Gambaran Pelaksanaan Cuci Tangan Perawat dalam Melaksanakan Tindakan Keperawatan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau Medan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Cuci Tangan
2.1.1. Defenisi Cuci Tangan
Menurut Depkes (2007) mencuci tangan adalah proses yang secara mekanis
melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun biasa
dan air. Cuci tangan adalah proses membuang kotoran dan debu secara mekanis
dari kulit kedua belah tangan dengan memakai sabun dan air (Tietjen, dkk,
2004). Sementara itu menurut Larson seperti yang dikutip dalam Potter & Perry
(2005) mengatakan bahwa mencuci tangan adalah menggosok dengan sabun
secara bersama seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan ringkas yang
kemudian dibilas di bawah air.
Mencuci tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk
menghindari penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar
hilang. Mencuci tangan juga mengurangi pemindahan mikroba ke pasien dan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berada pada kuku, tangan dan
lengan (Schaffer, dkk, 2000).
Cuci tangan dapat diartikan sebagai tindakan perawat untuk menggosok tangan
dengan sabun secara bersama ke seluruh kulit permukaan tangan dengan kuat dan
ringkas sesuai dengan prosedur pelaksanaan yang benar dan dibilas dibawah air
mengalir dengan menggunakan sabun anti mikroba, dan bertujuan untuk

membebaskan

tangan

dari

kuman

serta

mencegah

kontaminasi

silang,

memindahkan angka maksimum kulit dari kemungkinan adanya infeksi pathogen
(Kusyadi, 2010).
6
Universitas Sumatera Utara


7

Teknik dasar yang paling penting dalam pencegahan dan pengontrolan penularan
infeksi adalah mencuci tangan (Potter & Perry, 2005). Mencuci tangan adalah prosedur
kesehatan yang paling penting yang dapat dilakukan oleh semua orang untuk
mencegah penyebaran kuman. Mencuci tangan adalah tindakan aktif dan singkat
menggosok tangan dengan sabun dibawah air hangat yang mengalir (Depkes, 2003).
Cuci tangan adalah tindakan membersihkan kedua tangan dari mikoorganisme,
debu, dan kotoran dengan cara menggosok kedua tangan dengan menggunakan air
dan sabun secara bersamaan kemudian dibilas dengan air mengalir.
2.1.2. Tujuan Cuci Tangan
Menurut Tietjen (2004) tujuan cuci tangan adalah menghilangkan kotoran
dan debu secara mekanis dari permukaan kulit dan mengurangi mikroorganisme
sementara. Tujuan dari cuci tangan adalah untuk membersihkan mikroorganisme
transien sebelum berpindah ke pasien yang rentan. Infeksi silang dapat terjadi
sewaktu perawat berpindah dari satu pasien ke pasien yang lain atau memegang
bagian yang berbeda pada satu pasien (Gould & Brooker, 2003).
Tujuan mencuci tangan adalah untuk membuang kotoran dan organisme yang
menempel dari tangan dan untuk mengurangi jumlah mikroba total pada saat itu.

Tangan yang terkontaminasi merupakan penyebab utama perpindahan infeksi (Potter
& Perry, 2005). Tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu mengangkat mikroorganisme
yang ada di tangan, mencegah infeksi silang (cross infection), menjaga kondisi
steril, melindungi diri dan pasien dari infeksi, dan memberikan perasaan segar dan
bersih (Susiati, 2008).

Universitas Sumatera Utara

8

2.1.3. Indikasi Cuci Tangan
Cuci tangan sebaiknya dilakukan sebelum (Tietjien, dkk, 2004):
a.

memeriksa (kontak langsung) dengan pasien; dan

b.

memakai sarung tangan bedah steril atau DTT sebelum pembedahan atau
sarung tangan pemerikasaan untuk tindakan rutin .


Cuci tangan sebaiknya dilakukan setelah :
a.

situasi tertentu dimana kedua tangan dapat terkontaminasi, seperti:
memegang instrument yang kotor dan alat-alat lainnya; menyentuh selaput
lendir, darah, atau duh tubuh lainnya (sekresi atau eksresi); kontak yang
lama dan intensif dengan pasien,

b.

melepas sarung tangan.

