Geografi Dialek Bahasa Karo di Kecamatan Munte Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara

BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
2.1.1 Dialek
Dialek adalah sebagai sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh satu masyarakat
untuk membedakannya dari masyarakat lain yang bertetangga yang mempergunakan
sistem yang berlainan walaupun erat hubungannya (Weijnen dalam Ayatrohaedi, 1983:1).
Ada dua ciri yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek adalah seperangkat bentuk ujaran
setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip
sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan (2) dialek
tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Meillet 1967:69).
2.1.2 Isolek
Adelaar dalam Hudson (1970:302-303) menyatakan bahwa isolek digunakan untuk
mengacu pada bentuk bahasa tanpa memperhatikan statusnya sebagai bahasa ataukah
sebagai dialek. Istilah isolek merupakan istilah netral yang dapat digunakan untuk
menunjuk pada bahasa, dialek, atau subdialek.
2.1.3 Geografi Dialek
Menurut Keraf (1984:143), geografi dialek mempelajari variasi-variasi bahasa
berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Geografi dialek mengungkapkan
fakta-fakta tentang perluasan ciri-ciri linguistis yang sekarang tercatat sebagai ciri-ciri
dialek.


9
Universitas Sumatera Utara

Dalam memperoleh hasil penelitian yang baik, penelitian geografi dialek harus
didasarkan pada dua hal yaitu:
1. Pengamatan yang setara terhadap daerah yang diteliti
2. Bahannya harus dapat diperbandingkan sesamanya, dan keterangan yang bertalian
dengan kenyataan-kenyataannya dikumpulkan dengan aturan dan cara yang sama.
Geografi dialek adalah cabang dialektologi yang bertujuan mempelajari hubungan
yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu kepada satuan ruang atau
tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut, (Dubois dkk., 1973:230 dalam Ayatrohaedi,
1983:29). Geografi dialek menyajikan hal-hal yang bertalian dengan pemakaian anasir
bahasa yang diteliti pada saat penelitian dilakukan sehingga dapat dibuktikan (Jaberg
dalam Ayatrohaedi, 1983:29).
Berdasarkan konsep di atas, disimpulkan bahwa geografi dialek adalah variasi bahasa
yang dituturkan masyarakat dengan cara yang berbeda berdasarkan tempat. Dari konsep
tersebut diharapkan dapat ditemukan variasi dialek dari bahasa yang akan diteliti pada
daerah pengamatan.
2.1.4 Variasi Morfologi

Perbedaan morfologi yang di deskripsikan menyangkut semua perbedaan aspek
kajian morfologis, yang terdapat dalam bahasa yang diteliti. Perbedaan itu dapat
menyangkut aspek afiksasi, reduplikasi, komposisi, dan morfofonemik (Mahsun 1995:51).
Dalam penelitian ini perbedaan morfologi yang dideskripsikan hanya menyangkut
perbedaan dalam aspek reduplikasi. Contohnya, di Desa Munte, Desa Singgamanik, Desa
Tanjung Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua terdapat kata ulang yang bentuk
pengulangannya yaitu bentuk pengulangan yang terjadi pada suku awal kata atau sering
10
Universitas Sumatera Utara

disebut dengan ‘dwipurwa’, sedangkan di Desa Gunung Saribu, Desa Sukarame dan di
Desa Sari Munte tidak terdapat reduplikasi dwipurwa, melainkan di desa tersebut
menggunakan kata ulang utuh atau penuh yang sering disebut dengan ‘dwilingga’. Sebagai
contoh yaitu untuk menyatakan kata ‘pohon-pohon’, di Desa Munte, Desa Singgamanik,
Desa Tanjung Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua mengatakan babatang
sedangkan di Desa Gunung Saribu, Desa Sukarame dan Desa Sari Munte menggunakan
kata batang-batang. Contoh lain, untuk merealisasikan kata ‘ibu-ibu’ di Desa Munte, Desa
Singgamanik, Desa Tanjung Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua mengatakan
nanande , sedangkan di Desa Sukarame, Desa Sarimunte dan Desa Gunung Saribu
merealisasikan kata ‘gayung’ dengan nande-nande.

