Analisis Hukum Terhadap Perjanjian Pengadaan Barang dan Jasa Antara Dinas Pendidikan Kabupaten Humbang Hasundutan Dengan CV. Hope Doloksanggul

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN MENURUT
KUHPERDATA

A. Pengertian Perjanjian
Pengertian perjanjian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (KUH Perdata) Pasal 1313, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang lain atau lebih. Istilah perjanjian berasal dari bahasa Inggris,
yaitu contracts. Sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut dengan overeenkomst
yaitu “persetujuan”. Kata overeenkomst tersebut juga lazim diterjemahkan dengan
kata perjanjian. Jadi persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sama
artinya dengan perjanjian.
Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan
persetujuan. Mengenai istilah perjanjian dan persetujuan ini menurut ahli ada yang
berbeda.
Menurut R. Wirjono Prodjodikoro perjanjian dan persetujuan adalah
berbeda. Beliau mengatakan persetujuan dalam perundang-undangan Hindia
Belanda dinamakan “overenkoomst”, yaitu suatu kata sepakat antara dua pihak
atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka yang bertujuan mengikat kedua
belah pihak, sedangkan perjanjian menurut beliau adalah suatu perhubungan

hukum mengenai harta benda kekayaan antar dua pihak, dalam mana satu pihak

14
Universitas Sumatera Utara

15

berjanji untuk melakukan sesuatu hal sedangkan pihak yang lain berhak menuntut
pelaksanaan perjanjian itu. 11
K.R.M.T Tirtodiningrat memberikan definisi perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat diantara dua orang atau lebih untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh undang-undang. 12
Subekti memberikan defenisi perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang
berjanji pada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal. 13 R. Setiawan, menyebutkan bahwa perjanjian ialah
suatu perbuatan hukum di mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau
saling

mengikatkan dirinya terhadap satu orang


atau lebih. 14 Sri Soedewi

Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum
dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang lain atau
lebih. 15
Menurut Ahmadi Miru, perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di
mana seorang berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selain itu,
kontrak dan perjanjian mempunyai makna yang sama karena dalam KUHPerdata
hanya dikenal perikatan yang lahir dari perjanjian dan yang lahir dari undangundang atau yang secara lengkap dinyatakan bahwa: 16“Perikatan bersumber dari

11

A. Qirom Syamsudin Meliala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya (Yogyakarta: Liberty, 1985), hal. 8.
12
Agus Yudha Herroko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersil, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal.15.
13
Ibid, hal. 16.
14

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandunng.
1987, hal. 16.
15
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Yogyakarta: Liberty Offset, 2003), hal. 1.
16
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta,
2013, hal 1

Universitas Sumatera Utara

16

perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang
dibagi dua, yaitu dari undang-undang saja dan dari undang-undang karena
perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena
perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan
perbuatan yang melanggar hukum.
Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa di mana ada seorang
berjanji kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan

suatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut
yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua
orang yang membuatnya. Dalam bentuknya, perjanjian berupa suatu rangkaian
perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan atau
ditulis. 17 Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah
bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan. Perjanjian adalah sumber perikatan,
di sampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan,
karena dua pihak itu setuju melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua
perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. 18 Sedangkan
menurut Sudikno Mertokusumo dalam FX. Suhardana “Perjanjian merupakan
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih atas dasar kata sepakat yang
menimbulkan akibat hukum” 19

17

R. Subekti, Hukum Perjanjian, cetakan 19, Intermasa, Jakarta, 2001, hal 1
Ibid
19
F.X. Suhardana. Contract Drafting (Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak),
Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2008, hal 10

18

Universitas Sumatera Utara

17

Salim H.S. mendefinisikan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata
dinyatakan :