WHO (2009) mengindikasikan cuci tangan sebagai berikut :
a.

cuci tangan dengan air dan sabun ketika terlihat kotor atau terpapar
dengan darah atau cairan tubuh lainnya atau setelah menggunakan toilet,

b.


sebelum dan sesudah menyentuh pasien,

c.

sebelum melakukan prosedur invasif dengan atau tanpa menggunakan
sarung tangan,

d.

setelah bersentuhan dengan kulit yang tidak intact , membrane mukosa,
atau balutan luka,

e.

bila berpindah dari satu bagian tubuh yang terkontaminasi ke bagian tubuh
yang lainnya dalam satu perawatan pada pasien yang sama,

f.


setelah kontak dengan peralatan medis,

g.

setelah melepaskan sarung tangan steril dan non steril,

Universitas Sumatera Utara

9

h.

sebelum pemberian medikasi atau mempersiapakan makanan cuci tangan
menggunakan alcohol handrub atau cuci tangan dengan sabun anti
bacterial dengan air mengalir.

2.1.4. Prinsip Cuci Tangan
Cuci tangan menjadi salah satu langkah yang efektif untuk memutuskan rantai
transmisi infeksi, sehingga insidensi nosokomial dapat berkurang. Pencegahan
dan pengendalian infeksi mutlak harus dilakukan oleh perawat, dokter dan

seluruh orang yang terlibat dalam perawatan pasien. Salah satu komponen
standar kewaspadaan dan usaha menurunkan infeksi nosokomial adalah
menggunakan

panduan

kebersihan

tangan

yang

benar

dan

mengimplementasikan secara efektif.
Hand hygiene adalah istilah yang digunakan untuk membersihkan tangan dari
mikroorganisme dengan cara menggosok kedua tangan menggunakan air dan sabun
antiseptic ataupun menggunakan alcohol handrub. WHO (2009) mencetuskan

promosi global patient safety challenge dengan clean care is safecare, yang
artinya adalah perawatan yang bersih maupun higienis adalah perawatan yang
aman untuk keselamatan pasien (patient safety) dengan merumuskan inovasi
strategi penerapan hand hygiene atau kebersihan tangan untuk petugas kesehatan
dengan five moments for hand hygiene atau 5 momen mencuci tangan, yaitu mencuci
tangan di 5 momen krusial.
5 momen mencuci tangan adalah sebagai berikut:
a.

sebelum kontak dengan pasien
Mencuci tangan sebelum menyentuh pasien ketika mendekati pasien dalam

Universitas Sumatera Utara

10

situasi seperti

berjabat


tangan,

membantu

pasien

bergeser ataupun

berpindah posisi, dan pemeriksaan klinis.
b.

sebelum melakukan tindakan aseptic
Mencuci tangan segera sebelum tindakan aseptik dalam situasi seperti

perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pembalutan dan perawatan
luka, insersi kateter, mempersiapkan makanan, dan pemberian obat.
c.

setelah bersentuhan dengan cairan tubuh pasien risiko tinggi
Mencuci tangan segera setelah terpapar dengan cairan tubuh pasien yang


beresiko tinggi atau setelah melepaskan sarung tangan dalam situasi
seperti perawatan gigi dan mulut, aspirasi sekresi, pengambilan dan
memeriksa darah, membersihkan urin, feses, dan penanganan limbah.
d.

setelah kontak dengan pasien
Mencuci tangan setelah menyentuh pasien dan lingkungan sekitarnya dan

ketika meninggalkan pasien dalam situasi seperti berjabat tangan, membantu
pasien merubah posisi dan pemeriksaan klinik.
e.

setelah bersentuhan dengan lingkungan sekitar pasien
Mencuci tangan setelah menyentuh benda atau peralatan pasien di

lingkungan sekitarnya dan ketika meninggalkan ruangan pasien bahkan bila
tidak menyentuh pasien dalam situasi mengganti linen tempat tidur
pasien dan penyetelan kecepatan perfusi.


