profil lembaga negara rumpun legislatif

DAFTAR ISI

hal
Pengantar Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan
Kelembagaan dan Kemasyarakatan ……………………………………

i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………

iii

BAB I
PENDAHULUAN …….………………………………………………

1

1. Latar Belakang ……………………………………………………..
2. Tujuan Penulisan …………………………………………………..

1

3

BAB II
TEORI-TEORI LEMBAGA PERWAKILAN ……………………..

5

1. Varian Pemikiran Tentang Perwakilan Politik ………………….

7

a. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Bukunya “Leviathan” …

7

b. John Locke (1632-1704) Dalam Bukunya ’’Two Treatise On
Government’’…………………………………………………..

8


c. Montesquieu (1689-1755) Dalam Bukunya “Del L’esprit Des
Lois’’……………………………………………………………

9

d. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Dalam Bukunya “The Social
Contract” ……………………………………………….

10

2. Fungsi Lembaga Perwakilan ……………………………………...

10

a. Representatives as agents (Perwakilan Politik) ………………..

11

b. Direct patronage (Pelindungan langsung) …………………….


12

c. Statutes (The making of laws/Pembuatan UU) ………………..

12

d. Oversight (Pengawasan) ……………………………………….

12

e. Advice and consent: special power of legislators ……………...

12

f. Debate (Dialog/argumentasi) …………………………………..

13

i


g. Direct committee government (Pendelegasian Komisi) ………..

13

h. The Legislative veto …………………………………………….

13

3. Tinjauan Sistem Bikameral ………………………………………..

13

4. Perwakilan Politik Di Indonesia ..…………………………………

16

BAB II
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT ……………………..

21


1. Sejarah Singkat ………………………………………………….....

21

2. Dasar Hukum ……………………………………………………....

23

3. Susunan dan Kedudukan ………………………………………….

24

4. Tugas dan Kewenangan ……………………………………………

25

5. Keanggotaan ………………………………………………………..

26


a. Fraksi ………………………………………………………….....

27

b. Kelompok Anggota ……………………………………………...

27

6. Alat Kelengkapan …………………………………………………..

27

a. Pimpinan Majelis ………………………………………………..

27

b. Panitia ad hoc Majelis …………………………………………...

28


7. Ruang Lingkup dan Mekanisme Pelaksanaan Tugas dan
Wewenang …………………………………………………………..

29

a. Mekanisme Perubahan UUD NRI Tahun 1945 .............................

29

b. Mekanisme impeachment/pemberhentian Presiden ……………..

29

c. Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Hasil Pemilihan
Umum……………….…………………………………………..

31

d. Pelantikan Wakil Presiden Menjadi Presiden …………………...


32

e. Pemilihan dan Pelantikan Wakil Presiden …………………….

33

f. Pemilihan dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden ………...

34

ii

8. Hak-Hak Anggota MPR …………………………………………...

37

9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan ……………………….

38


10. Kesekretariatan Jenderal MPR …………………………………...

40

BAB IV
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT …………………………………

41

1. Sejarah Singkat ……………………………………………………..

41

2. Dasar Hukum ………………………………………………………

43

3. Kedudukan dan Susunan ………………………………………….


44

4. Fungsi dan Kewenangan Lembaga ………………………………..

44

5. Keanggotaan ……………………………………………………….

47

6. Alat Kelengkapan ………………………………………………….

51

a. Pimpinan DPR …………………………………………….........

51

b. Badan Musyawarah (Bamus) ……………………………………


53

c. Komisi ……………………………………………....................

54

d. Komisi I …………………………………………….....................

56

e. Komisi II ……………………………………………...................

57

f. Komisi III ……………………………………………..................

57

g. Komisi IV ……………………………………………..................

58

h. Komisi V ……………………………………………..................

58

i. Komisi VI ……………………………………………..................

58

j. Komisi VII …………………………………………….................

59

k. Komisi VIII ……………………………………………...............

60

l. Komisi IX ……………………………………………..................

60

m. Komisi X ……………………………………………...................

60

n. Komisi XI ……………………………………………..................

61

iii

o. Badan Legislasi DPR RI ………………………………………...

61

p. Badan Anggaran ……………………………………………........

63

q. Badan Urusan Rumah Tangga …………………………………...

64

r. Badan Kerja Sama Antar Parlemen ...............................................

65

s. Badan Kehormatan DPR RI .....................................................

66

t. Badan Akuntabilitas Keuangan Negara .....................................

67

u. Panitia Khusus DPR RI …………………………………………

68

7. Mekanisme Penyusunan Peraturan Perundang-undangan ..........

68

8. Mekanisme Penetapan Anggaran dan Pendapatan Belanja
Negara …………………………………………...............................

70

9. Mekanisme Pengawasan DPR RI …………………………………

74

10. Hak-Hak DPR RI …………………………………………………

76

11. Persidangan dan Pengambilan Keputusan ....................................

81

12. Kesekretariatan Jenderal ...........................................................

85

BAB V
DEWAN PERWAKILAN DAERAH …………………………………

89

1. Sejarah Singkat …………………………………………………….

89

2. Dasar Hukum ………………………………………………………

90

3. Susunan dan Kedudukan …………………………………………

91

4. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Lembaga ………………………

91

5. Keanggotaan ………………………………………………………..

93

6. Alat Kelengkapan ………………………………………………….

95

a. Pimpinan ……………………………………………………….

95

b. Panitia Musyawarah (Panmus) ………………………………

97

Komite-komite …………………………………………………

98

d. Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) ...........................

102

Panitia Urusan Rumah Tangga (PURT) ..................................

103

c.
e.

iv

f.

Panitia Khusus (Pansus) ..........................................................

104

g. Badan Kehormatan (BK) ...........................................................

105

h. Panitia Akuntabilitas Publik (PAP) ..........................................

106

i.

Panitia Hubungan Antar-Lembaga (PHAL) ...........................

107

j.

Pimpinan Kelompok DPD di Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) .............................................................................

