tanaman daripada bila diberikan melalui tanah.

4. Kieserit (MgSO4.H2 O). Kandungan K2O adalah 2%, magnesium oksida

30,5% dan kandungan magnesium 18,3%.

5. Magnesia (MgO) Magnesia berasal dari air laut yang telah mengalami proses sebagai berikut: MgCl2 + Ca(OH)2→ Mg(OH)2 + CaCl2 …………Mg(OH) →

MgO + H2O

6. Serpentin (Mg3SiO2(OH)4

7. Magnesit (MgCO3)

8. Karnalit (MgCl2 KCl 6H2O)

9. Kainit (MgSO4 KCL 3H2O)

10.Basic slag. Kandungan magnesium dari basic slag adalah 3,4% dan 20% dari

jumlah tersebut tersedia bagi tanaman.

Magnesium merupakan unsur pembentuk klorofil. Selain itu, magnesium berperan sebagai stabilitator partikel-partikel ribosom, terlibat dalam reaksi enzimatik dengan kapasitas yang bervariasi, bertindak sebagai penghubung enzim dengan substratnya, mengubah konstanta keseimbangan reaksi dengan cara berikatan dengan produk, misalnya pada reaksi-reaksi kinase tertentu, dan membentuk kompleks dengan suatu inhibitor enzim (Hardjowigeno, 2007).


(13)

f. Sulfur

Belerang atau sulfur adalah salah satu dari unsur hara makro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Belerang memiliki lambang „S‟ dalam tabel periodik dan nomor atomnya 16. Belerang merupakan unsur yang tak berasa, tak berbau, danmultivalent. Dalam bentuk aslinya, adalah zat padat kristal berwarna kuning. Belerang biasa dapat ditemukan di sekitar gunung berapi.

Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik. Belerang atau sulfur merupakan unsur penyusun protein. Tumbuhan mendapat sulfur dari dalam tanah dalam bentuk sulfat (SO4). Kemudian tumbuhan tersebut dimakan hewan

sehingga sulfur berpindah ke hewan, setelah itu Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang-kadang terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida ini seringkali mematikan mahluk hidup di perairan dan pada umumnya dihasilkan dari penguraian bahan organik yang mati. Tumbuhan menyerap sulfur dalam bentuk sulfat (SO4). Perpindahan sulfat terjadi

melalui proses rantai makanan, lalu semua mahluk hidup mati dan akan diuraikan komponen organiknya oleh bakteri. Beberapa jenis bakteri terlibat dalam daur sulfur, antara lain Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan

bakteri fotoautotrof anaerob seperti Chromatium dan melepaskan sulfur dan oksigen. Sulfur di oksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti Thiobacillus (Yunus, 2012). Belerang merupakan produk yang berasal dari gunung berapi dan bertanggungjawab terhadap keasaman tanah pada tanah disekitarnya sebagai akibat terbentuknya asam sulfat. Tanaman akan mati kalau


(14)

belerang teroksidasi dan berubah menjadi asam sulfida dan pH tanah menjadi sangat rendah (Foth, 1994).

g. Al-dd

Handayanto (1998) menyatakan bahwa, kandungan Al-dd dapat ditetapkan dengan menggunakan metode titrasi. Kegiatan titrasi pada tahap pertama akan mengukur jumlah total asam yang dititrasi dapat digantikan oleh ion K+, yang setara dengan jumlah H-dd dan Al-dd. Titrasi pada tahap kedua akan mengukur jumlah ion H yang diganti sehingga jumlah ion Al yang digantikan dapat dihitung dengan pengurangan. Kandungan H-dd dan Al-dd ini dinyatakan dalam me terhadap kation per 100 gram tanah kering.

h. Besi (Fe)

Mineral Fe sangat melimpah di kerak bumi, juga dalam tanah dalam bentuk

mineral primer, bagian dari lempung, oksida dan hidroksida. Dalam larutan tanah,

kelarutan mineral Fe sangat rendah, mineral amorf Fe(OH)3 mengatur kadar Fe

dalam larutan tanah. Pada tanah dengan drainase baik, kondisinya teroksidasi

kadar Fe3+ > Fe2+. Sebaliknya pada tanah jenuh air Fe3+mengalami reduksi

menjadi Fe2+. Kekahatan Fe sering dijumpai pada tanah dengan pH tinggi

Handayanto (1998).

