Jurnal depik no.1 vol 1 2012
Volume 1, Nomor 1
April 2012
ISSN: 2089-7790
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
ISSN: 2089-7790
Penerbit
: Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala
Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Ketua Pelaksana Koordinatorat Kelautan dan Perikanan)
Ketua Dewan Editor
: Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc
(Manajemen SDP dan Budidaya Perairan)
Editor Pelaksana
: Ichsan Setiawan, M.Si (Oseanografi)
Sekretaris Editor
: Drs. Muhammad, M.Si (Hydrodinamika)
Anggota Dewan Editor :
Prof. Dr. Adlim, M.Sc
(Kimia Lingkungan)
Prof. Dr. Syamsul Rizal
(Fisika Perairan)
Dr. Musri Musman, M.Sc (Kimia Perairan)
Dr. M. Ali Sarong, M.Si
(Ekologi Perairan)
Dr. Indra, M.Si
(Manejemen Pesisir & Kelautan)
Dr. Edi Rudi, M.Si
(Biologi Laut)
Dr. Abrar Muslim, M.Eng (Kimia Lingkungan)
Farok Afero, Ph.D
(Biometrik dan Sosial Ekonomi Perikanan)
Teknisi IT/Web Master
Sirkulasi dan Dokumentasi
: Achmad Muhadjier
: Muhammad Saumi, A.Md
Ikan Depik, Rasbora tawarensis
Alamat Redaksi:
Koordinatorat Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala
Kopelma Darussalam – Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia.
Email : [email protected] Website : depikjurnal.unsyiah.ac.id
Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084
DEPIK
JURNAL ILMU-ILMU PERAIRAN, PESISIR DAN PERIKANAN
VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2012
ISSN: 2089-7790
DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang
tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh…………………
Mulfizar, Zainal A. Muchlisin, Irma Dewiyanti
1-9
Analisa ekonomi budidaya kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan
kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam keramba jaring apung di
Indonesia ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Farok Afero
10-21
Pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan
bandeng, Chanos-chanos………………………………………………………………………………………………………………………………
Sofyatuddin Karina, Rizwan, Khairunnisak
22-25
Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air
(Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan
ikan lele lokal (Clarias batrachus)……………………………………………………………………………………………
Musri Musman, Sofyatuddin Karina, Kavinta Melanie
26-30
Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala
Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh …………………………………………………………………
Syahrul Purnawan, Ichsan Setiawan, Marwantim
Komunitas ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara………………………
Edi Rudi, Nur Fadli
Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh
Besar……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Nur Fadli, Ichsan Setiawan, Nurul Fadhilah
31-36
37-44
45-52
Kajian pendahuluan analisis peramalan thunderstorm untuk penyusunan
indeks dasar adaptasi kegiatan pertambakan (Suatu tinjauan meteorologi
di Jakarta)……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Yopi Ilhamsyah
53-60
Pengaruh ENSO (El Niño and Southern Oscillation) terhadap transpor
massa air laut di Selat Malaka ………………………………………………………………………………………………………
Muhammad, Syamsul Rizal, Junaidi M. Affan
61-67
Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di
beberapa lokasi dalam Provinsi Aceh: suatu kajian awal…………………………………………
Z. A. Muchlisin, Muhammad Nazir, Musri Musman
68-77
Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam keramba jaring apung (KJA)
berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air
di perairan pantai
timur Bangka Tengah………………………………………………………………………………………………………………………………………
Junaiadi M. Affan
78-85
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Mulfizar2, Zainal A. Muchlisin1*, Irma Dewiyanti1
1
Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas
Syiah Kuala, Banda aceh 2311; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan
Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda aceh 2311. *Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. The study of the lenght weight relationships and condition factors of
the brackiswater fishes found in Kuala Gigeng was conducted. The objective of
the present study was to evaluate the growth pattens and condition factor of the
belanak (Mugil cephalus), seriding (Ambassis koopsii) and petek (Leiognathus
fasciatus). The sampling was conducted for eight time on July 2011 by using
gillnet and castnet. The results showed that the belanak (M. cephalus) and
seriding (A. koopsii) have allometric negative growth patten, while the petek
(L. fasciatus) has an allometric positive. In addition, the relative weight
condition factor’s was higher than 100. And the Fulton’s condition factor were
not different significantly among fishes. Indicating the condition of the Kuala
Gigeng is relatively in good condition and support fish growth as well.
Keywords: Allometric, Fulton’s condition factor, fish relative weight,
morphology
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang hubungan panjang-berat dan faktor
kondisi ikan yang ditemukan di muara Kuala Gigeng. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi pola pertumbuhan dan faktor kondisi dari ikan belanak (Mugil
cephalus), seriding (Ambassis koopsii) dan petek (Leiognathus fasciatus).
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak delapan kali pada bulan Juli 2011 dengan
menggunakan jaring insang dan jala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan
belanak (M. cephalus) dan seriding (A. koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. sementara petek (L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan
allometrik positif. Selain itu, faktor kondisi berat relatif lebih tinggi dari
100. Dan faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda nyata. Kondisi
muara Kuala Gigeng mengindikasikan secara relatif dalam keadaan baik dan
mendukung pertumbuhan ikan.
Kata kunci : Allometrik, faktor kondisi Fulton, berat relatif ikan, morfologi
Pendahuluan
Perairan Kuala Gigieng terletak di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh,
perairan ini memiliki potensi perikanan antara lain perikanan laut, tambak dan
sungai. Beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis hidup di perairan ini dan
sering ditangkap oleh nelayan setempat antara lain ikan belanak (Mugil
cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus
fasciatus). Ikan-ikan ini diperjual-belikan oleh nelayan setempat dan merupakan
ikan-ikan yang dominan tertangkap di Kuala Gigeng. Namun demikian penelitian
tentang aspek biologi ikan-ikan tersebut belum pernah dikaji, termasuk aspek
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi di perairan esuaria yang terdapat di
Aceh. Informasi
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan penting
1
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
diketahui dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan ini. Hal ini
mengingat intensitas aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat
dan ancaman gangguan terhadap kondisi perairan baik yang disebabkan oleh alam
misalnya pemanasan global maupun aktifitas manusia misalnya penangkapan ikan
secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Dalam biologi perikanan, hubungan panjang–berat ikan merupakan salah satu
informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya
perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan
yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul & Hongskul dalam
Merta, 1993). Lebih lanjut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa
pengukuran panjang–berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan
panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu
sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi
fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang–berat juga
dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness,
yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan
kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu
(Everhart & Youngs, 1981).
Kajian hubungan panjang-berat ikan telah banyak dilakukan oleh para
peneliti, diantaranya; ikan layang (Decapterus ruselli) dari perairan sekitar
Teluk Likupang, Sulawesi Utara (Manik, 2009), ikan sebelah (Psettodes erumel) di
perairan Jepara (Redjeki, 2003), beberapa jenis ikan asli Danau Sentani, Papua
(Umar & Lismining, 2006), ikan kerapu (Serranidae) diperairan Berau, Kalimantan
Timur (Nuraini, 2007). Salah satu kajian tentang hubungan panjang-berat ikan
yang hidup di perairan Aceh yang pernah dilaporkan adalah dua jenis ikan air
tawar yang hidup di Danau Laut Tawar Rasbora tawarensis dan Poropuntius
tawarensis (Muchlisin, 2010a). Namun kajian terhadap spesies ikan yang lain
terutama yang hidup di perairan estuaria dan laut Aceh belum pernah dilaporkan,
oleh karena itu penelitian ini penting sebagai upaya penyedia data awal tentang
kondisi ikan di perairan estuaria khususnya di Kuala Gigeng.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang-berat dan
faktor kondisi ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii)
dan
ikan
petek
(Leiognathus
fasciatus)
sehingga
dapat
diketehui
pola
pertumbuhannya masing-masing.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Kuala Gigeng yang terletak
diantara tiga desa yaitu: Gampong Lambada Lhok, Gampong Lamnga dan Gampong Baro
Kabupaten Aceh Besar, pada bulan Juli 2011 (Gambar 1). Penelitian ini
menggunakan metode survei, penentuan titik sampling dilakukan secara acak.
Pengambilan sampel ikan menggunakan jaring insangdengan ukuran mata jaring 1
inchi, 2 inchi dan 3 inchi dan jala ukuran mata jaring 1 inchi.
Penentuan ikan target
Penentuan ikan target dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil
survey pendahuluan yang telah dilakukan, yaitu dengan mengamati hasil tangkapan
yang dominan oleh nelayan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan belanak
(Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus
fasciatus) adalah jenis-jenis ikan yang dominan dan sering tertangkap di Kuala
Gigeng.
Sampling ikan
Penangkapan ikan sampel yang dilakukan dengan menggunakan jaring insang yang
berjumlah 6 unit dengan rincian masing-masing; 2 unit dengan ukuran mata jaring
1 inchi, 2 unit dengan ukuran mata jaring 2 inchi dan 2 unit dengan ukuran mata
jaring 3 inchi. Jaring diletakkan tegak lurus dengan arah arus. Selain itu
penangkapan ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala, penangkapan ikan dengan
menggunakan jala dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan yang sesuai dan
menduga keberadaan ikan. Penangkapan ikan dilakukan selama 8 jam, yaitu dari jam
08:00 s/d 16:00 WIB.
Pengontrolan hasil tangkapan dilakukan setiap 6 jam,
2
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
ikan-ikan yang tertangkap dihitung jumlah untuk masing-masing jenisnya, kemudian
dicuci bersih dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup (styrofoam box) yang berisi
es (4oC). Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di analisis lebih lanjut.
Pengukuran panjang-berat ikan
Pengukuran panjang dan berat ikan dilakukan pada hari yang sama ikan
diperoleh. Pada pengukuran panjang ikan alat yang digunakan adalah jangka sorong
digital (tingkat ketelitian 0.01 mm). Sedangkan pada pengukuran berat total
ikan, alat yang digunakan adalah timbangan digital dalam satuan gram dengan
ketelitian 0.1 gram.
Gambar
1. Peta Lokasi Penelitian (sumber: www.googleearth.com)
Analisis data panjang - berat
Model allometric linear (LAM) di gunakan untuk menghitung parameter a dan
b melalui pengukuran perubahan berat dan panjang. Koreksi bias pada perubahan
berat rata-rata dari unit logaritma digunakan untuk memprediksi berat pada
parameter panjang sesuai dengan persamaan allometric berikut, berdasarkan
DeRobertis & William (2008).
W = a Lb
Dimana W adalah berat ikan (g), L adalah panjang total ikan (mm), a dan b adalah
parameter.
Analisis data faktor kondisi
Berat relatif (Wr) dan koefesien (K) faktor kondisi di gunakan untuk
mengevaluasi faktor kondisi dari setiap individu. Berat relatif (Wr) di tentukan
berdasarkan persamaan Rypel & Richter (2008) sebagai berikut:
Wr = (W/Ws) x 100
Wr adalah berat relatif, W berat tiap-tiap ikan, dan Ws adalah berat standar
yang diprediksi dari sampel yang sama karena dihitung dari gabungan regresi
panjang-berat melalui jarak antar spesies :
Ws = a Lb
Koefesien kondisi Fulton (K) ditentukan berdasarkan Okgerman (2005) dengan rumus
sebagai berikut:
K= WL-3 x 100
dimana K adalah faktor kondisi, W adalah berat (g), L adalah panjang (mm) dan -3
adalah koefesien panjang untuk memastikan bahwa nilai K cenderung bernilai 1.
3
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Hasil dan Pembahasan
Hubungan panjang-berat
Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 295 ekor, terdiri
dari 98 ekor ikan belanak (Mugil cephalus), 100 ekor ikan petek (Leiognathus
fasciatus) dan 97 ekor ikan seriding (Ambasis koopsii). Ikan belanak
(M.cephalus) memiliki panjang total berkisar antara 68.23 mm sampai 150.84 mm
(rata-rata 98.57 ±12.61 mm) dan berat berkisar antara 4 g sampai 31 g (rata-rata
12.34 ±4.74 g). Ikan petek (L. fasciatus) memiliki panjang total yang berkisar
antara 54.34 mm sampai 127.34 mm (rata-rata 82.46 ±17.82 mm) dan berat berkisar
antara 2 g sampai 33 g (rata-rata 10.03± 6.63 g). Sedangkan ikan seriding (A.
koopsii) memiliki kisaran panjang total antara 68.85 mm sampai 95.79 mm (ratarata 82.06 ± 4.99 mm) dan kisaran berat antara 3 g sampai 14 g (rata-rata 7.12
±1.51 g).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi pola pertumbuhan ikan
dan faktor kondisi (Tabel 1). Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding
memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Sedangkan ikan petek
(L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan bersifat allometrik positif. Grafik
hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan yang diteliti disajikan pada (Gambar 2
& Gambar 3). Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r)
berkisar 0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352
sampai 0.930 masing-masing ditemukan pada ikan seriding (A. koopsii), ikan petek
(L. fasciatus) secara berurutan.
