Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

(1)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, ada empat “Prinsip Umum Perlindungan Anak” yang harus menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak, yaitu :36

a. Prinsip Nondiskriminasi

Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA (Konvensi Hak Anak) harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini dapat kita baca dalam Pasal 2 KHA Ayat 1 : “Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis

36


(2)

kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain , asal usul kebangsaan etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orangtua walinya yang sah.”

b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of the Child)

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depana anak.37

c. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup dan Perkembangan (the Right to Life, Surviva l a nd Development)

Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.

Implementasi prinsip ini berarti negara melalui instrumen regulasi nasional maupun institusi nasional yang dimiliki harus mendorong tumbuh kembang anak secara optimal. Pengasuhan yang tidak memberikan kenyamanan

37


(3)

kepada anak, biaya pendidikan yang mahal, proses belajar mengajar yang menekan, dan layanan kesehatan yang tidak dapat diakses merupakan kondisi yang bertentangan dengan prinsip ini.38

d. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the Views of the Child)

Poin terpenting dari prinsip ini, anak adalah subjek yang memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.39

Empat prinsip perlindungan anak di atas menjadi dasar penerapan hak-hak anak di Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan adalah menjunjung tinggi serta melindungi hak dan kewajiban anak. Adapun hak anak yang terdapat dalam beberapa pasal Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain :

1. Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan Orang Tua atau Wali.

Dalam pasal ini terdapat hak anak untuk beribadah menurut agamanya serta berpikir dan berekspresi. Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada Anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia Anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa

38

Ibid, hlm. 58

39


(4)

pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan Orang Tua atau Walinya.

2. Pasal 7 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada ayat (1) ketentuan mengenai hak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.

Penjelasan ayat (2) bahwa pengasuhan atau pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan norma-norma hukum, adat istiadat yang berlaku, dan agama yang dianut anak. Anak dalam keadaan terlantar pada ayat (2) menurut seorang aktivis perampuan bernama Eglantyne Jebb dalam butir-butir gagasannya tentang hak anak yaitu anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/ diberi perumahan.40

3. Pasal 8

40


(5)

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

4. Pasal 9 ayat (1), (1a) dan (2)

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat; (1a) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain; (2) Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

5. Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Kesempatan memberikan pendapat ini biasanya diberikan secara khusus kepada anak untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan administratif yang mempengaruhinya.

Dalam Konvensi Hak-Hak Anak (KHA) adanya mencakup hak anak untuk menyatakan pendapat secara bebas. Hak ini mencakup kebebasan meminta, menerima, dan memberi informasi dan gagasan dalam segala jenis, baik lisan,


(6)

tertulis atau cetakan. Dalam bentuk seni atau melalui media lain menurut pilihan anak tersebut.41

6. Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. 7. Pasal 12

Setiap anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Hak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

8. Pasal 13 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan

f. perlakuan salah lainnya;

41


(7)

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Penjelasan ayat (1) huruf a, perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Huruf b, perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.

Huruf c, perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

Huruf d, perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara lazim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

Phisyca l a buse (kekerasan fisik), menunjukkan cedera yang ditemukan pada anak, bukan karena suatu kecelakaan tetapi cedera tersebut adalah hasil dari pemukulan dengan benda atau beberapa penyerangan yang diulang-ulang. Phisyca l neglet (pengabaian fisik), kategori kekerasan ini dapat diidentifikasikan secara umum dari kelesuan seorang anak, kepucatan dan dalam keadaan kekurangan gizi. Bentuk-bentuk kekurangan fisik dapat berupa : dicecoki, dijewer, dicubit, dijambak, dijitak, digigit, dicekik, direndam, disiram, diikat, didorong, dilempar, diseret, ditempeleng, dipukul, disabet, digebuk, ditendang,


(8)

diinjak, dibanting, dibentur, disilet, ditusuk, dibacok, dibusur/dipanah, disundut, disetrika, disetrum, ditembak, berkelahi, dikeroyok, disuruh push-up, disuruh lari, disuruh jalan dengan lutut.42

Huruf e, perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

Huruf f, perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak. Hal ini dapat dikategorikan dalam Sexual a buse dan Emotional abuse.