20

a. tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian;
b. tidak tampak asas konsensualisme;
c. bersifat dualisme
Menurut Salim H.S., “Perjanjian (kontrak) adalah hubungan hukum antara
subjek hukum satu dengan subjek hukum lain dalam bidang harta kekayaan.
Subjek hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu pula subjek hukum yang
lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya”
Berdasarkan pengertian perjanjian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal

yang diperjanjikan adalah : 21
1. Perjanjian memberi atau menyerahkan sesuatu barang (misalnya: jual-beli,
tukar-menukar, sewa-menyewa, hibah dan lain-lain)
2. Perjanjian berbuat sesuatu (misalnya: perjanjian perburuhan dan lain-lain)
3. Perjanjian tidak berbuat sesuatu (misalnya: tidak membuat tembok yang
tinggi-tinggi, dan lain sebagainya).
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasamya perjanjian adalah
proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum yaitu penawaran
oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang lainnya sehingga tercapai
kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian yang akan mengikat kedua belah
pihak.
20

H.S Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominnat di Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005, hal 15

Universitas Sumatera Utara

18


Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (Pasal 1313 BW).
Pengertian perjanjian ini mengandung unsur :
a. Perbuatan
Penggunaan kata “Perbuatan” pada perumusan tentang Perjanjian ini lebih
tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau tindakan hukum, karena
perbuatan tersebut membawa akibat hukum bagi para pihak yang
memperjanjikan;
b. Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak yang saling
berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan yang cocok/pas satu
sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau badan hukum.
c. Mengikatkan dirinya
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak yang satu
kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang terikat kepada akibat
hukum yang muncul karena kehendaknya sendiri.
Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313 KUH
Perdata, ternyata mendapat kritik dan para sarjana hukum karena masih
mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya menimbulkan
berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut sangat kurang lengkap,

namun di lain pihak terlalu luas. Rumusan pengertian tentang perjanjian menurut
KUH Perdata tersebut memberikan konskuensi hukum bahwa dalam suatu

21

Lukman Santoso, Hukum Perjanjian Kontrak, (Yogyakarta: Cakrawala, 2012), hal. 12.

Universitas Sumatera Utara

19

perjanjian akan selalu ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib
berprestasi (debitur) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi
tersebut (kreditur). Menurut Abdul Kadir Muhammad adapun kelemahankelemahan tersebut adalah sebagai berikut : 22
1. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal ini dapat disimak dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan”
merupakan kata kerja yang sifatnya hanya dating dari satu pihak saja, tidak
berasal dari kedua pihak. Sedangkan maksud perjanjian itu adalah para pihak
saling mengikatkan diri, sehingga tampaklah kekurangannya. Seharusnya

pengertian perjanjian itu ditambah dengan rumusan “saling mengikatkan diri”
2. Kata perbuatan mencakup juga kata consensus/kesepakatan
Pengertian kata “perbuatan” berarti termasuk juga tindakan mengurus
kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna kata “perbuatan" itu
sangatlah luas dan dapat menimbulkan akibat hukum. Seharusnya dalam
kalimat tersebut dipakai kata “persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Perjanjian yang dikehendaki dalam Buku Ketiga KUHPerdata adalah
perjanjian yang bersifat kebendaan, bukanlah perjanjian yang bersifat
personal. Sementara itu, pengertian perjanjian dalam Pasal tersebut dianggap

22

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hal.

78.

Universitas Sumatera Utara


20

terlalu luas, karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin,
yang dimana hal ini diatur dalam lapangan hukum keluarga.
4. Dalam perumusan Pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian,
sehingga para pihak yang mengikatkan diri tersebut dianggap tidak jelas
tujuannya saling mengikatkan diri.
Pengertian perjanjian di atas memiliki kelemahan-kelemahan, sehingga
atas dasar tersebut perlu dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan
perjanjian tersebut. Pengertian perjanjian yang dikemukakan para ahli di atas
melengkapi kekurangan defenisi Pasal 1313 KUHPerdata, sehingga secara
lengkap pengertian perjanjian adalah perbuatan hukum, dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih. 23
B. Unsur-unsur Perjanjian
Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan. Dengan adanya
perjanjian tersebut, maka akan timbul suatu hubungan hukum di mana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya, begitu pula sebaliknya.

Hubungan hukum yang demikian ini disebut dengan perikatan. Dengan demikian
perjanjian akan menimbulkan suatu perikatan, atau dengan kata lain perjanjian
merupakan salah satu sumber perikatan. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata
Pasal 1233 menyebutkan bahwa sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-

23

Agus Yudha Hernoko, Op. Cit, hal.18.

