Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Karo

(1)

DAMPAK ERUPSI GUNUNG SINABUNG TERHADAP SIFAT

KIMIA TANAH DI KABUPATEN KARO

SKRIPSI

Oleh:

Ceriati Magdalena Simanjuntak 111201071

Budidaya Hutan

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2015


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Dampak Erupsi Gunung Sinabung terhadap Sifat Kimia Tanah Di Kabupaten Karo

Nama : Ceriati Magdalena Simanjuntak

N I M : 111201071

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Deni Elfiati, SP, MP Dr. Delvian, SP, MP NIP : 19681214 200212 2 001 NIP : 19690723 200212 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan

Siti Latifah, S. Hut., M. Si., Ph. D NIP : 19710416 200112 2 001


(3)

ABSTRAK

CERIATI MAGDALENA SIMANJUNTAK. Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Karo. Dibimbing oleh Deni Elfiati dan Delvian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya erupsi gunung Sinabung terhadap sifat kimia tanah di kabupaten Karo. Penelitian ini menggunakan metode perbandingan tanah hutan yaitu tanah hutan yang tidak terkena erupsi (kontrol) diambil dari desa Kutagugung dan tanah hutan yang terkena erupsi diambil dari desa Sukanalu. Contoh tanah terkena erupsi terdiri dari dua sampel yaitu abu vulkanik (0-5 cm) dan tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm), sedangkan untuk contoh tanah kontrol terdiri dari satu sampel yaitu tanah dengan kedalaman 0-20 cm. Pengujian sifat kimia tanah dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara dan Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm) memiliki sifat kimia tanah yang lebih baik dibandingkan abu vulkanik (0-5 cm) dan tanah kontrol (0-20 cm). Hal ini dibuktikan dari sifat kimia tanah, antara lain C-Organik, KTK, P tersedia, P total, dan S yang memiliki kriteria sedang hingga sangat tinggi pada tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm).


(4)

ABSTRACT

CERIATI MAGDALENA SIMANJUNTAK. The impact of eruption of Mount Sinabung on chemical properties of soil in Karo. Supervised by Deni Elfiati and Delvian.

This study aims to determine the impact of the eruption of Mount Sinabung on soil chemical properties in Karo. This study uses the comparison method is forest land not affected by the eruption (control) was taken from the village Kutagugung and forest land affected by the eruption taken from the village Sukanalu. Soil

samples exposed to the eruption consisted of two samples that volcanic ash (0-5 cm) and volcanic ash soil (5-20 cm), whereas for the control of soil sample

consisted of a sample to a depth of 0-20 cm. Tests conducted on soil chemical properties BPTP North Sumatra and Central Laboratory of the Faculty of

Agriculture, University of North Sumatra. Results showed volcanic ash soil (5-20 cm) have chemical properties are better than volcanic ash (0-5 cm) and

control soil (0-20 cm). This is evidenced from the chemical properties of the soil, among others: the C-Organic, CEC, available P, total P, and S which has a moderate to very high criteria in volcanic ash soil (5-20 cm).


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Erupsi Gunung Sinabung terhadap Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Karo”. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui dampak erupsi gunung Sinabung terhadap sifat kimia tanah di Kabupaten Karo.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Deni Elfiati, SP, MP selaku ketua komisi pembimbing, kepada Dr. Delvian, SP, MP selaku anggota pembimbing, kepada orang tua dan teman–

teman atas waktu, bimbingan, arahan, doa, dukungan, dan kesabarannya dalam proses penyelesaian usulan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun agar penelitian ini berjalan dengan baik.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Juli 2015

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I. PENDAHULUAN A.... L atar Belakang ... 1

B. ... T ujuan Penelitian ... 2

C. ... M anfaat Penelitian ... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A... K ondisi Umum Lokasi Penelitian ... 3

B. ... E rupsi Gunung Sinabung ... 4

C. ... A bu vulkanik ... 6

D... S ifat Kimia Tanah ... 6

1. ... R eaksi Tanah (pH Tanah) ... 7

2. ... C -Organik ... 7

3. ... K apasitas Tukar Kation (KTK) ... 8

4. ... K andungan hara dalam tanah ... 9

5. ... F aktor yang mempengaruhi sifat kimia tanah ... 16

BAB III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat ... 21


(7)

B. Bahan dan Alat ... 21

C. Metode Penelitian ... 22

1. ... P enentuan Lokasi Penelitian ... 22

2. ... P engambilan Sampel Tanah ... 22

3. ... P rosedur Penelitian ... 22

a. Reaksi Tanah (pH Tanah) ... 22

b. C-Organik ... 23

c. Kapasitas Tukar Kation (KTK) ... 23

d. Nitrogen Total (N Total) ... 24

e. Phosfat Tersedia (P Tersedia) ... 25

f. Phosfat Total (P Total) ... 26

g. Kalium (K) ... 27

h. Kalsium (Ca) ... 27

i. Magnesium (Mg) ... 28

j. Sulfur (S) ... 29

k. Al-dd ... 29

l. Fe ... 30

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 41 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.Pengukuran pH tanah ... 32

Tabel 2. Analisis C-Organik dan KTK ... 33

Tabel 3. Hasil analisis N ... 35

Tabel 4. Analisis P total dan P tersedia ... 36

Tabel 5. Analisisis K ... 37

Tabel 6. Analisis Ca dan Mg ... 38

Tabel 7. Analisis S ... 39


(9)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Abu vulkanik (0-5 cm) ... 31 Gambar 2. Tanah bercampur abu (5-20 cm) ... 31 Gambar 3. Tanah kontrol (0-20 cm) ... 31


(10)

ABSTRAK

CERIATI MAGDALENA SIMANJUNTAK. Dampak Erupsi Gunung Sinabung Terhadap Sifat Kimia Tanah di Kabupaten Karo. Dibimbing oleh Deni Elfiati dan Delvian.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya erupsi gunung Sinabung terhadap sifat kimia tanah di kabupaten Karo. Penelitian ini menggunakan metode perbandingan tanah hutan yaitu tanah hutan yang tidak terkena erupsi (kontrol) diambil dari desa Kutagugung dan tanah hutan yang terkena erupsi diambil dari desa Sukanalu. Contoh tanah terkena erupsi terdiri dari dua sampel yaitu abu vulkanik (0-5 cm) dan tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm), sedangkan untuk contoh tanah kontrol terdiri dari satu sampel yaitu tanah dengan kedalaman 0-20 cm. Pengujian sifat kimia tanah dilakukan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara dan Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm) memiliki sifat kimia tanah yang lebih baik dibandingkan abu vulkanik (0-5 cm) dan tanah kontrol (0-20 cm). Hal ini dibuktikan dari sifat kimia tanah, antara lain C-Organik, KTK, P tersedia, P total, dan S yang memiliki kriteria sedang hingga sangat tinggi pada tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm).


(11)

ABSTRACT

CERIATI MAGDALENA SIMANJUNTAK. The impact of eruption of Mount Sinabung on chemical properties of soil in Karo. Supervised by Deni Elfiati and Delvian.

This study aims to determine the impact of the eruption of Mount Sinabung on soil chemical properties in Karo. This study uses the comparison method is forest land not affected by the eruption (control) was taken from the village Kutagugung and forest land affected by the eruption taken from the village Sukanalu. Soil

samples exposed to the eruption consisted of two samples that volcanic ash (0-5 cm) and volcanic ash soil (5-20 cm), whereas for the control of soil sample

consisted of a sample to a depth of 0-20 cm. Tests conducted on soil chemical properties BPTP North Sumatra and Central Laboratory of the Faculty of

Agriculture, University of North Sumatra. Results showed volcanic ash soil (5-20 cm) have chemical properties are better than volcanic ash (0-5 cm) and

control soil (0-20 cm). This is evidenced from the chemical properties of the soil, among others: the C-Organic, CEC, available P, total P, and S which has a moderate to very high criteria in volcanic ash soil (5-20 cm).


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gunung Sinabung merupakan salah satu gunung api di Pulau Sumatera yang masih aktif. Gunung Sinabung ini termasuk ke dalam gunung api bertipe strato volkano. Gunung Sinabung terletak di Kabupaten Karo, dengan Ibu Kota Kabupaten adalah Kabanjahe, Provinsi Sumatera Utara dengan Ibu Kota Provinsi

adalah Medan. Letak dan posisi geografisnya terletak pada 03o10‟LU dan 98o23‟ BT dengan puncak tertinggi gunung ini adalah 2.451 meter dari permukaan

laut yang menjadi puncak tertinggi di Sumatera Utara. Gunung ini belum pernah tercatat meletus sejak tahun 1600 (BPTP, 2013). Gunung Sinabung mulai aktif kembali pada Agustus tahun 2010, kemudian pada September tahun 2013.

Erupsi gunung mengeluarkan kabut asap yang tebal berwarna hitam disertai hujan pasir dan debu vukanik. Abu vulkanik atau pasir vulkanik adalah bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan. Abu maupun pasir vulkanik terdiri dari batuan berukuran halus sampai berukuran besar, yang berukuran halus dapat jatuh pada jarak mencapai ratusan hingga ribuan kilometer, sedangkan yang berukuran besar biasanya jatuh disekitar sampai radius 5-7 km dari kawah (Sudaryo dan Sucipto, 2009). Erupsi gunung Sinabung menutupi ribuan hektar tanaman di sekitar gunung tersebut dan debu vulkanik mengakibatkan tanaman yang berada di lereng gunung banyak yang mati dan rusak (Alexander, 2010).

Debu dan pasir vulkanik yang disemburkan oleh erupsi gunung mulai dari berukuran halus sampai berukuran yang lebih besar. Debu dan pasir vulkanik ini


(13)

merupakan salah satu batuan induk tanah yang nantinya akan melapuk menjadi bahan induk tanah dan selanjutnya akan mempengaruhi sifat dan ciri tanah yang terbentuk (Fiantis, 2006). Sifat-sifat tanah yang dipengaruhi yaitu sifat fisik, kimia serta biologi tanah. Oleh sebab itu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui perubahan sifat tanah, khususnya sifat kimia tanah yang terjadi akibat letusan gunung Sinabung.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak terjadinya erupsi gunung Sinabung terhadap sifat-sifat kimia tanah hutan Kabupaten Karo.

C. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam usaha reboisasi hutan maupun pemulihan pasca letusan gunung Sinabung.


(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Hutan pegunungan Sinabung merupakan hutan lindung berupa hutan alam pengunungan yang tergabung dalam Tahura Bukit Barisan. Gunung Sinabung ini mempunyai ketinggian mencapai 2.451 mdpl dan dikenal secara lokal, nasional bahkan Internasional. Penelitian ini dilaksanakan pada areal yang terkena debu vulkanik di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Desa sukanalu berjarak 3 km dari Puncak Gunung Sinabung. Erupsi pertama kali terjadi di Desa Sukanalu pada 23 November 2013 yang ditandai dengan jatuhan lapili atau batu kecil seukuran 0.5-1 cm (Saputra, 2013). Untuk areal yang tidak terkena debu dilaksanakan di Desa Kutagugung Kecamatan Nemanteran Kebupaten Karo. Desa Kutagugung berjarak 5 km dari puncak Gunung Sinabung. Tanah di daerah hutan di desa Kutagugung tidak terkena debu vulkanik (Daulay, 2014).

Menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, bulan kering adalah bulan yang memiliki tebal curah hujan kurang dari 60mm, bulan lembab adalah bulan-bulan yang memiliki tebal curah hujan antara 60mm – 100mm dan bulan basah adalah bulan-bulan yang memiliki tebal curah hujan lebih dari 100 mm. Data curah hujan Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo yang terlampir pada Lampiran 1 memiliki jumlah bulan basah sebanyak 29 dan bulan kering sebanyak 5, sehingga perbandingan bulan kering dan bulan basahnya adalah 16,6% yang diklasifikasikan ke dalam iklim basah yang memiliki nilai antara 14,33%-33,3% (Utoyo, 2007). Curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang


(15)

terbawa aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah meningkat, kemudian timbul masalah keracunan Al.

B. Erupsi Gunung Sinabung

Aktivitas gunung Sinabung terjadi pada tanggal 27 Agustus 2010, gunung ini mengeluarkan asap dan abu vulkanis. Kemudian, tanggal 29 Agustus 2010 dini hari sekitar pukul 00.15 WIB, gunung Sinabung mengeluarkan lava. Tanggal 7 September, Gunung Sinabung kembali meletus. Ini merupakan letusan terbesar sejak gunung ini menjadi aktif pada tanggal 29 Agustus 2010. Debu vulkanis ini tersembur hingga 5.000 meter di udara. Gunung sinabung meletus kembali, sampai 18 September 2013, telah terjadi 4 kali letusan. Letusan pertama terjadi pada tanggal 15 September 2013 dini hari, kemudian terjadi kembali sore harinya. Pada 17 September 2013, terjadi letusan siang dan sore hari. Letusan ini melepaskan awan panas dan abu vulkanik. Pada tanggal 3 November 2013 pukul 03.00 WIB. Letusan-letusan terjadi berkali setelah itu,disertai luncuran awan panas sampai 1,5 km. Pada tanggal 20 November 2013 terjadi enam kali letusan sejak dini hari. Pada tanggal 24 November 2013 pukul 10.00 WIB status gunung sinabung dinaikan ke level tinggi, level 4 (awas). Status level 4 (awas) ini terus bertahan hingga memasuki tahun 2014 (Ebo, 2010).

Berbagai aktivitas gunung berapi tentu saja memberikan dampak positif maupun dampak negatif pada penduduk sekitar gunung. Dampak negatif ada yang secara langsung dapat dirasakan oleh penduduk sekitar gunung berapi, misalnya pada saat gunung berapi meletus mengeluarkan awan panas dan lahar yang mengalir dengan kecepatan beberapa puluh meter per detik yang menempuh jarak hingga beberapa kilometer dengan membawa panas/energi yang cukup besar.


(16)

Hasil dari erupsi tersebut mengeluarkan kabut asap yang tebal berwarna hitam disertai hujan pasir ,dan debu vukanik yang menutupi ribuan hektar tanaman para petani yang berjarak dibawah radius enam kilometer tertutup debu tersebut. Debu vulkanik mengakibatkan tanaman petani yang berada di lereng gunung banyak yang mati dan rusak. Dampak negatif yang tidak langsung dirasakan adalah apabila terjadi peristiwa letusan yang menyebabkan material-material vulkanik maupun radioaktivitas dikeluarkan oleh gunung berapi tersebut (Suntoro. 2014).

Material yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi salah satunya adalah abu vulkanik, sering disebut juga pasir vulkanik atau jatuhan piroklastik bahan material vulkanik, yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan dan terdiri dari batuan berukuran besar sampai berukuran halus. Batuan yang berukuran besar (bongkah kerikil) biasanya jatuh di sekitar kawah sampai radius 5 hingga 7 km dari kawah. Sedangkan yang berukuran halus dapat jatuh dengan jarak mencapai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah tergantung pada kecepatan angin (Suryani, 2014).

Tanah-tanah yang berada disekitar kawasan gunung berapi sebelum meletus akhir-akhir ini memiliki kesuburan yang lebih tinggi sehingga tanaman yang tumbuh di atasnya dapat tumbuh subur. Hal ini disebabkan oleh material-material yang dikeluarkan dari gunung tersebut pada letusan sebelumnya mengandung hara yang baik bagi tanah setelah melapuk. Debu dan pasir vulkanik yang disemburkan ke langit mulai dari berukuran besar sampai berukuran yang lebih halus. Debu dan pasir vulkanik ini merupakan salah satu batuan induk tanah yang nantinya akan melapuk menjadi bahan induk tanah dan selanjutnya akan mempengaruhi sifat dan ciri tanah yang terbentuk (Fiantis, 2006).


(17)

C. Abu Vulkanik

Gas-gas utama yang dilepaskan selama aktivitas gunung berapi adalah karbon dioksida, sulfur dioksida, hidrogen, hidrogen sulfida, karbon monoksida dan hidrogen klorida. Gas sulfur di atmosfer akan teradsorpsi ke permukaan abu vulkanik. Unsur belerang banyak terdapat dalam abu. Abu vulkanik merupakan bahan material vulkanik jatuhan yang disemburkan ke udara saat terjadi suatu letusan atau erupsi gunung berapi. Material tersebut menyebabkan banyak tanaman yang terkena menjadi mati, sehingga dilakukan penelitian mengenai kandungan abu vulkanik (Nandi, 2006).

Abu vulkanik mengandung beberapa unsur hara yang diperlukan oleh tanaman, sehingga dalam jangka panjang mampu memperbaiki kesuburan tanah. Abu erupsi gunung berapi mengandung belerang, dan mengandung unsur-unsur hara tanaman yang belum tersedia atau rendah ketersediaannya bagi tanaman dan

tidak berkonstribusi yang signifikan bagi pasokan hara tanaman (Suntoro, 2014 ). Berdasarkan penelitian sebelumnya mengenai sifat kimia abu vulkanik

yang dihasilkan oleh gunung Merapi dan gunung Kelud, memiliki kandungan kimia yang tidak jauh berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi dasar abu vulkanik terdiri dari SiO2, Al2O3, Fe2O3, MgO, CaO, Na2O, S, P, K dan logam yang sedikit yaitu Ba, Cu, Mn, Sr, V, Zn, dan Zr (Suntoro, 2014; Suriadikarta et al, 2010). Kandungan abu vulkanik ini kemudian mempengaruhi sifat kimia tanah.

D. Sifat Kimia Tanah

Komponen kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Sifat kimia tanah


(18)

merupakan sifat dari tanah yang ditinjau secara kimiawi seperti kemasaman tanah, kejenuhan basa, unsur-unsur hara dalam tanah, dan lain-lain (Sutanto, 2005).

1. Reaksi tanah (pH Tanah)

Kemasaman tanah merupakan salah satu sifat penting, sebab terdapat beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat beberapa hubungan antar pH dan pembentukan sifat-sifat tanah (Foth, 1994). Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Makin tinggi ion H+ di dalam tanah, semakin masam tanah tersebut, dan jumlah ion OH- di dalam tanah berbanding terbalik dengan jumlah ion H+. Pada tanah-tanah yang masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada jumlah ion OH-, sedang pada tanah alkalis sebaliknya. Bila kandungannya sama maka tanah bereaksi netral, yaitu mempunyai pH 7 (Hardjowigeno, 2003).

2. C-Organik

Kandungan bahan organik dalam tanah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menentukan keberhasilan suatu budidaya tanaman. Hal ini dikarenakan bahan organik dapat meningkatkan kesuburan kimia, fisika, maupun biologi tanah. Penetapan bahan organik dilakukan berdasarkan jumlah C-Organik. Selain itu, menurut Kohnke (1968) dalam Utami (2009) menyatakan bahwa fungsi bahan organik adalah sebagai berikut : (i) sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme, (ii) membantu keharaan tanaman melalui perombakan dirinya sendiri melalui kapasitas pertukaran humusnya, (iii) menyediakan zat-zat yang dibutuhkan dalam pembentukan pemantapan agregat-agrerat tanah, (iv) memperbaiki kapasitas mengikat air dan melewatkan air, (v) serta membantu dalam pengendalian limpasan permukaan dan erosi.


(19)

Bahan organik tersebut dapat berasal dari tubuh manusia, hewan dan juga tumbuhan. Dalam hal ini, seperti yang telah diketahui bahwa bahan organik ini dapat tersusun dari bahan humus dan non humus. Dimana bahan non humus ini merupakan suatu organisme yang telah mati sedang melalui proses dekomposisi di sebagian tubuhnya untuk kemudian dapat digunakan sebagai unsur hara bagi mikroorganisme dan tanaman. Sedangkan bahan humus yaitu suatu organisme mati yang telah sepenuhnya terdekomposisi sehingga menjadi salah satu lapisan tanah yang sangat subur. Faktor yang mempengaruhi dekomposisi bahan organik yaitu iklim yang dapat memperlambat bahkan mempercepat terjadinya proses dekomposisi, tipe penggunaan lahan dimana lahan tersebut berfungsi sebagai sumber bahan organik yang baik bagi lahan tersebut, bentuk lahan yang membantu dekomposisi pada proses pengumpulan bahan-bahan organik tersebut, dan adanya kegiatan manusia ini pun akan sangat berpengaruh pada terjadinya proses dekomposisi (Atmojo, 2003).

3. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Kapasitas Tukar Kation (KTK) atau Cation Exchange capacity (CEC) merupakan jumlah total kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid yang bermuatan negative. Berdasarkan pada jenis permukaan koloid yang bermuatan negative, KTK dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu : a) KTK koloid anorganik atau KTK liat yaitu jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid anorganik (koloid liat) yang bermuatan negative, b) KTK koloid organik yaitu jumlah kation yang dapat dipertukarkan pada permukaan koloid organik yang bermuatan negatif, dan c) KTK total atau KTK tanah yaitu jumlah total kation yang dapat dipertukarkan dari suatu tanah baik kation pada


(20)

permukaan koloid organik (humus) maupun kation pada permukaan koloid anorganik (Madjid, 2007).

Besarnya KTK tanah tergantung pada tekstur tanah, tipe mineral liat tanah, dan kandungan bahan organik. Semakin tinggi kadar liat atau tekstur semakin halus maka KTK tanah akan semakin besar. Demikian pula pada kandungan bahan organik tanah, semakin tinggi bahan organik tanah maka KTK tanah akan semakin tinggi (Mukhlis, 2007).

4. Kandungan hara dalam tanah

a. Nitrogen (N)

Nitrogen merupakan unsur hara makro utama yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang banyak, diserap tanaman dalam bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (Gardner et al, 1991). Nitrogen adalah unsur yang diperlukan untuk membentuk senyawa penting di dalam sel, termasuk protein, DNA dan RNA. Tanaman harus mengekstraksi kebutuhan nitrogennya dari dalam tanah. Sumber nitrogen yang terdapat dalam tanah, makin lama makin tidak mencukupi kebutuhan tanaman, sehingga perlu diberikan pupuk sintetik yang merupakan sumber nitrogen untuk mempertinggi produksi (Dewi, 2007).

Menurut Hardjowigeno (2003), nitrogen dalam tanah terdapat dalam berbagai bentuk yaitu protein (bahan organik), senyawa-senyawa amino, amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Fungsi N adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif tanaman (tanaman yang tumbuh pada tanaha yang cukup N akan berwarna lebih hijau dan membantu proses pembentukan protein.

Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah bahan organik halus dan bahan organik kasar, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara,


(21)

pupuk, dan air hujan. Sumber N berasal dari atmosfer sebagai sumber primer, dan lainnya berasal dari aktifitas didalam tanah sebagai sumber sekunder. Fiksasi N secara simbiotik khususnya terdapat pada tanaman jenis leguminoseae sebagai bakteri tertentu. Bahan organik juga membebaskan N dan senyawa lainnya setelah

mengalami proses dekomposisi oleh aktifitas jasad renik tanah (Hardjowigeno 2003).

Tanaman menyerap unsur ini terutama dalam bentuk NO3, namun bentuk lain yang juga dapat menyerap adalah NH4, dan urea (CO(N2)2) dalam bentuk NO3. Selanjutnya, dalam siklusnya, nitrogen organik di dalam tanah mengalami mineralisasi sedangkan bahan mineral mengalami imobilisasi. Sebagian N terangkut, sebagian kembali scbagai residu tanaman, hilang ke atmosfer dan kembali lagi, hilang melalui pencucian dan bertambah lagi melalui pemupukan (Dewi. 2007).

b. Phosfor (P)

Fosfor tergolong unsur hara makro utama dan diserap tanaman umumnya dalam bentuk anion ortofosfat (H2PO4- dan HPO42-). Andisol pada umumnya kahat unsur fosfor karena Andisol memiliki kapasitas fiksasi fosfor yang sangat tinggi, dan bila terjadi kekurangan fosfor akan menghambat pertumbuhan tanaman (Yunus, 2012).

Sering terjadi kekurangan P di dalam tanah yang disebabkan oleh jumlah P yang sedikit di dalam tanah, sebagian besar terdapat dalam bentuk yang tidak dapat diambil oleh tanaman dan terjadi pengikatan (fiksasi) oleh Al pada tanah masam atau oleh Ca pada tanah alkalis (Hardjowigeno, 2007). Adapun peranan phosfat yang penting adalah dalam proses fotosintesa, perubahan-perubahan


(22)

karbohidrat dan senyawa-senyawa yang berhubungan, glikolisis, metabolisme asam amino, metabolisme lemak, metabolisme sulfur, oksidasi biologis dan sejumlah reaksi dalam proses hidup. Oleh karena itu, phosfat merupakan unsur yang sangat penting dalam transfer energi, suatu proses vital dalam hidup dan pertumbuhan (Leiwakabessy et al, 2003).

Ketersediaan dan bentuk- bentuk P di dalam tanah sangat erat hubungannnya dengan kemasaman (pH) tanah. Pada kebanyakan tanah ketersediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH antara 5,5 – 7. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah lebih rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7. Adsorpsi P dalam larutan tanah oleh Fe dan Al oksida dapat menurun apabila pH meningkat. Apabila kemasaman makin rendah (pH makin tinggi) ketersediaan P juga akan berkurang oleh fiksasi Ca dan Mg yang banyak pada tanah- tanah alkalin. P sangat rentan untuk diikat baik pada kondisi masam maupun alkalin. Semakin lama antara P dan tanah bersentuhan, semakin banyak P terfiksasi. Dengan waktu Al akan diganti oleh Fe, sehingga kemungkinan akan terjadi

bentuk Fe –P yang lebih sukar larut jika dibandingkan dengan Al –P (Buckman dan Brady, 1982).

Selain pH yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi katersediaan fosfat di dalam tanah, ada juga faktor yang mempengaruhi pasokan P dalam tanah sebagai berikut; (1) Aerasi. Ketersediaan fosfat pada tanah yang padat atau tergenang air, penyerapan unsur P dan unsur – unsur lainnya akan terganggu; (2) Temperatur. Pada temperatur yang relatif hangat, ketersediaan P akan meningkat karena proses perombakan bahan organik juga meningkatkan ketersediaan P menipis di daerah yang bersuhu rendah; (3) Bahan organik. Fosfat


(23)

yang mudah larut diambil oleh mikroorganisme tanah untuk pertumbuhannya. Akhirnya P ini diubah menjadi humus. Karena itu, untuk menyediakan cukup P, kondisi tanah yang menguntungkan bagi perkembangan mikroorganisme tanah perlu dipertahankan; (4) Unsur hara lain. Kekurangan unsur hara mikro dapat menghambat respon tanaman terhadap pemupukan fosfat (Novizan, 2002)

c. Kalium (K)

Kalium adalah unsur hara yang berasal dari mineral yang melapuk dan melepaskan ion kalium. Ketersediaan kalium di dalam tanah dipengaruhi oleh tipe koloid tanah, suhu, pembasahan dan pengeringan (Yunus, 2012). Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium dan melalui proses dekomposisi bahan tanaman dan jasad renik maka kalium akan larut dan kembali ke tanah.

Kalium diserap oleh tanaman dalam bentuk ion K+. Muatan positif dari kalium akan membantu menetralisir muatan listrik yang disebabkan oleh muatan

negatif nitrat, fosfat, atau unsur lainnya. Hakim et al (1986) dalam Sinuraya (2007) menyatakan bahwa ketersediaan kalium merupakan kalium yang

dapat dipertukarkan dan dapat diserap tanaman yang tergantung penambahan dari luar, fiksasi oleh tanahnya sendiri.

Kalium merupakan salah satu unsur penting yang dibutuhkan tanaman. Peran kalium untuk tanaman adalah sebagai pembentukan pati, mengaktifkan enzim, pembukaan stomata, proses fisiologis dalam tanaman, proses metabolik dalam sel, mempengaruhi penyerapan unsur-unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan, dan dalam perkembangan akar (Hardjowigeno, 2007).


(24)

d. Kalsium (Ca)

Kalsium diserap tanaman dalam bentuk Ca2+. Kalsium dalam larutan tanah dapat habis karena diserap tanaman, terikat oleh kompleks adsorpsi tanaman, mengendap kembali sebagai endapan-endapan sekunder dan tercuci. Di dalam tanah kalsium berada dalam bentuk anorganik, namun dalam jumlah yang cukup

signifikan juga berasosiasi dengan materi organik dalam humus (Leikawabessy et al, 2003).

Kalsium penting dalam pembentukan zat putih telur, mencegah kemasaman pada cairan sel, mengatur permeabilitas cairan. Zat kapur ini terdapat pada daun dan batang dan berpengaruh baik pada pertumbuhan ujung dan bulu-bulu akar. Kalsium diperlukan untuk semua tanaman, baik tingkat tinggi maupun rendah (Sarief, 1989).

e. Magnesium (Mg)

Di dalam tanah, magnesium berada dalam bentuk anorganik (unsur makro), diserap oleh tanaman dalam bentuk Mg2+ (Hardjowigeno, 2007). Magnesium di dalam tanah berasal dari dekomposisi batuan yang berisi mineral, antar lain biotit, dolomit, serpentin, klorit, dan olivin. Menurut Sarief (1989) sumber-sumber magnesium antara lain adalah:

1. Dolomitic limestone (CaCO3 MgCO3)

Batuan ini berisi campuran Mg dan Ca. Jumlah magnesium yang dapat dikeluarkan dari sumbernya di dalam tanah ke dalam tanaman lebih rendah daripada kalsium.


(25)

2. Sulfat of Potash Magnesium (Sul Po Mag). Kandungan sulfur adalah 22%, sulfat 67%, kalium 18,2%, K2O 22%, magnesium 11,1%, dan kandungan MgO 18,5%.

3. Epsom salt (MgSO4.7H2 O). Sifat dari batuan ini adalah sangat mudah larut di dalam air, sehingga pemakaian dengan jalan penyemprotan melalui daun akan memberikan pengaruh yang lebih baik bagi tanaman daripada bila diberikan melalui tanah.

4. Kieserit(MgSO4.H2 O). Kandungan K2O adalah 2%, magnesium oksida 30,5% dan kandungan magnesium 18,3%.

5. Magnesia (MgO) Magnesia berasal dari air laut yang telah mengalami proses sebagai berikut: MgCl2 + Ca(OH)2→ Mg(OH)2 + CaCl2 …………Mg(OH) → MgO + H2O

6. Serpentin (Mg3SiO2(OH)4 7. Magnesit (MgCO3)

8. Karnalit (MgCl2 KCl 6H2O) 9. Kainit (MgSO4 KCL 3H2O)

10.Basic slag. Kandungan magnesium dari basic slag adalah 3,4% dan 20% dari jumlah tersebut tersedia bagi tanaman.

Magnesium merupakan unsur pembentuk klorofil. Selain itu, magnesium berperan sebagai stabilitator partikel-partikel ribosom, terlibat dalam reaksi enzimatik dengan kapasitas yang bervariasi, bertindak sebagai penghubung enzim dengan substratnya, mengubah konstanta keseimbangan reaksi dengan cara berikatan dengan produk, misalnya pada reaksi-reaksi kinase tertentu, dan membentuk kompleks dengan suatu inhibitor enzim (Hardjowigeno, 2007).


(26)

f. Sulfur

Belerang atau sulfur adalah salah satu dari unsur hara makro esensial bagi pertumbuhan tanaman. Belerang memiliki lambang „S‟ dalam tabel periodik dan nomor atomnya 16. Belerang merupakan unsur yang tak berasa, tak berbau, danmultivalent. Dalam bentuk aslinya, adalah zat padat kristal berwarna kuning. Belerang biasa dapat ditemukan di sekitar gunung berapi.

Sulfur terdapat dalam bentuk sulfat anorganik. Belerang atau sulfur merupakan unsur penyusun protein. Tumbuhan mendapat sulfur dari dalam tanah dalam bentuk sulfat (SO4). Kemudian tumbuhan tersebut dimakan hewan sehingga sulfur berpindah ke hewan, setelah itu Sulfur direduksi oleh bakteri menjadi sulfida dan kadang-kadang terdapat dalam bentuk sulfur dioksida atau hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida ini seringkali mematikan mahluk hidup di perairan dan pada umumnya dihasilkan dari penguraian bahan organik yang mati. Tumbuhan menyerap sulfur dalam bentuk sulfat (SO4). Perpindahan sulfat terjadi melalui proses rantai makanan, lalu semua mahluk hidup mati dan akan diuraikan komponen organiknya oleh bakteri. Beberapa jenis bakteri terlibat dalam daur sulfur, antara lain Desulfomaculum dan Desulfibrio yang akan mereduksi sulfat menjadi sulfida dalam bentuk hidrogen sulfida (H2S). Kemudian H2S digunakan bakteri fotoautotrof anaerob seperti Chromatium dan melepaskan sulfur dan oksigen. Sulfur di oksidasi menjadi sulfat oleh bakteri kemolitotrof seperti Thiobacillus (Yunus, 2012). Belerang merupakan produk yang berasal dari gunung berapi dan bertanggungjawab terhadap keasaman tanah pada tanah disekitarnya sebagai akibat terbentuknya asam sulfat. Tanaman akan mati kalau


(27)

belerang teroksidasi dan berubah menjadi asam sulfida dan pH tanah menjadi sangat rendah (Foth, 1994).

g. Al-dd

Handayanto (1998) menyatakan bahwa, kandungan Al-dd dapat ditetapkan dengan menggunakan metode titrasi. Kegiatan titrasi pada tahap pertama akan mengukur jumlah total asam yang dititrasi dapat digantikan oleh ion K+, yang setara dengan jumlah H-dd dan Al-dd. Titrasi pada tahap kedua akan mengukur jumlah ion H yang diganti sehingga jumlah ion Al yang digantikan dapat dihitung dengan pengurangan. Kandungan H-dd dan Al-dd ini dinyatakan dalam me terhadap kation per 100 gram tanah kering.

h. Besi (Fe)

Mineral Fe sangat melimpah di kerak bumi, juga dalam tanah dalam bentuk

mineral primer, bagian dari lempung, oksida dan hidroksida. Dalam larutan tanah,

kelarutan mineral Fe sangat rendah, mineral amorf Fe(OH)3 mengatur kadar Fe

dalam larutan tanah. Pada tanah dengan drainase baik, kondisinya teroksidasi

kadar Fe3+ > Fe2+. Sebaliknya pada tanah jenuh air Fe3+mengalami reduksi

menjadi Fe2+. Kekahatan Fe sering dijumpai pada tanah dengan pH tinggi

Handayanto (1998).