2.1.5 Variasi Leksikon
Suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang leksikon, jika leksemleksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari
satu etimon prabahasa. Semua perbedaan leksikon selalu berupa variasi (Mahsun,
1995:54). Sebagai contoh, Desa Munte menggunakan kata salimar untuk menyatakan
‘dinding bambu’, sedangkan di Desa Gunung Saribu menggunakan kata bayu-bayu.
Contoh lain, seperti dalam menyatakan ‘hisap’, di Desa Munte menggunakan kata sirup,
sedangkan di Desa Sari Munte menggunakan kata isap.
2.1.6 Isoglos atau Watas kata
Isoglos atau garis watas kata adalah garis yang memisahkan dua lingkungan dialek
atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan itu yang berbeda yang
dinyatakan dalam peta peta bahasa (Dubois dkk. dalam Ayatrohaedi, 1983:5). Garis watas
kata ini kadang disebut juga sebagai heteroglos (Kurath dalam Ayatrohaedi, 1983:5).

11
Universitas Sumatera Utara

Isoglos juga memunyai arti, yaitu garis yang menghubungkan kata-kata atau bentuk-bentuk
yang sama (Keraf, 1991:158)
Menurut Kridalaksana (1984:78), isoglos adalah garis pada peta bahasa atau peta
dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa. Jadi isoglos dapat

menunjukkan batas-batas dari dialek dan dapat menunjukkan perkembangan yang terjadi
pada daerah pemakai bahasa.
Lauder (dalam Mahsun, 2005:163) menyebutkan bahwa isoglos pada dasarnya
merupakan garis imajiner yang diterakan di atas peta. Oleh karena itu, tidak seorang pun
dapat menentukan dengan pasti daerah-daerah mana yang dilalui garis-garis tersebut.
2.1.7 Peta Bahasa
Gambaran umum mengenai sejumlah dialek akan tampak jelas jika semua gejala
kebahasaan yang ditampilkan dari bahasa yang terkumpul selama penelitian dipetakan.
Dalam peta bahasa tergambar pernyataan yang lebih umum tentang perbedaan dialek yang
penting dari satu bahasa dengan daerah yang lain. Oleh karena itu, kedudukan dan peran
peta bahasa dalam kajian geografi dialek mutlak diperlukan (Ayatrohaedi, 1983:31).
Ada dua jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu peta peragaan (display
dan peta map) penafsiran (interpretative map) (Chamber dan Trudgill dalam Mahsun,
1995:58). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan peta peragaan dan peta penafsiran
untuk menyatakan gambaran umum mengenai sejumlah dialek.
Peta peragaan merupakan peta yang berisi tabulasi data lapangan dengan maksud
agar data-data itu tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis.Dalam peta peragaan
tercakup distribusi geografis perbedaan-perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat
di antara daerah pengamatan (Mahsun, 1995:59).


12
Universitas Sumatera Utara

Peta penafsiran merupakan peta yang memuat akumulasi pernyataan-pernyataan
umum tentang distribusi perbedaan-perbedaan unsur linguistik yang dihasilkan
berdasarkan peta peragaan.Peta penafsiran merupakan peta yang berisi hal-hal yang
berkaitan dengan inovasi dan relik, juga termasuk peta berkas isoglos (Mahsun, 1995:68).
2.1.8 Bahasa Karo
Matius Sembiring dalam disertasinya (2009) yang berjudul ”Variasi Dialek Bahasa
Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang” menyatakan bahwa bahasa Karo adalah salah
suatu bahasa daerah di Sumatera Utara yang penuturnya disebut masyarakat Karo. Bahasa
Karo dipergunakan masyarakat Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya seharihari. Untuk melakukan aktivitasnya, masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo. Bahasa
Karo memang sangat luas daerah pakainya bila dilihat dari segi geografis karena daerahnya
tidak saja di Kabupaten Karo, tetapi sampai ke Kabupaten Dairi, Langkat, Deli Serdang,
dan beberapa daerah lainnya.
2.2 Landasan Teori
Pada dasarnya dialektologi merupakan ilmu tentang dialek, atau cabang dari
linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan
tersebut secara utuh (bandingkan dengan Kridalaksana, 1984:39). Dalam praktiknya, studi
dialektologi berkenaan dengan wilayah-wilayah atau daerah-daerah yang menjadi

sorotannya untuk meneliti suatu dialek untuk berbagai tujuan. Wilayah atau daerah yang
menjadi tempat penelitian variasi bahasa tersebut tentu berbeda satu dengan yang lainnya,
baik dari segi kontur wilayah, keadaan alam (lingkungan), mata pencaharian, agama, dan
adat-istiadat tersendiri.
Istilah dialek yang merupakan padanan kata logat lebih umum digunakan dalam
pembicaraan ilmu bahasa, termasuk di Indonesia. Istilah dialek yang berasal dari bahasa
13
Universitas Sumatera Utara