Kami menemukan bahwa ikan petek memiliki pola pertumbuhan allometrik
positif, hasil yang berbeda diperoleh Djadja & Saadah (2001) pada ikan
Leiognathus splendens diperoleh pola pertumbuhan bersifat isometrik, namun nilai
b keduanya cenderung mendekati 3 (isometrik). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
ikan petek memiliki bentuk tubuh pipih menegak (compressed), diduga penambahan
bobot ikan
tidak hanya disebabkan oleh pertambahan panjang, tetapi juga
disebabkan oleh pertambahan tinggi badan, sehingga tidak memperlihatkan bentuk
tubuh yang montok sebagaimana ikan dengan pola allometrik positif pada umumnya.
Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding (A. koopsii) memiliki pola
pertumbuhan allometrik negatif. Hasil yang sama dijumpai pada ikan Mugil
dussumieri (Sulistiono et al., 2001) dan Rhinomugil corsula famili yang sama
(Mugilidae, Sani et al., 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan
perairan Kuala Gigeng relatif lebih menguntungkan bagi ikan petek
(L.
fasciatus).
Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan
seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling (Jenning et
al., 2001) dan juga kondisi biologis seperti perkembangan gonad dan ketersediaan
makanan (Froese, 2006). Dalam penelitian ini ditemukan nilai b relatif kecil dan
hasil pengukuran arus menunjukkan kondisi perairan relatif tenang sehingga
bertolak belakang dengan Shukor et al., (2008), yang menyebutkan bahwa ikan yang
hidup diperairan arus deras umumnya memiliki nilai b yang lebih rendah dan
sebaliknya ikan yang hidup pada perairan tenang akan menghasilkan nilai b yang
besar. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkah laku ikan, ini sesuai dengan
pernyataan Muchlisin (2010b) yang menyebutkan bahwa besar kecilnya nilai b juga
dipengaruhi oleh perilaku ikan, misalnya ikan yang berenang aktif (ikan pelagis)
menunjukkan nilai b yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan yang
berenang pasif (kebanyakan ikan demersal). Mungkin hal ini terkait dengan
alokasi energi yang dikeluarkan untuk pergerakan dan pertumbuhan.
Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r) berkisar
0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien korelasi yang tinggi menunjukkan hubungan
yang erat antara pertambahan berat dengan pertambahan panjang dan sebaliknya.
Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352 sampai 0.930. Hal ini bermakna
35% sampai 93% dari total varian pertambahan berat dapat dijelaskan oleh grafik
hubungan panjang-berat tersebut (Gambar 2), masing-masing ditemukan pada ikan
seriding (A. kopsii) dan ikan ciriek (L. fasciatus) secara berurutan.
4
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Faktor kondisi
Ikan belanak (M. cephalus) memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K)
berkisar 1.74 sampai 3.07 (rata-rata 2.51±0.22) dan berat relatif (Wr) berkisar
48.76 g sampai 195.41 g (rata-rata 103.18±15.2 g). Ikan petek (L. fasciatus)
memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K) berkisar 0.96 sampai 3.29 (rata-rata
2.36±0.53) dan berat relatif (Wr) berkisar 55.06 g sampai 158.56 g (rata-rata
104.59 ± 19.34). Sedangkan ikan seriding (A. koopsii) memiliki nilai faktor
kondisi Fulton (K) berkisar 1.29 sampai 2.88 (rata-rata 2.26±0.19) dan berat
relatif (Wr) berkisar 48.76 g sampai 195.41g (rata-rata 103.51±17.46 g).
Hasil perhitungan menunjukkan nilai berat yang diamati (observed weight)
lebih rendah berbanding berat yang diprediksi (predicted weight), ini
mengindikasikan kondisi perairan kurang baik untuk mendukung pertumbuhan. Namun
nilai faktor kondisi memberikan nilai rata-rata diatas 100. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan Kuala Gigeng menyediakan cukup makanan atau kepadatan predator
rendah disini, ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2002) bahwa perairan
estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air
tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Variasi ini menciptakan
kondisi yang menekan bagi sebagian besar organisme, tetapi bagi organisme yang
dapat menyesuaikan diri akan dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik dan
kondisi ini juga dapat menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak
menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. FAO (1983) juga menyatakan
bahwa predator yang pada umumnya ditemukan di wilayah muara adalah spesies
reptilia seperti ular dan biawak, namun di Asia jumlah spesies reptilia yang
ditemukan sedikit.
Variasi pasokan pakan yang terjadi antar musim dapat mengubah faktor
kondisi musiman (Offem et al., 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan
(Anderson & Neumann, 1996) nilai berat relatif (Wr) berada dibawah 100 bagi
suatu individu ataupun populasi menunjukkan adanya masalah seperti rendahnya
ketersediaan mangsa atau tingginya kepadatan suatu predator. Sedangkan apabila
nilai berat relatif (Wr) berada di atas 100 hal ini menunjukkan kelebihan
ketersediaan suatu mangsa atau rendahnya kepadatan suatu predator. Selain
ketersediaan pakan atau pemangsa, faktor biotik, abiotik dan manajemen
perikanan juga dapat mempengaruhi berbagai faktor kondisi (Murphy et al., 1991;
Blackwell et al., 2000).
Faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum,
produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan (Richter,2007; Blackwell
et al., 2000). Faktor kondisi ini mencerminkan karakteristik morfologi tubuh,
kandungan lipid dan tingkat pertumbuhan (Bister et al., 2000; Rypel & Richter,
2008; Froese, 2006; Stevenson & Woods, 2006). Secara umum nilai faktor kondisi
ketiga jenis ikan yang diteliti tidak berbeda. Namun, nilai faktor kondisi yang
di peroleh ikan belanak lebih besar dibandingkan kedua jenis ikan lain. Ikan
dengan faktor kondisi yang lebih tinggi diharapkan akan memiliki fekunditas
lebih tinggi daripada ikan dengan faktor kondisi lebih rendah (Baltz & Moyle,
1982). Ini sesuai dengan Sulistiono et al., (2001) yang menyatakan ikan belanak
termasuk kedalam kelompok ikan yang mempunyai fekunditas yang cukup tinggi, hal
ini merupakan daya adaptasi ikan tersebut untuk mempertahankan populasinya di
alam.
5
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Tabel 1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan belanak, petek dan seriding
Ikan belanak
(Mugil cephalus)
(n=98)
Ikan
petek
fasciatus)
(n=100)
Panjang Total (TL) mm
(rata-rata±SD)
68.23-150.84
(98.57 ±12.61)
54.34-127.34
(82.46 ±17.82)
68.85-95.79
(82.06 ± 4.99)
Berat (W) gr
(rata-rata ±SD)
4-31
(12.34 ±4.74)
2-33
(10.03 ±6.63)
3-14
(7.12 ±1.51)
Berat
(Ws)
12 ± 4.55
9.66±6.40
6.88±0.84
48.76-195.41
(103.18±15.20)
55.06-158.56
(104.59±19.34)
48.76-195.41
(103.51±17.46)
1.74-3.07
(2.51±0.22)
0.96-3.29
(2.36±0.53)
1.29-2.88
(2.26±0.19)
Indek koefesien diterminasi
(R2)
0.860
0.930
0.352
Indek
(r)
0.927
0.964
0.593
2.81
3.18
2.00
yang
diprediksikan
Berat Relatif (Wr)
(rata-rata ±SD)
Faktor Kondisi Fulton
(rata-rata ±SD)
Nilai b
koefesien
(K)
korelasi
6
(Leiognathus
Ikan
seriding
koopsii)
(n=97)
Parameters
(Ambasis
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
(d)
(d)
(e)
(f)(f)
Gambar 2. Hubunganpanjang berat (a) ikan belanak (Mugil cephalus) n=98, (b) ikan petek (Leioghnathus
fasciatus) n=100 dan (c) ikan seriding (Ambassis koopsii) n=97. Perbandingan hubungan panjang-berat yang
diamati dan prediksi (d) ikan belanak (Mugil cephalus) (e) ikan petek (Leioghnathus fasciatus) dan (f) ikan
seriding (Ambassis koopsii).
Kesimpulan
Hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan bervariasi, ikan petek (Leiognathus
fasciatus) memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, sedangkan ikan belanak
(Mugil cephalus) dan ikan seriding (Ambasis koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan perairan Kuala Gigeng
merupakan perairan yang lebih menguntungkan bagi ikan petek (L. fasciatus). Faktor
kondisi ketiga jenis ikan berdasarkan nilai berat relatif (Wr) berada diatas 100,
menunjukkan ketersediaan makanan mencukupi atau kepadatan predator rendah. Nilai
faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda, ini mengindikasikan kondisi
perairan relatif baik dan mendukung pertumbuhan ikan belanak (Mugil cephalus),
ikan seriding (Ambasis koopsii) dan ikan petek (L. fasciatus).
7
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka
Anderson, R.O., R.M. Newmann. 1996. Length weight and associated structural
indices. In: Fisheries techniques, 2nd edition. B.R.Murphy and D.W. Willis
(eds). American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. pp 447-481.
Baltz, O.M,
P.B. Moyle. 1982. Life history characteristics of tule parch
(Hysterocarpus trask) populations in contrasting environments. Environmental
Biology of Fish, 7: 227-242.
Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status and
current use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries
Science, 8: 1-44.
Bister, T.J., D.W. Willis, M.L. Brown, S.M. Jordan, R.M. Neumann, M.C. Quist,
C.S. Guy. 2000. Proposed standard weight (Ws) equations and standard length
categories for 18 warmwater nongame andriverine fish species. North American
Journal of Fisheries Management. 20:570-574.
De Robert, A., K. William. 2008. Weight-legth relationship in fisheries studies:
the standard allometric model should be applied with caution. Transaction of
the American Fisheries Society, 137: 707-719.
Djadja, S.S.,
Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leioghnathus
splendens cuvier di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi
Indonesia. 1(1): 13-17.
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Everhart, W.H.,
W.D. Youngs. 1981. Principles of fishery Science. 2nd Edition
Comstock Publishing Associates, a division of Cornell University Press,
London.
FAO. 1983. Management and Utilization of Mangroves in Asia Pasific. FAO
Environmental Paper 3, FAO, Rome.
Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight length relationship:
history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology,
22: 241-253.
Jennings, S., M.J. Kaiser, J.D. Reynolds. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell
Sciences, Oxford.
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus
ruselli) dari Perairan sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah
Oseanologi dan Limnologi, 35(1): 65-74.
Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang – berat dan faktor kondisi ikan lemuru,
Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian
Perairan Laut, 73 : 35 - 44.
Muchlisin, Z.A., M. Musman, M.N. Siti-Azizah. 2010a. Length-weight relationships
and condition factors of two threatened fishes, Rasbora tawarensis and
Poropuntius tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 949-953.
Muchlisin, Z.A. 2010b. Diversity of freswater fishes in Aceh Province, Indonesia
with emphasis on several biological aspects of the Depik (Rasbora tawarensis)
an endemic Species in Lake Laut Tawar. Disertasi Ph.D Universiti Sains
Malaysia, Penang.
Murphy, B.R., M.L. Brown, T.A. Springer. 1990. The relative weight (Wr) index in
fisheries management: status and needs. Fisheries, 16(2): 30-38.
Nuraini, S. 2007. Jenis ikan kerapu (Serranidae) dan hubungan panjang – berat di
Perairan Berau Kalimantan Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7(2): 61-70.
Offem, B.O., Y. Akegbejo-Samsons, I.T. Omoniyi. 2007. Biologicalassessment of
Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae: Linne:1958) in a tropical floodplain
river. African Journal of Biotechnology, 6(16): 1966-1971.
Okgerman, H. 2005. Seasonal variation of the length weight and condition factor of
Rudd (Scardinius erythrophthalmus L) in Spanca Lake. International Journal of
Zoological Research, 1(1): 6-10.
Redjeki, S. 2003. Faktor kondisi dan hubungan panjang – berat ikan sebelah
(Psettodes erumel) di Perairan Jepara.
Laporan Penelitian
Universitas
Diponegoro, Semarang.
Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for
bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries
Management, 27: 936-939.
8
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Rypel, A.L., T.J. Richter. 2008. Emperical percentile standard weight equation for
the Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management, 28:
1843-1846.
Sani, R., B. K. Gupta, U. K. Sarkar, A. Pandey, V. K. Dubey, W. S. Lakra. 2010.
Length–weight relationships of 14 Indian freshwater fish species from the
Betwa (Yamuna River tributary) and Gomti (Ganga River tributary) rivers.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 456-459.
Shukor, M.Y., A. Samat, A.K. Ahmad, J. Ruziaton. 2008. Comparative anaalysis of
length-weight
relationship
of
Rasbora
sumatrana
in
relation
to
the
physicochemical characteristic in different geographical areas in peninsular
Malaysia. Malaysian Applied Biology, 37(1): 21-29.
Stevenson R.D., W.A. Woods. 2006. Condition indices for conservation: new uses for
evolving tools. Integrative and Comparative Biology, 46:1169-1190.
Sulistiono, M. Arwani, K.A. Aziz. 2001. Pertumbuhan ikan belanak Mugil dussumieri
diperairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 1(2): 3947.
Umar, C., Lismining. 2006. Analisis hubungan panjang – berat beberapa jenis ikan
asli Danau Sentani Papua. Abstrak Seminar Nasional Ikan IV,
8-9 Juni 2010,
Bogor.