Universitas Sumatera Utara

11

2.1.5. Teknik Cuci Tangan
a.

Teknik cuci tangan biasa
Teknik mencuci tangan biasa adalah membersihkan tangan dengan sabun

dan air bersih yang mengalir atau yang disiramkan, biasanya digunakan sebelum
dan sesudah melakukan tindakan yang tidak mempunyai resiko penularan
penyakit. Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan biasa adalah
setiap wastafel dilengkapi dengan peralatan cuci tangan sesuai standar rumah
sakit (misalnya kran air bertangkai panjang untuk mengalirkan air bersih,
tempat sampah injak tertutup yang dilapisi kantung sampah medis atau kantung
plastik berwarna kuning untuk sampah yang terkontaminasi atau terinfeksi),
alat pengering seperti tisu, lap tangan (hand towel), sarung tangan (gloves),
sabun cair atau cairan pembersih tangan yang berfungsi sebagai antiseptik, lotion
tangan, serta di bawah wastafel terdapat alas kaki dari bahan handuk.
b.

Teknik cuci tangan aseptic
Mencuci tangan aseptik yaitu cuci tangan yang dilakukan sebelum

tindakan aseptik pada pasien dengan menggunakan antiseptik. Mencuci
tangan dengan larutan disinfektan, khususnya bagi petugas yang berhubungan
dengan pasien yang mempunyai penyakit menular atau sebelum melakukan
tindakan bedah aseptik dengan antiseptik dan sikat steril.
c.

Teknik cuci tangan steril
Teknik mencuci tangan steril adalah mencuci tangan secara steril (suci

hama), khususnya bila akan membantu tindakan pembedahan atau operasi.
Peralatan yang dibutuhkan untuk mencuci tangan steril adalah menyediakan bak

Universitas Sumatera Utara

12

cuci tangan dengan pedal kaki atau pengontrol lutut, sabun antimikrobial
(non-iritasi, spektrum luas, kerja cepat), sikat scrub bedah dengan pembersih
kuku dari plastik, masker kertas dan topi atau penutup kepala, handuk steril,
pakaian diruang scrub dan pelindung mata, penutup sepatu (Tietjen, dkk, 2004).
2.1.6. Keuntungan Mencuci Tangan
Menurut Puruhito (1995), cuci tangan akan memberikan keuntungan yaitu
dapat mengurangi infeksi nosokomial, Jumlah kuman yang terbasmi lebih banyak
sehingga tangan lebih bersih dibandingkan dengan tidak mencuci tangan. Dari segi
praktis, ternyata lebih murah dari pada tidak mencuci tangan sehingga tidak dapat
menyebabkan infeksi nosokomial.
2.1.7. Perilaku Cuci Tangan Petugas Kesehatan
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya
stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka
teori Skinner ini disebut teori “SOR” atau Stimulus Organisme Respon.

Universitas Sumatera Utara

13

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku menurut
Notoatmodjo (2003) dapat dibedakan menjadi dua yaitu perilaku tertutup (covert
behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup (convert
behavior) merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung
atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas
pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang
yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang
lain. Sedangkan perilaku terbuka (overt behavior) merupakan respon seseorang
terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap
stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan
mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
Menurut teori Green dalam Notoatmodjo (2003), menganalisis perilaku
manusia dari tingkat kesehatan, dimana kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavio causes) dan faktor
diluar perilaku (nonbehavior causes). Selanjutnya perilakun itu sendiri ditentukan
atau terbentuk dari 3 faktor yaitu faktor-faktor predisposisi (predisposing factors),
yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan
sebagainya; faktor-faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan, misalnya fasilitas untuk cuci tangan; dan faktor-faktor pendorong
(reinforcing factors) yang dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, atau petugas
yang lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