5. Faktor yang mempengaruhi sifat kimia tanah

Ditinjau dari segi asal-usul, tanah merupakan hasil alihrupa (transformation) dan alihtempat (translocation) zat-zat mineral dan organik yang berlangsung di permukaan daratan di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bekerja


(15)

selama waktu yang panjang, dan berbentuk tubuh dengan morfologi tertentu (Schroeder, 1984) dalam Notohadiprawiro (2006).

Ada lima faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah dan faktor tersebut juga mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, yaitu:

a. Bahan induk

Bahan induk tanah dapat berasal dari batuan atau longgokan biomassa mati sebagai bahan mentah. Yang berasal dari batuan akan menghasilkan mineral, sedangkan yang bersal dari longgokan biomassa mati akan mnghasilkan tanah organik. Sifat bahan induk berpengaruh atas laju dan jalan pembentukan tanah, seberapa jauh pembentukan tanah dapat berlangsung, dan seberapa luas faktor-faktor lain dapat berpengaruh (Notohadiprawiro, 2006).

Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf. Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah. Tanah yang terdapat di permukaan bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induknya masih terlihat misalnya tanah berstuktur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi diatasnya. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula sehingga dapat menghindari pencucian asam silikat dan sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah (Notohadiprawiro, 2006).


(16)

Mineral-mineral batuan mempunyai keragaman dalam ketahanannya terhadap pelapukan, sehingga mineralogi bahan induk akan sangat berpengaruh atas laju perkembangan tanah, selain itu mineralogi dari bahan induk akan mempengaruhi tipe produk pelapukan dan komposisi mineral dari tanah. Komposisi elemen dari bahan induk akan berpengaruh terhadap kesuburan kimia tanah. Tidak hanya kimia dan komposisi mineral bahan induk yang mempengaruhi perkembangan tanah, sifat fisika juga penting. Konsolidasi dan ukuran partikel bahan induk juga berpengaruh atas permeabilitas air yang akan mempengaruhi perkembangan tanah. Misalnya tanah-tanah yang berkembang dari batu kapur (limestone) biasanya mempunyai pH yang tinggi, mempunyai mineral lempung smectite dan derajat kejenuhan basa (base saturation) yang tinggi , sedangkan tanah yang berkembang dari batu pasir (sandstone) dan granit biasanya mempunyai kemasaman yang rendah dan derajat kejenuhan basa yang rendah (Sartohadi, 2012).

b. Iklim

Iklim berpengaruh langsung atas suhu tanah dan keairan tanah. Hujan dan angin dapat menyebabkan degradasi tanah. Energi pancar matahari menentukan suhu tanah dan dengan demikian menentukan laju pelapukan bahan mineral dan dekomposisi serta humifikasi bahan organik. Semua proses fisik, kimia, dan biologi bergantung pada suhu. Air merupakan pelaku proses utama di alam, menjalankan proses alihragam (transformation) dan alihtempat (translocation) dalam tubuh tanah, pengayaan (enrichment) tubuh tanah dengan sedimentasi, dan penyingkiran bahan dari tubuh tanah dengan erosi, perkolasi dan pelindian.