9
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Farok Afero
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Banda Aceh 23121. Email
korespondensi: [email protected]
Abstract. This study presents an economic analysis of tiger and humpback grouper
at different production scales in Indonesia. The results highlight the nonviability of small scale tiger grouper, with a 5 years projected negative
cumulative cash flow of – Rp. 18.102.650 and a negative net present value (NPV)
of – Rp. 22.059.576. An increasing production scale of tiger grouper highlight a
marginal viability for medium scale (with a 5 year projected cumulative cash
flow of Rp. 198.320.673 and a positive NPV of Rp. 105.578.440; with a benefit
cost ratio of 1,25; an internal rate of return (IRR) of 88%; and a payback
period of 0,99 year), and an economically viable of large scale cage culture
(with a 5 year projected cumulative cash of Rp. 707.746.923; a NPV of Rp.
406.801.749; a benefit cost ratio of 1,33;an internal rate of return of 157%;
and a payback period of 0,57 year). The economic analysis of humpback grouper at
different production scales highlight positive cumulative cash, a positive NPV,
a benefit cost ratio higher than 2, an internal rate of return over 300% and a
payback period of less than one year. A sensitivity analysis revealed that
increased survival rate up to 80% would increase cumulative cash and NPV of
small scale tiger grouper cage culture. Additionally, improved profitability
performance was associated with decreased major production costs, increased
production and price of the product.
Keywords: Tiger grouper, Humpback grouper, Production scale, profitability
Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi budidaya kerapu macan dan
bebek dengan skala produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya
kerapu macan dalam skala kecil, dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan arus kas
kumulatif negatif
sebesar –Rp. 18.102.650 dan NPV negatif –Rp. 22.059.576.
Peningkatan skala produksi (skala menengah) meningkatan keuntungan (proyeksi
aliran kas kumulatif selama 5 tahun sebesar Rp. 198.320.673,
NPV sebesar Rp.
105.578.440, B/C 1,25; IRR 88%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,99
tahun), sedangkan untuk skala besar (dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan kas
kumulatif sebesar Rp. 707.746.923; NPV sebesar Rp. 406.801.749, B/C 1,33; IRR
157%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,57 tahun). Analisis ekonomi
kerapu bebek pada skala produksi yang berbeda menunjukkan kas kumulatif positif,
NPV positif, ratio manfaat-biaya (B/C) lebih tinggi dari 2, IRR lebih dari 300%
dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu tahun. Analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa sintasan kehidupan lebih 80% akan meningkatkan
kas kumulatif dan NPV pada budidaya kerapu macan skala kecil.
Selain itu,
peningkatan
profitabilitas
berkaitan
dengan
penurunan
biaya
produksi,
peningkatan produksi dan harga produk.
Kata kunci: Kerapu macan, Kerapu bebek, skala produksi, profitabilitas.
10
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Pendahuluan
Kerapu adalah ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan telah
menjadi komoditas ekspor penting terutama ke Hong Kong, Jepang, Singapura dan
Cina. Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000
ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy
et al., 2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton
total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu
budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi
makanan ikan laut (FAO, 2003).
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari
13.000 pulau, sekitar 75% (5,8 mill km persegi) dari total luas ditutupi oleh
laut. Memiliki garis pantai terpanjang di dunia berkisar 80.000 km. Diperkirakan
area untuk budidaya laut di sekitar 62.629 ha, dengan produksi tahunan sebesar
890.074 MT. Indonesia adalah produsen utama kerapu, dimana produksi ikan kerapu
budidaya pada tahun 1999 sebesar 759 ton,
meningkat menjadi 6.493 ton pada
tahun 2005 dengan nilai total sekitar Rp. 116.891.489.000. Budidaya kerapu di
Indonesia tersebar dari Sumatera sampai Papua
dan terkonsentrasi di beberapa
provinsi seperti Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur, Bali,
Lombok dan Sulawesi Utara. Total produksi ikan kerapu di Kepulauan Riau,
Lampung, Jawa Timur dan Bali pada tahun 2005 masing-masing sebesar 4.496 ton,
388 ton 24 ton dan 180 ton (DKP, 2006). Ketersediaan benih merupakan komponen
penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan dibangun
baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu itu.
Kawahara & Ismi (2003) melaporkan terdapat 123 unit pembenihan memproduksi benih
kerapu macan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Sugama (2003) melaporan bahwa
3,8 juta benih ikan kerapu macan dengan ukuran 5-10 cm dihasilkan oleh balai
benih ikan di Indonesia pada tahun 2002.
Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi
profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah
pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan
bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi
usaha budidaya kerapu macan dan kerapu bebek. Harga beli benih kerapu macan dan
bebek masing-masing berkisar Rp. 600-700/cm dan Rp.1000-1200/cm. Biaya benih
adalah biaya terbesar dan mencapai 36,5% dan 36,72% dari total biaya produksi
untuk budidaya kerapu macan dan kerapu bebek
secara berurutan (DKP, 2001).
Pakan merupakan biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya
produksi (Pomeroy et al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi.
Tacon et al. (1991) melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia
adalah sarden (Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.),
layang (Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya
terbesar ketiga dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al.,
2002).
Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja masingmasing menyumbang 18% dan 7% dari total biaya produksi budidaya kerapu macan dan
kerapu bebek. Budidaya kerapu membutuhkan tenaga kerja intensif, misalnya untuk
memotong ikan rucah, penggolongan (grading) mingguan dan perendaman ikan di air
tawar untuk mencegah penyakit. Oleh karena itu, manajemen biaya produksi yang
efisien akan meningkatkan profitabilitas usaha.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan
usaha budidaya kerapu macan dan bebek serta memberikan informasi analisa ekonomi
untuk pelaku usaha tentang skala ekonomis budidaya kerapu. Diharapkan bahwa
hasil penelitian ini akan memberikan teknik kuantitatif untuk membantu produsen
memahami dan menafsirkan proses-proses yang saling terkait dalam budidaya serta
kendala ekonomi yang dihadapi oleh produsen.
Bahan dan Metode
Data diperoleh dari survei yang dilakukan pada November 2009. Semua data
untuk penelitian ini dikumpulkan dari daerah penghasil kerapu di Indonesia
(Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur dan Bali). Untuk menilai dan membandingkan
dampak dari skala ekonomi pada profitabilitas, usaha budidaya dikategorikan
berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 100 juta, antara 100 dan 200
juta dan lebih dari 200 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masingmasing skala kecil, menengah dan besar.
11
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi dari produsen
kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Sebanyak 65 petani ikan
diwawancarai dari lokasi pengambilan sampel dan setelah dilakukan pemeriksaan,
48 sampel digunakan untuk analisa lebih lanjut. Sampel terakhir untuk budidaya
kerapu macan berdasarkan skala adalah skala kecil (10 petani ikan), menengah (8
petani ikan) dan besar (6 petani ikan). Sementara sampel untuk usaha kerapu
bebek adalah skala kecil (11 petani ikan) menengah (9 petani ikan) dan besar (4
petani ikan). Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
selanjutnya dianalisis secara deskriptif
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1 dan 2 meringkas variabel produksi budidaya ikan kerapu macan dan
bebek dengan skala produksi berbeda. Tabel 1 menjelaskan padat tebar budidaya
kerapu macan untuk skala kecil (9 ekor/m3), skala menengah (15 ekor/m3) dan
skala besar (19 ekor/m3). Ukuran tebar benih kerapu berkisar 7,90-9,66 cm. Rasio
konversi pakan adalah 3,19 untuk skala kecil dan 4,27 untuk skala besar. Bobot
panen lebih besar dari 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 9,05 -10,66
bulan. Pada budidaya kerapu bebek kepadatan tebar untuk skala kecil (8 ekor/m3)
skala menengah (9,5 ekor/m3) dan skala besar (10 ekor/m3). Tingkat kelangsungan
hidup adalah antara 52,50% sampai 62% dan ukuran tebar berkisar 10,27-11,00 cm.
Konversi pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 5,44, 6,02 dan 13,52.
Bobot panen di atas 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 15,54-16,75
bulan (Table 2).
Tabel 1. Ringkasan produksi kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Variabel
Kecil
3
Padat tebar (m )
Menengah
Besar
9,00
15,00
19.00
72,70
66,50
71.00
Ukuran benih (cm)
7,90
7,12
9,66
Rasio konversi pakan (FCR)
3,19
4,16
4,27
457,00
462,00
516,00
9,05
10,00
10,66
665,50
3.074,25
8.487.00
Sintasan kehidupan (%)
Ukuran panen (gram)
Masa pemeliharaan (bulan)
Produksi (kg)
Tabel 2. Ringkasan produksi kerapu bebek dengan skala produksi berbeda
Variabel
Kecil
Menengah
Besar
Padat tebar (m )
8,00
9,50
10,00
Sintasan kehidupan (%)
60,00
62,00
52,50
Ukuran benih (cm)
10,27
10,89
11,00
3
Rasio konversi pakan (FCR)
Ukuran panen (gram)
Masa pemeliharaan (bulan)
Produksi (kg)
5,44
6,02
13,52
472,00
468,00
492,00
15,54
15,77
16,75
416,82
1.146,89
4.262,50
Tabel 3 dan 4 menunjukkan ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dan
bebek. Biaya tetap pada budidaya kerapu macan berkisar antara 9% sampai 25%.
Biaya variabel menunjukkan bahwa biaya benih adalah komponen pengeluaran
terbesar, berkisar antara 28% dan 42%. Pakan adalah biaya terbesar kedua pada
skala menengah (24%) dan skala besar (32%), sementara itu biaya tenaga kerja
(26%) adalah biaya terbesar kedua usaha skala kecil. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa budidaya skala besar memiliki pendapatan lebih baik dari skala
menengah dan kecil (Tabel 3). Dalam budidaya kerapu bebek, biaya tetap berkisar
antara 10% sampai 13%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh
12
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
biaya pakan kecuali pada skala kecil di mana biaya tenaga kerja adalah biaya
kedua terbesar (Tabel 4).
Tabel 3. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dengan skala
produksi berbeda
Variable
Kecil
%
Menengah
%
Besar
%
1.Biaya modal
Keramba
29.900.000
56.380.952
96.121.212
Peralatan
2.600.000
7.375.000
20.000.000
Perahu
1.500.000
3.000.000
3.000.000
34.000.000
66.755.952
119.121.212
Depresiasi
6.800.000
13.351.190
23.824.242
Pemeliharaan
1.730.000
3.325.000
5.950.000
Izin
1.370.000
2.550.000
4.350.000
Total biaya tetap
9.900.000
24,7
19.226.190
15,6
34.124.242
Benih
11.380.000
28,4
41.525.000
33,8
154.000.000
42,1
Pakan
5.980.000
14,9
29.925.000
24,3
116.916.600
31,9
Buruh
10.200.000
25,5
24.825.000
20,2
48.783.000
13,3
510.000
1,3
3.200.000
2,6
4.666.713
1,3
1.290.000
3,2
2.600.000
2,1
5.566.000
1,5
790.000
2,0
1.662.500
1,4
1.916.660
0,5
Total biaya variabel
30.150.000
75,3
103.737.500
Total biaya produksi
40.000.000
122.850.000
365.965.573
59.500
57.500
65.000
39.597.250
176.769.375
551.655.000
Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap
9,3
Biaya variable
Vitamin
Solar
Lain-lain
84,4
331.848.973
90,7
3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan
Analisis indikator keuangan budidaya kerapu macan dan bebek pada skala
produksi berbeda dirangkum dalam Tabel 5 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan
usaha skala kecil budidaya kerapu macan mengalami kerugian besar baik untuk
proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang, dengan arus kas kumulatif – Rp.
18.102.650 pada tahun ke 5. Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV negatif
- Rp. 22.059.576 untuk jangka waktu 5 tahun (Tabel 5), mengindikasikan bahwa
investasi ditolak. Budidaya skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar
Rp. 198.320.673 dan NPV sebesar Rp. 105.578.440. Rasio manfaat-biaya (B/C)
sebesar 1,25 dan IRR sebesar 88% menunjukkan kalayakan usaha budidaya kerapu
macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif sebesar Rp. 707.746.923
dan NPV sebesar Rp. 406.801.749. Rasio manfaat-biaya (1,33), IRR (157%) dan
periode pengembalian (0,57 tahun) menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi
menghasilkan kinerja ekonomi yang positif. Analisis keuangan budidaya kerapu
bebek pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan
proyeksi arus kas kumulatif selama 5 tahun untuk skala kecil (Rp. 133.344.826)
menengah (Rp. 446.749.192) dan besar (Rp. 1.692.212.500). Penerapan discount
rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp. 85.009.002) menengah (Rp.
13
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
286.822.375) dan skala besar (Rp. 1.088.181.355) selama periode 5 tahun.
Analisis keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari
2, IRR lebih besar dari 300% untuk semua skala produksi dan jangka waktu
pengembalian modal kurang dari satu tahun.