5. Faktor yang mempengaruhi sifat kimia tanah

Ditinjau dari segi asal-usul, tanah merupakan hasil alihrupa (transformation) dan alihtempat (translocation) zat-zat mineral dan organik yang berlangsung di permukaan daratan di bawah pengaruh faktor-faktor lingkungan yang bekerja


(28)

selama waktu yang panjang, dan berbentuk tubuh dengan morfologi tertentu (Schroeder, 1984) dalam Notohadiprawiro (2006).

Ada lima faktor yang mempengaruhi pembentukan tanah dan faktor tersebut juga mempengaruhi sifat fisik dan kimia tanah, yaitu:

a. Bahan induk

Bahan induk tanah dapat berasal dari batuan atau longgokan biomassa mati sebagai bahan mentah. Yang berasal dari batuan akan menghasilkan mineral, sedangkan yang bersal dari longgokan biomassa mati akan mnghasilkan tanah organik. Sifat bahan induk berpengaruh atas laju dan jalan pembentukan tanah, seberapa jauh pembentukan tanah dapat berlangsung, dan seberapa luas faktor-faktor lain dapat berpengaruh (Notohadiprawiro, 2006).

Bahan induk terdiri dari batuan vulkanik, batuan beku, batuan sedimen (endapan), dan batuan metamorf. Batuan induk itu akan hancur menjadi bahan induk, kemudian akan mengalami pelapukan dan menjadi tanah. Tanah yang terdapat di permukaan bumi sebagian memperlihatkan sifat (terutama sifat kimia) yang sama dengan bahan induknya. Bahan induknya masih terlihat misalnya tanah berstuktur pasir berasal dari bahan induk yang kandungan pasirnya tinggi. Susunan kimia dan mineral bahan induk akan mempengaruhi intensitas tingkat pelapukan dan vegetasi diatasnya. Bahan induk yang banyak mengandung unsur Ca akan membentuk tanah dengan kadar ion Ca yang banyak pula sehingga dapat menghindari pencucian asam silikat dan sebagian lagi dapat membentuk tanah yang berwarna kelabu. Sebaliknya bahan induk yang kurang kandungan kapurnya membentuk tanah yang warnanya lebih merah (Notohadiprawiro, 2006).


(29)

Mineral-mineral batuan mempunyai keragaman dalam ketahanannya terhadap pelapukan, sehingga mineralogi bahan induk akan sangat berpengaruh atas laju perkembangan tanah, selain itu mineralogi dari bahan induk akan mempengaruhi tipe produk pelapukan dan komposisi mineral dari tanah. Komposisi elemen dari bahan induk akan berpengaruh terhadap kesuburan kimia tanah. Tidak hanya kimia dan komposisi mineral bahan induk yang mempengaruhi perkembangan tanah, sifat fisika juga penting. Konsolidasi dan ukuran partikel bahan induk juga berpengaruh atas permeabilitas air yang akan mempengaruhi perkembangan tanah. Misalnya tanah-tanah yang berkembang dari batu kapur (limestone) biasanya mempunyai pH yang tinggi, mempunyai mineral lempung smectite dan derajat kejenuhan basa (base saturation) yang tinggi , sedangkan tanah yang berkembang dari batu pasir (sandstone) dan granit biasanya mempunyai kemasaman yang rendah dan derajat kejenuhan basa yang rendah (Sartohadi, 2012).

b. Iklim

Iklim berpengaruh langsung atas suhu tanah dan keairan tanah. Hujan dan angin dapat menyebabkan degradasi tanah. Energi pancar matahari menentukan suhu tanah dan dengan demikian menentukan laju pelapukan bahan mineral dan dekomposisi serta humifikasi bahan organik. Semua proses fisik, kimia, dan biologi bergantung pada suhu. Air merupakan pelaku proses utama di alam, menjalankan proses alihragam (transformation) dan alihtempat (translocation) dalam tubuh tanah, pengayaan (enrichment) tubuh tanah dengan sedimentasi, dan penyingkiran bahan dari tubuh tanah dengan erosi, perkolasi dan pelindian.


(30)

Iklim juga berpengaruh dengan menggerakkan proses berulang pembasahan dan pembekuan. Pengaruh tidak langsung lewat vegetasi menentukan seberapa besar pengaruh yang dapat dijalankan oleh faktor organisme. Bahan induk organik yang dikenal dengan sebutan gambut, berasal dari vegetasi. Berlainan dengan batuan induk dan iklim yang merupakan faktor mandiri (independent), vegetasi

bergantung pada hasil interaksi antara batuan, iklim dan tanah (Notohadiprawiro, 2006).

c. Organisme hidup

Faktor ini terbagi dua, yaitu yang hidup di dalam tanah dan yang hidup di atas tanah. Penghuni tanah mengaduk tanah, mempercepat pelapukan bahan induk, menjalankan perombakan bahan organik, membuat lorong-lorong dalam tanah sehingga memperlancar gerakan air dan udara tanah, dan mengalihtempatkan bahan tanah dari satu bagian ke bagian yang lain. Vegetasi adalah sumber utama bahan organik tanah. Vegetasi mempengaruhi sifat-sifat tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Organisme sangat berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah dalam hal (Buckman, 1982): (1)Membuat proses pelapukan baik pelapukan organik maupun pelapukan kimiawi. Pelapukan organik adalah pelapukan yang dilakukan oleh makhluk hidup (hewan dan tumbuhan), sedangkan pelapukan kimiawi adalah pelapukan yang terjadi oleh proses kimia seperti batu kapur larut oleh air. (2)Membantu proses pembentukan humus. Tumbuhan akan menghasilkan dan menyisakan daun-daunan dan ranting-ranting yang menumpuk di permukaan tanah. Daun dan ranting itu akan membusuk dengan bantuan jasad renik/mikroorganisme yang ada di dalam tanah. (3)Pengaruh jenis vegetasi


(31)

terhadap sifat-sifat tanah sangat nyata terjadi di daerah beriklim sedang seperti di Eropa dan Amerika. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah. Vegetasi hutan dapat membentuk tanah hutan dengan warna merah, sedangkan vegetasi rumput membentuk tanah berwarna hitam karena banyak kandungan bahan organis yang berasal dari akar-akar dan sisa-sisa rumput.(4)Kandungan unsur-unsur kimia yang terdapat pada tanaman berpengaruh terhadap sifat-sifat tanah.

d. Topografi

Topografi atau bentuk lahan (landform) menampilkan tampakan lahan berupa ketinggian tempat dan kelerengan. Timbulan merupakan faktor yang mengendalikan pengaruh faktor iklim dan organisme hidup, dan selanjutnya mengendalikan laju dan arah proses pembentukan tanah (Notohadiprawiro, 2006).

Menurut Sartohadi (2012) bahwa keadaan relief suatu daerah akan memengaruhi pembentukan tanah, antara lain: (1)Tebal atau tipisnya lapisan tanah. Daerah dengan topografi miring dan berbukit lapisan tanahnya menjadi lebih tipis karena tererosi, sedangkan daerah yang datar lapisan tanahnya tebal karena terjadi proses sedimentasi. (2)Sistem drainase atau pengaliran. Daerah yang drainasenya jelek sering tergenang air. Keadaan ini akan menyebabkan tanahnya menjadi asam.

e. Waktu

Pembentukan tanah merupakan proses alami yang berjalan sangat lama. Waktu bukan faktor penentu sebenarnya. Waktu dimasukkan ke dalam faktor karena semua proses berjalan sejalan dengan waktu (Notohadiprawiro, 2006).


(32)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2015 sampai Mei 2015. Pengambilan tanah dilakukan di areal tanah bekas letusan gunung sinabung di Kabupaten Karo. Analisis sifat kimia sampel tanah di lakukan di Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Medan Sumatera Utara dan Laboratorium Sentral Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel tanah dari hutan yang tidak terkena erupsi (sebagai kontrol), tanah dari hutan yang terkena abu vulkanik gunung sinabung, bahan pengujian tanah untuk analisa tanah di laboratorium seperti akuades, K2Cr2O7, H2SO4, H3PO4, FeSO4, NH4OAc, paraffin cair, NaOH, indikator conway, dan pereaksi nessler.

Alat yang digunakan dalam penelitian terbagi dua yaitu alat yang digunakan untuk pengambilan contoh tanah seperti kantong plastik, kertas label, meteran, parang, cangkul, gunting, alat tulis. Alat yang digunakan untuk analisa tanah di laboratorium yaitu ayakan 10 mesh, erlenmeyer, shaker, gelas ukur, botol kocok, pH meter, tabung sentrifuse, tabung reaksi, kertas saring Whatman 42, sprectonic, hot plate, buret, kalkulator, spektrofotometer, GPS (Global Positioning System) dan alat tulis.


(33)

C. Metode Penelitian

1. Lokasi Pengambilan Sampel Tanah

Lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan pada tanah bekas letusan Gunung Sinabung yang terkena abu vulkanik di Desa Sukanalu Kecamatan Barusjahe Kabupaten Karo. Sebagai sampel tanah pembanding (kontrol) yaitu tanah di sekitar yang tidak terkena abu vulkanik Gunung Sinabung di Desa Kutagugung Kecamatan Namanteran.

2. Pengambilan Sampel Tanah

Dalam setiap lokasi pengambilan sampel tanah dibuat 3 petak dengan masing-masing ukuran 20 x 20 m. Petak pertama ditentukan secara acak. Jarak antara petak adalah 200-300 meter. Pengambilan contoh tanah dilakukan dengan mengambil 5 titik dimana koordinatnya dengan menggunakan alat GPS. Pengambilan contoh tanah dilakukan secara zig-zag. Pada setiap titik diambil ± 500 g tanah dengan kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm pada tanah erupsi dan tanah kontrol dengan kedalaman 0-20 cm kemudian tanah dikompositkan. Contoh tanah yang diambil dari setiap titik tersebut dicampurkan secara merata dan ditempatkan pada plastik yang bersih. Perlakuan selanjutnya adalah mengering-udarakan tanah tersebut sebelum dilakukan analisa tanah di laboratorium.

3. Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati untuk sifat kimia tanah yaitu pH tanah, bahan organik, KTK, N total, P tersedia, P Total, Kalium (K), Calsium (Ca), dan Magnesium (Mg), S (Sulfur), Fe, dan Al-dd.