108

7. Ruang Lingkup Lembaga .................................................................

108

8. Hak-Hak Anggota .............................................................................

112

9. Persidangan dan Pengambilan Keputusan .....................................

114

10. Kesekretariatan Jenderal .................................................................

123

BAB VI
PENUTUP......................................................................................

v

125

BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Derasnya dorongan demokratisasi yang melanda Indonesia di
penghujung milenium ke-2 tahun masehi, ternyata telah mampu
menghadirkan perubahan yang signifikan di segala bidang. Tidak lepas dari
itu, sejarah juga mencatat bahwa sistem ketatanegaraan kita telah
mengalami perubahan secara fundamental, hal ini terpantul dari hasil
amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 yang telah dilakukan sebanyak 4
kali. Amandemen tersebut, menegaskan setidaknya pada tiga hal, pertama,
adanya dukungan yang kuat terhadap cita-cita negara hukum dan
demokrasi; kedua, adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia yang
dinyatakan secara eksplisit dan rinci; dan ketiga, adanya perubahan struktur
ketatanegaraan yang terlihat pada lembaga-lembaga pelaksana cabang
kekuasaan negara, sehingga cenderung berdiri di atas kepentingan rakyat
dan betul-betul mencerminkan kedaulatannya (Zoelva, 2007). Dengan
demikian, nilai-nilai kedaulatan rakyat -yang juga sebagai nilai demokrasidapat lebih dibumikan dan dilaksanakan secara nyata.
Seiring dengan itu, adanya perubahan lembaga-lembaga perwakilan
rakyat sebagai cermin pelaksanaan kedaulatan rakyat, merupakan
keniscayaan yang kemudian hadir. Tidak seperti masa sebelumnya, dalam
hal kelembagaan negara ini, setidaknya terdapat beberapa perubahan
mendasar pada rumpun kelembagaan legislatif yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat RI (DPR)
dan Dewan Perwakilan Daerah RI (DPD).
Salah satu perubahan yang mencolok tersebut misalnya terlihat
dalam kekuasaan membentuk undang-undang. Pada saat ini kekuasaan
membentuk undang-undang berada di tangan DPR (pasal 20 ayat 1), dan
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang. Tidak seperti
sebelumnya, kekuasaan pembentukan undang-undang berada di tangan
Presiden sedangkan DPR hanya memberi persetujuan (pasal 5 ayat 1).

1

Proses dan mekanisme pembuatan undang-undang antara DPR dan
Presiden yang diatur dalam pasal 20 ayat 2, 3, 4 dan 5, menyatakan setiap
rancangan undang-undang harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk
mendapat persetujuan bersama (ayat 2), jika rancangan itu tidak mendapat
persetujuan bersama, maka rancangan undang-undang itu tidak dapat
diajukan lagi pada masa persidangan itu (ayat 3). Presiden mengesahkan
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama, (ayat 4) dan
apabila Presiden dalam waktu tiga puluh hari setelah rancangan undangundang itu disetujui bersama, undang-undang itu sah menjadi undangundang dan wajib diundangkan. Disamping perubahan tersebut, terdapat
pula beberapa penguatan lain yang dilakukan untuk mempertegas tiga
fungsi DPR, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan.
Konstruksi UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen IV, juga
mengamanatkan lembaga baru dalam rumpun legislatif, yaitu DPD RI.
Kehadiran DPD mengandung makna bahwa sekarang ada lembaga yang
mewakili kepentingan lintas golongan atau komunitas yang sarat dengan
pemahaman akan budaya dan karakteristik daerah. Para wakil daerah
bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah (antara
lain yang berbasis ideologi atau parpol), melainkan figur-figur yang bisa
mewakili seluruh elemen yang ada di daerah. Dengan sendirinya, para
wakil daerah baru bisa dikatakan “sungguh-sungguh berada di atas
kepentingan golongan” apabila yang bersangkutan benar-benar memahami
apa yang menjadi muatan daerah yang diwakilinya (komunitas berikut
budaya dan ruhnya, geografisnya, kandungan buminya, dan sebagainya),
dan sekaligus harus terbebas dari semua sekat ideologis.
DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil
daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam
fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang
bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari
berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama,
pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang
mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.
Selain kedua lembaga tersebut, Indonesia juga memiliki ciri yang
khas dalam sistem perwakilan yaitu dengan adanya lembaga MPR.
Keanggotaan MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD

2

menunjukan bahwa MPR dipandang sebagai lembaga perwakilan rakyat
karena keanggotaannya dipilih dalam pemilihan umum. Unsur anggota
DPR untuk mencerminkan prinsip demokrasi politik sedangkan unsur
anggota DPD untuk mencerminkan prinsip keterwakilan daerah agar
kepentingan daerah tidak terabaikan. MPR memang tidak lagi berkedudukan
sebagai lembaga tertinggi, karena prinsip kedaulatan rakyat tidak lagi diwujudkan
dalam kelembagaan MPR tapi oleh UUD Negara RI Tahun 1945 [Pasal 1 ayat
(2)]. Namun demikian adanya perubahan posisi MPR dari lembaga tertinggi

menjadi lembaga tinggi ini membuat semua lembaga negara sama
kedudukannya, fungsi dan kewenangannya sudah jelas seperti dalam UUD.
Kerangka yang dibangun antarlembaga adalah checks and balances.
Berdasarkan hal-hal tersebutlah, maka tulisan ini akan melihat lebih
jauh kelembagaan negara dalam rumpun legislatif, baik dari sisi normatif
maupun praktek yang telah dijalankan dalam penyelenggaraan
kewenangannya.
2. Tujuan Penulisan
Penulisan buku ini dilakukan untuk mencapai hal-hal sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran teori-teori lembaga perwakilan.
2. Mendiskripsikan tentang sejarah singkat lembaga-lembaga negara
rumpun legislatif.
3. Memberikan gambaran tentang keberadaan lembaga-lembaga negara
4. Menjelaskan tentang fungsi dan kewenangan yang menonjol dari
lembaga legislatif seperti pemakzulan presiden, perumusan undangundang, penetapan anggaran belanja negara, dan pengawasan atas
pelaksanaan pemerintahan.