Tabel 4. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu bebek dengan skala produksi
berbeda
Variable
Kecil
%
Menengah
%
Besar
%
1.Biaya modal
Keramba
Peralatan
14.100.000
39.200.000
131.500.000
2.000.000
7.000.000
15.000.000
1.000.000
2.500.000
5.000.000
17.100.000
48.700.000
151.500.000
3.420.000
9.740.000
30.300.000
Pemeliharaan
918.100
2.433.000
7.825.000
Izin
645.400
1.766.000
5.925.000
Perahu
Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap
Depresiasi
Total biaya tetap
4.983.500
12,6
13.939.000
13,1
44.050.000
Benih
15.409.091
39,1
44.944.444
42,4
192.625.000
41,3
Pakan
5.672.727
14,4
20.000.000
18,9
129.900.000
27,9
Buruh
8.609.000
21,8
18.766.660
17,7
64.850.000
13,9
Vitamin
1.327.270
3,4
1.655.500
1,6
10.850.000
2,3
Solar
1.563.630
4,0
3.888.800
3,7
13.775.000
3,0
1.863.000
4,7
2.888.000
2,7
10.000.000
2,1
92.143.404
86,9
9,5
Biaya variable
Lain-lain
Total biaya variabel
34.444.718
Total biaya produksi
39.571.218
106.030.404
467.000.000
266.818
300.000
318.500
111.215.078
344.067.000
1.357.606.250
87,4
422.000.000
90,5
3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan
Hasil analisa sensitivitas beberapa variabel utama yang mempengaruhi
profitabilitas budidaya kerapu macan dan bebek dirangkum dalam tabel 7 dan 8.
Hasil analisa sensitivitas untuk usaha budidaya kerapu macan skala kecil
menunjukkan bahwa tingkat sintasan hidup meningkat memiliki efek berarti dalam
hal menghasilkan NPV positif. Hasil penelitian menunjukkan penurunan produksi
sebesar 20% mengakibatkan penurunan NPV dan B/C yang signifikan pada skala
produksi menengah dan besar. Selain itu, kedua skala produksi menunjukkan
penurunan NPV yang signifikan ketika harga jual turun menjadi Rp. 50.000 (Tabel
7). Hasil analisa sensitivitas pada budidaya kerapu bebek menunjukkan kelayakan
ekonomi dengan NPV positif pada semua skala produksi. Peningkatan produksi dan
harga terbukti memiliki pengaruh terbesar terhadap profitabilitas pada semua
skala produksi (Tabel 8).
14
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Sintasan kehidupan kerapu macan dan bebek pada skala berbeda masing-masing
75% dan 65%. Ikan kerapu adalah ikan kanibalisme dan hampir dari kematian
terjadi pada bulan pertama penebaran ke dalam keramba jaring apung (KJA). Sadovy
& Lau (2002) melaporkan bahwa tingkat mortalitas ikan kerapu antara 60-80%
selama siklus pemeliharaan. Ukuran benih yang lebih disukai untuk tebar di KJA
di atas 7 cm mengingat benih kerapu bersifat kanibalisme (Marte, 2003). Yashiro
(1999) melaporkan bahwa ukuran minimum benih untuk budidaya dalam KJA berkisar
7-10 cm. Angka kematian selama pemelihaan adalah 60% atau lebih untuk benih ikan
kurang dari 5 cm (Sadovy, 2000). Ukuran penebaran 7 sampai 10 cm memiliki
tingkat kelangsungan hidup 30 sampai 70% selama dua bulan pertama pemeliharaan
(Leong, 1997). Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran benih seperti
pada skala besar tidak meningkatan sintasan kehidupan ikan. Sementara itu,
kepadatan tebar yang lebih rendah seperti pada skala kecil tidak memberikan
kontribusi positif pada sintasan kehidupan. Oleh karena itu, meningkatkan
kualitas benih dan mengurangi kanibalisme dengan cara pemilahan dapat
meningkatkan tingkat sintasan kehidupan yang selanjutnya dapat meningkatkan
volume produksi.
Tabel 5. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu macan dengan
skala produksi berbeda
Perhitungan
profitabilitas
Kecil
Menengah
Besar
Arus Kas Kumulatif
-18.102.650 198.320.673
707.746.923
NPV
-22.059.576 105.578.440
406.801.749
B/C
0,84
1,25
1,33
IRR (%)
88%
157%
Payback period (tahun)
0,99
0,57
Tabel 6. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu bebek dengan
skala produksi berbeda
Perhitungan
profitabilitas
Kecil
Menengah
Besar
Arus Kas Kumulatif
NPV
133.344.826 446.749.192
1.692.212.500
85.009.002 286.822.375
1.088.181.353
B/C
2,36
2,69
2,52
IRR (%)
361%
430%
506%
Payback period (tahun)
0,23
0,20
0,57
Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya kedua kerapu sangat tinggi pada
skala produksi yang berbeda. Ikan rucah adalah sumber makanan yang umum
digunakan dalam budidaya kerapu karena lebih murah daripada pakan buatan pabrik
(pellet). Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan
diberikan ke ikan sampai kenyang. Sekitar 30-50% dari ikan rucah diberikan pada
ikan terbuang selama proses pemberian pakan. Pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali
lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pellet (Sih et al., 2005). Wu et al.,
(1994) melaporkan bahwa pemberian makan dengan ikan rucah menghasilkan rasio
konversi pakan yang buruk. Dalam sebuah studi pemberian makan dengan ikan rucah,
Chou & Wong (1985) memperoleh FCR sebesar 7,5, sementara Tacon et al., (1991)
melaporkan FCR sebesar 3,5. Sih (2006) mengungkapkan bahwa biaya produksi satu
kilogram ikan kerapu dengan menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan ikan
berkorelasi
langsung
dengan
FCR.
Peningkatan FCR secara positif
akan
meningkatkan biaya produksi satu kilogram ikan kerapu. Penelitian ini
menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi akan meningkatkan FCR. FCR pada
budidaya kerapu macan dan bebek dalam skala besar masing-masing meningkat 1,34
15
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
dan 2,34 dibandingkan dengan skala kecil. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan
bahwa meningkatnya skala operasi menyebabkan penggunaan rucah yang tidak
efisien, yang berarti bahwa produsen skala besar membuang pakan lebih banyak
dari produsen skala kecil. Panjang periode budidaya dan skala operasi membuat
produsen skala besar kurang mengontrol manajemen pemberian pakan. Manajemen
pemberian pakan pada budidaya kerapu harus di tingkatkan untuk meningkatkan
effesiensi pemberian ikan rucah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase biaya tetap menurun dengan
meningkatnya skala produksi (Gambar 1). Hasil ini sama dengan pendapat Shang
(1990) yang menyatakan bahwa input biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala
produksi. Biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan bebek adalah
benih, pakan dan tenaga kerja menyumbang lebih dari 65% dari total biaya
produksi. Persentase biaya variabel meningkat dengan meningkatnya skala produksi
kecuali untuk biaya tenaga kerja. Studi ini menunjukkan bahwa budidaya kedua
kerapu dalam skala besar menghasilkan biaya tenaga kerja menjadi rendah.
Budidaya kerapu memerlukan tenaga kerja intensif minimal 3 tenaga kerja untuk
pemberian makan dan pemilahan ikan. Peningkatan unit pembesaran pada skala besar
membuat tenaga kerja mampu menangani lebih banyak keramba dan memberikan
kontribusi pada rendahnya input tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan skala
produksi akan meningkatkan biaya variabel kecuali biaya tetap dan tenaga kerja.
(a)
Fixed cost
Fry
Feed
Labor
45
Fixed cost
(b)
Fry
Feed
Labor
45
40
40
35
Production cost (% )
Production cost (%)
35
30
25
20
15
30
25
20
15
10
10
5
5
0
0
Small
Gambar 1.
Medium
Scale
Small
Large
Medium
Large
Scale
Biaya produksi kerapu macan (a) dan kerapu bebek (b) pada skala
produksi berbeda
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan
budidaya kerapu macan dan bebek. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha
budidaya kerapu macan skala kecil tidak layak secara ekonomi. Dengan proyeksi 5
tahun menghasilkan arus kas negative –Rp. 18.102.650 dan NPV negatif-Rp.
22.059.576 (Tabel 5). Proyeksi ini menunjukkan bahwa kerapu macan skala kecil
mengalami kerugian besar dan harus ada perubahan besar agar usaha dalam skala
ini menjadi layak. Penelitian sebelumnya tentang budidaya kerapu dalam skala
kecil oleh Sheriff (2004) menjelaskan bahwa usaha skala kecil menghasilkan
keuntungan yang memadai dan investasi cukup menguntungkan. Penelitian tersebut
diproyeksikan bahwa skala kecil menghasilkan Rp. 27.390.000, B/C 2,64 dan IRR
sebesar 125% berdasarkan asumsi bobot panen 1,2 kg dan penjualan harga Rp.
77.000. Model analisis ekonomi yang dikembangkan oleh Pomeroy et al. (2004)
memproyeksikan hasil sebesar Rp. 78.884.850. Mereka berasumsi bahwa tingkat
kelangsungan hidup adalah 80%, panen ukuran 600 gram dan harga jual Rp. 66.000.
Oleh karena itu, meningkatkan ukuran panen dan sintasan
April 2012
ISSN: 2089-7790
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
DEPIK
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan, Pesisir dan Perikanan
(Journal of Aquatic, Coastal and Fishery Sciences)
ISSN: 2089-7790
Penerbit
: Koordinatorat Kelautan dan Perikanan, Universitas Syiah Kuala
Penanggung Jawab
: Prof. Dr. Adlim, M.Sc (Ketua Pelaksana Koordinatorat Kelautan dan Perikanan)
Ketua Dewan Editor
: Dr. Muchlisin Z. A., S.Pi, M.Sc
(Manajemen SDP dan Budidaya Perairan)
Editor Pelaksana
: Ichsan Setiawan, M.Si (Oseanografi)
Sekretaris Editor
: Drs. Muhammad, M.Si (Hydrodinamika)
Anggota Dewan Editor :
Prof. Dr. Adlim, M.Sc
(Kimia Lingkungan)
Prof. Dr. Syamsul Rizal
(Fisika Perairan)
Dr. Musri Musman, M.Sc (Kimia Perairan)
Dr. M. Ali Sarong, M.Si
(Ekologi Perairan)
Dr. Indra, M.Si
(Manejemen Pesisir & Kelautan)
Dr. Edi Rudi, M.Si
(Biologi Laut)
Dr. Abrar Muslim, M.Eng (Kimia Lingkungan)
Farok Afero, Ph.D
(Biometrik dan Sosial Ekonomi Perikanan)
Teknisi IT/Web Master
Sirkulasi dan Dokumentasi
: Achmad Muhadjier
: Muhammad Saumi, A.Md
Ikan Depik, Rasbora tawarensis
Alamat Redaksi:
Koordinatorat Kelautan dan Perikanan - Universitas Syiah Kuala
Kopelma Darussalam – Banda Aceh 23111, Provinsi Aceh , Indonesia.
Email : [email protected] Website : depikjurnal.unsyiah.ac.id
Kontak Redaksi : +62-(0)852-6091-2084
DEPIK
JURNAL ILMU-ILMU PERAIRAN, PESISIR DAN PERIKANAN
VOLUME 1, NOMOR 1, APRIL 2012
ISSN: 2089-7790
DAFTAR ISI
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Hubungan panjang berat dan faktor kondisi tiga jenis ikan yang
tertangkap di perairan Kuala Gigieng, Aceh Besar, Provinsi Aceh…………………
Mulfizar, Zainal A. Muchlisin, Irma Dewiyanti
1-9
Analisa ekonomi budidaya kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan
kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dalam keramba jaring apung di
Indonesia ………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Farok Afero
10-21
Pengaruh salinitas dan daya apung terhadap daya tetas telur ikan
bandeng, Chanos-chanos………………………………………………………………………………………………………………………………
Sofyatuddin Karina, Rizwan, Khairunnisak
22-25
Uji selektivitas ekstrak etil asetat (EtOAc) biji putat air
(Barringtonia racemosa) terhadap keong mas (Pomacea canaliculata) dan
ikan lele lokal (Clarias batrachus)……………………………………………………………………………………………
Musri Musman, Sofyatuddin Karina, Kavinta Melanie
26-30
Studi sebaran sedimen berdasarkan ukuran butir di perairan Kuala
Gigieng, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh …………………………………………………………………
Syahrul Purnawan, Ichsan Setiawan, Marwantim
Komunitas ikan karang herbivora di perairan Aceh bagian utara………………………
Edi Rudi, Nur Fadli
Keragaman makrozoobenthos di perairan Kuala Gigieng Kabupaten Aceh
Besar……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Nur Fadli, Ichsan Setiawan, Nurul Fadhilah
31-36
37-44
45-52
Kajian pendahuluan analisis peramalan thunderstorm untuk penyusunan
indeks dasar adaptasi kegiatan pertambakan (Suatu tinjauan meteorologi
di Jakarta)……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Yopi Ilhamsyah
53-60
Pengaruh ENSO (El Niño and Southern Oscillation) terhadap transpor
massa air laut di Selat Malaka ………………………………………………………………………………………………………
Muhammad, Syamsul Rizal, Junaidi M. Affan
61-67
Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di
beberapa lokasi dalam Provinsi Aceh: suatu kajian awal…………………………………………
Z. A. Muchlisin, Muhammad Nazir, Musri Musman
68-77
Seleksi lokasi pengembangan budidaya dalam keramba jaring apung (KJA)
berdasarkan faktor lingkungan dan kualitas air
di perairan pantai
timur Bangka Tengah………………………………………………………………………………………………………………………………………
Junaiadi M. Affan
78-85
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Mulfizar2, Zainal A. Muchlisin1*, Irma Dewiyanti1
1
Jurusan Budidaya Perairan, Koordinatorat Kelautan dan Perikanan universitas
Syiah Kuala, Banda aceh 2311; 2Jurusan Ilmu Kelautan, Koordinatorat Kelautan dan
Perikanan universitas Syiah Kuala, Banda aceh 2311. *Email korespondensi:
[email protected]
Abstract. The study of the lenght weight relationships and condition factors of
the brackiswater fishes found in Kuala Gigeng was conducted. The objective of
the present study was to evaluate the growth pattens and condition factor of the
belanak (Mugil cephalus), seriding (Ambassis koopsii) and petek (Leiognathus
fasciatus). The sampling was conducted for eight time on July 2011 by using
gillnet and castnet. The results showed that the belanak (M. cephalus) and
seriding (A. koopsii) have allometric negative growth patten, while the petek
(L. fasciatus) has an allometric positive. In addition, the relative weight
condition factor’s was higher than 100. And the Fulton’s condition factor were
not different significantly among fishes. Indicating the condition of the Kuala
Gigeng is relatively in good condition and support fish growth as well.