(17)

Iklim juga berpengaruh dengan menggerakkan proses berulang pembasahan dan pembekuan. Pengaruh tidak langsung lewat vegetasi menentukan seberapa besar pengaruh yang dapat dijalankan oleh faktor organisme. Bahan induk organik yang dikenal dengan sebutan gambut, berasal dari vegetasi. Berlainan dengan batuan induk dan iklim yang merupakan faktor mandiri (independent), vegetasi

bergantung pada hasil interaksi antara batuan, iklim dan tanah (Notohadiprawiro, 2006).

c. Organisme hidup

Faktor ini terbagi dua, yaitu yang hidup di dalam tanah dan yang hidup di atas tanah. Penghuni tanah mengaduk tanah, mempercepat pelapukan bahan induk, menjalankan perombakan bahan organik, membuat lorong-lorong dalam tanah sehingga memperlancar gerakan air dan udara tanah, dan mengalihtempatkan bahan tanah dari satu bagian ke bagian yang lain. Vegetasi adalah sumber utama bahan organik tanah. Vegetasi mempengaruhi sifat-sifat tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Organisme sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah dalam hal (Buckman, 1982): (1)Membuat proses pelapukan baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi. Pelapukan organik adalah pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), sedangkan pelapukan kimiawi adalah pelapukan yang terjadi oleh proses kimia seperti batu kapur larut oleh air. (2)Membantu proses pembentukan humus. Tumbuhan akan menghasilkan dan menyisakan daun-daunan dan ranting-ranting yang menumpuk di permukaan tanah. Daun dan ranting itu akan membusuk dengan bantuan jasad renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah. (3)Pengaruh jenis vegetasi


(18)

terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang seperti di Eropa dan Amerika. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan warna merah, sedangkan vegetasi rumput membentuk tanah berwarna hitam karena banyak kandungan bahan organis yang berasal dari akar-akar dan sisa-sisa rumput.(4)Kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah.

d. Topografi

Topografi atau bentuk lahan (landform) menampilkan tampakan lahan berupa ketinggian tempat dan kelerengan. Timbulan merupakan faktor yang mengendalikan pengaruh faktor iklim dan organisme hidup, dan selanjutnya mengendalikan laju dan arah proses pembentukan tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Menurut Sartohadi (2012) bahwa keadaan relief suatu daerah akan memengaruhi pembentukan tanah, antara lain: (1)Tebal atau tipisnya lapisan tanah. Daerah dengan topografi miring dan berbukit lapisan tanahnya menjadi lebih tipis karena tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi proses sedimentasi. (2)Sistem drainase atau pengaliran. Daerah yang drainasenya jelek sering tergenang air. Keadaan ini akan menyebabkan tanahnya menjadi asam.

e. Waktu

Pembentukan tanah merupakan proses alami yang berjalan sangat lama. Waktu bukan faktor penentu sebenarnya. Waktu dimasukkan ke dalam faktor karena semua proses berjalan sejalan dengan waktu (Notohadiprawiro, 2006).


(1)

f. Sulfur

Belerang atau sulfur adalah salah satu dari unsur hara makro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Belerang memiliki lambang „S‟ dalam tabel periodik dan nomor atomnya 16. Belerang merupakan unsur yang tak berasa, tak berbau, danmultivalent. Dalam bentuk aslinya, adalah zat padat kristal berwarna kuning. Belerang biasa dapat ditemukan di sekitar gunung berapi.

Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik. Belerang atau sulfur merupakan unsur penyusun protein. Tumbuhan mendapat sulfur dari dalam tanah dalam bentuk sulfat (SO4). Kemudian tumbuhan tersebut dimakan hewan sehingga sulfur berpindah ke hewan, setelah itu Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang-kadang terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida ini seringkali mematikan mahluk hidup di perairan dan pada umumnya dihasilkan dari penguraian bahan organik yang mati. Tumbuhan menyerap sulfur dalam bentuk sulfat (SO4). Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua mahluk hidup mati dan akan diuraikan komponen organiknya oleh bakteri. Beberapa jenis bakteri terlibat dalam daur sulfur, antara lain Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan bakteri fotoautotrof anaerob seperti Chromatium dan melepaskan sulfur dan oksigen. Sulfur di oksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti Thiobacillus (Yunus, 2012). Belerang merupakan produk yang berasal dari gunung berapi dan bertanggungjawab terhadap keasaman tanah pada tanah disekitarnya sebagai akibat terbentuknya asam sulfat. Tanaman akan mati kalau