Yunani yaitu, dialektos pada mulanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan
bahasanya. Di Yunani terdapat bedaan-bedaan kecil dalam bahasa yang digunakan oleh
para penuturnya. Namun, sedemikian jauh hal itu tidak sampai meyebabkan mereka
menganggap bahwa mereka mempunyai bahasa yang berbeda (Meillet dalam Ayatrohaedi
2003:2). Oleh karena itu, ciri utama dialek adalah “perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan
dalam perbedaan”. Dialek merupakan penilaian hasil perbandingan dengan salah satu
isolek lainnya yang dianggap unggul (Steinhauer, 1991:4-5).
Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural.
Variasi dialek bahasa Batak Karo di Kecamatan Munte Kabupaten Karo akan dianalisis
berdasarkan teori dialektologi struktural.
Menurut (Chambers, 1990:54) dialektologi struktural adalah salah satu upaya untuk

menerapkan dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa. Teori dialektologi
struktural tidak mengelompokkan variasi-variasi menurut apakah bentuk itu memiliki
kesamaan secara fonetis atau tidak. Oleh karena itu, teori struktural ini membandingkan
bentuk-bentuk individual tanpa melihat persamaan dan perbedaan, tetapi melihat bagianbagian konstituen sistemnya. Dialektologi struktural muncul pada tahun 1954 yang
dikemukan oleh Uriel Weinreich dalam artikelnya “Is a structural dialectology possible?”
Apakah dialektologi struktural memungkinkan?.
Dalam penelitian ini juga menggunakan pemetaan bahasa sesuai dengan objek
kajiannya yang berupa perbedaan unsur-unsur kebahasaan karena faktor spasial
(geografis). Peta bahasa dalam dialektologi khususnya dialek geografis memiliki peran
yang cukup penting. Peran itu berkaitan dengan upaya memvisualisasikan data lapangan ke
dalam bentuk peta agar data itu tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis serta
memvisualisasikan pernyataan-pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi

14
Universitas Sumatera Utara

geografis perbedaan-perbedaan yang lebih dominan dari wilayah ke wilayah yang
dipetakan. Ada dua jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu peta peragaan dan
peta penafsiran (Mahsun, 1995: 58-59). Pada peta bahasa akan diterangkan sejumlah unsur
perbedaan baik secara morfologi maupun leksikon yang diperoleh di daerah pengamatan

dengan menggunakan sistem lambang, misalnya lambang bulat (
lambang kotak (

), segitiga (

) dan

) yang sederhana bentuknya.

Selanjutnya, untuk mengelompokkan unsur-unsur yang sama, data yang sama agar
tampak berbeda dengan data yang lainnya, baik perbedaan dalam aspek reduplikasi
maupun

perbedaan

leksikal,

digunakan

isoglos.


Selanjutnya

isoglos

tersebut

diakumulasikan menjadi sekumpulan isoglos-isoglos dalam sebuah peta. Kumpulan
tersebut disebut berkas isoglos, baik berkas isoglos reduplikasi maupun berkas isoglos
leksikal. Berkas isoglos adalah kumpulan dari beberapa isoglos yang membentuk satu
berkas.
Perbedaan secara leksikal dihitung statusnya, apakah perbedaan-perbedaan itu
merupakan perbedaan dialek atau perbedaan subdialek dengan menggunakan perhitungan
statistik bahasa atau dialektometri. Dialektometri merupakan ukuran statistik yang
digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada
tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari
tempat tersebut (Revier dalam Mahsun, 1995: 118). Setelah langkah-langkah itu,
dirumuskanlah status isolek Kecamatan Munte.
Perbedaan unsur kebahasaan yang diteliti yaitu dari bidang leksikal dan reduplikasi.
Dikatakan perbedaan dalam bidang leksikal, jika leksem-leksem yang digunakan untuk

merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari suatu etimon prabahasa (Mahsun,