14

Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh Musadad, et.al. (1993) ditulis
dalam CDK (Cermin Dunia Kedokteran) yaitu perilaku cuci tangan oleh tenaga
kesehatan baik dokter maupun perawat menunjukkan bahwa sebagian besar petugas
tersebut tidak melaksanakan cuci tangan. Hal ini terlihat pada waktu petugas akan
memeriksa pasien, baik saat pertama kali atau pergantian dari pasien satu ke pasien
lainnya. Mereka pada umumnya mencuci tangan setelah selesai melakukan
pemeriksaan pasien keseluruhannya. Kondisi seperti ini dapat memicu terjadinya
Infeksi nosokomial yang dikenal dengan Healthcare Associated Infections (HAIs)
yang dapat terjadi melalui penularan dari pasien kepada petugas, dari pasien ke
pasien lain, dari pasien kepada pengunjung atau keluarga maupun dari petugas
kepada pasien (Depkes RI, 2009).
Salah satu tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan
pengendalian infeksi adalah hand hygiene (kebersihan tangan) karena kegagalan
dalam menjaga kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi nosokomial dan
mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multi resisten di fasilitas pelayanan
kesehatan (Menkes dalam Depkes RI, 2009).
Menjaga kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan menurut Tietjen
(2004) adalah metode paling mudah, murah dan efektif dalam pencegahan infeksi
nosokomial dengan strategi yang telah tersedia, yaitu:
a.

menaati praktek pencegahan infeksi yang diajurkan,terutama kebersihan
dan kesehatan tangan (cuci tangan) serta pemakaian sarung tangan,

Universitas Sumatera Utara

15

b.

memperhatikan dengan seksama proses yang telah terbukti bermanfaat
untuk dekontaminasi dan pencucian peralatan dan benda lain yang kotor,
diikuti dengan sterilisasi atau disinfeksi tingkat tinggi,

c.

meningkatkan keamanan dalam ruang operasi dan area beresiko tinggi
lainnya di mana kecelakaan perlukaan yang sangat serius dan paparan pada
agen penyebab infeksi sering terjadi.

2.2. Infeksi Nosokomial
2.2.1. Defenisi Infeksi Nosokomial
Nosokomial berasal dari bahasa yunani, dari kata nosos yang artinya penyakit,
dan komeo yang artinya merawat. Nosokomion berarti tempat untuk merawat/
Rumah Sakit. Jadi infeksi Nosokomial adalah infeksi yang didapat pasien dari
rumah sakit pada saat pasien menjalani proses asuhan (Darmadi, 2008). Infeksi
nosokomial dapat terjadi pada penderita, tenaga kesehatan, dan juga setiap orang
yang datang ke Rumah Sakit. Infeksi yang ada di pusat pelayanan kesehatan ini
dapat ditularkan atau diperoleh melalui petugas kesehatan, orang sakit, pengunjung
yang berstatus karier atau karena kondisi rumah sakit (Septiari, 2012).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang terjadi di rumah sakit karena
mikroorganisme patogen yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan
kesehatan (Potter & Perry, 2005). Infeksi nosokomial menurut Brooker (2008)
adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi pada pasien yang dirawat
selama 72 jam dan pasien tersebut tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi pada
saat pasien masuk rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara

16

Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa infeksi nosokomial
adalah infeksi yang diperoleh dari rumah sakit yang dapat mempengaruhi kondisi
kesehatan pasien sebelum, selama dan sesudah menjalani perawatan.
2.2.2. Batasan infeksi Nosokomial
Batasan infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat oleh penderita, ketika
penderita dalam proses asuhan keperawatan di Rumah Sakit. Suatu infeksi pada
penderita baru bisa dinyatakan sebagai infeksi nosokomial apabila memenuhi
beberapa kriteria/ batasan tertentu diantaranya:
a.

pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapatkan
tanda-tanda klinik dari infeksi nosokomial,

b.

pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit, tidak sedang dalam
masa inkubasi dari infeksi tersebut,

c.

tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul sekurang-kurangnya setelah
3x24 jam sejak mulai perawatan,

d.

infeksi tersebut bukan merupakan sisa dari infeksi sebelumnya,

e.

bila saat mulai dirawat di Rumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan
terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit
yang sama pada waktu yang lalu, serta belum pernah dilaporkan sebagai
infeksi nosokomial (Siregar, 2004).