Universitas Sumatera Utara

21

undang. Perikatan dan perjanjian diatur dalam Buku Ketiga Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Dari perumusan perjanjian tersebut dapat disimpulkan
unsur perjanjian sebagai berikut:
1. Adanya pihak-pihak.
Pihak-pihak yang ada di dalam perjanjian ini disebut sebagai subyek
perjanjian. Subyek perjanjian dapat berupa manusia pribadi atau juga badan
hukum. Subyek perjanjian harus mampu atau memiliki wewenang dalam
melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan dalam undang-undang.
Subyek hukum dapat dalam kedudukan pasif atau sebagai debitur atau dalam
kedudukan yang aktif atau sebagai kreditur.
2. Adanya persetujuan antara pihak-pihak.
Persetujuan di sini bersifat tetap, dalam arti bukan baru dalam tahap
berunding. Adapun yang dimaksud dengan berunding itu sendiri adalah
merupakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk menuju kepada adanya
persetujuan.
3. Adanya tujuan yang akan dicapai.
Tujuan mengadakan perjanjian terutama guna memenuhi kebutuhan pihakpihak dan kebutuhan tersebut hanya dapat dipenuhi jika mengadakan
perjanjian dengan pihak lain. Perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh
undang-undang.

Universitas Sumatera Utara

22

Adanya prestasi yang akan dilangsungkan.
Bila telah ada persetujuan, maka dengan sendirinya akan timbul suatu
kewajiban untuk melaksanakannya. Prestasi merupakan kewajiban yang
haruss dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
4. Adanya bentuk tertentu.
Dalam suatu perjanjian bentuk itu sangat penting, karena ada ketentuan
undang-undang bahwa hanya dengan bentuk tertentu maka perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat sebagai bukti. Biasanya bukti tersebut dibuat
berupa fakta.
5. Adanya syarat tertentu.
Mengenai syarat tertentu ini sebenarnya sebagai isi dari perjanjian, karena
dengan syarat-syarat itulah dapat diketahui adanya hak dan kewajiban dari
pihak-pihak. Dan semua unsur tersebut dapat dihubungkan dengan ketentuan
tentang syarat-syarat sahnya perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata).
C.

Syarat–syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah harus terpenuhi

4 syarat, yaitu:
1. Adanya kata sepakat;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Adanya suatu hal tertentu;
4. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhi oleh subyek
suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga
dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian oleh karena

Universitas Sumatera Utara

23

itu disebut syarat obyektif. Adapun penjelasan dari masing-masing adalah sebagai
berikut:
1. Kata sepakat
Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan
persetujuan atau kesepakatan. Jadi sepakat merupakan pertemuan dua kehendak
dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki
pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian
kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendaki oleh pihak ke satu juga
dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu
yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya
disebutkannya "sepakat" saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas)
apapun seperti tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah
perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai
Undangundang bagi mereka yang membuatnya. 24
J. Satrio, menyatakan, kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara
dua orang di mana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus
dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia
menghendaki timbulnya hubungan hukum. Dengan demikian adanya kehendak

24

R. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, (Bandung:Alumni, 1992), hal. 4.

Universitas Sumatera Utara

24

saja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus
diutarakan, harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain. 25
Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi
di dalam Pasal 1321 ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang sah apabila
sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena dengan paksaan
atau penipuan. 26 Dari Pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat
antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak boleh ada
paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Soebekti, 27 yang dimaksud paksaan
adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis) jadi bukan paksaan badan
(fisik). Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang halhal yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting
dari barang yang menjadi objek perjanjian. Kekhilafan tersebut harus sedemikian
rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut ia tidak
akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi apabila satu pihak
dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar
disertai dengan tipu muslihat unuk membujuk pihak lawannya memberikan
perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata sepakatnya didasarkan
paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di kemudian hari dapat
dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.

25

J. Satrio, Hukum jaminan, Hak-hak Jaminan Kebendaan, (Bandung: Citra Aditya,
1993), hal. 129.
26
Wijaya Baron & Dyah Sarimaya. Kitab Terlengkap Surat Perjanjian (kontrak)
termasuk surat resmi & memo internal (Laskar Aksara, Cipayung-Jakarta Timur) hal.1.