(34)

4. Prosedur Penelitian

a. pH Tanah

Metode yang digunakan untuk mengukur pH tanah adalah metode pH meter. Tanah sebanayak 10 gr dimasukkan ke dalam botol kocok, sebanyak 3 botol, kemudian ditambahkan aquades sebanyak 25 ml. Botol yang berisi tanah dan aquades tersebut dikocok dengan menggunakan shaker selama 10 menit, kemudian diukur pH-nya dengan mengggunakan pH meter (Balai Penelitian Tanah, 2005).

b. Bahan Organik

Metode yang digunakan untuk menetapkan bahan organik tanah adalah metode Walkley&Black (Prijono, 2013). Timbang 0.5 gr tanah yang telah lolos ayakan 0.5 mm dan masukkan labu erlenmeyer 500 ml. Pipet 10 ml K2Cr2O7 1N ditambahkan ke dalam labu erlenmeyer. Tambahkan 20 ml H2SO4 pekat ke dalam labu erlenmeyer dan kemudian digoyangkan supaya tanah bereaksi sempurna. Biarkan campuran tersebut selama 30 menit. Penambahan H2SO4 dilakukan di ruang asam. Sebuah blanko (tanpa tanah) dikerjakan dengan cara yang sama. Kemudian campuran tadi diencerkan dengan H2O 200 ml dan tambahkan 10 ml H3PO4 85%, tambahkan indikator difenilamina 30 tetes. Setelah itu larutan dapat dititrasi dengan FeSO4.7H2O 1N melalui buret. Titrasi dihentikan ditandai perubahan dari warna gelap menjadi hijau terang. Demikian juga dengan blanko. Kemudian dihitung:

% C = 5 (1-T/S) x 0,78 (untuk tanah 0,5 gr) % Bahan Organik = 1,72 x %C


(35)

c. Kapasitas Tukar Kation (KTK)

Metode yang digunakan untuk menetapkan KTK tanah adalah metode perkolasi NH4OAc 1 N pH 7. Prosedur penetapan KTK (Prijono, 2013) adalah sebagai berikut:

1. Ditimbang 5 gr contoh tanah kering udara dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse 100 ml.

2. Ditambahkan 20 ml larutan NH4OAc. Diaduk dengan pengaduk gelas sampai merata dan dibiarkan selama 24 jam.

3. Diaduk kembali lalu disentrifuse selama 10 menit sampai 15 menit dengan kecepatan 2.500 rpm.

4. Ekstrak NH4OAc didekantasi, disaring lewat saringan dan hasil filtrasi ditampung di dalam labu ukur 100 ml.

5. Penambahan NH4OAc diulangi sampai 4 kali. Setiap kali penambahan diaduk merata, disentrifuse dan ekstraknya didekantasi ke dalam labu ukur 100 ml.

6. Ditambahkan 20 ml alkohol 80% ke dalam larutan dan kemudian diaduk dan disentrifuse kembali.

7. Ditambahkan pereaksi nessler dan 5-6 tetes indikator Conwai.

8. Dibuat blanko dan dititrasi dengan NaOH 0,1 N sampai larutan berwarna hijau.

9. Dihitung:


(36)

d. Nitrogen Total

Metode yang digunakan untuk menetapkan N Total tanah adalah metode Kjehdal. Prosedur penetapan N-Total (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

a) Tahapan destruksi

1. Ditimbang 2 gr tanah, tempatkan di tabung digester .

2.Ditambahkan 2 gr katalis campuran dan tambahkan H2O 10 ml; kemudian tambahkan lagi 10 ml campuran H2SO4 – asam salisilat. Biarkan semalaman.

3.Destruksi pada alat digester dengan suhu rendah dan dinaikkan secara bertahap hingga larutan jernih (temperatur < 200oC). Setelah larutan jernih suhu dinaikkan dan dilanjutkan selama 30 menit.

4.Didinginkan dan diencerkan dengan menambahkan 15 ml H2O. b) Tahapan destilasi

1.Ditempatkan tabung destruksi pada alat destilasi.

2.Pipet 25 ml H3BO3 4%, tempatkan pada erlenmeyer 250 cc dan tambahkan 3 tetes indikator campuran; dan tempatkan sebagai penampung hasil destilasi.

3.Ditambahkan NaOH 40% ± 25 ml ke tabung destilasi dan langsung didestilasi.

4.Ditampung hasil destilasi di erlenmeyer yang berisi H3BO3. Destilasi

dihentikan bila larutan di erlenmeyer berwarna hijau dan volumenya ±75 ml.


(37)

5.Dititrasi hasil destilasi dengan HCl 0,02 N. Titik akhir titrasi ditandai oleh perubahan warna dari hijau menjadi merah.

6.Perhitungan:

N (%) =

e. Phosfat Tersedia (P Tersedia)

Metode yang digunakan untuk menetapkan P tersedia adalah metode Bray-I. Prosedur penetapan P tersedia (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Ditimbang 2 gr contoh tanah dan tempatkan pada gelas erlenmeyer 250 cc. 2. Ditambahkan larutan Bray I sebanyak 20 ml dan digoncang dengan

menggunakan shaker selama 10 menit dan disaring dengan kertas saring. 3. Pipet filtrate sebanyak 5 ml dan masukkan dalam tabung reaksi.

4. Ditambahkan pereaksi fosfat B sebanyak 10 ml. Biarkan selama 5 menit. 5. Diukur transmitan pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 600

nm.

6. Pada saat yang bersamaan pipet filtrat juga masing-masing 5 ml larutan standar P 0 – 0,5 – 1,0 – 2,0 – 3,0 – 4,0 dan 5,0 ppm P ke tabung reaksi, kemudian tambahkan 10 ml pereaksi fosfat B.

7. Diukur juga transmitan standar spektrofotometer dengan panjang gelombang yang sama yaitu 600 nm.

8. Dihitung:


(38)

f. Phosfat Total (P Total)

Metode yang digunakan untuk menetapkan P total adalah metode spektrofotometer. Prosedur penetapan P total (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Ditimbang 5 gr tanah halus (lolos ayakan 2,0 mm) kering udara.

2. Ditambahkan 25 ml HCl 25 % dan dikocok selama 6 jam dengan pengocok elektrik.

3. Disaring dengan kertas saring Whatman No. 42 dan biarkan 24 jam bila larutan keruh.

4. Pipet 1 ml ektraksi tanah, tambahkan 19 ml HCl 25% dengan pipet atau buret, kemudian kocok dengan baik.

5. Pipet 5 ml ekstraksi tanah dari pengenceran tersebut, dimasukkan ke dalam tabung reaksi 50 ml, tambahkan 25 ml akuades dan 8 ml pereaksi B. 6. Ditambahkan akuades sampai tanda batas. Dikocok sampai bercampur

dengan baik.

7. Didiamkan selama 30 menit, kemudian dibaca pada spektrometer dengan panjang gelombang 720 nm.

g. Kalium (K)

Metode yang digunakan untuk menetapkan kalium (K) adalah metode NH4OAc 1 N pH 7. Prosedur penetapan kalium (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Dibaca pada flame fotometer filtrat contoh yang diperoleh dari penjenuhan tanah dengan NH4OAc 1 N (pada penetapan KTK).


(39)

2. Dibaca larutan deret standard K pada flame fotometer.

3. Dibuat kurva standard hubungan antara pembacaan dengan konsentrasi larutan standard. Hitung konsentrasi K contoh dari kurva standard.

Kadar K tanah =

,

dimana A=ppm contoh dari kurva standard

h. Calsium (Ca)

Metode yang digunakan untuk menetapkan kalsium (Ca) adalah metode NH4OAc 1 N pH 7. Prosedur penetapan Ca (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Pipet 10 ml ekstrak tanah (filtrat hasil penjenuhan tanah dengan NH4OAc N pH 7,0) dan dituangkan ke dalam cawan porselin atau gelas beker 100 ml).

2. Diuapkan hingga kering di atas hot plate pada suhu ±150oC atau dengan penangas air.

3. Ditambahkan ± 5 ml aqua-regia (campuran 3 HCl pekat : 1 HNO3 pekat), diuapkan serta keringkan di atas hot plate atau dengan penangas air. 4. Gangguan oleh bahan organik dan NH4OAc dapat juga dihilangkan

dengan menempatkan filtrat yang telah diuapkan dan dikeringkan di atas hot plate ke dalam tanur listrik 500oC selama 15 menit dan bilamana endapan masih keruh, tambahkan beberapa ml aqua-regia, uapkan dan keringkan di atas hot plate.

5. Dilarutkan endapan dengan 2 ml HCl 6 N dan tuangkan ke dalam labu ukur 25 ml, tambahkan akuades hingga garis batas.

6. Pipet 5 ml filtrat bebas bahan organik dan NH4OAc ke dalam labu erlenmeyer 125 ml. Ditambahkan air hingga volume akhir ± 25 ml.


(40)

7. Ditambahkan 10 tetes Calcon 0,4%, 10 tetes KCN 1%, 10 tetes trethanolamin, dan 2,5 ml NaOH 2,5 N.

8. Dititrasi dengan larutan standar EDTA ± 0,01 N hingga terjadi perubahan warna dari violet menjadi biru.

9. Dihitung Ca2+ dengan rumus:

Ca2+ ( tanah kering oven) = (ml EDTA x N EDTA) 1500

i. Magnesium (Mg)

Metode yang digunakan untuk menetapkan magnesium (Mg) adalah metode NH4OAc 1 N pH 7. Prosedur penetapan Mg (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Diekstrak tanah dengan menggunakan NH4OAc pH 7,0.

2. Di ambil 10 ml ekstrak tanah dengan pipet (filtrat hasil penjenuhan tanah dengan NH4OAc pH 7) dan dituangkan ke dalam cawan porselin atau beaker glass 100 ml.

3. Diuapkan hingga kering di atas hot plate pada suhu ± 150oC atau dengan penangas air.

4. Ditambahkan ± 5 ml aqua-regia (campuran 3 bagian HCl pekat dan 1 bagian HNO3 pekat), diuapkan serta dikeringkan di atas penangas air atau hot plate.

5. Dihilangkan gangguan oleh bahan organik dan NH4OAc pH 7,0 dengan jalan menempatkan filtrat yang telah diuapkan dan dikeringkan di atas hot plate ke dalam tanur listrik 500oC selama 15 menit dan bilamana endapan masih keruh, ditambahkan beberapa ml aqua-regia, uapkan, dan keringkan di atas hot plate.


(41)

6. Dilarutkan endapan dengan 2 ml HCl 6 N dan tuangkan ke dalam labu ukur 25 ml, tambahkan aquades hingga garis batas.

7. Dimasukkan 5 ml filtrat bebas bahan organik dan NH4OAc ke dalam erlenmeyer 125 ml. Ditambahkan air suling hingga volume akhir adalah ±25 ml.

8. Ditambahkan 5 ml larutan penyangga NH4Cl – NH4OH. 9. Ditambahkan 20 tetes larutan KCN 1%.

10.Ditambahkan 4 tetes larutan indikator Eriochrom black T.

11.Dititrasi dengan EDTA. Perhatikan perubahan warna dari violet menjadi biru atau hijau.

12.Hitung Mg2+ dengan rumus:

Mg2+ (me/100gr BKO) = (ml EDTA (Ca+Mg) – ml EDTA Ca) x N EDTA x 1500 j. Sulfur (S)

Metode yang digunakan untuk menetapkan sulfur (S) adalah metode spektrofotometer. Prosedur penetapan S (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Larutan standar 0, 5, 10, 15, 20 dan 25 ppm dipipet sebanyak 20 mL dan masing-masing dimasukkan ke dalam Erlenmeyer.