Sexua l abuse (kekerasan seksual), menunjuk kepada setiap aktivitas seksual, bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik, kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan seksual : dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks, anal seks, diperkosa.43

Emotiona l a buse ( kekerasan emotional), menunjuk pada keadaan yang orang tua atau wali gagal menyediakan lingkungan yang penuh cinta kasih kepada anak untuk bisa bertumbuh dan berkembang. Perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan emosional ini seperti : tidak mempedulikan, mendiskriminasikan, meneror, mengancam, atau secara terang-terangan menolak anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan mental : dipelototi, digoda, diomeli, dicaci, diludahi, digunduli, diancam, diusir, disetrap, dijemur, disekap, dipaksa tulis dan hafal, dipaksa bersihkan wc/kerja, dipaksa cabut rumput/kerja.44

Perlindungan hukum terhadap anak, merupakan hak asasi yang harus diperoleh anak. Sehubungan dengan hal ini, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945,

42

Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 3

43

Ibid

44


(9)

menentukan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pernyataan dari pasal tersebut, menunjukkan tidak ada perbedaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa dan anak-anak dalammendapatkan perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum terhadap anak, bukan saja masalah hak asasi manusia, tetapi lebih luas lagi adalah masalah penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan.45

Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, penegakan hukum harus dilakukan dengan benar. Hukum harus ditegakkan dan diberlakukan kepada siapa saja. Dalam praktiknya, dalam melakukan penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah : faktor hukumnya sendiri (undang-undang); faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum itu; faktor masyarakat, yaitu lingkungan hukum berlaku diterapkan; faktor kebudayaan, yang lahir dalam pergaulan hidup manusia.46 Dan dari beberapa faktor di atas, yang paling penting adalah faktor penegak hukum.

9. Pasal 14 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;

45

Ibid, hlm. 13

46


(10)

(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak :

a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya;

b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya;

c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan d. memperoleh hak anak lainnya.

Penjelasan pada ayat (1), yang dimaksud dengan “pemisahan” antara lain pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar negeri untuk bekerja, anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 UU Perlindungan Anak, yaitu : a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai kemampuan, bakat dan minatnya; c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.47

10. Pasal 15

47


(11)

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan; dan

f. kejahatan seksual.

Perlindungan dalam ketentuan ini meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung, dari tindakan yang membahayakan anak secara fisik dan psikis. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara langsung maupun tidak langsung.

11. Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3)

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; dan

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya berakhir.

Penjelasan pada ayat (1), pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi dirri sendiri dari berabagi macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan


(12)

kondisinya. Anak perlu mendapat perlindungan agar tidak mengalami kerugian, baik mental, fisik maupun sosial.

12. Pasal 17 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. membela dari dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Penjelasan pada ayat (1) huruf b, yang dimaksud dengan bantuan lainnya misalnya bimbingan sosial dari pekerja sosial, konsultasi dari psikolog dan psikiater, atau bantuan dari ahli bahasa.

13. Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan.

B. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika


(13)

Anak terlibat dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika mempunyai beberapa faktor penyebab, menurut kajian empirik yaitu : a. Kesibukan orang tua yang tidak sempat lagi untuk memperhatikan kehidupan anaknya yang masih sekolah; b. Rumah tangga berantakan (broken home) sehingga anak-anak kehilangan bimbingan; c. Perubahan sosial dan cara hidup yang berlebihan; d. Menemukan kesulitan dalam belajar; e. Mobilitas pemuda dan kelompok pemakai ganja; f. Informasi yang salah dan berlebihan tentang masalah narkotika.48

Anak sebagai pelaku dan/atau korban tindak pidana harus tetap mendapatkan perlindungan hukum, khususnya perlindungan yang didapatkan anak dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam Pasal 55 ayat (1) dan Pasal 60 ayat (2) huruf c, dengan penjelasan masing-masing sebagai berikut :

1. Pasal 55 ayat (1)

Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam penjelasannya, ketentuan ini menegaskan bahwa untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan Narkotika, khususnya untuk pecandu narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatkan tanggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.

48


(14)

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Sebagaimana yang diamanatkan dalam konsideran UU Narkotika, bahwa ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dimaksudkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, namun di sisi laim mengingat dampak yang dapat ditimbulkan dan tingkat bahaya yang ada apabila digunakan tanpa pengawasan dokter secara tepat dan ketat maka harus dilakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.49

Dalam Undang-Undang Narkotika secara tegas menyebutkan tujuan narkotika itu sendiri yang dituangkan dalam Pasal 4 UU Narkotika sebagai berikut:

Undang-Undang Narkotika bertujuan :

a. menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;

b. mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika;

c. memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahgunaan dan pecandu narkotika.