Universitas Sumatera Utara

17

2.2.3. Tahapan Infeksi Nosokomial
a.

Tahap pertama
Mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu/ penderita dengan mekanisme

penyebaran (mode of transmission) terdiri dari penularan langsung, dan tidak
lansung.
1) Penularan langsung
Melalui droplet nuclei yang berasal dari petugas, keluarga/ pengunjung,
dan penderita lainnya. Kemungkinan lain berupa darah saat transfusi darah.
2) Penularan tidak langsung
a)

vehicle-borne
Penyebaran/ penularan mikroba patogen melalui benda-benda mati

seperti peralatan medis, bahan-bahan/ material medis, atau peralatan
lainnya.
b) vector-borne
Penyebaran/ penularan mikroba patogen dengan perantara seperti
serangga.
c) food-borne
Penyebaran/ penularan mikroba patogen melalui makanan, dan
minuman yang disajikan penderita.
d) water-borne
Penyebaran/ penularan mikroba patogen

melalui air, namun

kemungkinannya kecil sekali karena air di Rumah Sakit biasanya sudah
melalui uji baku.

Universitas Sumatera Utara

18

e) air-borne
Penyebaran/ penularan mikroba patogen melalui udara, peluang
terjadinya infeksi melalui cara ini cukup tinggi karena ruangan/ bangsal
yang tertutup secara teknis kurang baik ventilasi, dan pencahayaannya.
b.

Tahap kedua
Upaya dari mikroba patogen menginvasi ke jaringan/ organ penjamu (pasien)

dengan cara mencari akses masuk (port d’entrée) seperti adanya kerusakan/ lesi
kulit atau mukosa dari rongga hidung, mulut, orifisium uretra, dan sebagainya.
1) mikroba patogen masuk ke jaringan/ organ melalui lesi kulit. Hal ini dapat
terjadi sewaktu melakukan insisi bedah atau jarum suntik,
2) mikroba patogen masuk melalui kerusakan/ lesi mukosa saluran urogenital
karena tindakan invasif seperti :
a) tindakan kateterisasi, sitoskopi,
b) pemeriksaan, dan tindakan ginekologi,
c) pertolongan persalinan pervaginam patologis, baik dengan bantuan
instrumen medis maupun tanpa bantuan instrumen medis.
3) dengan cara inhalasi, mikroba patogen masuk melalui rongga hidung
menuju saluran napas.
4) dengan cara ingesti yaitu melalui mulut masuk kedalam saluran cerna.
Terjadi pada saat makan, dan minum dengan makanan, dan minuman yang
terkontaminasi.

Universitas Sumatera Utara

19

c.

Tahap ketiga
Mikroba patogen berkembang biak (melakukan multiplikasi) disertai dengan

tindakan destruktif terhadap jaringan, walaupun ada mengakibatkan perubahan
morfologis, dan gangguan fisiologis jaringan. (Darmadi, 2008).
2.2.4. Dampak Infeksi Nosokomial
Menurut Septiari (2012) infeksi nosokomial dapat memberikan dampak
sebagai berikut:
a.

menyebabkan cacat fungsional, serta stress emosional, dan dapat
menyebabkan cacat yang permanen serta kematian,

b.

dampak tertinggi pada Negara berkembang dengan prevalensi HIV/
AIDS yang tinggi,

c.

meningkatkan biaya kesehatan diberbagai Negara yang tidak mampu,
dengan meningkatkan lama perawatan di Rumah Sakit, pengobatan
dengan obat-obat mahal, dan penggunaan pelayanan lainnya,

d.

morbiditas dan mortalitas semakin tinggi,

e.

adanya tuntutan secara hukum,

f.

penurunan citra Rumah Sakit (Septiari, 2012).

Menurut Nurhadi (2012) dampak infeksi nosokomial adalah :
a.

bertambahnya stress emosional yang menurunkan kemampuan dan
kualitas hidup,

b.

lamanya rawat inap di Rumah Sakit sehingga bertambahnya biaya
perawatan,

c.

meningkatnya penggunaan obat-obatan,

Universitas Sumatera Utara

20

d.

kebutuhan akan isolasi pasien,

e.

penggunaan pemeriksaan laboratorium tambahan serta studi diagnosis
lainnya, dan

f.

meningkatnya jumlah kematian dirumah sakit.

2.2.5. Gejala Klinis Infeksi Nosokomial
Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter
& Perry, 2005). Gejala klinis lokal akan memberikan gambaran klinis sesuai
dengan organ yang diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan
menimbulkan gejala seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya.
Bila organ pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti
mual, muntah, kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2008).
Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala (symptom) yang lebih banyak dari
pada gejala infeksi lokal. Biasanya menyebabkan demam, merasa lemas, malaise,
nafsu makan menurun, mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya
(Potter & Perry, 2005).
2.2.6. Cara Penularan Infeksi Nosokomial
a.

