Konstitusionalisme Ekonomi Liberalisme d. docx
Tugas Reading Report 3 Pembangunan Internasional
Nama
: Andi Achelya Febrianti
NPM
: 1406618801
Bahan Utama : Jayasuriya, Kanishka. “Economic constitutionalism, liberalism and the new welfare
governance.” Dalam Richard Robinson (ed.). The Neo-Liberal revolution: Forging the market state.
Basingstoke, UK & New York: Palgrave Macmillan.
“Konstitusionalisme Ekonomi, Liberalisme, dan New Welfare Governance”
Laporan baca ini akan kembali memaparkan pokok-pokok dari tulisan Kanishka Jayasuriya yang berjudul
“Economic constitutionalism, liberalism, and the new welfare governance”. Jayasuriya memberikan
pandangannya mengenai varian baru dari liberalisme yang juga menyertakan peran dari negara (atau
pemerintah) dalam pengaturan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.
Pada awal abad ke-21 model pasar neoliberal yang telah lama mendominasi perumusan kebijakan
ekonomi dan social menemui banyak tekanan yang datang tidak hanya dari gerakan anti-globalisasi tetapi juga
dari politik populis. ‘Tren’ tersebut juga disertai dengan meningkatnya perhatian terhadap kebijakan dan
program yang berfokus dalam mengurangi kemiskinan dan menjamin keamanan masyarakat. Tentunya,
perkembangan ini memperjelas sinyal mulai diperhatikannya dimensi social dalam pembangunan ekonomi
yang sebenarnya tidak hadir dalam era neoliberalisme hasil Konsensus Washington. Pertimbangan social dalam
pembangunan ekonomi itu penting untuk bisa memperbaiki kembali kekuatan pasar dan memastikan distribusi
dari pasar bebas itu menjamin kesejahteraan. Gagasan kesejahteraan ini kemudian disebut Jayasuriya sebagai
‘konstitusionalisme ekonomi’. Tatanan konstitusional ini tidak hanya terbatas pada praktik legal formal, tetapi
juga berkaitan dengan seperangkat hubungan negara-masyarakat yang lebih luas serta prinsip-prinsip
normative dalam tatanan politik. Pentingnya, reorientasi ke bentuk baru konstitusionalisme ini memberi
kesempatan pada upaya mencapai tatanan ekonomi dan pasar yang juga mendorong gagasan kesejahteraan
dalam market citizenship. Sehingga, kebijakan social masih memainkan peran krusial dalam bentuk-bentuk
konstitusionalisme baru, namun dirancang dan dibentuk sebagaimana untuk meningkatkan inklusi di dalam
pasar daripada hanya sekadar terus menerus menekankan gagasan redistribusi pendapatan.
Jayasuriya kemudian menjelaskan pemikiran yang menghubungkan antara market citizenship,
kesejahteraan, dan konstitusionalisme ekonomi. Pertama-tama ia mengacu pada tulisan Pinker yang
mengadvokasikan apa yang disebut sebagai model kesejahteraan ‘yang melihat tidak adanya ketidaksesuaian
fundamental antara peningkatan kesejahteraan social dan nilai-nilai ekonomi campuran dan tatanan social
pluralis.’ Dalam beberapa decade terakhir, perspektif integrasi social menjadi semakin berpengaruh dengan
semakin populernya istilah ‘eksklusi sosial’ dan ‘kapital sosial’. Sementara itu, pemikiran mengenai
kesejahteraan memang bukanlah sesuatu yang statis dan bukan juga seperangkat tradisi yang mengambang
bebas karena kesejahteraan sendiri tetaplah terikat pada proyeksi politik yang beragam dari kewarganegaraan
dan ketatanegaraan. Market citizenship kemudian membawa suatu model kesejahteraan yang mengubah
1
hubungan antara kesejahteraan dan pasar. Lebih dari pada itu, perlu dicatat bahwa konsep kewarganegaraan
juga seharusnya dipahami tidak terbatas pada status atau praktik legal saja, tetapi juga mencakup praktik
politik yang prosesnya dinamis. Sehingga, market citizenship merupakan ‘jantung’ dari tata kelola
kesejahteraan yang baru (new welfare governance). Market citizenship berbeda dengan social citizenship.