2. Pasal 60 ayat (2) huruf c

49


(15)

mencegah generasi muda dan anak usia sekolah dalam penyalahgunaan narkotika, termasuk dengan memasukkan pendidikan yang berkaitan dengan narkotika dalam kurikulum sekolah dasar sampai lanjutan atas.

Penjelasan dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa ketentuan tersebut di atas tidak mengurangi upaya pencegahan melalui kegiatan ekstrakurikuler pada perguruan tinggi.

Menurut A. Qirom Syamsudin Meliala bahwa secara umum untuk menanggulangi kejahatan remaja dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu :50

a) Ca ra mora listik, yaitu dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama dan norma, perundang-undangan yang baik dan sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu untuk berbuat jahat. Sistem ini hendaknya mendapat perhatian khusus, baik oleh orang tua sendiri, apalagi bagi para ahli yang bersangkutan, begitu juga dengan pemerintah.

b) Ca ra a bolisionistik, yaitu dengan memberantas sebab-sebab terjadinya kejahatan tersebut, misalnya telah diselidiki bahwa faktor ekonomi (kemiskinan dan kesejahteraan) merupakan penyebabnya maka usaha mencapai kesejahteraan dan kemakmuran adalah mengurangi tindakan kejahatan.

c) Preventif, yaitu suatu usaha untuk menghindari kejahatan jauh sebelum rencana kejahatan itu terjadi dan terlaksana. Tindakan preventif ini adalah berupa memberikan kesibukan yang berarti kepada anak-anak, karena selain memasukkannya ke dalam pendidikan yang wajib baginya, juga memasukkan ke dalam kursus-kursus keterampilan, pendidikan keagamaan, dan lain-lain.

50


(16)

C. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Secara yuridis peradilan merupakan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dan dalam kegiatannya melibatkan lembaga peradilan, kejaksaan, kepolisian, kehakiman, lembaga pemasyarakatan, bantuan hukum, untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi setiap warga negara.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan landasan kerangka hukum Indonesia. Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang tersebut menentukan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum; peradilan agama; peradilan militer; dan peradilan tata usaha negara. Undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan-badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.

Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu. Peradilan Umum adalah peradilan bagi rakyar pada umumnya, mengenai baik perkara perdata maupun perkara pidana. Tidak tertutup kemungkinan adanya pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan


(17)

pengkhususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Peradilan Pidana Anak, Pengadilan Niaga, dan sebagainya.51

Aspek perlindungan anak dalam peradilan anak ditinjau dari segi psikologis bertujuan agar anak terhindar dari kekerasan, keterlantaran, penganiayaan, tertekan, perlakuan tidak senonoh, kecemasan, dan sebagainya.52 Mewujudkan hal ini perlu ada hukum yang melandasi, menjadi pedoman dan sarana tercapainya kesejahteraan dan kepastian hukum guna menjamin perlakuan maupun tindakan yang diambil oleh anak. Dalam mewujudkan kesejahteraan anak, anak perlu diadili oleh suatu badan peradilan tersendiri. Usaha mewujudkan kesejahteraan anak adalah bagian dari meningkatkan pembinaan bagi semua anggota masyarakat, yang tidak terlepas dari kelanjutan dan kelestarian peradaban bangsa, yang penting bagi masa depan bangsa dan negara.53

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas :

1. Perlindungan; 2. Keadilan;

3. Nondiskriminasi;

4. Kepentingan terbaik bagi Anak; 5. Penghargaan terhadap pendapat Anak;

6. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak; 7. Pembinaan dan pembimbingan Anak;

8. Proporsional;

51

Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 91

52

Hadi Supeno, Op.Cit, hlm. 190

53


(18)

9. Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan

10.Penghindaran pembalasan.