Keywords: Allometric, Fulton’s condition factor, fish relative weight,
morphology
Abstrak. Telah dilakukan penelitian tentang hubungan panjang-berat dan faktor
kondisi ikan yang ditemukan di muara Kuala Gigeng. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi pola pertumbuhan dan faktor kondisi dari ikan belanak (Mugil
cephalus), seriding (Ambassis koopsii) dan petek (Leiognathus fasciatus).
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak delapan kali pada bulan Juli 2011 dengan
menggunakan jaring insang dan jala. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan
belanak (M. cephalus) dan seriding (A. koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. sementara petek (L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan
allometrik positif. Selain itu, faktor kondisi berat relatif lebih tinggi dari
100. Dan faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda nyata. Kondisi
muara Kuala Gigeng mengindikasikan secara relatif dalam keadaan baik dan
mendukung pertumbuhan ikan.
Kata kunci : Allometrik, faktor kondisi Fulton, berat relatif ikan, morfologi
Pendahuluan
Perairan Kuala Gigieng terletak di Kabupaten Aceh Besar Provinsi Aceh,
perairan ini memiliki potensi perikanan antara lain perikanan laut, tambak dan
sungai. Beberapa jenis ikan yang bernilai ekonomis hidup di perairan ini dan
sering ditangkap oleh nelayan setempat antara lain ikan belanak (Mugil
cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus
fasciatus). Ikan-ikan ini diperjual-belikan oleh nelayan setempat dan merupakan
ikan-ikan yang dominan tertangkap di Kuala Gigeng. Namun demikian penelitian
tentang aspek biologi ikan-ikan tersebut belum pernah dikaji, termasuk aspek
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi di perairan esuaria yang terdapat di
Aceh. Informasi
hubungan panjang-berat dan faktor kondisi ikan penting
1
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
diketahui dalam upaya pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan ini. Hal ini
mengingat intensitas aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat
dan ancaman gangguan terhadap kondisi perairan baik yang disebabkan oleh alam
misalnya pemanasan global maupun aktifitas manusia misalnya penangkapan ikan
secara berlebihan dan tidak ramah lingkungan.
Dalam biologi perikanan, hubungan panjang–berat ikan merupakan salah satu
informasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber daya
perikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikan
yang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap (Vanichkul & Hongskul dalam
Merta, 1993). Lebih lanjut Richter (2007) & Blackweel (2000), menyebutkan bahwa
pengukuran panjang–berat ikan bertujuan untuk mengetahui variasi berat dan
panjang tertentu dari ikan secara individual atau kelompok–kelompok individu
sebagai suatu petunjuk tentang kegemukan, kesehatan, produktifitas dan kondisi
fisiologis termasuk perkembangan gonad. Analisa hubungan panjang–berat juga
dapat mengestimasi faktor kondisi atau sering disebut dengan index of plumpness,
yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkan
kondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu
(Everhart & Youngs, 1981).
Kajian hubungan panjang-berat ikan telah banyak dilakukan oleh para
peneliti, diantaranya; ikan layang (Decapterus ruselli) dari perairan sekitar
Teluk Likupang, Sulawesi Utara (Manik, 2009), ikan sebelah (Psettodes erumel) di
perairan Jepara (Redjeki, 2003), beberapa jenis ikan asli Danau Sentani, Papua
(Umar & Lismining, 2006), ikan kerapu (Serranidae) diperairan Berau, Kalimantan
Timur (Nuraini, 2007). Salah satu kajian tentang hubungan panjang-berat ikan
yang hidup di perairan Aceh yang pernah dilaporkan adalah dua jenis ikan air
tawar yang hidup di Danau Laut Tawar Rasbora tawarensis dan Poropuntius
tawarensis (Muchlisin, 2010a). Namun kajian terhadap spesies ikan yang lain
terutama yang hidup di perairan estuaria dan laut Aceh belum pernah dilaporkan,
oleh karena itu penelitian ini penting sebagai upaya penyedia data awal tentang
kondisi ikan di perairan estuaria khususnya di Kuala Gigeng.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan panjang-berat dan
faktor kondisi ikan belanak (Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii)
dan
ikan
petek
(Leiognathus
fasciatus)
sehingga
dapat
diketehui
pola
pertumbuhannya masing-masing.
Bahan dan Metode
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Kuala Gigeng yang terletak
diantara tiga desa yaitu: Gampong Lambada Lhok, Gampong Lamnga dan Gampong Baro
Kabupaten Aceh Besar, pada bulan Juli 2011 (Gambar 1). Penelitian ini
menggunakan metode survei, penentuan titik sampling dilakukan secara acak.
Pengambilan sampel ikan menggunakan jaring insangdengan ukuran mata jaring 1
inchi, 2 inchi dan 3 inchi dan jala ukuran mata jaring 1 inchi.
Penentuan ikan target
Penentuan ikan target dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan hasil
survey pendahuluan yang telah dilakukan, yaitu dengan mengamati hasil tangkapan
yang dominan oleh nelayan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa ikan belanak
(Mugil cephalus), ikan seriding (Ambassis koopsii) dan ikan petek (Leiognathus
fasciatus) adalah jenis-jenis ikan yang dominan dan sering tertangkap di Kuala
Gigeng.
Sampling ikan
Penangkapan ikan sampel yang dilakukan dengan menggunakan jaring insang yang
berjumlah 6 unit dengan rincian masing-masing; 2 unit dengan ukuran mata jaring
1 inchi, 2 unit dengan ukuran mata jaring 2 inchi dan 2 unit dengan ukuran mata
jaring 3 inchi. Jaring diletakkan tegak lurus dengan arah arus. Selain itu
penangkapan ikan juga dilakukan dengan menggunakan jala, penangkapan ikan dengan
menggunakan jala dilakukan dengan melihat keadaan lingkungan yang sesuai dan
menduga keberadaan ikan. Penangkapan ikan dilakukan selama 8 jam, yaitu dari jam
08:00 s/d 16:00 WIB.
Pengontrolan hasil tangkapan dilakukan setiap 6 jam,
2
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
ikan-ikan yang tertangkap dihitung jumlah untuk masing-masing jenisnya, kemudian
dicuci bersih dan dimasukkan ke dalam wadah tertutup (styrofoam box) yang berisi
es (4oC). Selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk di analisis lebih lanjut.
Pengukuran panjang-berat ikan
Pengukuran panjang dan berat ikan dilakukan pada hari yang sama ikan
diperoleh. Pada pengukuran panjang ikan alat yang digunakan adalah jangka sorong
digital (tingkat ketelitian 0.01 mm). Sedangkan pada pengukuran berat total
ikan, alat yang digunakan adalah timbangan digital dalam satuan gram dengan
ketelitian 0.1 gram.
Gambar
1. Peta Lokasi Penelitian (sumber: www.googleearth.com)
Analisis data panjang - berat
Model allometric linear (LAM) di gunakan untuk menghitung parameter a dan
b melalui pengukuran perubahan berat dan panjang. Koreksi bias pada perubahan
berat rata-rata dari unit logaritma digunakan untuk memprediksi berat pada
parameter panjang sesuai dengan persamaan allometric berikut, berdasarkan
DeRobertis & William (2008).
W = a Lb
Dimana W adalah berat ikan (g), L adalah panjang total ikan (mm), a dan b adalah
parameter.
Analisis data faktor kondisi
Berat relatif (Wr) dan koefesien (K) faktor kondisi di gunakan untuk
mengevaluasi faktor kondisi dari setiap individu. Berat relatif (Wr) di tentukan
berdasarkan persamaan Rypel & Richter (2008) sebagai berikut:
Wr = (W/Ws) x 100
Wr adalah berat relatif, W berat tiap-tiap ikan, dan Ws adalah berat standar
yang diprediksi dari sampel yang sama karena dihitung dari gabungan regresi
panjang-berat melalui jarak antar spesies :
Ws = a Lb
Koefesien kondisi Fulton (K) ditentukan berdasarkan Okgerman (2005) dengan rumus
sebagai berikut:
K= WL-3 x 100
dimana K adalah faktor kondisi, W adalah berat (g), L adalah panjang (mm) dan -3
adalah koefesien panjang untuk memastikan bahwa nilai K cenderung bernilai 1.
3
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Hasil dan Pembahasan
Hubungan panjang-berat
Jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian sebanyak 295 ekor, terdiri
dari 98 ekor ikan belanak (Mugil cephalus), 100 ekor ikan petek (Leiognathus
fasciatus) dan 97 ekor ikan seriding (Ambasis koopsii). Ikan belanak
(M.cephalus) memiliki panjang total berkisar antara 68.23 mm sampai 150.84 mm
(rata-rata 98.57 ±12.61 mm) dan berat berkisar antara 4 g sampai 31 g (rata-rata
12.34 ±4.74 g). Ikan petek (L. fasciatus) memiliki panjang total yang berkisar
antara 54.34 mm sampai 127.34 mm (rata-rata 82.46 ±17.82 mm) dan berat berkisar
antara 2 g sampai 33 g (rata-rata 10.03± 6.63 g). Sedangkan ikan seriding (A.
koopsii) memiliki kisaran panjang total antara 68.85 mm sampai 95.79 mm (ratarata 82.06 ± 4.99 mm) dan kisaran berat antara 3 g sampai 14 g (rata-rata 7.12
±1.51 g).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya variasi pola pertumbuhan ikan
dan faktor kondisi (Tabel 1). Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding
memiliki pola pertumbuhan yang bersifat allometrik negatif. Sedangkan ikan petek
(L. fasciatus) memiliki pola pertumbuhan bersifat allometrik positif. Grafik
hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan yang diteliti disajikan pada (Gambar 2
& Gambar 3). Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r)
berkisar 0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352
sampai 0.930 masing-masing ditemukan pada ikan seriding (A. koopsii), ikan petek
(L. fasciatus) secara berurutan.
Kami menemukan bahwa ikan petek memiliki pola pertumbuhan allometrik
positif, hasil yang berbeda diperoleh Djadja & Saadah (2001) pada ikan
Leiognathus splendens diperoleh pola pertumbuhan bersifat isometrik, namun nilai
b keduanya cenderung mendekati 3 (isometrik). Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
ikan petek memiliki bentuk tubuh pipih menegak (compressed), diduga penambahan
bobot ikan
tidak hanya disebabkan oleh pertambahan panjang, tetapi juga
disebabkan oleh pertambahan tinggi badan, sehingga tidak memperlihatkan bentuk
tubuh yang montok sebagaimana ikan dengan pola allometrik positif pada umumnya.
Ikan belanak (M. cephalus) dan ikan seriding (A. koopsii) memiliki pola
pertumbuhan allometrik negatif. Hasil yang sama dijumpai pada ikan Mugil
dussumieri (Sulistiono et al., 2001) dan Rhinomugil corsula famili yang sama
(Mugilidae, Sani et al., 2010). Hal ini mengindikasikan bahwa lingkungan
perairan Kuala Gigeng relatif lebih menguntungkan bagi ikan petek
(L.
fasciatus).
Secara umum, nilai b tergantung pada kondisi fisiologis dan lingkungan
seperti suhu, pH, salinitas, letak geografis dan teknik sampling (Jenning et
al., 2001) dan juga kondisi biologis seperti perkembangan gonad dan ketersediaan
makanan (Froese, 2006). Dalam penelitian ini ditemukan nilai b relatif kecil dan
hasil pengukuran arus menunjukkan kondisi perairan relatif tenang sehingga
bertolak belakang dengan Shukor et al., (2008), yang menyebutkan bahwa ikan yang
hidup diperairan arus deras umumnya memiliki nilai b yang lebih rendah dan
sebaliknya ikan yang hidup pada perairan tenang akan menghasilkan nilai b yang
besar. Fenomena ini mungkin disebabkan oleh tingkah laku ikan, ini sesuai dengan
pernyataan Muchlisin (2010b) yang menyebutkan bahwa besar kecilnya nilai b juga
dipengaruhi oleh perilaku ikan, misalnya ikan yang berenang aktif (ikan pelagis)
menunjukkan nilai b yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan yang
berenang pasif (kebanyakan ikan demersal). Mungkin hal ini terkait dengan
alokasi energi yang dikeluarkan untuk pergerakan dan pertumbuhan.