(2)

belerang teroksidasi dan berubah menjadi asam sulfida dan pH tanah menjadi sangat rendah (Foth, 1994).

g. Al-dd

Handayanto (1998) menyatakan bahwa, kandungan Al-dd dapat ditetapkan dengan menggunakan metode titrasi. Kegiatan titrasi pada tahap pertama akan mengukur jumlah total asam yang dititrasi dapat digantikan oleh ion K+, yang setara dengan jumlah H-dd dan Al-dd. Titrasi pada tahap kedua akan mengukur jumlah ion H yang diganti sehingga jumlah ion Al yang digantikan dapat dihitung dengan pengurangan. Kandungan H-dd dan Al-dd ini dinyatakan dalam me terhadap kation per 100 gram tanah kering.

h. Besi (Fe)

Mineral Fe sangat melimpah di kerak bumi, juga dalam tanah dalam bentuk mineral primer, bagian dari lempung, oksida dan hidroksida. Dalam larutan tanah, kelarutan mineral Fe sangat rendah, mineral amorf Fe(OH)3 mengatur kadar Fe dalam larutan tanah. Pada tanah dengan drainase baik, kondisinya teroksidasi kadar Fe3+ > Fe2+. Sebaliknya pada tanah jenuh air Fe3+mengalami reduksi menjadi Fe2+. Kekahatan Fe sering dijumpai pada tanah dengan pH tinggi Handayanto (1998).

5. Faktor yang mempengaruhi sifat kimia tanah

Ditinjau dari segi asal-usul, tanah merupakan hasil alihrupa (transformation) dan alihtempat (translocation) zat-zat mineral dan organik yang berlangsung di permukaan daratan di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bekerja


(3)

selama waktu yang panjang, dan berbentuk tubuh dengan morfologi tertentu (Schroeder, 1984) dalam Notohadiprawiro (2006).

Ada lima faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah dan faktor tersebut juga mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, yaitu:

a. Bahan induk

Bahan induk tanah dapat berasal dari batuan atau longgokan biomassa mati sebagai bahan mentah. Yang berasal dari batuan akan menghasilkan mineral, sedangkan yang bersal dari longgokan biomassa mati akan mnghasilkan tanah organik. Sifat bahan induk berpengaruh atas laju dan jalan pembentukan tanah, seberapa jauh pembentukan tanah dapat berlangsung, dan seberapa luas faktor-faktor lain dapat berpengaruh (Notohadiprawiro, 2006).

Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf. Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah. Tanah yang terdapat di permukaan bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induknya masih terlihat misalnya tanah berstuktur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi diatasnya. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula sehingga dapat menghindari pencucian asam silikat dan sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah (Notohadiprawiro, 2006).


(4)

Mineral-mineral batuan mempunyai keragaman dalam ketahanannya terhadap pelapukan, sehingga mineralogi bahan induk akan sangat berpengaruh atas laju perkembangan tanah, selain itu mineralogi dari bahan induk akan mempengaruhi tipe produk pelapukan dan komposisi mineral dari tanah. Komposisi elemen dari bahan induk akan berpengaruh terhadap kesuburan kimia tanah. Tidak hanya kimia dan komposisi mineral bahan induk yang mempengaruhi perkembangan tanah, sifat fisika juga penting. Konsolidasi dan ukuran partikel bahan induk juga berpengaruh atas permeabilitas air yang akan mempengaruhi perkembangan tanah. Misalnya tanah-tanah yang berkembang dari batu kapur (limestone) biasanya mempunyai pH yang tinggi, mempunyai mineral lempung smectite dan derajat kejenuhan basa (base saturation) yang tinggi , sedangkan tanah yang berkembang dari batu pasir (sandstone) dan granit biasanya mempunyai kemasaman yang rendah dan derajat kejenuhan basa yang rendah (Sartohadi, 2012).