Bentuk perlindungan yang diberikan kepada anak selama proses peradilan pidana sampai pada saat anak menjalani masa pidananya memiliki beberapa hak yang harus dilindungi yang terdapat dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai berikut :

1. Pasal 3

Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak :

a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. dipisahkan dari orang dewasa;

c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; d. melakukan kegiatan rekreasional;

e. bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang k ejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;

f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;

g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;

h. memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;

i. tidak dipublikasikan identitasnya;

j. memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak;


(19)

l. memperoleh kehidupan pribadi;

m.memperoleh aksebilitas, terutama bagi anak cacat; n. memperoleh pendidikan;

o. memperoleh pelayanan kesehatan; dan

p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penjelasan pasal 3 huruf a, yang dimaksud dengan “kebutuhan sesuai dengan umurnya” meliputi, melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya, mendapat kunjungan dari keluarga dan/atau pendamping, mendapat perawatan rohani dan jasmani, mendapat pendidikan dan pengajaran, mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak, mendapat bahan bacaan, menyampaikan keluhan, serta mengikuti siaran media massa.

Huruf b “anak dipisahkan dari orang dewasa”, dijelaskan bahwa anak harus dipisahkan dengan orang dewasa baik selama proses persidangan maupun dalam menjalankan masa tahanan mengingat karakteristik anak yang berbeda dengan orang dewasa. Anak tetaplah anak yang masih mengalami proses perkembangan fisik, mental, psikis, dan sosial menuju kesempurnaan seperti yang dimiliki orang dewasa. Konsekuensinya, reaksi yang terhadap anak tidak sama dengan reaksi yang diberikan orang dewasa, yang lebih mengarah kepada punitif.54

Bantuan hukum yang dimaksudkan dalam huruf c yaitu adanya kehadiran Penasihat Hukum dalam sidang perkara anak. Adanya pendamping anak selama proses persidangan mengingat karakteristik anak dari 55segi sosiologis, psikologis,

54

Nashriana, Op.Cit, hlm. 75

55


(20)

dan paedagogis bahwa anak tersebut belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Yang dimaksud dengan “rekreasional” pada huruf d adalah kegiatan latihan fisik bebas sehari-hari di udara terbuka dan anak harus memiliki waktu tambahan untuk kegiatan hiburan harian, kesenian, atau mengembangkan keterampilan.

Huruf e, yang dimaksud dengan “merendahkan derajat dan martabatnya” misalnya Anak disuruh membuka baju dan lari berkeliling, anak digunduli rambutnya, anak diborgol, anak disuruh membersihkan WC, serta anak perampuan disuruh memijat penyidik laki-laki.

Huruf f, anak tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup, bahwa hukum mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. Pidana penjara anak hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Huruf g menyatakan bahwa “anak tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara” tetapi kenyataannya masih banyak anak yang dijatuhi hukuman pidana penjara dalam persidangan. 56Alasan pengadilan melakukan pemutusan pidana adalah perta ma, karena telah terbukti memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dituntutkan padanya. Kedua , anak telah ditahan selama proses pengadilan, mulai saat penyidikan, penuntutan sampai pada saat persidangan, sehingga dengan diputus pidana maka putusan pidana kurungan dapat dikurangi atau hampir sama dengan masa penahanan yang telah dilakukannya.

Pertimbangan pemutusan hukum yang dilakukan oleh hakim dalam proses persidangan yaitu, jika tindak pidana yang dilakukan oleh anak tergolong ringan,

56


(21)

jaksa menuntut pidana di bawah 1 (satu) tahun. Terhadap tuntutan jaksa tersebut, hakim akan mempertimbangkan berdasarkan bukti dan saksi yang ada. Hakim akan memutuskan pidana penjara terhadap seorang anak seringan-ringannya adalah 4 (empat) bulan, dipotong masa tahanan 3 (tiga) bulan, jadi anak akan menjalankan pidana penjaranya tinggal 1 (satu) bulan lagi.57

Huruf h menyatakan anak “memperoleh keadilan di muka pengadilan anak” sama halnya dengan proses penyelesaian kasus orang dewasa, setelah anak menerima vonis atau putusan hakim ia masih memiliki upaya hukum untuk mencari keadilan, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. 58Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dapat dilakukan, baik oleh terdakwa maupun penuntut umum terhadap putusan pengadilan melalui banding, kasasi, dan perlawanan, baik perlawanan terhadap putusan hakim yang bersifat penetapan maupun perlawanan terhadap putusan verstek. Upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan hukum.