Universitas Sumatera Utara

25

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian (bertindak)
Cakap atau bekwaam menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa,
yaitu sudah berumur 18 tahun atau sudah menikah, hal ini diatur dalam Pasal 39
ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UU
No. 2 Tahun 2004).
Mengenai orang yang tidak cakap membuat perjanjian diatur dalam Pasal
1330 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa orang yang tidak cakap membuat
perjanjian adalah :
a. Orang yang belum dewasa
b. Mereka yang berada di bawah pengampunan /perwalian dan
c. Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapkan oleh Undang-Undang dan
semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut hukum nasional, perempuan bersuami sudah dianggap cakap
melakukan perbuatan hukum, sehingga tidak lagi harus seijin suaminya. Perbuatan
hukum yang dilakukan perempuan tersebut sah menurut hukum dan tidak dapat
dimintakan pembatalannya kepada hakim. Hal ini sesuai dengan dikeluarkannya
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 (selanjutnya disebut SE
MA No. 3 Thn 1963) oleh karena itu, bagi mereka yang belum dianggap dewasa
(minderjarig /underage) diwakili oleh walinya, sedangkan untuk orang yang tidak
sehat pikirannya (mental incompetent/ intoxicated person) diwakili oleh

27

Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1996), hal. 23-24.

Universitas Sumatera Utara

26

pengampunya karena dianggap tidak mampu (onbevoegd) untuk bertindak
sendiri. 28
3. Adanya suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah objek perjanjian. Objek
perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian yang bersangkutan.
Prestasi itu sendiri bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat
ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerdata). Mengenai jumlahnya tidak
menjadi masalah asalkan di kemudian hari ditentukan

(Pasal 1333 ayat (2)

KUHPerdata). Maksudnya adalah apa yang diperjanjikan harus cukup jelas,
ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau
ditetapkan. 29
4. Adanya suatu sebab/causa yang halal
Suatu sebab atau kausa di sini bukanlah sebab yang mendorong orang
tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu perjanjian adalah tujuan
bersama yang hendak dicapai oleh para pihak, 30 sedangkan sebagaimana
disebutkan R. Subekti, adanya suatu sebab yang dimaksud tiada lain dari isi
perjanjian.
Pasal 1337 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu sebab atau kausa yang
halal adalah apabila tidak dilarang oleh undang-undang, maksudnya isi kontrak
tidak boleh bertentangan dengan perundangan yang sifatnya memaksa, ketertiban
umum dan kesusilaan. Didalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa
28
29

Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit., hal. 92.
Ibid, hal. 93.

Universitas Sumatera Utara

27

yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undangundang, kesusilaan dan ketertiban umum. 31
Perjanjian yang bercausa tidak halal yang dilarang undang-undang adalah
jual-beli candu, ganja, dan lain-lain. Perjanjian yang bercausa tidak halal yang
bertentangan dengan ketertiban umum misalnya perdagangan manusia sebagai
budak, mengacaukan ajaran agama tertentu. Perjanjian yang bercausa tidak halal
yang bertentangan dengan kesusilaan akan menimbulkan akibat hukum. Akibat
hukum perjanjian yang berisi causa yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu
batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan
perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada
perjanjian. Demikian juga perjanjian yang dibuat tanpa sebab, ia dianggap tidak
pernah ada (Pasal 1335 KUHPerdata). 32

D. Asas-asas Perjanjian
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
latar belakang peraturan konkrit yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau
ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut. Dengan demikian, asas
hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam hukum
positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau putusan-putusan
hakim yang merupakan ciri-ciri umum dari peraturan konkrit tersebut.
30

Sri Soedewi Masjchoen, Op.cit, hal. 319.
Salim H.S. Hukum Kontrak. (Jakarta. Sinar Grafika, Cetakan ketujuh, 2010) hal.34.
32
Ibid, hal.95.
31