b. Iklim

Iklim berpengaruh langsung atas suhu tanah dan keairan tanah. Hujan dan angin dapat menyebabkan degradasi tanah. Energi pancar matahari menentukan suhu tanah dan dengan demikian menentukan laju pelapukan bahan mineral dan dekomposisi serta humifikasi bahan organik. Semua proses fisik, kimia, dan biologi bergantung pada suhu. Air merupakan pelaku proses utama di alam, menjalankan proses alihragam (transformation) dan alihtempat (translocation) dalam tubuh tanah, pengayaan (enrichment) tubuh tanah dengan sedimentasi, dan penyingkiran bahan dari tubuh tanah dengan erosi, perkolasi dan pelindian.


(5)

Iklim juga berpengaruh dengan menggerakkan proses berulang pembasahan dan pembekuan. Pengaruh tidak langsung lewat vegetasi menentukan seberapa besar pengaruh yang dapat dijalankan oleh faktor organisme. Bahan induk organik yang dikenal dengan sebutan gambut, berasal dari vegetasi. Berlainan dengan batuan induk dan iklim yang merupakan faktor mandiri (independent), vegetasi

bergantung pada hasil interaksi antara batuan, iklim dan tanah (Notohadiprawiro, 2006).

c. Organisme hidup

Faktor ini terbagi dua, yaitu yang hidup di dalam tanah dan yang hidup di atas tanah. Penghuni tanah mengaduk tanah, mempercepat pelapukan bahan induk, menjalankan perombakan bahan organik, membuat lorong-lorong dalam tanah sehingga memperlancar gerakan air dan udara tanah, dan mengalihtempatkan bahan tanah dari satu bagian ke bagian yang lain. Vegetasi adalah sumber utama bahan organik tanah. Vegetasi mempengaruhi sifat-sifat tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Organisme sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah dalam hal (Buckman, 1982): (1)Membuat proses pelapukan baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi. Pelapukan organik adalah pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), sedangkan pelapukan kimiawi adalah pelapukan yang terjadi oleh proses kimia seperti batu kapur larut oleh air. (2)Membantu proses pembentukan humus. Tumbuhan akan menghasilkan dan menyisakan daun-daunan dan ranting-ranting yang menumpuk di permukaan tanah. Daun dan ranting itu akan membusuk dengan bantuan jasad renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah. (3)Pengaruh jenis vegetasi


(6)

terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang seperti di Eropa dan Amerika. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan warna merah, sedangkan vegetasi rumput membentuk tanah berwarna hitam karena banyak kandungan bahan organis yang berasal dari akar-akar dan sisa-sisa rumput.(4)Kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah.

d. Topografi

Topografi atau bentuk lahan (landform) menampilkan tampakan lahan berupa ketinggian tempat dan kelerengan. Timbulan merupakan faktor yang mengendalikan pengaruh faktor iklim dan organisme hidup, dan selanjutnya mengendalikan laju dan arah proses pembentukan tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Menurut Sartohadi (2012) bahwa keadaan relief suatu daerah akan memengaruhi pembentukan tanah, antara lain: (1)Tebal atau tipisnya lapisan tanah. Daerah dengan topografi miring dan berbukit lapisan tanahnya menjadi lebih tipis karena tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi proses sedimentasi. (2)Sistem drainase atau pengaliran. Daerah yang drainasenya jelek sering tergenang air. Keadaan ini akan menyebabkan tanahnya menjadi asam.

e. Waktu

Pembentukan tanah merupakan proses alami yang berjalan sangat lama. Waktu bukan faktor penentu sebenarnya. Waktu dimasukkan ke dalam faktor karena semua proses berjalan sejalan dengan waktu (Notohadiprawiro, 2006).