2. Reagen kondisi ditambahkan sebanyak 1 mL lalu campuran distirer hingga homogen.

3. Kristal BaCl2.2H2O sebanyak 0,08 g ditambahkan lalu distirer kembali selama 1 menit.


(42)

5. Absorbansi larutan diukur pada panjang gelombang optimum dengan spektrofotometer.

6. Kurva kalibrasi dari data-data yang diperoleh dibuat sehingga diperoleh persamaan regresi linier.

k. Al-dd

Metode yang digunakan untuk menetapkan Al-dd adalah metode titrimetri/KCl 1N. Prosedur penetapan Al-dd (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1.Ditimbang 5 gr tanah kering angin dan memasukkannya kedalam labu Erlenmeyer.

2.Ditambahkan 50 ml1N KCl, dan megocoknya selama 15 menit dengan menggunakan mesin pengocok (shaker), sesudah dikocok mendiamkannya selama (20-30) menit.

3.Disaring dengan kertas saring whatman dan menampungnya ditabung plastik sebanyak 150 ml.

4. Dipipet hasil saringan 25 ml ke Erlenmeyer 100 ml dan menambahkan 5 tetes indicator Fp ( Fenoplatein).

5.Dititrasikan dengan0,1 N (0,009002 N) sampai timbul warna merah muda kemudian mencatat jumlah NaOH yang terpakai.

6.Ditambahkan 0,1 N (0,009554 N) kira-kira satu tetes, sehingga warna merahnya hilang lagi.

7.Ditambahkan 10 ml 4% NaF untuk menguji kandungan Aluminium (jika warna merah timbul kembali maka tanah tersebut mengandung Aluminium).


(43)

8.Dititrasikannya dengan 0,009554 N HCl sampai warna merah hilang. 9.Dihitung dengan rumus:

me Aldd/100 gr = (ml HCl x N HCl) x 40 l. Besi (Fe)

Metode yang digunakan untuk menetapkan Fe adalah metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometer). Prosedur penetapan Fe (Balai Penelitian Tanah, 2005) adalah sebagai berikut:

1. Disiapkan larutan standar Fe dalam 1,2,3,4 hingga 5 ppm. 2. Diukur absorbansi masing masing larutan mnegunakan AAS. 3. Disiapkan contoh tanah yaitu tanah erupsi dan tanah kontrol. 4. Diukur absorbansi masing-masing sampel dengan AAS.


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan sampel tanah pada tanah erupsi diambil dari dua kedalaman yaitu contoh tanah dengan kedalaman 0-5 cm dan 5-20 cm. Hal ini dikarenakan bagian permukaan tanah terdiri dari abu vulkanik pada kedalaman 0-5 cm. Sedangkan tanah pada kedalaman 5-20 cm merupakan tanah yang telah tercampur dengan abu vulkanik. Contoh tanah erupsi disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Gambar 1. Abu vulkanik (0-5 cm) Gambar 2. Tanah bercampur abu (5-20 cm) Pada tanah kontrol, pengambilan contoh tanah yaitu tanah dengan kedalaman 0-20 cm. Contoh tanah kontrol disajikan pada Gambar 3.


(45)

Sifat Kimia Tanah 1. pH tanah

Reaksi tanah (pH tanah) menunjukkan banyaknya konsentrasi ion hidrogen (H+) di dalam tanah. Hasil pengukuran pH disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Pengukuran pH tanah

Contoh Tanah pH Kriteria

Abu vulkanik (0-5 cm) 4,54 Masam Tanah + abu (5-20 cm) 4,43 Sangat Masam Tanah Kontrol (0-20 cm) 5,14 Masam

Berdasarkan Tabel 1, dapat diketahui bahwa contoh abu vulkanik (0-5 cm) dan tanah bercampur abu (5-20 cm) memiliki kriteria pH yang berkisar antara sangat masam hingga masam, sedangkan pada contoh tanah kontrol (0-20 cm) memiliki kriteria pH masam. Hal ini disebabkan oleh abu vulkanik yang menutupi permukaan tanah memiliki sifat felsik (masam) sehingga tanah juga akan bereaksi masam. Hal itu sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tim Riset Program Pertanian USU dalam Sastra (2014) bahwa pH debu vulkanik hasil erupsi Gunung Sinabung tergolong masam dengan pH 4,30-4,98. Hal ini juga sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan di tanah andisol Kabupaten Kerinci oleh Yunus (2008) dimana nilai pH yang didapat 5,91 (masam). Bahan abu vulkanik yang bersifat masam akan menghasilkan tanah yang bereaksi masam.

Faktor lainnya yang berpengaruh pada pH tanah adalah kandungan sulfur (S) yang tinggi pada abu vulkanik sehingga menghasilkan pH tanah yang sangat masam hingga masam. Hal ini sesuai dengan Suntoro (2014) dan Suriadikarta et al (2010) yang menyatakan bahwa salah satu kandungan abu vulkanik adalah sulfur. Sulfur yang teroksidasi berubah menjadi asam sulfida yang menurunkan pH menjadi masam. Pernyataan ini didukung oleh Foth (1994) yang menyatakan bahwa sulfur


(46)

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keasaman tanah pada tamah disekitarnya sebagai akibat terbentuknya asam sulfat.

2. C-Organik dan KTK

Bahan organik tanah merupakan bahan di dalam atau permukaan tanah yang berasal dari sisa tumbuhan, hewan, dan manusia baik yang telah mengalami dekomposisi maupun yang sedang mengalami proses dekomposisi. Penetapan bahan organik dan KTK disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Analisis C-Organik dan KTK

Contoh Tanah C-Organik

(%)

Kriteria KTK Kriteria

Abu vulkanik (0-5 cm) 0,91 Sangat Rendah 13,14 Rendah

Tanah + abu (5-20 cm) 3,01 Tinggi 24,88 Sedang

Tanah Kontrol (0-20 cm) 7,19 Sangat Tinggi 3,65 Sangat Rendah

Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 2, dapat diketahui bahwa tanah yang memiliki C-Organik yang paling rendah adalah pada abu vulkanik (0-5 cm) yaitu 0,91% (sangat rendah) dan C-Organik yang paling tinggi adalah pada tanah kontrol (0-20 cm) yaitu 7,19% (sangat tinggi), sedangkan nilai C-Organik pada tanah bercampur abu (5-20 cm) yaitu 4,54% (tinggi). Tanah kontrol (0-20 cm) merupakan tanah hutan ditumbuhi oleh tanaman penutup tanah dan pohon. Tumbuhan yang mati ataupun daunnya yang berguguran dapat menjadi sumber bahan organik tanah. Sedangkan pada tanah erupsi, sumber bahan organik berupa tumbuhan telah mati karena awan panas dan abu vulkanik. Hal ini sesuai dengan Sudaryo (2009) yang menyatakan awan panas dan abu vulkanik menyebabkan tumbuhan di sekitar gunung Sinabung banyak yang mati. Kandungan sulfur yang tinggi dalam abu vulkanik dapat menjadi racun bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan Nandi (2006) yang menyatakan bahwa sulfur banyak terdapat dalam abu dan menyebabkan banyak tanaman yang terkena menjadi mati. Selain itu,


(47)

tingginya kandungan unsur-unsur seperti Si, Fe, Al, Mn yang bersifat toksik bagi tanaman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa KTK tanah tergolong sangat rendah hingga rendah. Hal ini disebabkan oleh jenis mineral gunung Sinabung yaitu mineral lempung (liat). Mineral lempung (liat) dapat mengurangi tingkat dekomposisi terhadap bahan organik tanah, sehingga dapat meningkatkan kandungan organik tanah. Hal ini sesuai dengan Hardjowigeno (2003) yang menyatakan bahwa efek dari pengikatan yang dilakukan oleh mineral lempung ini adalah perlindungan materi organik tanah dan pengurangan tingkat dekomposisi. Lempung mengubah lingkungan fisik tanah dengan meningkatkan kapasitas pegang air (water-holding capacity). Hal ini mengakibatkan terjadinya pembatasan suplai oksigen yang dapat mengurangi tingkat dekomposisi pada tanah lempung basah.

Faktor lain yang mempengaruhi KTK adalah pH tanah. Rendahnya pH pada tanah Sinabung menyebabkan kejenuhan basa menjadi rendah juga. Adapun kejenuhan basa merupakan perbandingan jumlah kation basa dengan jumlah seluruh kation dalam satuan persen. Ketika pH rendah, maka kation basa seperti Ca, K, Mg, dan N digantikan oleh H dan Al. Hal ini sesuai dengan Hardjowigeno (2003) yang menyatakan bahwa faktor lain yang mempengaruhi KTK tanah yaitu reaksi tanah, dimana semakin rendah pH maka KTK pun akan semakin rendah, dan sebaliknya.


(48)

3. Nitrogen (N) total

Nitrogen terdapat di dalam tanah dalam bentuk organik dan anorganik. Bentuk-bentuk organik meliputi NH4, NO3, NO2, N2O dan unsur N. Penetapan N total disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Analisis nilai N

Contoh Tanah N total

(%)

Kriteria Abu vulkanik (0-5 cm) 0,04 Sangat Rendah Tanah + abu (5-20 cm) 0,20 Rendah Tanah Kontrol (0-20 cm) 0,16 Rendah

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 3, dapat diketahui bahwa abu vulkanik (0-5 cm) dan tanah campur abu (5-20 cm) memiliki nilai N yang berkisar

antara sangat rendah hingga rendah, sedangkan nilai N pada tanah kontrol (0-20 cm) tergolong rendah. Hal ini disebabkan oleh bahan organik yang sangat

rendah pada tanah erupsi. Hal ini sesuai dengan Atmojo (2003) dan Sudaryo (2009) yang menyatakan bahwa bahan organik merupakan salah satu sumber nitrogen dalam tanah dan berperan cukup besar dalam proses perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah. Peran bahan organik terhadap ketersediaan hara dalam tanah tidak terlepas dengan proses mineralisasi yang merupakan tahap akhir dari proses perombakan bahan organik.

Nilai nitrogen juga dipengaruhi oleh curah hujan yang tinggi. Air hujan merupakan sumber N. Hal ini sesuai dengan Hardjowigeno (2003) yang menyatakan bahwa nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik, pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara, pupuk, dan air hujan. Selain itu, curah hujan juga mempengaruhi pencucian nitrogen. Hasil perombakan bahan organik menjadi nitrat sangat mudah tercuci dan menguap sehingga sedikit ditemukan dalam tanah. Hal ini sesuai dengan Killham (1994) yang menyatakan bahwa nitrat merupakan


(49)

hasil proses mineralisasi mudah tercuci melalui air drainase dan menguap ke atmosfer dalam bentuk gas (pada drainase buruk dan aerasi terbatas).