Universitas Sumatera Utara

28

Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Jadi, dalam Pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam perjanjian, yaitu:
asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta sunt-servanda. Di
samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas kepribadian.
1. Asas kebebasan berkontrak
Menurut asas kebebasan berkontrak, setiap orang dapat leluasa membuat
kontrak apa saja yang mereka inginkan, selama kontrak itu memenuhi syarat dan
tidak melanggar ketentuan hukum, kesusilaan serta ketertiban umum.33
Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa ”semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Berarti
perjanjian apapun, diantara siapapun, tentang apapun, bahkan para pihak juga
bebas untuk tidak membuat perjanjian. 34 Namun kebebasan tersebut tetap ada
batasnya, yaitu selama kebebasan itu berada di dalam batas-batas persyaratannya,
serta tidak melanggar hukum (undang-undang), kesusilaan dan ketertiban umum.
Demikian pula ada yang mendasarkan pada Pasal 1320 KUH Perdata yang
menerangkan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian.

33

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta. Intermasa.2001/ hal.127.
I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Contract Drafting Teori dan Praktik
(Jakarta. Kesaint Blanc, 2008) hal.33.
34

Universitas Sumatera Utara

29

Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya: 35
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin orang
dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat Buku III
KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak
dapat menimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap Pasal-Pasal
tertentu yang sifatnya memaksa. 36
2. Asas konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata penyebutnya tugas sedangkan dalam Pasal 1320
KUH Perdata ditemukan dalam istilah "semua". Kata-kata semua menunjukkan
bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will),
yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat
hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 37

35

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2007), hal. 4.
36
Ibid., hal. 4.
37
Perdata Buku III, hal. 113.

Universitas Sumatera Utara

30

Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat
(consensus) di antara para pihak. Sepakat merupakan suatu syarat logis, karena
dalam perjanjian setidak-tidaknya ada dua orang yang saling berhadap-hadapan
dan mempunyai kehendak untuk saling mengisi. 38 Perjanjian ini tidak
memerlukan formalitas lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai
perjanjian bebas bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis,
maka tulisan itu hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk
terjadinya perjanjian. Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis atau
dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu undang-undang
menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian
karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut tidak memenuhi syaratsyarat yang dimaksud Pasal 1320 KUH Perdata, seperti perjanjian hibah harus
dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara tertulis. Perjanjian yang
ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut dengan perjanjian formil.
Selanjutnya,

Pasal

1347

Kitab

Undang-Undang

Hukum

Perdata

menetapkan bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim di
perjanjikan dalam suatu perjanjian (gebruikelijk beding), meskipun pada suatu
waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian, harus juga dianggap tercantum
dalam perjanjian. 39

38

J.Satrio, Hukum Perjanjian:Perjanjian Pada Umumnya,(Bandung:Citra Aditya Bakti,

Universitas Sumatera Utara

31

3. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam
kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya" pada
akhir Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Jadi, perjanjian yang dibuat secara sah
oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-undang. Dan kalimat
ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di dalamnya "hakim"
untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara sah oleh para pihak
tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas kepastian hukum.
Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
a. Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
b. Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
4. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi debitur
maupun bagi kreditur.
Menurut R. Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum
benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur
dalam Pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif). 40 Dalam hukum benda, itikad
baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang pembeli beritikad baik adalah orang
jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui tentang adanya cacat-cacat yang melekat
pada barang yang dibelinya, dalam arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan
1992), hal.128.
39
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1966), hal. 140-141.

Universitas Sumatera Utara

32

pengertian itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bahwa
dalam pelaksanaan perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma
kepatutan dan kesusilaan.
Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata juga memberikan kekuasaan
pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan sampai
pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
5. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang
terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH
Perdata. Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji
daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa perjanjianperjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian itu
tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal
yang diatur klaim Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para
pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain.Maka asas ini
dinamakan asas kepribadian.

E. Subjek dan Objek Perjanjian
Menurut R. Subekti, yang termasuk dalam subjek perjanjian antara lain: 41
1. Orang yang membuat perjanjian harus cakap atau mampu melakukan
perbuatan hukum tersebut, siapapun yang menjadi para pihak dalam suatu

40
41

R. Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2001), hal. 42.
R.Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Pembimbing Masa, 1990), hal. 16.