3

4

BAB II
TEORI-TEORI LEMBAGA PERWAKILAN
Sejarah direct democracy (perwakilan langsung) telah mulai di
perbincangkan dalam kehidupan non-politik sejak Yunani kuno, namum
pembahasan dalam bentuk konsep telah dimulai pada awal abad ke 14. Thomas
Hobbes pada tahun 1965 menerbitkan Leviathan untuk membahas masalah
perwakilan politik secara filisofis dan pada abad ke 18 studi yang berpengaruh
sampai dewasa ini diantaranya antara lain karena teori kemandirian wakil yang
di kemukan oleh Edmun Burke tahun 1779. Karya Burke (dimana wakil bebas
bertindak dan menentukan sikapnya terhadap wakil) dianggap sebagai
permulaan studi kasik terhadap perwakilan politik, disusul oleh sejumlah
peneliti mulai dari John Stuart Mill (1861) sampai dengan Karl Loewenstein
(1922). Studi yang lebih mendalam dilakukan oleh Alfred de Grazia (1968) dan
Pitkin (1957) sudah lebih mendalam tentang perwakilan politik. (Sanit, 1985).
Perwakilan politik sebagai sebuah praktek telah lama berlangsung
dalam kehidupan bernegara jauh sebelum teori-teori perwakilan itu lahir,
perwakilan politik telah lahir dan di laksanakan oleh beberapa negara dan
bangsa sejak zaman dahulu mulai dari zaman Yunani kuno, Romawi dan juga
pada Zaman Islam ketika Nabi Muhammad Masih hidup. Pada zaman Yunani
kuno masyarakat hidup dalam suatu negara yang di sebut dengan polis, dimana
konsep perwakilan pada saat itu dilaksanakan secara langsung, karena jumlah
masyarakat yang relatif sedikit dan wilayah yang tidak terlalu luas. Begitu juga
pada zaman romawi kuno.
Pada zaman Nabi Muhammad konsep perwakilan telah lama di kenal
dengan sebutan Ulil Amri (pemimpin yang menjadi wakil), dimana pada saat
itu telah ada yang sifatnya perwakilan dalam merumuskan berbagai persoalan
bangsa. Dimana para para Ulil Amri dipilih dari kabilah-kabilah yang ada di
Kota Madinah dan sekitarnya. Konsep perwakilan yang ada pada saat itu
adalah baik zaman yunani kuno dan pada zaman rasulullah masih dilaksanakan
dengan demokrasi langsung (perwakilan langsung), dimana dipilih secara
lansung pada zaman yunani kuno dan pada zaman islam dipilih berdasarkan
musyawarah siapa diantara mereka yang paling layak dalam mewakili dari para
kaumnya. Fungsi perwakilan pun pada saat dulu masih terbatas mengingat
kekuasaan raja yang besar dan belum kompleknya permasalahan negara seperti

5

saat ini. Sementara dalam konteks perwakilan pada zaman rasulullah hanya
membicarakan hal-hal yang sifatnya sangat dalam konteks duniawi seperti
peperangan, perekonomian negara yang kesemua itu dilaksanakan dan
diputuskan jika ketentuannya tidak ada dalam Al Qur’an dan Sunnah Rosul.
Indirect Democracy (Perwakilan Tidak Langsung). Pandangan
Rousseau yang berkeinginan untuk berlangsung demokrasi langsung
sebagaimana pelaksanaannya pada zaman Yunani kuno. Kenyataanya sulit
untuk dipertahankan lagi. Faktor-Faktor seperti luasnya suatu wilayah negara,
populasi penduduk yang sangat cepat, makin sulit dan rumitnya masalah politik
dan kenegaraan, serta kemajuan ilmu dan teknologi merupakan persoalan yang
menjadi kendala untuk melaksanakan demokrasi langsung pada era globalisasi
sekarang.
Sebagai ganti dari gagasan Rousseau maka lahirlah demokrasi tidak
langsung (indirect democracy), yang disalurkan melalui lembaga perwakilan
atau yang dikenal dengan parlemen. Kelahiran parlemen ini pada dasarnya
bukan karena gagasan dan cita-cita demokrasi tapi karena kelicikan sistem
feodal.
Pada abad pertengahan yang berkuasa di Inggris adalah rajaraja/bangsawan yang sangat feodalistis (monarchi feudal). Dalam kerajaan
yang berbentuk feodal, kekuatan berada pada kaum feodal yang berprofesi
sebagai tuan tanah yang kaya (pengusaha). Mereka tidak hanya kaya,
mempunyai tanah yang luas tapi mereka juga menguasai orang-orang yang ada
dalam lingkaran kekuasaan (kerajaan). Apabila pada suatu saat menginginkan
raja mengingkan penambahan tentara dan pajak maka para raja akan
mengirimkan utusan untuk menyampaikan keinginannya dan maksud pada tuan
tanah (Lord). Lama kelamaan praktek semacam ini menurut raja tidak layak
sehingga timbul pemikiran untuk memanggil mereka ke pusat pemerintahan
sehingga kalau raja menginginkan sesuatu makan raja tinggal memanggil
mereka. Sebagai konsekwensinya raja harus membentuk suatu badan/lembaga
yang terdiri dari pada lord, dan kemudian ditambah dengan para pendeta.
Tempat ini menjadi tempat meminta nasehat raja dalam rangka masalahmalasalah kenegaraan terutama yang berhubungan dengan pajak. Secara pelan
tapi pasti lembaga ini menjadi permanen yang kemudian disebut “Curia
Regis” dan kemudian menjadi House of Lords seperti sekarang (Boboy, 1994).
Kelahiran House of Lords adalah merupakan pertanda kelahiran
lembaga perwakilan pertama di era modern. House of Lord dalam perjalannya
6

mempunyai kekuasaan yang sangat besar, maka raja berkehendak untuk
mengurangi kekuasaan dan hak-hak mereka, akibatnya timbul pertikaian antara
raja dan kaum ningrat (lords), dengan bantuan rakyat dan kaum borjuis kepada
kaum ningrat maka raja mengalah, akibatnya hak-hak raja dibatasi. Karena
rakyat dan kaum menengah yang menjadi korban manakala raja bikin
kebijakan (penaikan pajak) maka rakyat minta agar rakyat mempunyai wakil
dan diminta pendapat dan keterangannya sebelum sebuah kebijakan dibuat.
Karena yang pada awalnya kalangan yang duduk dalam House of Lord
didukung oleh para rakyat dan kaum menengah yang akhirnya kaum ningrat
mendapatkan kemenagan, maka sejak saat itu pula kedudukan rakyat dan kaum
menengah menjadi kuat. Sebagai bagian dari perwujudan agar terbentuk
perwakilan rakyat maka lahirlah apa yang disebut Magnum Consilium, yang
terdiri dari para wakil rakyat yang akhirnya disebut House of Commons sampai
sekarang. (Boboy,1994)
Perkembangan selajutnya adalah bahwa House of Commons
mempunyai kekuatan yang semakin bertambah. Mereka dapat membebaskan
para menteri (perdana menteri) yang mereka tidak sukai walaupun tidak
berbuat kejahatan untuk turun dari kekuasaan, kekuasaan yang demikian
dilakukan dengan mengajukan “mosi tidak percaya” yang dapat mengakibatkan
jatuh dan mundurnya sebuat kabinet dan itu berlangsung sampai sekarang.
Dalam konstitusi Inggris yang labih berkuasa adalah House of Lord yang
dipilih melalui pemilihan umum sedangkan House of Lord adalah kumpulan
para lord yang terdiri dari para orang-orang yang ditunjuk dan turun-temurun.
Ruang Lingkup Studi Perwakilan Politik Studi perwakilan politik
terpusat kepada lima pokok masalah perwakilan politik yaitu: konsepsi,
idiologi, pemilihan umum dan lembaga perwakilan (Sanit,1985).
1. Varian Pemikiran Tentang Perwakilan Politik
a. Thomas Hobbes (1588-1679) Dalam Bukunya “Leviathan”
Kehidupan manusia tidak terlepas dari suatu keterikatan sosial,
karena kehidupan manusia senantiasa berlandaskan kepada
kepentingan. Perjanjian (keterikatan) sosial itu mengakibatkan
manusia-manusia bersangkutan menyerahkan segenap kekuatan ddan
kekuasaannya masing-masing kepada sebuah majelis, agar
kepentingannya tersalurkan bagai sebuah ’’kanal’’. Terbentuknya