Penularan secara kontak
Penularan ini dapat terjadi secara kontak langsung, kontak tidak langsung, dan

droplet. Kontak langsung terjadi apabila sumber infeksi berhubungan langsung
dengan penjamu, misalnya Person to person pada penularan infeksi virus hepatitis
A secara fecal oral. Kontak tidak langsung terjadi apabila penularan membutuhkan
perantara (biasanya benda mati).

Universitas Sumatera Utara

21

Hal ini terjadi karena benda mati tersebut telah terkontaminasi oleh infeksi,
misalnya kontaminassi peralatan medis oleh mikroorganisme.
b.

Penularan Melalui Common Vehicle
Penularan ini melalui benda mati yang telah terkontaminasi oleh kuman, dan

dapat menyebabkan penyakit lebih dari satu penjamu. Adapun jenis-jenis common
vehicle adalah darah/ produk darah, cairan intravena, obat-obatan, dan sebagainya.
c.

Penularan melalui udara, dan inhalasi
Penularan ini terjadi apabila mikroorganisme berukuran yang sangat kecil

sehingga dapat mengenai penjamu dalam jarak yang cukup jauh, dan melalui
saluran pernafasan. Misalnya mikroorganisme yang terdapat dalam sel-sel kulit
yang terlepas (staphylococcus), dan tuberculosis.
d.

Penularan dengan perantara vektor
Penularan ini dapat terjadi secara eksternal dan internal. Disebut penularan

eksternal apabila hanya terjadi pemindahan secara mekanis dari mikroorganisme
yang menempel pada tubuh vector, misalnya shigella, dan salmonela oleh lalat.
Penularan secara internal apabila mikroorganisme masuk kedalam tubuh
vector, dan dapat terjadi perubahan secara biologis, misalnya parasit malaria dalam
nyamuk atau tidak mengalami perubahan biologis, misalnya yersenia pestis pada
ginjal (flea) (Septiari, 2012).
2.2.7. Pengendalian Infeksi Nosokomial
Dalam mengendalikan infeksi nosokomial dirumah sakit, ada tiga hal yang
perlu ada dalam program pengendalian infeksi nosokomial dirumah sakit,
diantaranya :

Universitas Sumatera Utara

22

a.

adanya sistem surveilan yang mantap, surveilan suatu penyakit adalah
tindakan pengamatan yang sistemik, dan dilakukan terus menerus terhadap
penyakit tersebut yang terjadi pada suatu populasi tertentu dengan tujuan
untuk dapat melakukan pencegahan, dan pengendalian,

b.

adanya peraturan yang tegas, dan jelas serta dapat dilaksanakan merupakan
hal yang sangat penting adanya. Peraturan-peraturan ini merupakan
standar yang harus dijalankan setelah dimengerti semua petugas,

c.

adanya program pendidikan yang terus menerus bagi semua petugas rumah
sakit dengan tujuan mengembalikan sikap mental yang benar dalam
merawat penderita. Keberhasilan program ini ditentukan oleh perilaku
petugas dalam melaksanakan perawatan yang sempurna kepada penderita
(Septiari, 2012).

2.2.8. Pencegahan Infeksi Nosokomial
a.

Kewaspadaan universal
Kewaspadaan universal adalah suatu pedoman yang ditetapkan oleh Centers

for Disease Control (CDC) untuk mencegah penyebaran dari berbagai penyakit
yang ditularkan melalui darah dilingkungan rumah sakit maupun sarana pelayanan
kesehatan lainya. Diantaranya :
1) cuci tangan,
2) sarung tangan,
3) masker, kaca mata, masker muka,
4) baju pelindung,
5) kain,

Universitas Sumatera Utara

23

6) peralatan perawatan pasien,
7) pembersih lingkungan,
8) instrumen tajam,
9) resusitasi pasien,
10) penempatan pasien,
b.