Universitas Sumatera Utara

33

perjanjian harus memenuhi syarat bahwa mereka adalah cakap untuk
melakukan perbuatan hukum.
2. Ada kesepakatan yang menjadi dasar perjanjian yang harus dicapai atas dasar
kebebasan menentukan kehendaknya (tidak ada paksaan, kekhilafan, atau
penipuan), dengan adanya kesepakatan diantara kedua belah pihak yang
membuat perjanjian, maka perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya.
Apabila perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif akibat hukumnya
perjanjian tersebut dapat dibatalkan (veerneetigbaar), artinya perjanjian tersebut
batal jika ada yang memohonkan pembatalan. Sedangkan untuk objek perjanjian,
dinyatakan bahwa suatu perjanjian haruslah mempunyai objek tertentu, sekurangkurangnya objek tersebut dapat ditentukan. Bahwa objek tersebut dapat berupa
benda yang sekarang ada dan benda yang nanti akan ada. Sehingga dapat
disimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi objek perjanjian,
antara lain:
1. Barang-barang yang dapat diperdagangkan (Pasal 1332 KUHPerdata),
2. Suatu barang yang sedikitnya dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333
KUHPerdata) tidak menjadi halangan bahwa jumlahnya tidak tentu, asal saja
jumlah itu di kemudian hari dapat ditentukan atau dihitung.
3. Barang-barang yang akan ada dikemudian hari Pasal 1334 ayat (2)
KUHPerdata.
Sedangkan barang-barang yang tidak boleh menjadi objek perjanjian
adalah: 42
42

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perdata Tentang Perikatan, (Medan: Penerbit
Fakultas Hukum USU, 1994), hal. 166.

Universitas Sumatera Utara

34

1. Barang-barang di luar perdagangan, misalnya senjata resmi yang dipakai
negara,
2. Barang-barang yang dilarang oleh undang-undang, misalnya narkotika,
3. Warisan yang belum terbuka.
Menurut Subekti, mengenai objek perjanjian ditentukan bahwa : 43
1. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak harus cukup jelas untuk
menetapkan kewajiban masing-masing.
2. Apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum atau kesusilaan.
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat objektif, akibat hukumnya adalah
perjanjian tersebut batal demi hukum (nietigbaar). Artinya dari semula tidak
pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan
F. Berakhirnya Suatu Perjanjian
Mengenai

hapusnya

suatu

perjanjian

diatur

dalam

Pasal

1381

KUHPerdata. Dalam Pasal ini telah disebutkan satu persatu cara dan jenis
penghapusan perjanjian. Adapun cara-cara penghapusan yang disebut dalam Pasal
1381 KUHPerdata adalah:
1. Karena Pembayaran
Mariam Darus Badrulzaman, mengatakan: "pembayaran" oleh Hukum
Perikatan bukanlah sebagaimana ditafsirkan dalam bahasa pergaulan sehari-hari,
yaitu pembayaran sejumlah uang, tetapi setiap tindakan pemenuhan prestasi,
walau bagaimana pun sifat dari prestasi itu. Penyerahan barang oleh penjual,

43

R. Subekti. Op. Cit.

Universitas Sumatera Utara

35

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu adalah merupakan pemenuhan prestasi
atau tegasnya adalah “pembayaran”. 44
Pembayaran harus dilakukan di tempat yang telah ditentukan dalam
perjanjian, dan jika tidak ditetapkan dalam perjanjian maka pembayaran dilakukan
di tempat barang itu berada atau di tempat tinggal kreditur atau juga di tempat
tinggal debitur. Jika objek perjanjian adalah sejumlah uang maka perikatan
berakhir dengan pembayaran uang jika objeknya benda maka perikatan berakhir
setelah adanya penyerahan benda.
2. Karena penawaran pembayaran tunai dengan penyimpanan atau penitipan
Pembayaran dapat terjadi konsiyasi apabila debitur telah melakukan
penawaran pembayaran dengan perantaraan Notaris atau Jurusita, kemudian
kreditur menolak penawaran tersebut. Atas penolakan kreditur kemudian debitur
menitipkan pembayaran kepada Panitera Pengadilan Negeri untuk disimpankan.
Dengan adanya tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan
penitipan, debitur telah bebas dari pembayaran yang berakibat hukum hapusnya
perikatan. Prosedur konsiyasi ini diatur dalam Pasal 1405 sampai dengan 1407
KUH Perdata.
Pasal 1004 KUH Perdata menegaskan adanya penitipan untuk membantu
pihak-pihak yang berhutang, apabila si berpiutang menolak menerima
pembayaran dengan melakukan penitipan uang atau barang si Panitera
Pengadilan.