7

majelis (dewan perwakilan) juga merupakan bentuk sejati dari
penyerahan hak dan kekuasaan manusia untuk memerintah dirinya
sendiri dalam sebuah komunitas bersama (politik).
Namun demikian, majelis pun harus dikenakan syarat yaitu ia
harus menyerakan hak kekuasaannya pada manusia-manusia yang telah
memandatkannya, apabila terjaadi perusakan moral majelis. Kekuasaan
majelis bersifat “absolut” karena keterikatan (perjanjian) sosial yang
dibangun didasarkan atas penyerahan hak yang dominan dari manusiamanusia kepada majelis dan bukan sebaliknya. Karenanya, majelis (dan
juga penguasa politik yang dimandatkan oleh perjanjian) dapat
menggunakan segala cara, termasuk kekerasan untuk menjaga
ketenteraman dan ketertiban. Penguasa harus menjadi “leviathan”
(binatang buas).
Idealnya, kekuasaan oleh satu majelis lebih baik dijalankan oleh
satu orang (center of power), karena jalan satu-satunya untuk
mendirikan kekuasaan ialah dengan menyerahkan kekuasaan dan
kekusaan seluruhnya kepada satu orang. Sejatinya dewan rakyat/majelis
(perwakilan) dipegang oleh penguasa negara, sehingga aspirasi
kepentingan rakyat akan cepat terselesaikan daripada menunggu kerja
majelis yang penuh dengan perbantahan.fokusnya majelsis berada
dalam “heredity power.”
b. John Locke (1632-1704) Dalam Bukunya ’’Two Treatise On
Government’’.
Manusia-manusia pastilah memiliki berbagai macam kepentingan
dan aspirasi kehidupan yang perlu untuk disampaikan, termasuk untuk
melindungi dirinya sendiri. Dalam jumlah yang besar, maka tidak akan
mungkin menyampaikan aspirasi tersebut secara satu persatu. Manusiamanusia membentuk “masyarakat’’ (society) yang dibentuk
berdasarkan perjanjian bersama. Kekuasaan “masyarakat” adalah
supreme of power.
Manusia-manusia menyerahkan kekuasaan kepada “masyarakat,”
namun manusia-manusia bisa menarik perjanjian yang disepakati
apabila terjadi pelanggaran. Jadi kekuasaan tertinggi masih terletak

8

pada rakyat secara keseluruhan, karenanya dibuatlah undangundang/hukum untuk megawasi tugas “masyarakat.”
“Masyarakat” terikat oleh ketentuan-ketentuan yang melarannya
berbuat sewenang-wengan dan tidak boleh menyerahkan hak legislatif
yang diperolehnya dari rakyat keseluruhan kepada pihak lain.
Kekuasaan politik yang diwakilkan rakyat kepada suprame of power
(masyrakat) adalah berdasarkan kepada keprcayaan (trust),
basisutamanya adalah kepercayaan rakyat terhadap penguasa untuk
melindungi rakyat.Kemungkinan munculnya absolutisme akan dapat
dihindari apabila ’’masyarakat’’ dan konstitusi membuat batasan
kewenangan yang dimiliki oleh penguasan politik, karena pada
hakekatnya kekuasaan adalah suatu perjanjian sosial.
c. Montesquieu (1689-1755) Dalam Bukunya “Del L’esprit Des Lois’’
Kekuasaan
yang
menampung,membicarakan
dan
memperjuangkan keterwakilan kepentingan rakyat banyak serta
merumuskan peraturan adalah “legislatif’. Mutlak perlu dibentuk
legislatif sebagai perwakilan rakyat agar pembicaraan yang
menyangkut kepentingan masyarakat banyak akan bisa dipenuhi, tanpa
perwakilan, maka yang terjadi adalah suara minoritas (minority sounds)
hal yang mudah ditaklukkan oleh mayoritas kekuasaan.
Dewan rakyat (legislatif) merupakan mediator antara rakyat dan
penguasa, menjadi komunikator dan agregator aspirasi dan kepentingan
rakyat banyak. Realitanya, masyarakat terdiri atas kelas utama yaitu
rakyat pada umumnya dan kaum bangsawan. Karenanya dalam
lembaga perwakilan harus dibagi dalam dua kamar (two chambers)
yaitu rakyat umum dan kaum bangsawan. Masing-masing mempunyai
hak veto yang dibuat tiap kamar.
Prinsipnya,masing-masing kekuasaan politik haruslah dibuat
terpisah (trias politica) dan masing-masing memiliki wewenang untuk
saling mengawasi.