Tindakan invasif
1) tindakan invasif sederhana adalah suatu tindakan memasukkan alat
kesehatan ke dalam tubuh, dan menyebar ke jaringan. Contoh : suntikan,
pungsi (vena, lumbal, pericardial, pleura suprapublik), bronkoskopi,
angiografi, pemasangan alat (kontrasepsi, kateter intravena, kateter
jantung, pipa endotrakeal, pipa nasogastrik, pacu jantung),
2) tindakan invasif operasi adalah suatu tindakan yang melakukan penyayatan
pada tubuh pasien, dan dengan demikian memungkinkan mikroorganisme
masuk kedalam tubuh dan menyebar.

c.

Tindakan non invasif
Tindakan non invasif adalah suatu tindakan medis dengan menggunakan alat

kesehatan tanpa memasukkan ke dalam tubuh pasien yang memungkinkan masuk
ke dalam jaringan. Contoh : tindakan EKG, USG, pengukuran suhu tubuh,
pengukuran tekanan darah, pengukuran nadi, pemeriksaan reflek tonus treadmill
test, pemasangan hotler, dan lain-lain.
d.

Tindakan terhadap anak, dan neonatus
Tindakan terhadap anak/ neonatus dapat berupa tindakan invasif, tindakan non

invasif, maupun tindakan operasi.

Universitas Sumatera Utara

24

e.

Sterilisasi
Sterilisasi merupakan suatu proses dengan metode tertentu dapat memberikan

hasil akhir, yaitu suatu bentuk keadaan yang tidak dapat ditunjukkan lagi adanya
mikroorganisme hidup (Darmadi, 2008).
f.

Desinfeksi
Desinfeksi adalah istilah umum tindakan/ upaya destruktif/ membunuh

mikroba

patogen

(bentuk

vegetatif,

bukan

endespora

bakteri)

dengan

memanfaatkan bahan kimia, baik yang ada pada jaringan hidup maupun yang ada
pada benda mati. (Darmadi, 2008).
2.3. Tindakan Keperawatan
2.3.1. Defenisi Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan yaitu tindakan otonomi berdasarkan pada alasan ilmiah
yang dilakukan untuk keuntungan klien dalam cara yang diperkirakan yang
berhubungan dengan diagnosa keperawatan dan tujuan ( Bulecheck & Mc Closkey,
1995 ).
Menurut Potter & Perry (2005), Tindakan keperawatan adalah semua tindakan
yang dilakukan oleh perawat, yaitu dengan melaksanakan rencana atau tujuan
spesifik yang telah ditetapkan. Suatu sikap belum tentu otomatis terwujud dalam
suatu tindakan (overt behavior).
Tindakan ini mempunyai beberapa tingkatan yaitu (Notoatmojo.,2007) :
a.

Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehub ungan dengan tindakan yang

akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.

Universitas Sumatera Utara

25

b.

Respons terpimpin (guieded response)
Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai

dengan contoh merupakan indicator praktik tingkat dua.
c.

Mekanisme (mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara

otomatis, atau sesuatu merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktik
tingkat tiga.
d.

Adopsi (adoption)
Adopsi adalah suatu praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan

baik. Artinya tindakan itu sudah dimodifikasikannya tanpa mengurangi
kebenaran tindakan tersebut.
Cuci tangan merupakan salah satu bentuk tindakan keperawatan. Tindakan
keperawatan adalah semua rencana dan tujuan yang dilakukan oleh perawat yaitu
dengan melaksanakan rencana dan tujuan spesifik yang telah ditetapkan (Potter &
Perry, 2005). Menurut Bulechek & McCloskey cit Carpetino (1999) tindakan
keperawatan adalah tindakan otonomi berdasarkan pada alasan ilmiah yang
dilakukan untuk keuntungan klien dalam cara yang dipikirkan yang berhubungan
dengan diagnosa keperawatan dan tujuaan.
2.3.2. Tujuan Proses Keperawatan
Menurut Asmadi (2008), proses keperawatan merupakan suatu upaya pemecahan
masalah yang tujuan utamanya adalah membantu perawat menangani klien secara
komprehensif dengan dilandasi alasan ilmiah, keterampilan teknis, dan keterampilan
interpersonal. Penerapan proses keperawatan tidak hanya ditujukan untuk kepentingan

Universitas Sumatera Utara

26

klien, tetapi juga profesi keperawatan itu sendiri.
Tujuan penerapan proses keperawatan bagi klien, antara lain:
a.

mempertahankan kesehatan klien,

b.

mencegah sakit yang lebih parah/ penyebaran penyakit/ komplikasi akibat
penyakit,

c.

membantu pemulihan kondisi klien setelah sakit,

d.

mengembalikan fungsi maksimal tubuh,

e.

membantu klien terminal meninggal dengan tenang.