44

Mariam Daruz Badrulzaman, Op.Cit., hal. 167

Universitas Sumatera Utara

36

Marhainis Abdulhay, menyatakan: Dengan dilakukannya penitipan di
Panitera Pengadilan itu maka akan membebaskan siberutang dari perikatan dan
berlakulah baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukan
dengan cara menurut UU dan uang atau barang yang dititipkan di Panitera
Pengadilan tetap akan menjadi tanggungan si berpiutang. 45
3. Karena pembaruan hutang atau novasi
Pembaruan hutang merupakan penggantian pada objek atau subjek kontrak
lama dengan objek atau subjek kontrak yang baru. 46Menurut Pasal 1413 KUH
Perdata ada 3 (tiga) macam jalan untuk melaksanakan suatu pembayaran hutang
atau novasi, yaitu: 47
1) Apabila debitur dan kreditur mengadakan ikatan perjanjian hutang
terhadap kreditur dengan tujuan menghapuskan dan mengganti
perjanjian lama dengan perjanjian baru.
Dalam hal ini perjanjiannya yang diperbaharui, sedang pihak-pihak
tetap seperti semula. Inilah yang disebut dengan novasi objektif.
2) Apabila seorang debitur baru menggantikan debitur lama yang
dibebaskan dari kewajiban pembayaran hutang oleh kreditur.
3) Dengan membuat perjanjian baru yang menggantikan kreditur lama
dengan kreditur baru, dan kreditur lama tidak berhak lagi menuntut
pembayaran dari ikatan perjanjian lama.

45

Marhainis Abdulhay, Hulaim Perdata Material, Jilid II, (Jakarta: Pradnya
Paramita,1984), hal 7
46
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 99.
47
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 143.

Universitas Sumatera Utara

37

Point a dan b yang disebut di atas disebut novasi subjektif, yaitu adanya
pembaharuan terhadap subjek perjanjian. Apabila subjek (debitur) yang
diperbaharui dengan debitur baru, maka disebut novasi subjektif passif. Dan kalau
yang diperbaharui ialah pihak kreditur lama diganti dengan kreditur baru, maka
disebut novasi subjektif aktif. 48
4. Karena perjumpaan hutang atau kompensasi
Perjumpaan hutang atau kompensasi ini terjadi jika antar dua pihak saling
berutang antara satu dengan yang lain sehingga apabila hutang tersebut masingmasing diperhitungkan dan sama nilainya, kedua belah pihak akan bebas dari
hutangnya. Perjumpaan hutang ini terjadi secara hukum walaupun hal itu tidak
diketahui oleh debitur. Perjumpaan hutang hanya dapat terjadi jika hutang tersebut
berupa uang atau barang habis karena pemakaian yang sama jenisnya serta dapat
ditetapkan dan jatuh tempo. 49
Pada umumnya kompensasi terjadi tanpa mempersoalkan sebab peristiwa
atau penyebab hutang-piutang berjumpa. Yang utama adalah berjumpanya hutangpiutang diantara para pihak. Akan tetapi tentu ada pengecualian, yaitu
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1429 KUHPerdata: 50
1)

Apabila satu pihak dituntut kembali menyerahkan kembali satu
barang yang diperolehnya dari pihak lawan dengan cara melawan hukum.

2)

Apabila satu pihak dituntut mengembalikan barang yang
dititipkan atau dipinjamkan kepadanya oleh pihak lawan.