4. Phosfor (P) total dan P tersedia

Unsur Fosfor (P) dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral-mineral di dalam tanah. P-tersedia diserap tanaman umumnya dalam bentuk anion ortofosfat (H2PO4- dan HPO42-). Data analisis P total dan P tersedia disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Analisis P Total dan P Tersedia Contoh Tanah P Total

(mg/100g)

Kriteria P Tersedia (ppm)

Kriteria Abu vulkanik (0-5 cm) 103,59 Sangat Tinggi 19,23 Rendah Tanah + abu (5-20 cm) 309,11 Sangat Tinggi 27,80 Sedang Tanah Kontrol (0-20 cm) 68,91 Sangat Tinggi 0,41 Sangat Rendah

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa ketiga contoh tanah memiliki kriteria P Total yang sama yaitu sangat tinggi. Hal ini disebabkan tanah erupsi terdiri dari batuan tanah dan abu vulkanik yang menjadi sumber P setelah mengalami dekomposisi. Hal ini sesuai dengan Hanafiah (2005) yang menyatakan bahwa pada umumnya P berasal dari bebatuan beku dan bahan induk tanah. Adapun salah satu kandungan abu vulkanik yaitu P (Suntoro, 2014). Dalam interval waktu yang relatif lama, pengaruh positif yang berupa sumbangan unsur hara bagi tanah yang terdampak material vulkanik ini baru akan terlihat.

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 4, dapat diketahui bahwa tanah yang memiliki P-tersedia yang paling rendah adalah pada tanah kontrol (0-20 cm) yaitu 0,41 ppm (sangat rendah) dan P-tersedia yang paling tinggi adalah tanah campur abu (5-20 cm) yaitu 27,80 ppm (sedang), sedangkan nilai P-tersedia pada abu vulkanik (0-5cm) yaitu 19,23 ppm (rendah). Nilai P-tersedia yang rendah


(50)

disebabkan oleh pH tanah yang masam. Hal ini sesuai dengan Buckman dan Brady (1982) yang menyatakan bahwa unsur fosfor (P) diserap dalam bentuk H2PO4- , HPO42- ditentukan oleh pH tanah. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah lebih rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7. Adsorpsi P dalam larutan tanah oleh Fe dan Al oksida dapat menurun apabila pH meningkat. Apabila kemasaman makin rendah (pH makin tinggi) ketersediaan P juga akan berkurang oleh fiksasi Ca dan Mg. P sangat rentan untuk diikat baik pada kondisi masam maupun alkalin.

Selain pH tanah, faktor yang mempengaruhi ketersediaan P tersedia adalah iklim. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan aerasi terganggu dan suhu yang rendah memperlambat perombakan bahan organik sebagai sumber P. Hal ini sesuai dengan Novizan (2002) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pasokan P dalam tanah yaitu aerasi, temperatur, bahan organik.

5. Kalium (K)

Kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium. Penetapan nilai K disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis nilai K

Contoh Tanah K-dd

(me/100g)

Kriteria Abu vulkanik (0-5 cm) 0,39 Sedang Tanah + abu (5-20 cm) 0,58 Sedang Tanah Kontrol (0-20 cm) 0,47 Sedang

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 5, dapat diketahui bahwa ketiga contoh tanah memiliki nilai K dengan Kriteria sedang. Contoh tanah yang diambil dari desa Sukanalu dan desa Kutagugung merupakan tanah andisol, yaitu tanah yang terbentuk dari bahan vulkanik yang berasal dari wilayah dan aktivitas


(51)

vulkanik. Kalium merupakan unsur tanah yang sebagian besar berasal dari pelapukan bahan vulkanik tersebut. Hal ini sesuai dengan Hakim et al. (1986) dalam Sinuraya (2007) yang menyatakan bahwa kalium tanah terbentuk dari pelapukan batuan dan mineral-mineral yang mengandung kalium. Kalium dalam tanah ditemukan dalam mineral-mineral yang terlapuk dan melepaskan ion-ion kalium. Ion-ion adsorpsi pada kation tertukar dan cepat tersedia untuk diserap tanaman. Tanah-tanah organik mengandung sedikit kalium. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Suntoro (2014) bahwa nilai K-dd yang didapatkan pada abu vulkanik Gunung Kelud adalah 0,46 (sedang).

6. Calsium (Ca) dan Magnesium (Mg)

Ca dan Mg merupakan kation-kation tanah. Analisis Ca dan Mg disajikan pada tabel 6.

Tabel 6. Analisis Ca dan Mg

Contoh Tanah Ca

(me/100g)

Kriteria Mg (me/100g)

Kriteria Abu vulkanik (0-5 cm) 2,57 Rendah 0,17 Sangat Rendah Tanah + abu (5-20 cm) 3,81 Rendah 0,24 Sangat Rendah Tanah Kontrol (0-20 cm) 1,54 Sangat Rendah 1,11 Sedang Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 6, dapat diketahui bahwa kandungan kalsium pada ketiga contoh tanah tergolong sangat rendah sampai rendah dan dapat diketahui juga bahwa kandungan magnesium pada ketiga contoh tanah tergolong sangat rendah sampai sedang. Abu vulkanik mengandung hanya sedikit kalsium dan magnesium. Hal ini sesuai dengan Suriakarta et al (2010) yang menyatakan bahwa kandungan magnesium pada abu vulkanik berkisar antara 0,1-2,4 me/100g, sedangkan kalsium berkisar antara 2,13-5,47 me/100g.


(52)

Selain itu, faktor yang mempengaruhi ketersediaan Ca dan Mg tanah adalah curah hujan yang tinggi yang sangat berpengaruh pada drainase tanah dan pelindian sehingga Ca dan Mg mudah mengalami pencucian. Faktor lain yang mempengaruhi ketersedian Ca dan Mg dalam tanah adalah cadangan Ca dan Mg di dalam tanah, KTK tanah, persentase kejenuhan basa, dan pH tanah.

7. Sulfur (S)

Sulfur merupakan unsur hara makro sekunder yang dibutuhkan tanaman. Analisis S disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis S

Contoh Tanah S (ppm) Kriteria Abu vulkanik (0-5 cm) 480,44 Sedang Tanah + abu (5-20 cm) 646,43 Sedang Tanah Kontrol (0-20 cm) 89,39 Rendah

Berdasarkan data yang tertera pada Tabel 8, dapat diketahui tanah erupsi memiliki kriteria sedang, sedangkan tanah kontrol (0-20 cm) dengan kriteria rendah. Hal ini disebabkan oleh kandungan belerang yang tinggi dalam abu vulkanik. Hal ini sesuai dengan Sudaryo (2009) yang menyatakan bahwa tanah andisol yaitu tanah yang terbentuk dari bahan vulkanik yang berasal dari wilayah dan aktivitas vulkanik memiliki kandungan sulfur yang tinggi.

Contoh tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm) memiliki kandungan sulfur yang lebih tinggi dibandingkan dengan abu vulkanik (0-5 cm), hal ini dikarenakan curah hujan yang tinggi pada daerah tersebut mengakibatkan terjadinya pencucian hara, sehingga unsur S yang banyak terkandung dalam abu vulkanik tercuci kelapisan tanah dibawahnya yang mengakibatkan unsur S pada tanah bercampur abu vulkanik (5-20 cm) lebih tinggi dibandingkan dengan abu vulkanik (0-5 cm). Hal ini sesuai dengan pernyataan Hairiah, et al (2010) bahwa


(53)

curah hujan yang tinggi mengakibatkan banyak hara yang hilang terbawa aliran air ke lapisan bawah dan ke samping sehingga kemasaman tanah meningkat.

8. Al-dd dan Fe

Al dalam bentuk dapat ditukarkan (Al-dd) dan Fe umumnya terdapat pada tanah-tanah yang bersifat masam dengan pH < 5,0. Data penetapan Al-dd dan Fe disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisis Al-dd dan Fe

Contoh Tanah Al-dd

(me/100g)

Kriteria Fe (ppm) Kriteria

Abu vulkanik (0-5 cm) 0,17 Sangat Rendah 204,02 Rendah

Tanah + abu (5-20 cm) 1,08 Sangat Rendah 170,87 Rendah

Tanah Kontrol (0-20 cm) Td*) Tidak Terdeteksi 63,02 Sangat Rendah

Berdasarkan data yang tertera dalam Tabel 8, dapat diketahui bahwa kandungan Al-dd dan Fe memiliki kriteria sangat rendah hingga ke kriteria rendah. Kandungan al-dd dan Fe pada abu vulkanik yang diteliti oleh Sudaryo dan dan Sucipto (2009) adalah sebesar 1,8-15,9 (me/100g) dan 1,4-9,3 ppm berturut-turut dengan kriteria sangat rendah hingga sedang.

Bahan abu vulkanik yang bersifat masam akan membentuk banyak kompleks Fe dan Al-humus. Dugaan ini menjadi lebih kuat, karena pada Tabel 8 terlihat kandungan Aluminium dapat ditukar (Al-dd) dan Fe sangat rendah. Hal ini sesuai dengan Huang dan Schnitzer (1997) yang menyatakan bahwa rendahnya nilai Al-dd dan Fe dikarenakan sebagian besar aluminium hasil hidrolisis terikat pada ligan-ligan organik dan membentuk komplek Al dan Fe–humus.


(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tanah erupsi dengan kedalaman 5-20 cm memiliki sifat kimia tanah yang lebih baik dibandingkan abu vulkanik (0-5 cm) dan tanah kontrol (0-20 cm). Hal ini dibuktikan dari sifat kimia tanah, antara lain C-Organik, KTK, P tersedia, P total, dan S yang memiliki kriteria sedang sampai dengan sangat tinggi pada tanah erupsi (5-20 cm) dibandingkan abu vulkanik dan tanah kontrol yang memiliki sifat kimia tanah dengan Kriteria sangat rendah sampai dengan sangat tinggi.

Saran

Sebaiknya penelitian ini dilanjutkan setiap tahunnya untuk kemudian dilihat perubahan sifat kimia tanah yang ada pada tanah tersebut.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander. 2010. Waspada Gunung Sinabung. Diakses dari

http://www.medanmagazine.com [10 Oktober 2014]

Atmojo, W.A. 2003. Peranan Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah Dan Upaya Pengelolaannya. Sebelas Maret University Press. Surakarta

Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP). 2013. Rekomendasi Kebijakan Mitigasi Dampak Erupsi Gunung Sinabung terhadap Sektor Pertanian. BPTP Sumatera Utara. Medan

Balai Penelitian Tanah. 2005. Petunjuk Teknis Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor Buckman, H.O dan N.C Brady.1982. Ilmu Tanah. Terjemahan Soegiman. Bhrata

Karya Persada. Jakarta

Dewi. 2007. Kesuburan tanah dasar kesehatan dan kualitas tanah. Penerbit Gaya Media. Yogyakarta

Cook, R.J., J.C. Barron, R.I. Papendick, and G.J. Williams. 1981. Impact of Agriculture of the Mount St. Helens Eruptions. Washington, USA

Daulay, F.,F. 2014. Sinabung Mengamuk. Diakses dari

http://www.chaidirritonga.com [25 Mei 2015].

Ebo, A.G.A. 2010. Gunung Sinabung Meletus. Diakses dari

http://www.regional.kompas.com [10 Oktober 2014]

Fiantis. 2006. Laju Pelapukan Kimia Debu Vulkanis Gunung Talang dan Pengaruhnya Terhadap Proses Pembentukan Mineral Liat Non-Kristalin. Universitas Andalas. Padang.

Foth, H.D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Ed: Hudoyo. S.A.B. Gajah Mada University Press. Yogyakarta

Gardner FP, Pearce RB, Mitcell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. University of Indonesia Press. Jakarta

Hairiah, K. 2000. Pengelolaan Tanah Masam Secara Biologi Refleksi Pengalaman dari Lampung Utara. SMT Grafika Desa Putera. Jakarta

Hanafiah, A. S., T. Sabrina dan H. Guchi. 2009. Biologi dan Ekologi Tanah. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian. Medan.