Tujuan penerapan proses keperawatan bagi profesionalitas keperawatan, antara
lain:
a.

mempraktikkan metode pemecahan masalah dalam praktik keperawatan,

b.

menggunakan standar praktik keperawatan,

c.

memperoleh metode yang baku, rasional, dan sistematis,

d.

memperoleh hasil asuhan keperawatan dengan efektifitas yang tinggi.

2.3.3. Sifat-sifat Proses Keperawatan
Proses keperawatan memiliki beberapa sifat yang membedakannya dengan
metode lain. Sifat pertama adalah dinamis, artinya setiap langkah dalam proses
keperawatan dapat kita perbarui jika situasi yang kita hadapi berubah. Sifat kedua
adalah siklus, artinya proses keperawatan berjalan menurut alur (siklus) tertentu :
pengkajian, penetapan diagnosa, perencanaan, implementasi dan evaluasi. Sifat ketiga
adalah saling ketergantungan, artinya masing-masing tahapan pada proses
keperawatan saling bergantung satu sama lain. Sifat keempat adalah fleksibilitas,
artinya urutan pelaksanaan proses keperawatan dapat berubah sewaktu-waktu, sesuai

Universitas Sumatera Utara

27

dengan situasi dan kondisi klien (Asmadi, 2008).
2.3.4. Komponen Proses Keperawatan
a.

Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Pengumpulan data

dilakukan secara sistematis guna menentukan status kesehatan klien saat ini dan
secara komprehensif terkait aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual klien.
Tujuan pengkajian adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar
klien. Metode utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah
wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik (Asmadi, 2008).
b.

Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respon aktual atau

potensial klien terhadap masalah kesehatan yang dilakukan perawat yang mempunyai
izin dan berkompeten untuk mengatasinya. Respon aktual dan potensial klien
didapatkan dari data dasar pengkajian, tinjauan literatur yang berkaitan, catatan medis
klien masa lalu, dan konsultasi dengan profesional lain, yang kesemuanya
dikumpulkan selama pengkajian (Potter & Perry, 2005).
c.

Perencanaan
Tahap perencanaan memberikan kesempatan kepada perawat, klien, keluarga dan

orang terdekat klien untuk merumuskan rencana tindakan keperawatan guna
mengatasi masalah yang dialami klien. Perencanaan ini merupakan suatu petunjuk
tertulis yang menggambarkan secara tepat rencana tindakan keperawatan yang
dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosis
keperawatan.

Universitas Sumatera Utara

28

Tahap perencanaan dapat disebut sebagai inti atau pokok dari proses
keperawatan. Perencanaan merupakan keputusan awal yang memberi arah bagi tujuan
yang ingin dicapai, hal yang akan dilakukan, termasuk bagaimana, kapan, dan siapa
yang akan melakukan tindakan keperawatan. Karenanya, dalam menyusun rencana
tindakan keperawatan untuk klien, keluarga dan orang terdekat perlu dilibatkan secara
maksimal (Asmadi, 2008).
d.

Implementasi
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah

kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai
tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan yang dilakukan atau
diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan mengikuti
komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian, di banyak
lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara langsung
setelah pengkajian (Potter 7 Perry, 2005).
e.

Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan

perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan
secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dengan tenaga kesehatan lainnya.
Jika hasil evaluasi menunjukkan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa keluar
dari siklus proses keperawatan. jika sebaliknya, klien akan masuk kembali ke dalam
siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassessment). Secara umum, evaluasi
ditujukan untuk:

Universitas Sumatera Utara

29

1) melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan,
2) menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum,
3) mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Asmadi,
2008).

Universitas Sumatera Utara