48

Ibid.
Ahmadi Miru, Op.Cit., hal. 102
50
Ibid, hal. 156.
49

Universitas Sumatera Utara

38

3)

Apabila salah satu pihak dituntut membayar uang nafkah
(alimentasi) yang tidak boleh disita.
Seseorang telah membayar suatu hutang, yang telah dihapuskan demi

hukum karena perjumpaan, pada waktu menagih suatu piutang yang telah
diperjumpakan, tidak lagi dapat menggunakan hak-hak istimewa dan hipotikhipotik yang melekat pada piutang ini untuk kerugian orang pihak ketiga, kecuali
jika ada suatu alasan yang satu yang menyebabkan si berhutang tidak tahu tentang
adanya piutang tersebut yang seharusnya dijumpakan dengan hutangnya (Pasal
1435 KUH Perdata).
5. Karena percampuran utang
Menurut Pasal 1436 KUH Perdata, percampuran hutang itu terjadi apabila
kedudukan kreditur dan debitur menjadi satu yang berarti berada di tangan satu
orang yang terjadi demi hukum atau secara otomatis sehingga hutang-piutang
akan lenyap. Dan Pasal 1437 KUH Perdata menentukan bahwa percampuran
hutang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk kepentingan penjamin
hutang, tetapi percampuran yang terjadi pada seseorang penjamin hutang tidak
sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan percampuran hutang adalah
"Percampuran kedudukan (kualitas) dari partai-partai yang mengadakan perjanjian
sehingga kualitas sebagai debitur menjadi satu dengan kualitas dari kreditur.
Dalam hal ini demi hukum hapuslah perikatan yang semula ada diantara kedua
belah pihak" 51 Hal-hal yang menyebabkan terjadinya percampuran hutang adalah

51

Ibid, hal. 186

Universitas Sumatera Utara

39

perkawinan, dengan percampuran harta antara si berpiutang dengan si berhutang,
dan pencampuran hutang terjadi apabila si berhutang menggantikan hak si
berpiutang karena warisan.
6. Karena pembebasan hutang
Pembebasan hutang adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh kreditur
yang membebaskan debitur dari kewajibannya untuk memenuhi prestasi atau
hutang berdasarkan pada perikatannya kepada kreditur tersebut. Pembebasan
hutang menghapuskan perikatan yang melahirkan hutang yang sedianya harus
dipenuhi atau dilaksanakan oleh debitur tersebut. 52
7. Karena musnahnya barang yang terhutang
Perjanjian-perjanjian pembatalan oleh orang tua atau wali dari pihak yang
tidak cakap itu atau oleh pihak yang memberikan perizinannya secara tidak bebas
karena menderita paksaan atau yang kekurangan syarat objektifnya (sepakat atau
kecakapan) dapat dimintakan karena khilaf atau ditipu. 53
8. Karena pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian diatur dalam Pasal 1446 KUHPerdata. Perjanjian
dapat dibatalkan apabila dibuat oleh orang-orang yang menurut undang-undang
tidak cakap untuk bertindak sendiri, karena paksaan, karena kekhilafan,
penipuan/punya sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan/
ketertiban umum. Pembatalan di atas merupakan pembatalan yang terjadi karena

52

Gunawan Widjaya & Kartini Muljadi. Hapusnya Perikatan (Jakarta, RajaGrafindo
Persada. 2002) hal. 171.
53
Ahmadi Miru, Op. Cit., hal.105.

Universitas Sumatera Utara

40

tidak terpenuhinya syarat-syarat subjektif yang ditentukan dalam Pasal 1320
KUHPerdata. 54
9. Karena berlakunya suatu syarat batal
Hapusnya perikatan yang diakibatkan oleh berlakunya syarat batal berlaku
jika kontrak yang dibuat oleh para pihak dibuat dengan syarat tangguh dan
ternyata syarat yang dijadikan syarat penangguhan tersebut tidak terpenuhi,
kontrak tersebut dengan sendirinya batal. Demikian pula kontrak yang dibuat
dengan syarat batal, apabila syarat batal tersebut terpenuhi, kontrak tersebut
dengan sendirinya batal. 55
10. Karena lewatnya waktu (daluwarsa)
Kadaluarsa atau lewat waktu juga dapat mengakibatkan hapusnya kontrak
antara para pihak. Hal ini diatur dalan BW, Pasal 1967 dan seterusnya. 56

54

Lukman Santoso, Op. Cit., hal. 12.
Ahmadi Miru, Op. Cit., hal.109.
56
Ibid. hal. 110.
55

Universitas Sumatera Utara