Handayanto, E. 1998. Pengolahan Kesuburan Tanah. Brawijaya University Press. Malang


(56)

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta

Huang, P.M dan Schnitzer, M. 1997. Interaction of Soil Minerals with Natural Organik and Microbes. SSSA Special Publication Number 17. Soil Science Society of America . Inc. 920 pp.

Leiwakabessy, F.M. Suwarno, dan U. M. Wahyudin. 2003. Bahan Kuliah Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB Bogor

Madjid, A. 2007. Kapasitas Tukar Kation. Diakses dari

http://dasarilmutanah/pertanianunpad.com[8 Oktober 2014]

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.

Nandi. 2006. Geologi Lingkungan: Vulkanisme. Bandung: Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Pendidikan IP. Universitas Pendidikan Indonesia.

Notohadiprawiro, T. 2006. Tanah dan Lingkungan. Ilmu Tanah Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Tangerang

Prijono, S. 2013. Pengukuran pH, Bahan Organik, KTK, dan KB. Universitas Brawijaya Press. Malang

Saputra. 2013. Penduduk Sinabung Mengungsi. Diakses dari http://daerah.sindonews.com/. [28 Mei 2015]

Sarief, E. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung

Sartohadi, Junun, Indah Sari Dewi, Nur, Jamulya. 2012. Pengantar Geografi Tanah. Pustaka Pelajar.

Sastra, D. 2014. “Tim Riset USU: Debu Vulkanik Sinabung Menyuburkan Tanah”. Analisa, 5 Februari 2014

Schroeder, D. 1984. Soils: Facts and concepts. International Potash Institute Bern Sinuraya, R. 2007. Pemetaan Status Hara P-Tersedia, P-Total, dan K-tukar di Kebun Tanjung Garbus-Pagar Marbau PTPN II. Departemen Ilmu Tanah USU. Medan

Subagyo, H., Nata Suharta, dan Agus. B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Sudaryo dan Sucipto. 2009. Identifikasi dan Penentuan Logam Berat pada Tanah Vulkanik di Daerah Cangkringan, Kabupaten Sleman dengan Metode


(57)

Analisis Aktivasi Neutron Cepat, Seminar Nasional V SDM Teknologi, Yogyakarta.

Suntoro. 2014. Dampak Abu Vulkanik Erupsi Gunung Kelud Dan Pupuk Kandang Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Magnesium Tanaman Jagung Di Tanah Alfisol. Program Studi Ilmu Tanah, Fak. Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Suriadikarta, D.A., Abdullah Abbas Id., Sutono, Dedi Erfandi, Edi Santoso, A. Kasno. Identifikasi Sifat Kimia Abu Volkan, Tanah Dan Air Di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi. Balai Penelitian Tanah. Jakarta

Suryani, A.S. 2014. Dampak Negatif Abu Vulkanik terhadap Lingkungan dan Kesehatan. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi. Jakarta Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Kanisius. Yogyakarta

Sutcliffe, J.F dan D.A Baker. 1975. Plant and Mineral Salts. Edward Arnold Publishing. London

Utami, N.H. 2009. Sifat Biologi Tanah Paska Tambang Galian C pada Tiga Penutupan Lahan (Studi Kasus Pertambangan Pasir di Desa Gumulung Tonggoh, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Utoyo, B. Geografi 1 Membuka Cakrawala Dunia. 2007. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Yunus. 2012. Kajian Kemampuan Penyediaan Hara pada Andisol untuk Pertanian Kentang di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi


(58)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Iklim Bulanan

Lokasi Pengamatan / stasiun : Kec. Barusjahe, Karo Curah hujan (mm)

Sumber : Stasiun Klimatologi Sampali Medan

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jun Agu Sep Okt Nov Des

2012 62 291 224 333 224 103 229 201 76 464 481 327

2013 328 502 177 332 263 110 45 233 189 467 350 466


(59)

Lampiran 2. Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah

Sifat tanah Kriteria

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

C-organik (%)* <1 1-2 2,01-3 3,01-5 >5

N-Total (%)* <10 10-20 20,01-40 40,01-60 >60 PBray I (ppm)* <3 3-7 7,01-20 20,01-30 >30 P2O5 Total (me/100g)* <15 15-20 21,01-40 40,01-60 >60 KTK (me/100g)* <5 <5-16 17,01-24 24,01-40 >40 K (me/100g)* <0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 >1,0 Ca (me/100g)* <2 2-5 6,01-10 10.01-20 >20 Mg (me/100g)* <0,4 0,4-10 1,1-2,0 2,01-8,0 >8,0

S (ppm)** <10 10-100 100-2000

Fe (ppm)** <50 50-500 500-5000

Al-dd (ppm)** <5 5-10 10-20 20,01-40 >40 pH (H2O)*

4,5-5,5 ((masam)

5,6-6,5 (agak masam)

6,6-7,5 (netral)

7,6-8,5 (agak alkalis)

>8,5 (alkalis) Sumber : *Djaenuddin (1994); **Winarso (2005)

<4,5 (sangat masam)


(60)

Lampiran 3. Dokumentasi Pengambilan Contoh Tanah

Pembuatan Plot


(61)

Pengambilan tanah pada kedalaman 10-20 cm pada tanah erupsi Lampiran 4. Lanjutan

Pengambilan tanah pada kedalaman 0-5 cm dan 5-10 cm pada tanah kontrol


(1)

Hardjowigeno, S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta

Hardjowigeno, S. 2007. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta

Huang, P.M dan Schnitzer, M. 1997. Interaction of Soil Minerals with Natural Organik and Microbes. SSSA Special Publication Number 17. Soil Science Society of America . Inc. 920 pp.

Leiwakabessy, F.M. Suwarno, dan U. M. Wahyudin. 2003. Bahan Kuliah Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. IPB Bogor

Madjid, A. 2007. Kapasitas Tukar Kation. Diakses dari

http://dasarilmutanah/pertanianunpad.com[8 Oktober 2014]

Mukhlis. 2007. Analisis Tanah dan Tanaman. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.

Nandi. 2006. Geologi Lingkungan: Vulkanisme. Bandung: Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Pendidikan IP. Universitas Pendidikan Indonesia.

Notohadiprawiro, T. 2006. Tanah dan Lingkungan. Ilmu Tanah Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif. Agromedia Pustaka. Tangerang

Prijono, S. 2013. Pengukuran pH, Bahan Organik, KTK, dan KB. Universitas Brawijaya Press. Malang

Saputra. 2013. Penduduk Sinabung Mengungsi. Diakses dari http://daerah.sindonews.com/. [28 Mei 2015]

Sarief, E. 1989. Kesuburan dan Pemupukan Tanah Pertanian. Pustaka Buana. Bandung

Sartohadi, Junun, Indah Sari Dewi, Nur, Jamulya. 2012. Pengantar Geografi Tanah. Pustaka Pelajar.

Sastra, D. 2014. “Tim Riset USU: Debu Vulkanik Sinabung Menyuburkan Tanah”. Analisa, 5 Februari 2014

Schroeder, D. 1984. Soils: Facts and concepts. International Potash Institute Bern Sinuraya, R. 2007. Pemetaan Status Hara P-Tersedia, P-Total, dan K-tukar di Kebun Tanjung Garbus-Pagar Marbau PTPN II. Departemen Ilmu Tanah USU. Medan

Subagyo, H., Nata Suharta, dan Agus. B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor.

Sudaryo dan Sucipto. 2009. Identifikasi dan Penentuan Logam Berat pada Tanah Vulkanik di Daerah Cangkringan, Kabupaten Sleman dengan Metode


(2)

Analisis Aktivasi Neutron Cepat, Seminar Nasional V SDM Teknologi, Yogyakarta.

Suntoro. 2014. Dampak Abu Vulkanik Erupsi Gunung Kelud Dan Pupuk Kandang Terhadap Ketersediaan Dan Serapan Magnesium Tanaman Jagung Di Tanah Alfisol. Program Studi Ilmu Tanah, Fak. Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Suriadikarta, D.A., Abdullah Abbas Id., Sutono, Dedi Erfandi, Edi Santoso, A. Kasno. Identifikasi Sifat Kimia Abu Volkan, Tanah Dan Air Di Lokasi Dampak Letusan Gunung Merapi. Balai Penelitian Tanah. Jakarta

Suryani, A.S. 2014. Dampak Negatif Abu Vulkanik terhadap Lingkungan dan Kesehatan. Pusat Pengkajian, Pengolahan Data, dan Informasi. Jakarta Sutanto, R. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Kanisius. Yogyakarta

Sutcliffe, J.F dan D.A Baker. 1975. Plant and Mineral Salts. Edward Arnold Publishing. London

Utami, N.H. 2009. Sifat Biologi Tanah Paska Tambang Galian C pada Tiga Penutupan Lahan (Studi Kasus Pertambangan Pasir di Desa Gumulung Tonggoh, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Provinsi Jawa Barat). Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Utoyo, B. Geografi 1 Membuka Cakrawala Dunia. 2007. Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Yunus. 2012. Kajian Kemampuan Penyediaan Hara pada Andisol untuk Pertanian Kentang di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Jambi


(3)

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Iklim Bulanan

Lokasi Pengamatan / stasiun : Kec. Barusjahe, Karo Curah hujan (mm)

Sumber : Stasiun Klimatologi Sampali Medan

Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jun Agu Sep Okt Nov Des 2012 62 291 224 333 224 103 229 201 76 464 481 327 2013 328 502 177 332 263 110 45 233 189 467 350 466 2014 20 5 32 640 283 103 0 287 345 687 325 593


(4)

Lampiran 2. Kriteria penilaian sifat-sifat kimia tanah

Sifat tanah Kriteria

Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

C-organik (%)* <1 1-2 2,01-3 3,01-5 >5

N-Total (%)* <10 10-20 20,01-40 40,01-60 >60

PBray I (ppm)* <3 3-7 7,01-20 20,01-30 >30

P2O5 Total (me/100g)* <15 15-20 21,01-40 40,01-60 >60

KTK (me/100g)* <5 <5-16 17,01-24 24,01-40 >40

K (me/100g)* <0,1 0,1-0,2 0,3-0,5 0,6-1,0 >1,0

Ca (me/100g)* <2 2-5 6,01-10 10.01-20 >20

Mg (me/100g)* <0,4 0,4-10 1,1-2,0 2,01-8,0 >8,0

S (ppm)** <10 10-100 100-2000

Fe (ppm)** <50 50-500 500-5000

Al-dd (ppm)** <5 5-10 10-20 20,01-40 >40

pH (H2O)*

4,5-5,5 ((masam) 5,6-6,5 (agak masam) 6,6-7,5 (netral) 7,6-8,5 (agak alkalis) >8,5 (alkalis) Sumber : *Djaenuddin (1994); **Winarso (2005)

<4,5 (sangat masam)


(5)

Lampiran 3. Dokumentasi Pengambilan Contoh Tanah

Pembuatan Plot


(6)

Pengambilan tanah pada kedalaman 10-20 cm pada tanah erupsi Lampiran 4. Lanjutan

Pengambilan tanah pada kedalaman 0-5 cm dan 5-10 cm pada tanah kontrol