15
Universitas Sumatera Utara

1995:54). Contohnya, pada bahasa Karo terdapat dua kata untuk merealisasikan kata
‘kamu’, yaitu kam dan әŋkO.
Dikatakan perbedaan dalam aspek reduplikasi, jika variasi kata berada di bidang
morfologi. Penelitian ini mendeskripsikan perbedaan dalam aspek reduplikasi yang
terdapat dalam bahasa Karo di Kecamatan Munte Kabupaten Karo tersebut. Contohnya,
untuk merealisasikan kata ‘anak’ di Desa Munte, Desa Singgamanik, Desa Tanjung
Beringin, Desa Kuta Suah, dan Desa Guru Benua mengatakan dadanak, sedangkan di Desa
Sukarame, Desa Sarimunte dan Desa Gunung Saribu merealisasikan kata ‘gayung’ dengan
danak-danak.
Sama halnya dengan perbedaan unsur kebahasaan dalam bahasa Karo, variasi
perbedaan bahasa atau dialek juga penting. Teori yang dipaparkan di atas dapat
menunjukkan perbandingan antar variasi dialek di Kecamatan Munte Kabupaten Karo.
2.3 Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pemetaan kebahasaan dapat
disampaiskan sebagai berikut:

Bangun, dkk (1982) dalam penelitian yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Batak
Toba”, menyatakan bahwa bahasa Batak Toba terdiri atas lima dialek yaitu dialek
Silindung, dialek Humbang, dialek Toba, dialek Samosir, dan dialek Sibolga. Ciri yang
digunakan sebagai pembeda adalah perbedaan fonologis, perbedaan morfologis, dan
perbedaan semantis. Penelitian ini menggunakan metode cakap dalam pengumpulan data
dan menggunakan metode padan dalam menganalisis data. Penelitian ini berlandaskan
teori dialektologi struktural.

16
Universitas Sumatera Utara

Widayati (1997) dalam tesisnya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di
Wilayah Timur Asahan”, mengkaji bidang fonologi, morfologi dan leksikal. Deskripsi
leksikal menunjukkan adanya beberapa perbedaan dengan bahasa Melayu Umum dan
dalam bahasa Melayu Asahan terdapat dua dialek, yaitu dialek Batubara dan dialek
Tanjung Balai. . Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi
struktural. Penelitian ini menggunakan metode cakap dalam pengumpulan data dan
menggunakan metode padan untuk menganalisis data yang diperoleh.
Khairiyah (1999) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu
di Kecamatan Tanjung Pura”, menyimpulkan bahwa terdapat variasi yang disebabkan oleh
faktor geografis, faktor mobilitas penduduk, dan faktor sosiologis. Variasi fonologi dapat
dilihat kesejajarannya dengan variasi leksikal yang secara bersama membedakan
kelompok-kelompok titik pengamatan hasil perhitungan dialektometri. Berdasarkan uraian
dan perhitungan dialektometri, bahasa Melayu di Kecamatan Tanjung Pura memiliki
perbedaan wicara, yaitu perbedaan wicara Melayu Dataran Tinggi dan perbedaan wicara
Melayu Pesisir. Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi
struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah
menggunakan metode cakap. Penelitian ini menggunakan metode padan untuk
menganalisis data yang diperoleh.
Kaban (2000) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Bahasa Batak Karo di
Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Karo”, membahas variasi-variasi pada bidang
leksikon dan fonologi. Dengan perhitungan dialektometri diketahui ada dua subdialek yang
berbeda, yaitu subdialek Surbakti dan subdialek Tigapancur. Penelitian tentang geografi
dialek ini menggunakan teori dialektologi struktural. Metode dan teknik pengumpulan data
pada penelitian dialektologi ini adalah menggunakan metode cakap. Metode analisis data
yang digunakan adalah metode padan.
17
Universitas Sumatera Utara