Pada huruf k adanya advokasi sosial yang di dapat anak, advokasi sendiri adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atas program dari suatu institusi. Dalam pemeriksaan terhadap anak dilakukan secara kekeluargaan, dalam arti hakim dan jaksa yang memeriksa tidak memakai toga dan pakaian dinas, hadirnya orang tua/wali dan pembimbing kemasyarakatan, dan tetap memberikan hak kepada terdakwa untuk didampingi penasihat hukum/ advokat.

Penjelasan huruf l, selama menjalani proses peradilan, anak berhak menikmati kehidupan pribadi, antara lain anak diperbolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan, dan jika anak ditahan atau

57

Ibid

58


(22)

ditempatkan di LPKA, anak berhak memiliki atau membawa selimut atau bantal, pakaian sendiri, diberikan tempat tidur yang terpisah.

Aksebilitas dalam huruf m, adalah derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Pada anak cacat misalnya diberikan fasilitas seperti pengguna kursi roda.

Anak berhak memperoleh pendidikan, dalam huruf n menerangkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya, mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.59 Pendidikan bagi seorang anak tidak akan pernah berhenti walaupun kondisi anak yang tidak memungkinkan sebagai terdakwa, pendidikan anak harus tetap diupayakan semaksimal mungkin, mengingat bahwa anak adalah generasi penerus bangsa yang akan membawa bangsa ini lebih baik ke depannya.

Huruf p, yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara lain Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.

2. Pasal 4 ayat (1)

(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak : a. mendapat pengurangan masa pidana;

b. memperoleh asimilasi;

c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan

59


(23)

g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana anak, wajib diupayakan diversi, artinya diversi diupayakan salam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang meliputi : penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (Pasal 5 ayat 2 UU SPPA).60

Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian anatar korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak (Pasal 6 UU SPPA).

D. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan

Dalam menghadapi anak-anak yang telah melakukan tindak pidana, yang penting baginya bukanlah apakah anak-anak tersebut dapat dihukum atau tidak, melainkan tindakan yang bagaimanakah yang harus diambil untuk mendidik anak-anak seperti itu. Bagi pembentuk undang-undang, suatu pidana itu merupakan

60


(24)

sarana yang lebih sederhana untuk mendidik seorang anak daripada mengirimkan anak tersebut ke suatu lembaga pendidikan paksa, dimana anak itu perlu dididik secara sistematis untuk jangka waktu yang cukup lama, bukan saja memerlukan biaya yang sangat besar melainkan juga merupakan suatu pengekangan yang terlalu lama terhadap seorang anak.61

Undang-Undang Pemasyarakatan telah menyebutkan dalam Pasal 1 angka (1) bahwa lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Perbedaan penamaan ini tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan “anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak” karena dipengaruhi oleh gaya bahasa eufemismus. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakan ungkapan halus untuk menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan dan mensugestikan sesuatu yang tidak mengenakkan bagi anak.62

Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak, berhak untuk memperoleh pendidikan dan latihan baik formil maupun informil sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya. Hak-hak lainnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan terdapat dalam Pasal 14 kecuali huruf g seperti yang tertulis dalam Pasal 22 ayat (1), dengan uraian sebagai berikut :

1. Pasal 14 ayat (1)

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan berhak :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

61

Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta, 2010, hlm. 81

62


(25)

c. mendapat pendidikan dan pengajaran;

d. mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan;

f. mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya; g. mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);

j. mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. mendapat pembebasan bersyarat; l. mendapat cuti menjelang bebas; dan

m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan huruf a sampai dengan d dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa hak-hak yang dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai anak didik pemasyarakatan, dengan demikian pelaksanaannya dalam batas-batas yang diizinkan.

Huruf e, yang dimaksud dengan “menyampaikan keluhan” adalah apabila terhadap narapidana/anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh aparat LAPAS atau sesama penghuni LAPAS, yang bersangkutan dapat menyampaikan keluhannya kepada Kepala LAPAS.


(26)

Penjelasan huruf i dan j, diberikannya hak tersebut setelah narapidana/ anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Huruf k, yang dimaksud dengan “pembebasan bersyarat” adalah bebasnya narapidana/anak didik pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

Huruf l, yang dimaksud dengan “cuti menjelang bebas” adalah cuti yang diberikan setelah narapidana/anak didik pemasyarakatan menjalani dari 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan.