9

d. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Dalam Bukunya “The Social
Contract”
Pada dasarnya, manusia tidak dapat hidup sendiri secara
perseorangan, ia tidak mampu untuk mengatur hidupnya sendiri di
tengah komunitasnya,maka diperlukan legislator. Legislator adalah
tokoh masyarakat yang diamanatkan oleh rakyat perorangan untuk
membuat perlindungan politik terhadapnya. Negara merupakan produk
dari perjanjian sosial (kontrak sosial) antara rakyat dan penguasa/dewan
rakyat. Rakyat bisa menarik mandatnya, apabila dirasakan
penguasa/dewan rakyat telah menyimpang dari kewenangannya.
Legislator ini bertindak sebagai penyampai aspirasi/kepentingan
dari rakyat kepada sang penguasa. Begitu beratnya tugas legislator,
maka ia adalah sesorang yang “mahatahu” dan pembentuk dasar hukum
untuk negara yang bersangkutan. Kekuasaan legislatif (lembaganya
para legislator) harus senantiasa berada ditangan rakyat secara
keseluruhan. Legislatif terbentuk atas dasar dua prinsip, yaitu moral dan
semangat kolektif. Lembaga perwakilan ini menjadi satu-satunya yang
paling handal dalam mewakili aspirasi kepentingan politik rakyat
bukannya eksekutif. Eksekutif hanyalah sekedar pegawai-pegawai biasa
saja yang melayani kepentingan rakyat.
2. Fungsi Lembaga Perwakilan
Konsep perwakilan politik tidak dapat terpisahkan dengan konsep
badan perwakilan rakyat. Lembaga ini dibangun oleh para wakil rakyat
dengan fungsi utama merealisasikan kekuasaan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
Terdapat dua peran utama dari Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu:
a. Badan legislatif merupakan lembaga pembuat undang-undang (a law
making institution). Artinya DPR berfungsi membuat UU dan
kebijakan bagi rakyat . Dalam kapasitas ini semua anggota DPR
diharapkan untuk membuat UU atau kebijakan yang sesuai dengan
kebutuhan rakyat.

10

b. Badan legislatif adalah merupakan badan perwakilan rakyat (a
representative
assembly),
yang
dipilih
untuk
membantu
menghubungkan antara konstituen dan pemerintahan nasional.
Dua peran ganda tersebut melekat dalam masing-masing anggota
Dewan. Oleh karenannya setiap anggota dewan dituntut untuk mampu
menyeimbangkan antara fungsi legislatif (perundang-undangan) dan fungsi
perwakilan. Artinya disatu sisi dia harus meujudkan tujuan nasional
sementara pada sisi yang lain dituntut untuk mewakili konstituennya dari
daerah pemilihan dia. Dua fungsi ini sama-sama berat dan pentingnya.
Hanya anggota DPR yang memliki integritas dan kemampuan yang baik
yang mampu melaksanaakan keduanya.
Napitupulu (2005) mengutif pendapat Burns (1989) menyebutkan,
secara teori bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat setidaknya memiliki 6
(enam) fungsi:
a. Representasi (Perwakilan)
b. Lawmaking (Pembuatan UU)
c. Consensus building (Membangun consensus)
d. Overseeing (Pengawasan)
e. Policy Clarification (Klarifikasi kebijakan)
f. Legitimizing (Memberikan legitimasi)
Teoritisi lain, Calvin Mackenzie (1986) menyebutkan bahwa lembaga
perwakilan rakyat memiliki tiga fungsi seperti:
a. Legislation (Pembuatan UU)
b. Representasion (Perwakilan)
c. Administrative oversight (Pengawasan)
Theodore J. Lowi dan Benjamin Ginsberg (1990) membagi beberapa
fungsi Lembaga Perwakilan Rakyat sebagai:
a. Representatives as agents (Perwakilan Politik)
Hal ini dimaksudkan bahwa gagasan wakil sebagai agen yang
ditunjukkan melalui peranan anggota legislative dalam hal
memperhatikan konstituennya berdasarkan karakteristik sosiologis.
Dalam hal ini anggota dewan senantisa siap melayani dan membantu
11

konstituennya dalam berbagai permasalahan yg dihadapi. Oleh
karenanya ia harus siap mendengar dan menampung keluh kesah
konstituennya.
b. Direct patronage (Pelindungan langsung)
Dalam hal ini anggota dewan dapat memberikan perlindungan yang
dirasakan langsung oleh konstituennya. Artinya anggota dewan dapat
bertindak mengintervensi pemerintah atas nama konstituennya apabila
dihadapkan pada kepentingan masyarakat, atau adanya kebijakan
pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat konstituennya.
c. Statutes (The making of laws/Pembuatan UU)
Lembaga perwakilan rakyat memiliki fungsi merumuskan dan membuat
UU, baik atas usul pemerintah maupun atas inisiatif dari lembaga
perwakilan sendiri.
d. Oversight (Pengawasan)
Menjalankan fungsi pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dijalankan agar tidak bertentangan dengan garis-garis
poltik yang telah ditetapkan oleh DPR. Dalam menjalankan fungsi
pengawasan ini, anggota dean diberikan hak untuk bertanya, melakukan
penyeleidikan atau investigasi atas kebiajakan pemerintah yg dianggap
terjadi penyimpangan. Fungsi pengawasan ini dilakuan dengan cara
kuestioner atau melalui bertanya langsung kepada konstituennya atas
kebijakan pemerintah tersebut.
e. Advice and consent: special power of legislators
Merupakan kekuasaan tambahan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan
yang ditetapkan dalam konstitusi. Dalam hal ini Lembaga perwakilan
rakyat berperan untuk memberikan saran kepada pemerintah (presiden)
dalam hal menetapkan pejabat-pejabat tinggi negara seperti duta besar
dan hakim, misalnya. Memberikan saran dalam hal perjanjian kerjasama
dengan negara lain atau menyatakan suatu keadaan (kondisi) tertentu
dari negara.

12

f. Debate (Dialog/argumentasi)
Dalam hal ini Lembaga Perwakilan Rakyat memiliki fungsi untuk
bertanya secara detail dan menguji keseriusan eksekutif adalam hal
poses legislasi (merumuskan/menetapkan UU atau kebijakan) yang
diajukan oleh pihak eksekutif.
g. Direct committee government (Pendelegasian Komisi)
Fungsi ini mengacu kepada praktek pendelegasian kekuasaan legislatif
tertentu dari Lembaga Perwakilan Rakyat kepada salah satu dari komisikomisinya. Misalnya, setiap anggota fraksi dalam komisi, ia dapat
menyetujui atau tidak menyetujui atas sebuah proyek yang dilaksanakan
oleh pemerintah, karena ia telah ditugaskan dalam komisi tersebut.
Pelaksanaan fungsi ini dilaksanakan tidak harus kembali bertanya
kepada Lembaga Perwakilan Rakyat (pimpinan lembaga) untuk otorisasi
(Kewenangan) maupun apropriasi (persetujuan).
h. The Legislative veto
Fungsi ini merupakan salah satu cara dari legislatif dalam membuat UU
secara tidak langsung. Dalam hal ini legislatif memberikan kepada
presiden kekuasaan untuk mereorganisasi badan atau departemen
pemerintah. Badan legislatif dapat memveto (memutuskan) usulan
presiden untuk dijadikan UU (peraturan) manakala dewan beranggapan
bahwa usulan presiden tersebut penting dan menyangkut kepentingan
rakyat.
Berdasarkan keseluruhan uraian di atas nampak bahwa banyak sekali
fungsi yang dimiliki oleh lembaga perwakilan rakyat. Tentunya
keberlakuan fungsi lembaga perwakilan rakyat ini akan berbeda antara
negara satu dengan yang lainnya, dan ini sangat dipengaruhi oleh sistem
politik yang dipergunakan.
3. Tinjauan Sistem Bikameral
Sistem bikameral adalah wujud institusional dari lembaga perwakilan
atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (Majelis). Majelis
yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah
penduduk secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan

13

dikenal juga sebagai House of Representatives. Majelis yang anggotanya
dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan jumlah penduduk), disebut
sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagian besar negara
disebut sebagai Senate. Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS
di tahun 1950, Indonesia selalu menganut sistem unikameral, maka posisi
dan konsep keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak
mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para
elit politik dan kaum intelektual di Indonesia.
Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung, yang
pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk
diterapkan di Indonesia, demikian juga dengan DPD. Banyak yang
mempertanyakan apakah lembaga perwakilan seperti DPD cocok untuk
negara kesatuan seperti Indonesia, bukankah sistem seperti itu hanya cocok
untuk negara federal? Ada juga yang merasa khawatir bahwa proses
pembuatan undang-undang bisa menjadi terhambat kalau harus melibatkan
dua lembaga perwakilan. Karena selama ini Indonesia tidak menganut
sistem bikameral tentu jawabannya tidak bisa diperoleh dari pengalaman
sendiri. Jawaban yang paling mendekati dan obyektif adalah dengan
mempelajari bagaimana selama ini sistem itu diterapkan di negara-negara
lain.
Sebagai referensi, dapat melihat hasil studi yang dirangkum oleh
IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance). Diindikasikan
bahwa dari 54 Negara yang dianggap sebagai negara demokrasi, sebanyak
32 negara memilih bikameral, sedangkan 22 negara memilih unikameral.
Berarti di sebagian besar negara yang menganut paham demokrasi, sistem
bikameral dianggap lebih cocok. Dari 32 negara yang memiliki sistem
bikameral tersebut, 20 diantaranya adalah negara kesatuan. Maka berarti
bahwa sistem bikameral tidak hanya berlaku di negara yang menganut
paham federal. Negara demokrasi dengan jumlah penduduk besar
umumnya memiliki dua majelis (kecuali Bangladesh). Semua negara
demokrasi yang memiliki wilayah luas juga memiliki dua majelis (kecuali
Mozambique).
Selanjutnya mari melihat pada spektrum negara-negara ASEAN.
Tercatat dari 10 negara anggota ASEAN, diantaranya 7 negara menganut
sistem demokrasi dan 3 negara (Brunei, Myanmar dan Vietnam) menganut
paham yang berbeda. Dari 7 negara yang menganut sistem demokrasi

14

tersebut, 5 negara menerapkan sistem parlemen bikameral, yaitu masingmasing Malaysia, Philipina, Kamboja, Thailand (sebelum kudeta militer),
dan terakhir Indonesia. Sistem bikameralisme Indonesia memang
mengalami perdebatan panjang selama proses sidang-sidang MPR lalu,
namun fakta menunjukkan bahwa telah lahir lembaga legislatif kamar
kedua di Indonesia yaitu DPD yang mengindikasikan bahwa Indonesia
merupakan satu diantara lima negara dengan sistem bikameral tersebut.
Dalam “manajemen politik” seperti juga dalam bidang administrasi
publik maupun bisnis, ada faktor rentang kendali yang perlu
dipertimbangkan (span of control). Demikian pula dengan negara sebagai
suatu unit manajemen negara, maka Indonesia sebagai negara demokrasi
baru, yang besar penduduknya dan besar wilayahnya adalah yang terakhir
memilih sistem bikameral.
Di sebagian besar negara para anggota mewakili negara bagian,
provinsi atau wilayah perwakilan dengan jumlah yang sama. Di sebagian
negara lagi jumlahnya proporsional terhadap jumlah penduduk, sedangkan
di sebagian lainnya merupakan kombinasi dari kedua kriteria tersebut.
Namun ada pula yang dipilih secara nasional (tidak mewakili daerah), atau
diangkat atas dasar pertimbangan lain. Keanggotaan majelis tinggi dibatasi
dalam periode tertentu, ada yang sama dengan periode DPR namun banyak
pula yang berbeda.
Sistem bikameral juga mencerminkan prinsip checks and balances
bukan hanya antar cabang-cabang kekuasaan negara (legislatif, eksekutif,
yudikatif) tapi juga di dalam cabang legislatif itu sendiri. Dengan demikian
maka sistem bikameral dapat lebih mencegah terjadinya tirani mayoritas
maupun tirani minoritas (Patterson and Mughan: 1999).
Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki majelis tinggi, sistem
bikameral pada umumnya dibagi dalam dua kategori: kuat dan lemah.
Dalam hal majelis tinggi mempunyai kewenangan legislasi dan
pengawasan yang sama atau hampir sama dengan majelis rendah, maka
sistem bikameral di negara tersebut disebut kuat. Dan dalam hal
kewenangan yang dimiliki tersebut kurang kuat, atau sama sekali tidak ada
maka termasuk kelompok yang lemah. Dari 32 negara demokrasi yang
menganut sistem bikameral, antara yang kuat dan yang lemah terbagi sama
masing-masing 16 negara (belum termasuk Indonesia).