Hasil penelitian juga menunjukkan nilai koefesien korelasi (r) berkisar
0.593 sampai 0.964. Nilai koefesien korelasi yang tinggi menunjukkan hubungan
yang erat antara pertambahan berat dengan pertambahan panjang dan sebaliknya.
Nilai koefesien diterminasi (R2) berkisar 0.352 sampai 0.930. Hal ini bermakna
35% sampai 93% dari total varian pertambahan berat dapat dijelaskan oleh grafik
hubungan panjang-berat tersebut (Gambar 2), masing-masing ditemukan pada ikan
seriding (A. kopsii) dan ikan ciriek (L. fasciatus) secara berurutan.
4
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Faktor kondisi
Ikan belanak (M. cephalus) memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K)
berkisar 1.74 sampai 3.07 (rata-rata 2.51±0.22) dan berat relatif (Wr) berkisar
48.76 g sampai 195.41 g (rata-rata 103.18±15.2 g). Ikan petek (L. fasciatus)
memiliki nilai faktor kondisi Fulton (K) berkisar 0.96 sampai 3.29 (rata-rata
2.36±0.53) dan berat relatif (Wr) berkisar 55.06 g sampai 158.56 g (rata-rata
104.59 ± 19.34). Sedangkan ikan seriding (A. koopsii) memiliki nilai faktor
kondisi Fulton (K) berkisar 1.29 sampai 2.88 (rata-rata 2.26±0.19) dan berat
relatif (Wr) berkisar 48.76 g sampai 195.41g (rata-rata 103.51±17.46 g).
Hasil perhitungan menunjukkan nilai berat yang diamati (observed weight)
lebih rendah berbanding berat yang diprediksi (predicted weight), ini
mengindikasikan kondisi perairan kurang baik untuk mendukung pertumbuhan. Namun
nilai faktor kondisi memberikan nilai rata-rata diatas 100. Hal ini menunjukkan
bahwa perairan Kuala Gigeng menyediakan cukup makanan atau kepadatan predator
rendah disini, ini sesuai dengan pernyataan Effendi (2002) bahwa perairan
estuaria memiliki gradien salinitas yang bervariasi, bergantung pada suplai air
tawar dari sungai dan air laut melalui pasang surut. Variasi ini menciptakan
kondisi yang menekan bagi sebagian besar organisme, tetapi bagi organisme yang
dapat menyesuaikan diri akan dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik dan
kondisi ini juga dapat menangkal predator dari laut yang pada umumnya tidak
menyukai perairan dengan salinitas yang rendah. FAO (1983) juga menyatakan
bahwa predator yang pada umumnya ditemukan di wilayah muara adalah spesies
reptilia seperti ular dan biawak, namun di Asia jumlah spesies reptilia yang
ditemukan sedikit.
Variasi pasokan pakan yang terjadi antar musim dapat mengubah faktor
kondisi musiman (Offem et al., 2007). Hal ini sesuai dengan pernyataan
(Anderson & Neumann, 1996) nilai berat relatif (Wr) berada dibawah 100 bagi
suatu individu ataupun populasi menunjukkan adanya masalah seperti rendahnya
ketersediaan mangsa atau tingginya kepadatan suatu predator. Sedangkan apabila
nilai berat relatif (Wr) berada di atas 100 hal ini menunjukkan kelebihan
ketersediaan suatu mangsa atau rendahnya kepadatan suatu predator. Selain
ketersediaan pakan atau pemangsa, faktor biotik, abiotik dan manajemen
perikanan juga dapat mempengaruhi berbagai faktor kondisi (Murphy et al., 1991;
Blackwell et al., 2000).
Faktor kondisi dihitung untuk menilai kesehatan ikan secara umum,
produktivitas dan kondisi fisiologi dari populasi ikan (Richter,2007; Blackwell
et al., 2000). Faktor kondisi ini mencerminkan karakteristik morfologi tubuh,
kandungan lipid dan tingkat pertumbuhan (Bister et al., 2000; Rypel & Richter,
2008; Froese, 2006; Stevenson & Woods, 2006). Secara umum nilai faktor kondisi
ketiga jenis ikan yang diteliti tidak berbeda. Namun, nilai faktor kondisi yang
di peroleh ikan belanak lebih besar dibandingkan kedua jenis ikan lain. Ikan
dengan faktor kondisi yang lebih tinggi diharapkan akan memiliki fekunditas
lebih tinggi daripada ikan dengan faktor kondisi lebih rendah (Baltz & Moyle,
1982). Ini sesuai dengan Sulistiono et al., (2001) yang menyatakan ikan belanak
termasuk kedalam kelompok ikan yang mempunyai fekunditas yang cukup tinggi, hal
ini merupakan daya adaptasi ikan tersebut untuk mempertahankan populasinya di
alam.
5
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Tabel 1. Hubungan panjang berat dan faktor kondisi ikan belanak, petek dan seriding
Ikan belanak
(Mugil cephalus)
(n=98)
Ikan
petek
fasciatus)
(n=100)
Panjang Total (TL) mm
(rata-rata±SD)
68.23-150.84
(98.57 ±12.61)
54.34-127.34
(82.46 ±17.82)
68.85-95.79
(82.06 ± 4.99)
Berat (W) gr
(rata-rata ±SD)
4-31
(12.34 ±4.74)
2-33
(10.03 ±6.63)
3-14
(7.12 ±1.51)
Berat
(Ws)
12 ± 4.55
9.66±6.40
6.88±0.84
48.76-195.41
(103.18±15.20)
55.06-158.56
(104.59±19.34)
48.76-195.41
(103.51±17.46)
1.74-3.07
(2.51±0.22)
0.96-3.29
(2.36±0.53)
1.29-2.88
(2.26±0.19)
Indek koefesien diterminasi
(R2)
0.860
0.930
0.352
Indek
(r)
0.927
0.964
0.593
2.81
3.18
2.00
yang
diprediksikan
Berat Relatif (Wr)
(rata-rata ±SD)
Faktor Kondisi Fulton
(rata-rata ±SD)
Nilai b
koefesien
(K)
korelasi
6
(Leiognathus
Ikan
seriding
koopsii)
(n=97)
Parameters
(Ambasis
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
(d)
(d)
(e)
(f)(f)
Gambar 2. Hubunganpanjang berat (a) ikan belanak (Mugil cephalus) n=98, (b) ikan petek (Leioghnathus
fasciatus) n=100 dan (c) ikan seriding (Ambassis koopsii) n=97. Perbandingan hubungan panjang-berat yang
diamati dan prediksi (d) ikan belanak (Mugil cephalus) (e) ikan petek (Leioghnathus fasciatus) dan (f) ikan
seriding (Ambassis koopsii).
Kesimpulan
Hubungan panjang-berat ketiga jenis ikan bervariasi, ikan petek (Leiognathus
fasciatus) memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, sedangkan ikan belanak
(Mugil cephalus) dan ikan seriding (Ambasis koopsii) memiliki pola pertumbuhan
allometrik negatif. Hal ini menunjukkan bahwa lingkungan perairan Kuala Gigeng
merupakan perairan yang lebih menguntungkan bagi ikan petek (L. fasciatus). Faktor
kondisi ketiga jenis ikan berdasarkan nilai berat relatif (Wr) berada diatas 100,
menunjukkan ketersediaan makanan mencukupi atau kepadatan predator rendah. Nilai
faktor kondisi Fulton ketiga jenis ikan tidak berbeda, ini mengindikasikan kondisi
perairan relatif baik dan mendukung pertumbuhan ikan belanak (Mugil cephalus),
ikan seriding (Ambasis koopsii) dan ikan petek (L. fasciatus).
7
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Daftar Pustaka
Anderson, R.O., R.M. Newmann. 1996. Length weight and associated structural
indices. In: Fisheries techniques, 2nd edition. B.R.Murphy and D.W. Willis
(eds). American Fisheries Society, Bethesda, Maryland. pp 447-481.
Baltz, O.M,
P.B. Moyle. 1982. Life history characteristics of tule parch
(Hysterocarpus trask) populations in contrasting environments. Environmental
Biology of Fish, 7: 227-242.
Blackweel, B.G., M.L. Brown & D.W. Willis. 2000. Relative weight (Wr) status and
current use in fisheries assessment and management. Reviews in fisheries
Science, 8: 1-44.
Bister, T.J., D.W. Willis, M.L. Brown, S.M. Jordan, R.M. Neumann, M.C. Quist,
C.S. Guy. 2000. Proposed standard weight (Ws) equations and standard length
categories for 18 warmwater nongame andriverine fish species. North American
Journal of Fisheries Management. 20:570-574.
De Robert, A., K. William. 2008. Weight-legth relationship in fisheries studies:
the standard allometric model should be applied with caution. Transaction of
the American Fisheries Society, 137: 707-719.
Djadja, S.S.,
Saadah. 2001. Beberapa aspek biologi ikan petek, Leioghnathus
splendens cuvier di perairan Teluk Labuan, Banten. Jurnal Ikhtiologi
Indonesia. 1(1): 13-17.
Effendie, M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.
Everhart, W.H.,
W.D. Youngs. 1981. Principles of fishery Science. 2nd Edition
Comstock Publishing Associates, a division of Cornell University Press,
London.
FAO. 1983. Management and Utilization of Mangroves in Asia Pasific. FAO
Environmental Paper 3, FAO, Rome.
Froese, R. 2006. Cube law, condition factor and weight length relationship:
history, meta-analysis and recommendations. Journal of Applied Ichthyology,
22: 241-253.
Jennings, S., M.J. Kaiser, J.D. Reynolds. 2001. Marine fishery ecology. Blackwell
Sciences, Oxford.
Manik, N. 2009. Hubungan Panjang-berat dan Faktor Kondisi Ikan Layang (Decapterus
ruselli) dari Perairan sekitar Teluk Likupang Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah
Oseanologi dan Limnologi, 35(1): 65-74.
Merta, I.G.S. 1993. Hubungan panjang – berat dan faktor kondisi ikan lemuru,
Sardinella lemuru Bleeker, 1853 dari perairan Selat Bali. Jurnal Penelitian
Perairan Laut, 73 : 35 - 44.
Muchlisin, Z.A., M. Musman, M.N. Siti-Azizah. 2010a. Length-weight relationships
and condition factors of two threatened fishes, Rasbora tawarensis and
Poropuntius tawarensis, endemic to Lake Laut Tawar, Aceh Province, Indonesia.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 949-953.
Muchlisin, Z.A. 2010b. Diversity of freswater fishes in Aceh Province, Indonesia
with emphasis on several biological aspects of the Depik (Rasbora tawarensis)
an endemic Species in Lake Laut Tawar. Disertasi Ph.D Universiti Sains
Malaysia, Penang.
Murphy, B.R., M.L. Brown, T.A. Springer. 1990. The relative weight (Wr) index in
fisheries management: status and needs. Fisheries, 16(2): 30-38.
Nuraini, S. 2007. Jenis ikan kerapu (Serranidae) dan hubungan panjang – berat di
Perairan Berau Kalimantan Timur. Jurnal Iktiologi Indonesia, 7(2): 61-70.
Offem, B.O., Y. Akegbejo-Samsons, I.T. Omoniyi. 2007. Biologicalassessment of
Oreochromis niloticus (Pisces: Cichlidae: Linne:1958) in a tropical floodplain
river. African Journal of Biotechnology, 6(16): 1966-1971.
Okgerman, H. 2005. Seasonal variation of the length weight and condition factor of
Rudd (Scardinius erythrophthalmus L) in Spanca Lake. International Journal of
Zoological Research, 1(1): 6-10.
Redjeki, S. 2003. Faktor kondisi dan hubungan panjang – berat ikan sebelah
(Psettodes erumel) di Perairan Jepara.
Laporan Penelitian
Universitas
Diponegoro, Semarang.
Richter, T.J. 2007. Development and evaluation of standard weight equations for
bridgelip sucker and largescale sucker. North American Journal of Fisheries
Management, 27: 936-939.
8
Depik, 1(1):1-9
April 2012
ISSN 2089-7790
Rypel, A.L., T.J. Richter. 2008. Emperical percentile standard weight equation for
the Blacktail Redhorse. North American Journal of Fisheries Management, 28:
1843-1846.
Sani, R., B. K. Gupta, U. K. Sarkar, A. Pandey, V. K. Dubey, W. S. Lakra. 2010.
Length–weight relationships of 14 Indian freshwater fish species from the
Betwa (Yamuna River tributary) and Gomti (Ganga River tributary) rivers.
Journal of Applied Ichthyology, 26: 456-459.
Shukor, M.Y., A. Samat, A.K. Ahmad, J. Ruziaton. 2008. Comparative anaalysis of
length-weight
relationship
of
Rasbora
sumatrana
in
relation
to
the
physicochemical characteristic in different geographical areas in peninsular
Malaysia. Malaysian Applied Biology, 37(1): 21-29.