Apabila social citizenship diatur dalam negosiasi dan konflik kepentingan yang berasal dari dualism antara
pasar dan ruang social, maka Market citizenship merefleksikan pemahaman politik yang anti-pluralis yang
berupaya menempatkan kebijakan social di bawah dorongan pasar. Market citizenship memarjinalkan
hubungan social yang muncul dalam konflik karena dukungan pasar terhadap mode asosiasi social yang
berdasar pada akses—dan partisipasi di dalam—pasar. Oleh karena itu, gagasan seperti capital social dan
komunitas kemudian menggantikan kelas dan konflik social; dan lebih pentingnya lagi, hal ini mencerminkan
transformasi dalam Bahasa liberalisme menuju penanaman standar perilaku atau nilai tertentu daripada mediasi
dan negosiasi konflik social. Jayasuriya kemudian memaparkan poin penting yakni dua tradisi liberal awal:
Ordoliberal dan New Liberal atau Liberal Baru. Pada dasarnya, inti market citizenship baru dan tatakelola
kesejahteraan mencakup dua konsep kunci kesejahteraan liberal: satunya yakni pemikiran ‘inklusi’ seluruh
warganegara dalam mainstream ekonomi, dan lainnya yakni bahwa kemerdekaan ekonomi memperkenankan
individu-individu untuk berkompetisi lebih efektif dalam ekonomi pasar yang mengglobal. Baik itu
Ordoliberal maupun Liberal Baru, kesejahteraan dibingkai dalam pasar; ikatan antara kesejahteraan dan tatanan
pasar merupakan ciri penentu bentuk market citizenship dalam konstitusionalisme ekonomi. Keduanya juga
memiliki kesamaan dalam berupaya menciptakan subyek liberal yang memiliki kapasitas dan kepentingan
yang dibentuk oleh ekonomi produktif. Bagi ordoliberal, subyek liberal diciptakan melaui institusi social yang
akan meningkatkan kapasitas individu serta menyediakan dasar untuk tatanan pasar yang terlegitimasi.
Sementara itu, bagi Liberalisme Baru, kepemilikan property merupakan cara menciptakan individu yang selfreliant yang memiliki kekuatan di masyarakat. Dalam bagian penutup tulisannya, Jayasuriya menyebutkan
bahwa neoliberalisme tidak dapat dikurangi perannya sebagai preskripsi kebijakan liberalisme dan deregulasi
ekonomi. Tetapi pandangan terhadap peran negara perlu digeser sehingga perlu dikembangkan pemikiran
untuk memperkenankan intervensi negara dalam pelaksanaan kebijakan sehingga implementasinya menjadi
inklusif dan tetap kompatibel dengan pasar.
Berdasarkan tulisan di atas, penulis berkesimpulan bahwa ‘varian’ lain dari liberalisme yang dipaparkan
Jayasuriya perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan kebijakan social-ekonomi di suatu negara. Pentingnya,
pemahaman liberal untuk pushing back the state perlu digeser, yakni dengan merangkul gagasan bahwa peran
negara juga penting dalam membangun institusi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan individu-individu
yang menjadi subyek liberal untuk bertumbuh dalam perekonomian. Dengan begitu, tata kelola pemerintahan
dapat menjamin kesejahteraan individu-individunya.
2
Nama
: Andi Achelya Febrianti
NPM
: 1406618801
Bahan Utama : Jayasuriya, Kanishka. “Economic constitutionalism, liberalism and the new welfare
governance.” Dalam Richard Robinson (ed.). The Neo-Liberal revolution: Forging the market state.
Basingstoke, UK & New York: Palgrave Macmillan.
“Konstitusionalisme Ekonomi, Liberalisme, dan New Welfare Governance”
Laporan baca ini akan kembali memaparkan pokok-pokok dari tulisan Kanishka Jayasuriya yang berjudul
“Economic constitutionalism, liberalism, and the new welfare governance”. Jayasuriya memberikan
pandangannya mengenai varian baru dari liberalisme yang juga menyertakan peran dari negara (atau
pemerintah) dalam pengaturan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat.
Pada awal abad ke-21 model pasar neoliberal yang telah lama mendominasi perumusan kebijakan
ekonomi dan social menemui banyak tekanan yang datang tidak hanya dari gerakan anti-globalisasi tetapi juga
dari politik populis. ‘Tren’ tersebut juga disertai dengan meningkatnya perhatian terhadap kebijakan dan
program yang berfokus dalam mengurangi kemiskinan dan menjamin keamanan masyarakat. Tentunya,
perkembangan ini memperjelas sinyal mulai diperhatikannya dimensi social dalam pembangunan ekonomi
yang sebenarnya tidak hadir dalam era neoliberalisme hasil Konsensus Washington. Pertimbangan social dalam
pembangunan ekonomi itu penting untuk bisa memperbaiki kembali kekuatan pasar dan memastikan distribusi
dari pasar bebas itu menjamin kesejahteraan. Gagasan kesejahteraan ini kemudian disebut Jayasuriya sebagai
‘konstitusionalisme ekonomi’. Tatanan konstitusional ini tidak hanya terbatas pada praktik legal formal, tetapi
juga berkaitan dengan seperangkat hubungan negara-masyarakat yang lebih luas serta prinsip-prinsip
normative dalam tatanan politik. Pentingnya, reorientasi ke bentuk baru konstitusionalisme ini memberi
kesempatan pada upaya mencapai tatanan ekonomi dan pasar yang juga mendorong gagasan kesejahteraan
dalam market citizenship. Sehingga, kebijakan social masih memainkan peran krusial dalam bentuk-bentuk
konstitusionalisme baru, namun dirancang dan dibentuk sebagaimana untuk meningkatkan inklusi di dalam
pasar daripada hanya sekadar terus menerus menekankan gagasan redistribusi pendapatan.