15

Pada umumnya, legitimasi dari majelis tinggi menentukan kuat
lemahnya sistem bikameral di suatu negara. Legitimasi ditentukan oleh
keterlibatan warga negara dalam pemilihan anggota majelis. Majelis yang
langsung dipilih oleh rakyat mempunyai legitimasi yang tertinggi, makin
tidak langsung, makin kurang legitimasinya. Ada hubungan sistemik antara
tingkat legitimasi dengan kewenangan formal yang diberikan kepada
majelis tinggi. Makin tinggi legitimasinya, makin kuat kewenangannya,
contohnya seperti Amerika Serikat, Swiss, Italia, Filipina (Mastias dan
Grange:1987). Dengan konsep tersebut, maka Indonesia merupakan sebuah
“anomali” karena dengan definisi legitimasi di atas, lembaga DPD
mempunyai legitimasi yang sangat tinggi, yang seharusnya memiliki
kewenangan formal yang tinggi pula, tetapi dalam kenyataan kewenangan
formalnya sangat rendah. Dengan demikian bisa dilihat bahwa Indonesia
merupakan satu-satunya negara dengan sistem bikameral yang anggotaanggotanya dipilih langsung, dan karenanya memiliki legitimasi tinggi,
tetapi kewenangannya amat rendah.
Masalah yang seringkali ditampilkan sebagai penolakan terhadap
sistem bikameral adalah efisiensi dalam proses legislasi; karena harus
melalui dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan
mengganggu atau menghambat kelancaran pembuatan undang-undang.
Sejak awal memang banyak yang sudah mempersoalkan manfaat yang
dapat diperoleh dari adanya dua sistem seperti tersebut di atas dibanding
dengan “ongkos yang harus dibayar” dalam bentuk kecepatan proses
pembuatan undang-undang. Untuk itu negara-negara yang menganut sistem
bikameral dengan caranya masing-masing telah berupaya untuk mengatasi
masalah tersebut antara lain dengan membentuk conference committee
untuk menyelesaikan perbedaan yang ada antara dua majelis tersebut,
sehingga dewasa ini masalah tersebut tidak lagi menjadi faktor penghambat
4. Perwakilan Politik Di Indonesia
Indonesia adalah negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan
di dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam sistem perwakilan ini
masing-masing anggota masyarakat mempunyai hak untuk berpartisipasi
dalam setiap perumusan kebijakan publik. Bentuk dari adanya keterlibatan
masyarakat dalam perumusan kebijakan tersebut dilakukan dengan cara
rakyat menentukan sendiri wakil-wakilnya yang menjadi kepercayaan

16

untuk menyalurkan aspirasi rakyat dalam pemerintahan melalui pemilihan
umum (pemilu).
Keterlibatan rakyat dalam perumusan kebijakan dapat direalisasikan
melalui wakil-wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk di
tingkat Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Oleh
karenanya, lembaga legislative (DPR dan DPRD) merupakan perangkat
kekuasaan pemerintah yang sangat berperan dalam memenuhi berbagai
tuntutan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Peran penting dari lembaga
legislative ini ditunjukkan dari tugas yang dipunyainya, antara lain
menetapkan kebijakan publik. Bentuk kebijakan yang ditetapkan oleh DPR
adalah Undang-undang dan oleh DPRD adalah Peraturan Daerah (Perda)
dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Setiap UU atau Peraturan daerah yang ditetapkan harus mencerminkan
kehendak rakyat. Kepentingan rakyat yang diwakilinya dapat direalisasikan
dengan baik bila setiap anggota legislatif mengetahui aspirasi rakyat yang
diwakilinya. Aspirasi rakyat yang masuk ditampung untuk kemudian
dirumuskan dalam kebijakan yang dibuatnya. Dalam merumuskan
kebijakan tersebut perlu adanya aktivitas dan kreativitas yang tinggi dari
setiap anggota komponen di dalam DPR atau DPRD. Dengan kata lain,
partisipasi dari setiap anggota diperlukan dalam perumusan kebijakan
daerah.
Dalam hal fungsi legislatif yang dimiliki oleh DPR dan DPRD,
menunjukkan bahwa dirinya sebagai badan perwakilan rakyat dituntut
untuk senantiasa mampu menampung aspirasi dan kepentingan masyarakat
yang diwakilinya dengan cara memasukannya ke dalam UU, Peraturan
Daerah dan APBD yang dihasilkannya. Memuaskan kehendak masyarakat
atau kemauan umum adalah esensi dari fungsi anggota serta badan legislatif
selaku wakil rakyat. Anggota DPR atau DPRD perlu pula
mempertimbangkan berbagai kehendak atau opini yang ada, baik yang
datang dari perorangan, maupun dari berbagai kesatuan individu seperti
kekuatan politik, kelompok kepentingan, eksekutif dan sebagainya. Dengan
demikian, para wakil rakyat dituntut untuk menyelaraskan berbagai
kehendak atau opini tersebut dalam proses perumusan dan pemutusan
kebijakan.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya, baik DPR mapun DPRD
mempunyai hak-hak: hak anggaran, hak mengadakan perubahan, hak
17

mengajukan pernyataan pendapat, hak prakarsa, dan hak penyelidikan.
Melihat pada beratnya tugas dalam melaksanakan fungsi legislatif, DPR
dan DPRD harus benar-benar mampu berperan dalam menggunakan hakhaknya secara tepat, melaksanakan tugas dan kewajibannya secara efektif
dan menempatkan kedudukannya secara proporsional. Hal tersebut hanya
dapat terlaksana dengan baik apabila setiap anggota badan legislatif ini
bukan saja piawai dalam berpolitik, melainkan juga menguasai
pengetahuan yang cukup dalam hal konsepsi dan teknis penyelenggaraan
pemerintahan, mekanisme kerja kelegislatifan, kebijakan publik, teknis
pengawasan, penyusunan anggaran dan sebagainya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa seorang anggota lembaga legislatif harus memenuhi
kemampuan ideal agar dapat melaksanakan peran dan fungsinya dengan
baik.
Selain DPR, dalam sistem perwakilan di Indonesia, juga mengenal
adanya Dewan Perwakilan Daerah. secara teoritis keberadaan DPD untuk
membangun mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances)
dalam lembaga legislatif itu sendiri, disamping antar cabang kekuasaan
negara (legislatif, eksekutif, yudikatif). Disamping itu juga untuk
menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah dalam lembaga
legislatif. Secara politis, sesuai dengan konsensus politik bangsa Indonesia,
maka keberadaan DPD akan memperkuat ikatan daerah-daerah dalam
wadah NKRI; semakin meneguhkan persatuan kebangsaan seluruh daerahdaerah; akan meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan
kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional serta
mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah
secara berkeadilan dan berkesinambungan.
Keberadaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat (dan)
daerah memiliki legitimasi yang kuat seperti halnya memberikan implikasi
harapan yang kuat pula dari rakyat kepada lembaga DPD karena anggota
DPD secara perorangan dan secara langsung dipilih oleh partai politik.
Jelasnya DPR dan DPD tersebut seperti terlihat pada gambar berikut:

18

Keanggotaan DPD untuk pertama kalinya dipilih pada pemilu tahun
2004 yang lalu yaitu berjumlah 128 orang yang terdiri atas 4 orang dari 32
provinsi. Sulawesi Barat sebagai provinsi termuda belum terwakili. DPD
dipimpin oleh seorang ketua dan dua orang wakil ketua yang
mencerminkan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia. Pada pemilu
2009 lalu, keanggotaan DPD telah diwakili oleh 33 Provinsi dengan empat
orang anggota di setiap provinsi sehingga jumlah anggota DPD akan
berjumlah 132 orang pada masa keanggotaan 2009-2014.
DPD memiliki kekhasan karena anggotanya merupakan wakil-wakil
daerah dari setiap provinsi. Tidak ada pengelompokan anggota (semacam
fraksi di DPR), anggota DPD merupakan orang-orang independen yang
bukan berasal dari partai politik atau politisi profesional tetapi berasal dari
berbagai latar belakang misalnya sebagai pengacara, guru, ulama,
pengusaha, tokoh Ormas atau LSM, serta ada beberapa anggota DPD yang
mantan menteri, gubernur, bupati/walikota, dan lain-lain.
Sebagaimana lazimnya sebuah lembaga perwakilan, pembagian tugas
dan kerja anggota DPD diatur dalam Peraturan Tata Tertib. Pembagian
tugas di DPD tercermin dari alat-alat kelengkapan yang dimiliki, yakni:
Empat Panitia Ad Hoc yang ruang lingkup tugasnya mencakup bidang
19

legislasi, pertimbangan, dan pengawasan. Seluruh anggota, kecuali
Pimpinan DPD, wajib bergabung ke dalam salah satu Panitia Ad Hoc.
Kelahiran DPD telah membangkitkan harapan masyarakat daerah
dimana kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah
dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional. Disamping itu
kebijakan-kebijakan publik baik di tingkat nasional maupun daerah tidak
akan merugikan dan akan dapat senantiasa sejalan dengan kepentingan
daerah dan kepentingan rakyat di seluruh tanah air. Kepentingan daerah
merupakan bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan kepentingan
nasional secara serasi merangkum kepentingan daerah. Kepentingan daerah
dan kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak dipertentangkan.
Berbagai lembaga yang termasuk dalam perwakilan politik tersebut,
akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab-bab selanjutnya.

20

BAB III
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT

1. Sejarah Singkat
Tepat pada ulang tahun Kaisar Hirohito, 29 April 1945, Pemerintah
Kolonial Jepang di Indonesia membentuk Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan yang dalam Bahasa
Jepang-nya Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai itu merupakan sebuah badan yang
dibentuk untuk merealisasikan janji Jepang memberi kemerdekaan kepada
Indonesia. Namun karena BPUPKI terlalu cepat ingin merealisasikan
kemerdekaan Indonesia maka badan itu dibubarkan oleh saudara tua itu dan
kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI),
dalam Bahasa Jepang-nya Dokuritzu Zyunbi Iinkai, pada 7 Agustus 1945.
Di tengah kontroversi jadi tidaknya realisasi Jepang untuk memberi
kemerdekaan Indonesia, yang perlu dicatat dari peran PPKI ini adalah pada
tanggal 18 Agustus 1945 badan itu mampu mengesahkan Undang-Undang
Dasar 1945. Karena dibuat dalam waktu yang sangat sempit dan tergesagesa maka Presiden Soekarno mengatakan UUD 1945 yang disahkan sehari
setelah Indonesia merdeka itu bukan sebagai undang-undang dasar yang
sifatnya permanen. Sebagai mantan Ketua PPKI tentu Soekarno
mengetahui dan menyebut UUD 1945 itu adalah undang-undang dasar
sementara, yang dibuat secara kilat. Untuk itu ia mengatakan bila
keadaannya sudah memungkinkan, maka akan dibentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang bertugas menyusun undang-undang dasar
yang lebih lengkap dan sempurna.
Namun karena situasi dalam negeri dan masih adanya keinginan
Belanda untuk menguasai Indonesia maka keinginan Soekarno untuk
menyempurnakan UUD 1945 tidak tercapai, bahkan undang-undang dasar
yang dijadikan pedoman bernegara oleh Bangsa Indonesia silih berganti
sesuai dengan kepentingan penguasa dan situasi politik yang berkembang
pada jamannya.

21

Sebagaimana diketahui bersama bahwa pada tanggal 29 Agustus 1945
sesaat setelah proklamasi kemerdekaan, dibentuk Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP). Sesuai ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945, KNIP bertugas membantu Presiden dalam
menjalankan kekuasaan negara, sebelum terbentuknya lembaga-lembaga
negara, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar.
Dalam perkembangan sejarahnya, pada pertengahan Oktober 1945,
KNIP kemudian berubah menjadi semacam parlemen, tempat Perdana
Menteri dan anggota kabinet bertanggung jawab. Hal ini, sejalan dengan
perubahan sistem pemerintahan dari sistem Presidensial ke sistem
Parlementer. Sejarah mencatat, bahwa KNIP adalah cikal bakal (embrio)
dari badan perwakilan di Indonesia, yang oleh Undang-Undang Dasar
1945 diwujudkan ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Keberadaan badan-badan perwakilan, DPR dan MPR ketika itu, tidak
terlepas dari keinginan para pendiri negara bahwa negara yang didirikan
adalah negara yang demokratis. MPR yang anggota-anggotanya terdiri
atas anggota DPR, di tambah dengan utusan dari daerah-daerah dan
golongan-golongan, dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat. Atas
dasar itulah MPR melaksanakan kedaulatan rakyat.
Mengingat fungsi dan kewenangan MPR yang tinggi seperti
mengubah Undang-Undang Dasar, mengangkat dan memberhentikan
Presiden/Wakil Presiden, maka para Ahli Hukum Tata Negara menyebut
MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pandangan ini kemudian
dikukuhkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/1973 tentang
Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan
atau Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Meskipun demikian, sejarah
menunjukkan bahwa negara Indonesia baru membentuk MPR yang
bersifat sementara setelah Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959,
sedangkan MPR yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum baru
terlaksana pada tahun 1971.
Sejak terbentuknya, baik MPRS maupun MPR telah memberikan
sumbangan yang besar bagi pembangunan bangsa dan negara. Sebagai
sebuah lembaga, MPR juga tidak luput dari pasang surut seiring dengan
perjalanan sistem ketata- negaraan. Di masa lalu, MPR begitu kuat
posisinya, begitu besar tugas dan ke- wenangannya bahkan disebut
22

sebagai Lembaga Tertinggi Negara, sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Bergulirnya reformasi yang menghasilkan reformasi konstitusi telah
mendorong para pengambil keputusan untuk tidak menempatkan MPR
dalam posisi sebagai lembaga tertinggi. Setelah reformasi, MPR menjadi
lembaga negara yang sejajar kedudukannya dengan lembaga-lembaga
negara lainnya, bukan lagi penjelmaan se