Stevenson R.D., W.A. Woods. 2006. Condition indices for conservation: new uses for
evolving tools. Integrative and Comparative Biology, 46:1169-1190.
Sulistiono, M. Arwani, K.A. Aziz. 2001. Pertumbuhan ikan belanak Mugil dussumieri
diperairan Ujung Pangkah, Jawa Timur. Jurnal Ikhtiologi Indonesia, 1(2): 3947.
Umar, C., Lismining. 2006. Analisis hubungan panjang – berat beberapa jenis ikan
asli Danau Sentani Papua. Abstrak Seminar Nasional Ikan IV,
8-9 Juni 2010,
Bogor.
9
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Farok Afero
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Aceh, Banda Aceh 23121. Email
korespondensi: [email protected]
Abstract. This study presents an economic analysis of tiger and humpback grouper
at different production scales in Indonesia. The results highlight the nonviability of small scale tiger grouper, with a 5 years projected negative
cumulative cash flow of – Rp. 18.102.650 and a negative net present value (NPV)
of – Rp. 22.059.576. An increasing production scale of tiger grouper highlight a
marginal viability for medium scale (with a 5 year projected cumulative cash
flow of Rp. 198.320.673 and a positive NPV of Rp. 105.578.440; with a benefit
cost ratio of 1,25; an internal rate of return (IRR) of 88%; and a payback
period of 0,99 year), and an economically viable of large scale cage culture
(with a 5 year projected cumulative cash of Rp. 707.746.923; a NPV of Rp.
406.801.749; a benefit cost ratio of 1,33;an internal rate of return of 157%;
and a payback period of 0,57 year). The economic analysis of humpback grouper at
different production scales highlight positive cumulative cash, a positive NPV,
a benefit cost ratio higher than 2, an internal rate of return over 300% and a
payback period of less than one year. A sensitivity analysis revealed that
increased survival rate up to 80% would increase cumulative cash and NPV of
small scale tiger grouper cage culture. Additionally, improved profitability
performance was associated with decreased major production costs, increased
production and price of the product.
Keywords: Tiger grouper, Humpback grouper, Production scale, profitability
Abstrak. Penelitian ini menyajikan analisa ekonomi budidaya kerapu macan dan
bebek dengan skala produksi yang berbeda. Penelitian menunjukkan bahwa budidaya
kerapu macan dalam skala kecil, dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan arus kas
kumulatif negatif
sebesar –Rp. 18.102.650 dan NPV negatif –Rp. 22.059.576.
Peningkatan skala produksi (skala menengah) meningkatan keuntungan (proyeksi
aliran kas kumulatif selama 5 tahun sebesar Rp. 198.320.673,
NPV sebesar Rp.
105.578.440, B/C 1,25; IRR 88%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,99
tahun), sedangkan untuk skala besar (dengan proyeksi 5 tahun menghasilkan kas
kumulatif sebesar Rp. 707.746.923; NPV sebesar Rp. 406.801.749, B/C 1,33; IRR
157%, dan jangka waktu pengembalian modal selama 0,57 tahun). Analisis ekonomi
kerapu bebek pada skala produksi yang berbeda menunjukkan kas kumulatif positif,
NPV positif, ratio manfaat-biaya (B/C) lebih tinggi dari 2, IRR lebih dari 300%
dan jangka waktu pengembalian modal kurang dari satu tahun. Analisis
sensitivitas menunjukkan bahwa sintasan kehidupan lebih 80% akan meningkatkan
kas kumulatif dan NPV pada budidaya kerapu macan skala kecil.
Selain itu,
peningkatan
profitabilitas
berkaitan
dengan
penurunan
biaya
produksi,
peningkatan produksi dan harga produk.
Kata kunci: Kerapu macan, Kerapu bebek, skala produksi, profitabilitas.
10
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Pendahuluan
Kerapu adalah ikan karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan telah
menjadi komoditas ekspor penting terutama ke Hong Kong, Jepang, Singapura dan
Cina. Total perdagangan ikan karang di Asia Tenggara adalah sekitar 30.000
ton/tahun dengan 15.000-20.000 ton diperkirakan di ekspor ke Hong Kong (Sadovy
et al., 2003). Produksi kerapu dari usaha budidaya hanya 8,6% dari 52.000 ton
total tangkapan kerapu di Asia dengan nilai 238 juta dollar. Produksi kerapu
budidaya meningkat 1,5% setiap tahun dan berkontribusi terhadap total produksi
makanan ikan laut (FAO, 2003).
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari
13.000 pulau, sekitar 75% (5,8 mill km persegi) dari total luas ditutupi oleh
laut. Memiliki garis pantai terpanjang di dunia berkisar 80.000 km. Diperkirakan
area untuk budidaya laut di sekitar 62.629 ha, dengan produksi tahunan sebesar
890.074 MT. Indonesia adalah produsen utama kerapu, dimana produksi ikan kerapu
budidaya pada tahun 1999 sebesar 759 ton,
meningkat menjadi 6.493 ton pada
tahun 2005 dengan nilai total sekitar Rp. 116.891.489.000. Budidaya kerapu di
Indonesia tersebar dari Sumatera sampai Papua
dan terkonsentrasi di beberapa
provinsi seperti Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur, Bali,
Lombok dan Sulawesi Utara. Total produksi ikan kerapu di Kepulauan Riau,
Lampung, Jawa Timur dan Bali pada tahun 2005 masing-masing sebesar 4.496 ton,
388 ton 24 ton dan 180 ton (DKP, 2006). Ketersediaan benih merupakan komponen
penting dalam pengembangan budidaya kerapu. Sejumlah balai benih ikan dibangun
baik oleh pemerintah dan swasta untuk memenuhi permintaan benih kerapu itu.
Kawahara & Ismi (2003) melaporkan terdapat 123 unit pembenihan memproduksi benih
kerapu macan di seluruh Indonesia. Lebih lanjut Sugama (2003) melaporan bahwa
3,8 juta benih ikan kerapu macan dengan ukuran 5-10 cm dihasilkan oleh balai
benih ikan di Indonesia pada tahun 2002.
Biaya produksi adalah salah satu faktor utama yang mempengaruhi
profitabilitas pada budidaya kerapu. Biaya benih, pakan dan tenaga kerja adalah
pengeluaran signifikan pada budidaya kerapu. Pomeroy et al. (2006) melaporkan
bahwa benih, pakan dan tenaga kerja mencapai 61-74% dari total biaya produksi
usaha budidaya kerapu macan dan kerapu bebek. Harga beli benih kerapu macan dan
bebek masing-masing berkisar Rp. 600-700/cm dan Rp.1000-1200/cm. Biaya benih
adalah biaya terbesar dan mencapai 36,5% dan 36,72% dari total biaya produksi
untuk budidaya kerapu macan dan kerapu bebek
secara berurutan (DKP, 2001).
Pakan merupakan biaya terbesar kedua dan menyumbang 25% dari total biaya
produksi (Pomeroy et al., 2006) dan ikan rucah sebagai sumber asupan nutrisi.
Tacon et al. (1991) melaporkan bahwa ikan rucah yang umum digunakan di Indonesia
adalah sarden (Sarden lemuru), kuwe (Caranx sp.) pepetek (Leiognathus sp.),
layang (Decapterus) teri (Engraulis sp.). Biaya tenaga kerja adalah biaya
terbesar ketiga dan mencapai 12,3% dari total biaya produksi (Manadiyanto et al.,
2002).
Pomeroy et al. (2006) memperkirakan bahwa input tenaga kerja masingmasing menyumbang 18% dan 7% dari total biaya produksi budidaya kerapu macan dan
kerapu bebek. Budidaya kerapu membutuhkan tenaga kerja intensif, misalnya untuk
memotong ikan rucah, penggolongan (grading) mingguan dan perendaman ikan di air
tawar untuk mencegah penyakit. Oleh karena itu, manajemen biaya produksi yang
efisien akan meningkatkan profitabilitas usaha.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis keuntungan
usaha budidaya kerapu macan dan bebek serta memberikan informasi analisa ekonomi
untuk pelaku usaha tentang skala ekonomis budidaya kerapu. Diharapkan bahwa
hasil penelitian ini akan memberikan teknik kuantitatif untuk membantu produsen
memahami dan menafsirkan proses-proses yang saling terkait dalam budidaya serta
kendala ekonomi yang dihadapi oleh produsen.
Bahan dan Metode
Data diperoleh dari survei yang dilakukan pada November 2009. Semua data
untuk penelitian ini dikumpulkan dari daerah penghasil kerapu di Indonesia
(Kepulauan Riau, Lampung, Jawa Timur dan Bali). Untuk menilai dan membandingkan
dampak dari skala ekonomi pada profitabilitas, usaha budidaya dikategorikan
berdasarkan tiga level biaya produksi: di bawah 100 juta, antara 100 dan 200
juta dan lebih dari 200 juta. Tingkat biaya produksi ini dikategorikan masingmasing skala kecil, menengah dan besar.
11
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Kuesioner terstruktur digunakan untuk mengumpulkan informasi dari produsen
kerapu dari tiga skala produksi yang berbeda. Sebanyak 65 petani ikan
diwawancarai dari lokasi pengambilan sampel dan setelah dilakukan pemeriksaan,
48 sampel digunakan untuk analisa lebih lanjut. Sampel terakhir untuk budidaya
kerapu macan berdasarkan skala adalah skala kecil (10 petani ikan), menengah (8
petani ikan) dan besar (6 petani ikan). Sementara sampel untuk usaha kerapu
bebek adalah skala kecil (11 petani ikan) menengah (9 petani ikan) dan besar (4
petani ikan). Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik
selanjutnya dianalisis secara deskriptif
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1 dan 2 meringkas variabel produksi budidaya ikan kerapu macan dan
bebek dengan skala produksi berbeda. Tabel 1 menjelaskan padat tebar budidaya
kerapu macan untuk skala kecil (9 ekor/m3), skala menengah (15 ekor/m3) dan
skala besar (19 ekor/m3). Ukuran tebar benih kerapu berkisar 7,90-9,66 cm. Rasio
konversi pakan adalah 3,19 untuk skala kecil dan 4,27 untuk skala besar. Bobot
panen lebih besar dari 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 9,05 -10,66
bulan. Pada budidaya kerapu bebek kepadatan tebar untuk skala kecil (8 ekor/m3)
skala menengah (9,5 ekor/m3) dan skala besar (10 ekor/m3). Tingkat kelangsungan
hidup adalah antara 52,50% sampai 62% dan ukuran tebar berkisar 10,27-11,00 cm.
Konversi pakan pada skala kecil, menengah dan besar adalah 5,44, 6,02 dan 13,52.
Bobot panen di atas 400 gram dan periode budidaya berkisar antara 15,54-16,75
bulan (Table 2).
Tabel 1. Ringkasan produksi kerapu macan dengan skala produksi berbeda
Variabel
Kecil
3
Padat tebar (m )
Menengah
Besar
9,00
15,00
19.00
72,70
66,50
71.00
Ukuran benih (cm)
7,90
7,12
9,66
Rasio konversi pakan (FCR)
3,19
4,16
4,27
457,00
462,00
516,00
9,05
10,00
10,66
665,50
3.074,25
8.487.00
Sintasan kehidupan (%)
Ukuran panen (gram)
Masa pemeliharaan (bulan)
Produksi (kg)
Tabel 2. Ringkasan produksi kerapu bebek dengan skala produksi berbeda
Variabel
Kecil
Menengah
Besar
Padat tebar (m )
8,00
9,50
10,00
Sintasan kehidupan (%)
60,00
62,00
52,50
Ukuran benih (cm)
10,27
10,89
11,00
3
Rasio konversi pakan (FCR)
Ukuran panen (gram)
Masa pemeliharaan (bulan)
Produksi (kg)
5,44
6,02
13,52
472,00
468,00
492,00
15,54
15,77
16,75
416,82
1.146,89
4.262,50
Tabel 3 dan 4 menunjukkan ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dan
bebek. Biaya tetap pada budidaya kerapu macan berkisar antara 9% sampai 25%.
Biaya variabel menunjukkan bahwa biaya benih adalah komponen pengeluaran
terbesar, berkisar antara 28% dan 42%. Pakan adalah biaya terbesar kedua pada
skala menengah (24%) dan skala besar (32%), sementara itu biaya tenaga kerja
(26%) adalah biaya terbesar kedua usaha skala kecil. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa budidaya skala besar memiliki pendapatan lebih baik dari skala
menengah dan kecil (Tabel 3). Dalam budidaya kerapu bebek, biaya tetap berkisar
antara 10% sampai 13%. Biaya benih adalah pengeluaran terbesar diikuti oleh
12
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
biaya pakan kecuali pada skala kecil di mana biaya tenaga kerja adalah biaya
kedua terbesar (Tabel 4).