Huruf m, yang dimaksud dengan “hak-hak lain” adalah hak politik, hak memilih, dan hak keperdataan lainnya.

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan. Hukum bertujuan untuk mengayomi manusia, yang tidak hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja, juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri terus-menerus.

Kepastian hukum merupakan kehendak setiap orang, bagaimana hukum harus berlaku atau diterapkan dalam peristiwa konkret. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum.63

63


(1)

jaksa menuntut pidana di bawah 1 (satu) tahun. Terhadap tuntutan jaksa tersebut, hakim akan mempertimbangkan berdasarkan bukti dan saksi yang ada. Hakim akan memutuskan pidana penjara terhadap seorang anak seringan-ringannya adalah 4 (empat) bulan, dipotong masa tahanan 3 (tiga) bulan, jadi anak akan menjalankan pidana penjaranya tinggal 1 (satu) bulan lagi.57

Huruf h menyatakan anak “memperoleh keadilan di muka pengadilan

anak” sama halnya dengan proses penyelesaian kasus orang dewasa, setelah anak

menerima vonis atau putusan hakim ia masih memiliki upaya hukum untuk mencari keadilan, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. 58Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang dapat dilakukan, baik oleh terdakwa maupun penuntut umum terhadap putusan pengadilan melalui banding, kasasi, dan perlawanan, baik perlawanan terhadap putusan hakim yang bersifat penetapan maupun perlawanan terhadap putusan verstek. Upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan hukum.

Pada huruf k adanya advokasi sosial yang di dapat anak, advokasi sendiri adalah suatu tindakan yang ditujukan untuk mengubah kebijakan, kedudukan atas program dari suatu institusi. Dalam pemeriksaan terhadap anak dilakukan secara kekeluargaan, dalam arti hakim dan jaksa yang memeriksa tidak memakai toga dan pakaian dinas, hadirnya orang tua/wali dan pembimbing kemasyarakatan, dan tetap memberikan hak kepada terdakwa untuk didampingi penasihat hukum/ advokat.

Penjelasan huruf l, selama menjalani proses peradilan, anak berhak menikmati kehidupan pribadi, antara lain anak diperbolehkan membawa barang atau perlengkapan pribadinya, seperti mainan, dan jika anak ditahan atau

57 Ibid 58


(2)

ditempatkan di LPKA, anak berhak memiliki atau membawa selimut atau bantal, pakaian sendiri, diberikan tempat tidur yang terpisah.

Aksebilitas dalam huruf m, adalah derajat kemudahan dicapai oleh orang, terhadap suatu objek, pelayanan ataupun lingkungan. Pada anak cacat misalnya diberikan fasilitas seperti pengguna kursi roda.

Anak berhak memperoleh pendidikan, dalam huruf n menerangkan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya, mencakup pendidikan tata krama dan budi pekerti.59 Pendidikan bagi seorang anak tidak akan pernah berhenti walaupun kondisi anak yang tidak memungkinkan sebagai terdakwa, pendidikan anak harus tetap diupayakan semaksimal mungkin, mengingat bahwa anak adalah generasi penerus bangsa yang akan membawa bangsa ini lebih baik ke depannya.

Huruf p, yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” antara

lain Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan.

2. Pasal 4 ayat (1)

(1) Anak yang sedang menjalani masa pidana berhak : a. mendapat pengurangan masa pidana;

b. memperoleh asimilasi;

c. memperoleh cuti mengunjungi keluarga; d. memperoleh pembebasan bersyarat; e. memperoleh cuti menjelang bebas; f. memperoleh cuti bersyarat; dan

59


(3)

g. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini telah diatur diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Dalam sistem peradilan pidana anak, wajib diupayakan diversi, artinya diversi diupayakan salam Sistem Peradilan Pidana Anak, yang meliputi : penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (Pasal 5 ayat 2 UU SPPA).60

Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian anatar korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak (Pasal 6 UU SPPA).

D. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan

Dalam menghadapi anak-anak yang telah melakukan tindak pidana, yang penting baginya bukanlah apakah anak-anak tersebut dapat dihukum atau tidak, melainkan tindakan yang bagaimanakah yang harus diambil untuk mendidik anak-anak seperti itu. Bagi pembentuk undang-undang, suatu pidana itu merupakan

60


(4)

sarana yang lebih sederhana untuk mendidik seorang anak daripada mengirimkan anak tersebut ke suatu lembaga pendidikan paksa, dimana anak itu perlu dididik secara sistematis untuk jangka waktu yang cukup lama, bukan saja memerlukan biaya yang sangat besar melainkan juga merupakan suatu pengekangan yang terlalu lama terhadap seorang anak.61

Undang-Undang Pemasyarakatan telah menyebutkan dalam Pasal 1 angka (1) bahwa lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

Perbedaan penamaan ini tidak dijelaskan oleh undang-undang, namun dapat diperhatikan “anak didik pemasyarakatan” bukan “narapidana anak” karena dipengaruhi oleh gaya bahasa eufemismus. Dengan menggunakan istilah anak didik pemasyarakatan tersebut merupakan ungkapan halus untuk menggantikan istilah narapidana anak yang dirasakan menyinggung perasaan dan mensugestikan sesuatu yang tidak mengenakkan bagi anak.62

Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak, berhak untuk memperoleh pendidikan dan latihan baik formil maupun informil sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya. Hak-hak lainnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan terdapat dalam Pasal 14 kecuali huruf g seperti yang tertulis dalam Pasal 22 ayat (1), dengan uraian sebagai berikut :

1. Pasal 14 ayat (1)

Narapidana / Anak Didik Pemasyarakatan berhak :

a. melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;

61

Nandang Sambas, Pembaruan Sistem Pemidanaan Anak di Indonesia, Yogyakarta, 2010, hlm. 81

62


(5)

c. mendapat pendidikan dan pengajaran;

d. mendapat pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan;

f. mendapat bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya; g. mendapat upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan;

h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya;

i. mendapat pengurangan masa pidana (remisi);

j. mendapat kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;

k. mendapat pembebasan bersyarat; l. mendapat cuti menjelang bebas; dan

m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan huruf a sampai dengan d dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa hak-hak yang dimaksud dilaksanakan dengan memperhatikan status yang bersangkutan sebagai anak didik pemasyarakatan, dengan demikian pelaksanaannya dalam batas-batas yang diizinkan.

Huruf e, yang dimaksud dengan “menyampaikan keluhan” adalah apabila

terhadap narapidana/anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan terjadi pelanggaran hak asasi dan hak-hak lainnya yang timbul sehubungan dengan proses pembinaan, yang dilakukan oleh aparat LAPAS atau sesama penghuni LAPAS, yang bersangkutan dapat menyampaikan keluhannya kepada Kepala LAPAS.


(6)

Penjelasan huruf i dan j, diberikannya hak tersebut setelah narapidana/ anak didik pemasyarakatan yang bersangkutan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Huruf k, yang dimaksud dengan “pembebasan bersyarat” adalah bebasnya narapidana/anak didik pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan.

Huruf l, yang dimaksud dengan “cuti menjelang bebas” adalah cuti yang diberikan setelah narapidana/anak didik pemasyarakatan menjalani dari 2/3 (dua pertiga) masa pidananya dengan ketentuan harus berkelakuan baik dan jangka waktu cuti sama dengan remisi terakhir paling lama 6 (enam) bulan.

Huruf m, yang dimaksud dengan “hak-hak lain” adalah hak politik, hak

memilih, dan hak keperdataan lainnya.

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan. Hukum bertujuan untuk mengayomi manusia, yang tidak hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja, juga meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri terus-menerus.

Kepastian hukum merupakan kehendak setiap orang, bagaimana hukum harus berlaku atau diterapkan dalam peristiwa konkret. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dapat dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum.63

63


Dokumen yang terkait

Pemenuhan Hak atas Kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II A Tanjung Gusta Medan)

5 126 138

Pola Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Wanita Tanjung Gusta Medan

5 92 134

Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

1 45 92

Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

0 1 31

Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

0 0 2

Pemenuhan Hak atas Kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II A Tanjung Gusta Medan)

0 0 11

Pemenuhan Hak atas Kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II A Tanjung Gusta Medan)

0 0 1

Pemenuhan Hak atas Kesehatan Anak Didik Pemasyarakatan (Studi di Lembaga Pemasyarakatan Anak Klas II A Tanjung Gusta Medan)

0 0 43

Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

0 0 9

Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

0 0 1