Nasution (2001) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa
Mandailing di Kecamatan Lembah Melintang”, membahas tentang variasi di bidang
leksikon dan fonologi. Variasi fonologi dapat dilihat kesejajarannya dengan variasi
leksikon yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok titik pengamatan hasil
penghitungan dialektometri. Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori
dialektologi struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi
ini adalah menggunakan metode cakap.
Sembiring (2009) dalam disertasinya yang berjudul ”Variasi Dialek Bahasa Karo di
Kabupaten Karo, Deli Serdang” meneliti tiga kabupaten. Sebagai hasilnya dapat ditemukan
bahwa pada ketiga kabupaten tersebut sudah ada tiga dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo
Singalor Lau yang daerah pakainya di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng, dialek Karo Julu
yang daerah pakainya di Kecamatan Tiga Panah dan Merek dengan subdialeknya di
Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pakainya di
Kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini
adalah suatu penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Kualitatif sebagai
utama dan kuantitatif untuk menentukan jarak peta yang dibandingkan. Dalam hal
menganalisis data, peneliti mendeskripsikan semua ujaran yang diperoleh dari informan.
Setelah pendeskripsian ujaran selesai maka dikelompokkan ucapan tersebut sesuai daerah
data tersebut diperoleh. Selanjutnya, ujaran tersebut diamati unsur pembeda antara satu
dengan lainnya.
Toha (2013) dalam tesisnya yang berjudul “Isolek-Isolek di Kabupaten Aceh
Tamiang Provinsi Aceh : Kajian Dialektologi” meneliti isolek Tamiang menggunakan
kajian dialektologi. Hasil penghitungan dialektometri pada 400 kosakata pada tataran
leksikal menunjukkan dalam isolek Tamiang terdapat dua dialek; Hilir dan Hulu. Hasil
analisis secara sinkronis memperlihatkan isolek Tamiang memiliki 18 konsonan dan 9
18
Universitas Sumatera Utara

vokal. Hasil analisis diakronis menunjukkan bahwa dialek Hilir masih memelihara unsur
relik, sehingga dapat dikatakan dialek Hilir sebagai daerah relik, sedangkan dialek Hulu
merupakan daerah inovasi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode
cakap, teknik simak libat cakap diterapkan dengan melakukan penyadapan dengan cara
berpartisipasi dalam pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Penelitian ini berlandaskan
pada kerangka teori dialektologi. Teori dialektologi digunakan dalam pendeskripsian
perbedaan pada unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah pengamatan yang
menjadi sampel penelitian.
Yonelda (2013) dalam skripsinya yang berjudul ”Geografi Dialek Bahasa Batak
Toba di Kabupaten Samosir”, membahas tentang variasi leksikal di Kabupaten Samosir
dan terdapat 79 variasi leksikal dari 100 kosakata yang digunakan di tiga kecamatan di
kabupaten Samosir. Penelitian tentang geografi dialek ini menggunakan teori dialektologi
struktural. Metode dan teknik pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah
menggunakan metode cakap. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode padan, metode berkas isogloss, dan metode dialektometri.
Simanjuntak (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Batak
Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan”, membahas tentang variasi fonemis dan variasi
leksikon di Kabupaten Humbang Hasundutan. Kabupaten Humbang Hasundutan terlihat
adanya variasi bunyi dalam pemakaian bahasa batak Toba. Variasi tersebut ada pada
bidang leksikon dan bidang fonologi. Variasi fonologi dapat dilihat dengan variasi leksikon
yang secara bersama membedakan kelompok-kelompok daerah pengamatan hasil
perhitungan dialektometri. Dialek Humbang Hasundutan Selatan terdiri atas dua subdialek,
yaitu Subdialek Humbang Hasundutan Selatan sebelah Barat (desa Sionom Hudon Timur
dan desa Siambaton Pahae), dan Subdialek Humbang Hasundutan Selatan sebelah Timur
pada ( desa Sosor Gonting, desa Matiti, desa Pasaribu, desa Pulogodang, dan desa Purba
19
Universitas Sumatera Utara

Baringin ). Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Dialektologi Struktural,
yaitu menganalisis perbedaan atau variasi isolek berdasarkan strukturnya, misalnya
struktur bunyi dan juga perbedaan leksikon. Metode pengumpulan data pada penelitian
dialektologi ini adalah metode cakap. Metode yang digunakan dalam pengkajian data
adalah metode padan, yaitu metode padan artikulatoris dengan alat penentunya organ
wicara.
Novita (2015) dalam skripsinya yang berjudul “ Geografi Dialek bahasa
Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan”. Terdapat variasi fonologi dan leksikon pada
bahasa Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan. Variasi pada fonologi berupa variasi
fonemis dan korespondensi fonemis. Pada dialek bahasa Minangkabau di Kabupaten
Pesisir Selatan dianalisis berdasarkan teori dialektologi struktural. Metode dan teknik
pengumpulan data pada penelitian dialektologi ini adalah metode cakap. Metode analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode padan, yaitu metode padan
artikulatoris dengan alat penentu referen organ wicara. Teknik dasar yang digunakan
adalah teknik pilah unsur penentu, yaitu penentu artikulatoris.

20
Universitas Sumatera Utara