Tabel 3. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu macan dengan skala
produksi berbeda
Variable
Kecil
%
Menengah
%
Besar
%
1.Biaya modal
Keramba
29.900.000
56.380.952
96.121.212
Peralatan
2.600.000
7.375.000
20.000.000
Perahu
1.500.000
3.000.000
3.000.000
34.000.000
66.755.952
119.121.212
Depresiasi
6.800.000
13.351.190
23.824.242
Pemeliharaan
1.730.000
3.325.000
5.950.000
Izin
1.370.000
2.550.000
4.350.000
Total biaya tetap
9.900.000
24,7
19.226.190
15,6
34.124.242
Benih
11.380.000
28,4
41.525.000
33,8
154.000.000
42,1
Pakan
5.980.000
14,9
29.925.000
24,3
116.916.600
31,9
Buruh
10.200.000
25,5
24.825.000
20,2
48.783.000
13,3
510.000
1,3
3.200.000
2,6
4.666.713
1,3
1.290.000
3,2
2.600.000
2,1
5.566.000
1,5
790.000
2,0
1.662.500
1,4
1.916.660
0,5
Total biaya variabel
30.150.000
75,3
103.737.500
Total biaya produksi
40.000.000
122.850.000
365.965.573
59.500
57.500
65.000
39.597.250
176.769.375
551.655.000
Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap
9,3
Biaya variable
Vitamin
Solar
Lain-lain
84,4
331.848.973
90,7
3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan
Analisis indikator keuangan budidaya kerapu macan dan bebek pada skala
produksi berbeda dirangkum dalam Tabel 5 dan 6. Hasil penelitian menunjukkan
usaha skala kecil budidaya kerapu macan mengalami kerugian besar baik untuk
proyeksi jangka pendek maupun jangka panjang, dengan arus kas kumulatif – Rp.
18.102.650 pada tahun ke 5. Penerapan discount rate 15% menghasilkan NPV negatif
- Rp. 22.059.576 untuk jangka waktu 5 tahun (Tabel 5), mengindikasikan bahwa
investasi ditolak. Budidaya skala menengah memiliki arus kas kumulatif sebesar
Rp. 198.320.673 dan NPV sebesar Rp. 105.578.440. Rasio manfaat-biaya (B/C)
sebesar 1,25 dan IRR sebesar 88% menunjukkan kalayakan usaha budidaya kerapu
macan skala menengah. Skala besar memiliki kas kumulatif sebesar Rp. 707.746.923
dan NPV sebesar Rp. 406.801.749. Rasio manfaat-biaya (1,33), IRR (157%) dan
periode pengembalian (0,57 tahun) menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi
menghasilkan kinerja ekonomi yang positif. Analisis keuangan budidaya kerapu
bebek pada Tabel 6 menunjukkan bahwa semua skala produksi dianggap layak dengan
proyeksi arus kas kumulatif selama 5 tahun untuk skala kecil (Rp. 133.344.826)
menengah (Rp. 446.749.192) dan besar (Rp. 1.692.212.500). Penerapan discount
rate 15% menghasilkan NPV untuk skala kecil (Rp. 85.009.002) menengah (Rp.
13
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
286.822.375) dan skala besar (Rp. 1.088.181.355) selama periode 5 tahun.
Analisis keuangan lebih lanjut menunjukkan rasio manfaat-biaya (B/C) lebih dari
2, IRR lebih besar dari 300% untuk semua skala produksi dan jangka waktu
pengembalian modal kurang dari satu tahun.
Tabel 4. Ringkasan pengeluaran budidaya kerapu bebek dengan skala produksi
berbeda
Variable
Kecil
%
Menengah
%
Besar
%
1.Biaya modal
Keramba
Peralatan
14.100.000
39.200.000
131.500.000
2.000.000
7.000.000
15.000.000
1.000.000
2.500.000
5.000.000
17.100.000
48.700.000
151.500.000
3.420.000
9.740.000
30.300.000
Pemeliharaan
918.100
2.433.000
7.825.000
Izin
645.400
1.766.000
5.925.000
Perahu
Total modal
2.Biaya Produksi
Biaya tetap
Depresiasi
Total biaya tetap
4.983.500
12,6
13.939.000
13,1
44.050.000
Benih
15.409.091
39,1
44.944.444
42,4
192.625.000
41,3
Pakan
5.672.727
14,4
20.000.000
18,9
129.900.000
27,9
Buruh
8.609.000
21,8
18.766.660
17,7
64.850.000
13,9
Vitamin
1.327.270
3,4
1.655.500
1,6
10.850.000
2,3
Solar
1.563.630
4,0
3.888.800
3,7
13.775.000
3,0
1.863.000
4,7
2.888.000
2,7
10.000.000
2,1
92.143.404
86,9
9,5
Biaya variable
Lain-lain
Total biaya variabel
34.444.718
Total biaya produksi
39.571.218
106.030.404
467.000.000
266.818
300.000
318.500
111.215.078
344.067.000
1.357.606.250
87,4
422.000.000
90,5
3. Keuntungan
Harga (kg)
Total keuntungan
Hasil analisa sensitivitas beberapa variabel utama yang mempengaruhi
profitabilitas budidaya kerapu macan dan bebek dirangkum dalam tabel 7 dan 8.
Hasil analisa sensitivitas untuk usaha budidaya kerapu macan skala kecil
menunjukkan bahwa tingkat sintasan hidup meningkat memiliki efek berarti dalam
hal menghasilkan NPV positif. Hasil penelitian menunjukkan penurunan produksi
sebesar 20% mengakibatkan penurunan NPV dan B/C yang signifikan pada skala
produksi menengah dan besar. Selain itu, kedua skala produksi menunjukkan
penurunan NPV yang signifikan ketika harga jual turun menjadi Rp. 50.000 (Tabel
7). Hasil analisa sensitivitas pada budidaya kerapu bebek menunjukkan kelayakan
ekonomi dengan NPV positif pada semua skala produksi. Peningkatan produksi dan
harga terbukti memiliki pengaruh terbesar terhadap profitabilitas pada semua
skala produksi (Tabel 8).
14
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
Sintasan kehidupan kerapu macan dan bebek pada skala berbeda masing-masing
75% dan 65%. Ikan kerapu adalah ikan kanibalisme dan hampir dari kematian
terjadi pada bulan pertama penebaran ke dalam keramba jaring apung (KJA). Sadovy
& Lau (2002) melaporkan bahwa tingkat mortalitas ikan kerapu antara 60-80%
selama siklus pemeliharaan. Ukuran benih yang lebih disukai untuk tebar di KJA
di atas 7 cm mengingat benih kerapu bersifat kanibalisme (Marte, 2003). Yashiro
(1999) melaporkan bahwa ukuran minimum benih untuk budidaya dalam KJA berkisar
7-10 cm. Angka kematian selama pemelihaan adalah 60% atau lebih untuk benih ikan
kurang dari 5 cm (Sadovy, 2000). Ukuran penebaran 7 sampai 10 cm memiliki
tingkat kelangsungan hidup 30 sampai 70% selama dua bulan pertama pemeliharaan
(Leong, 1997). Penelitian ini menunjukkan bahwa peningkatan ukuran benih seperti
pada skala besar tidak meningkatan sintasan kehidupan ikan. Sementara itu,
kepadatan tebar yang lebih rendah seperti pada skala kecil tidak memberikan
kontribusi positif pada sintasan kehidupan. Oleh karena itu, meningkatkan
kualitas benih dan mengurangi kanibalisme dengan cara pemilahan dapat
meningkatkan tingkat sintasan kehidupan yang selanjutnya dapat meningkatkan
volume produksi.
Tabel 5. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu macan dengan
skala produksi berbeda
Perhitungan
profitabilitas
Kecil
Menengah
Besar
Arus Kas Kumulatif
-18.102.650 198.320.673
707.746.923
NPV
-22.059.576 105.578.440
406.801.749
B/C
0,84
1,25
1,33
IRR (%)
88%
157%
Payback period (tahun)
0,99
0,57
Tabel 6. Ringkasan indikator keuangan budidaya kerapu bebek dengan
skala produksi berbeda
Perhitungan
profitabilitas
Kecil
Menengah
Besar
Arus Kas Kumulatif
NPV
133.344.826 446.749.192
1.692.212.500
85.009.002 286.822.375
1.088.181.353
B/C
2,36
2,69
2,52
IRR (%)
361%
430%
506%
Payback period (tahun)
0,23
0,20
0,57
Rasio konversi pakan (FCR) pada budidaya kedua kerapu sangat tinggi pada
skala produksi yang berbeda. Ikan rucah adalah sumber makanan yang umum
digunakan dalam budidaya kerapu karena lebih murah daripada pakan buatan pabrik
(pellet). Ikan rucah dipotong-potong sesuai dengan bukaan mulut ikan dan
diberikan ke ikan sampai kenyang. Sekitar 30-50% dari ikan rucah diberikan pada
ikan terbuang selama proses pemberian pakan. Pakan yang terbuang 2 sampai 4 kali
lebih banyak dibandingkan dengan pemberian pellet (Sih et al., 2005). Wu et al.,
(1994) melaporkan bahwa pemberian makan dengan ikan rucah menghasilkan rasio
konversi pakan yang buruk. Dalam sebuah studi pemberian makan dengan ikan rucah,
Chou & Wong (1985) memperoleh FCR sebesar 7,5, sementara Tacon et al., (1991)
melaporkan FCR sebesar 3,5. Sih (2006) mengungkapkan bahwa biaya produksi satu
kilogram ikan kerapu dengan menggunakan ikan rucah sebagai sumber makanan ikan
berkorelasi
langsung
dengan
FCR.
Peningkatan FCR secara positif
akan
meningkatkan biaya produksi satu kilogram ikan kerapu. Penelitian ini
menunjukkan bahwa peningkatan skala produksi akan meningkatkan FCR. FCR pada
budidaya kerapu macan dan bebek dalam skala besar masing-masing meningkat 1,34
15
Depik, 1(1): 10-21
ISSN 2089-7790
dan 2,34 dibandingkan dengan skala kecil. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan
bahwa meningkatnya skala operasi menyebabkan penggunaan rucah yang tidak
efisien, yang berarti bahwa produsen skala besar membuang pakan lebih banyak
dari produsen skala kecil. Panjang periode budidaya dan skala operasi membuat
produsen skala besar kurang mengontrol manajemen pemberian pakan. Manajemen
pemberian pakan pada budidaya kerapu harus di tingkatkan untuk meningkatkan
effesiensi pemberian ikan rucah.
Penelitian ini menunjukkan bahwa persentase biaya tetap menurun dengan
meningkatnya skala produksi (Gambar 1). Hasil ini sama dengan pendapat Shang
(1990) yang menyatakan bahwa input biaya tetap menurun dengan meningkatnya skala
produksi. Biaya variabel utama dalam budidaya kerapu macan dan bebek adalah
benih, pakan dan tenaga kerja menyumbang lebih dari 65% dari total biaya
produksi. Persentase biaya variabel meningkat dengan meningkatnya skala produksi
kecuali untuk biaya tenaga kerja. Studi ini menunjukkan bahwa budidaya kedua
kerapu dalam skala besar menghasilkan biaya tenaga kerja menjadi rendah.
Budidaya kerapu memerlukan tenaga kerja intensif minimal 3 tenaga kerja untuk
pemberian makan dan pemilahan ikan. Peningkatan unit pembesaran pada skala besar
membuat tenaga kerja mampu menangani lebih banyak keramba dan memberikan
kontribusi pada rendahnya input tenaga kerja. Oleh karena itu, peningkatan skala
produksi akan meningkatkan biaya variabel kecuali biaya tetap dan tenaga kerja.
(a)
Fixed cost
Fry
Feed
Labor
45
Fixed cost
(b)
Fry
Feed
Labor
45
40
40
35
Production cost (% )
Production cost (%)
35
30
25
20
15
30
25
20
15
10
10
5
5
0
0
Small
Gambar 1.
Medium
Scale
Small
Large
Medium
Large
Scale
Biaya produksi kerapu macan (a) dan kerapu bebek (b) pada skala
produksi berbeda
Analisis lebih lanjut dilakukan untuk menganalisis kinerja keuangan
budidaya kerapu macan dan bebek. Analisis keuangan menunjukkan bahwa usaha
budidaya kerapu macan skala kecil tidak layak secara ekonomi. Dengan proyeksi 5
tahun menghasilkan arus kas negative –Rp. 18.102.650 dan NPV negatif-Rp.
22.059.576 (Tabel 5). Proyeksi ini menunjukkan bahwa kerapu macan skala kecil
mengalami kerugian besar dan harus ada perubahan besar agar usaha dalam skala
ini menjadi layak. Penelitian sebelumnya tentang budidaya kerapu dalam skala
kecil oleh Sheriff (2004) menjelaskan bahwa usaha skala kecil menghasilkan
keuntungan yang memadai dan investasi cukup menguntungkan. Penelitian tersebut
diproyeksikan bahwa skala kecil menghasilkan Rp. 27.390.000, B/C 2,64 dan IRR
sebesar 125% berdasarkan asumsi bobot panen 1,2 kg dan penjualan harga Rp.
77.000. Model analisis ekonomi yang dikembangkan oleh Pomeroy et al. (2004)
memproyeksikan hasil sebesar Rp. 78.884.850. Mereka berasumsi bahwa tingkat
kelangsungan hidup adalah 80%, panen ukuran 600 gram dan harga jual Rp. 66.000.
Oleh karena itu, meningkatkan ukuran panen dan sintasan