Jayasuriya kemudian menjelaskan pemikiran yang menghubungkan antara market citizenship,
kesejahteraan, dan konstitusionalisme ekonomi. Pertama-tama ia mengacu pada tulisan Pinker yang
mengadvokasikan apa yang disebut sebagai model kesejahteraan ‘yang melihat tidak adanya ketidaksesuaian
fundamental antara peningkatan kesejahteraan social dan nilai-nilai ekonomi campuran dan tatanan social
pluralis.’ Dalam beberapa decade terakhir, perspektif integrasi social menjadi semakin berpengaruh dengan
semakin populernya istilah ‘eksklusi sosial’ dan ‘kapital sosial’. Sementara itu, pemikiran mengenai
kesejahteraan memang bukanlah sesuatu yang statis dan bukan juga seperangkat tradisi yang mengambang
bebas karena kesejahteraan sendiri tetaplah terikat pada proyeksi politik yang beragam dari kewarganegaraan
dan ketatanegaraan. Market citizenship kemudian membawa suatu model kesejahteraan yang mengubah
1
hubungan antara kesejahteraan dan pasar. Lebih dari pada itu, perlu dicatat bahwa konsep kewarganegaraan
juga seharusnya dipahami tidak terbatas pada status atau praktik legal saja, tetapi juga mencakup praktik
politik yang prosesnya dinamis. Sehingga, market citizenship merupakan ‘jantung’ dari tata kelola
kesejahteraan yang baru (new welfare governance). Market citizenship berbeda dengan social citizenship.
Apabila social citizenship diatur dalam negosiasi dan konflik kepentingan yang berasal dari dualism antara
pasar dan ruang social, maka Market citizenship merefleksikan pemahaman politik yang anti-pluralis yang
berupaya menempatkan kebijakan social di bawah dorongan pasar. Market citizenship memarjinalkan
hubungan social yang muncul dalam konflik karena dukungan pasar terhadap mode asosiasi social yang
berdasar pada akses—dan partisipasi di dalam—pasar. Oleh karena itu, gagasan seperti capital social dan
komunitas kemudian menggantikan kelas dan konflik social; dan lebih pentingnya lagi, hal ini mencerminkan
transformasi dalam Bahasa liberalisme menuju penanaman standar perilaku atau nilai tertentu daripada mediasi
dan negosiasi konflik social. Jayasuriya kemudian memaparkan poin penting yakni dua tradisi liberal awal:
Ordoliberal dan New Liberal atau Liberal Baru. Pada dasarnya, inti market citizenship baru dan tatakelola
kesejahteraan mencakup dua konsep kunci kesejahteraan liberal: satunya yakni pemikiran ‘inklusi’ seluruh
warganegara dalam mainstream ekonomi, dan lainnya yakni bahwa kemerdekaan ekonomi memperkenankan
individu-individu untuk berkompetisi lebih efektif dalam ekonomi pasar yang mengglobal. Baik itu
Ordoliberal maupun Liberal Baru, kesejahteraan dibingkai dalam pasar; ikatan antara kesejahteraan dan tatanan
pasar merupakan ciri penentu bentuk market citizenship dalam konstitusionalisme ekonomi. Keduanya juga
memiliki kesamaan dalam berupaya menciptakan subyek liberal yang memiliki kapasitas dan kepentingan
yang dibentuk oleh ekonomi produktif. Bagi ordoliberal, subyek liberal diciptakan melaui institusi social yang
akan meningkatkan kapasitas individu serta menyediakan dasar untuk tatanan pasar yang terlegitimasi.
Sementara itu, bagi Liberalisme Baru, kepemilikan property merupakan cara menciptakan individu yang selfreliant yang memiliki kekuatan di masyarakat. Dalam bagian penutup tulisannya, Jayasuriya menyebutkan
bahwa neoliberalisme tidak dapat dikurangi perannya sebagai preskripsi kebijakan liberalisme dan deregulasi
ekonomi. Tetapi pandangan terhadap peran negara perlu digeser sehingga perlu dikembangkan pemikiran
untuk memperkenankan intervensi negara dalam pelaksanaan kebijakan sehingga implementasinya menjadi
inklusif dan tetap kompatibel dengan pasar.
Berdasarkan tulisan di atas, penulis berkesimpulan bahwa ‘varian’ lain dari liberalisme yang dipaparkan
Jayasuriya perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan kebijakan social-ekonomi di suatu negara. Pentingnya,
pemahaman liberal untuk pushing back the state perlu digeser, yakni dengan merangkul gagasan bahwa peran
negara juga penting dalam membangun institusi yang baik dan sesuai dengan kebutuhan individu-individu
yang menjadi subyek liberal untuk bertumbuh dalam perekonomian. Dengan begitu, tata kelola pemerintahan
dapat menjamin kesejahteraan individu-individunya.
2