Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya.
PERJANJIAN PENGADAAN BARANG INFORMASI TEKNOLOGI (IT) ANTARA CV. DHYMAS COM DENGAN PT. GAPURA ANGKASA
DALAM PELAKSANAANNYA
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
DIAN SASMITA HASIBUAN 090200440
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERJANJIAN PENGADAAN BARANG INFORMASI TEKNOLOGI (IT) ANTARA CV. DHYMAS COM DENGAN PT. GAPURA ANGKASA
DALAM PELAKSANAANNYA
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
DIAN SASMITA HASIBUAN 090200440
DEPARTEMEN: HUKUM KEPEDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN: PERDATA BW
Disetujui Oleh
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
H. Dr. Hasim Purba, S.H.,M.Hum NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr.Tan Kamello, S.H., M.S. Zulkifli Sembiring, S.H., MH NIP. 196204211988031004 NIP.196101181988031010
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas segala anugerah dan rahmat-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan skripsi ini guna melengkapi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatera Utara. Adapun judul skripsi ini mengenai “Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa Dalam
Pelaksanaannya.”
Penulis sadar dalam penyusunan skripsi ini banyak dibantu oleh pihak-pihak tertentu baik berupa bimbingan, kritik, saran bahkan pengarahan. Oleh karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih saya ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. H. Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Prof. Dr.Tan Kamello, SH., M.S selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan skripsi. 4. Zulkifli Sembiring, SH., MH selaku Dosen Pembimbing II yang telah sabar
memberikan bimbingan, nasehat, dan saran selama proses penyusunan skripsi.
(4)
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bimbingan kepada penulis selama ini.
6. Keluargaku tercinta: Ayahku Hasanuddin Hasibuan, Ibuku Marsiyem, Kakakku Ayu Utami Hasibuan, SP, Abangku Jefrri Irwansyah, S.Kom., M.MSI dan si hidung mungil Yuuri yang sudah memberikan dukungan, semangat, perhatian, dan senyum untukku.
7. Andi Sanjaya yang telah memberikan motivasi, semangat, perhatian dan ide-ide untuk penulis agar skripsi ini bisa selesai.
8. Sahabat-sahabatku Rahmi Nur Hidayah, Fitri Akhirina, alm. Amalia Ulfah, Bebyta, Afiana, Beby sartika, Lily atas semuanya yang sudah kita jalani bersama.
9. Yudhistira Frandana, M. Iqbal Hrp dan Mulkan Balya untuk semua suka dukanya selama masa kuliah ini.
10.Teman-temanku stambuk 09 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih untuk semuanya. 11.Para Pegawai di Fakultas Hukum yang telah membantu selama pengurusan
akademik penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini kurang sempurna. Oleh karena itu mohon kritik dan sarannya agar skripsi ini bisa menjadi lebih sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Medan, 22 Februari 2013 Penulis,
Dian Sasmita Hasibuan NIM. 090200440
(5)
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………... 1
B. Perumusan Masalah ……….. 9
C. Tujuan Penulisan ……….. 10
D. Manfaat Penulisan ………... 10
E. Metode Penelitian ………. 11
F. Keaslian Penulisan ………... 12
G. Sistematika Penulisan ………... 12
BAB II PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan ……….. 15
B. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan ……… 32 C. Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ………...……….. 35
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ………. 40
E. Metode Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan ……….... 45
BAB III PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengadaan Barang/ Jasa …….. 48
(6)
C. Jaminan dalam Pengadaan Barang/ Jasa ……….. 57 D. Cara Menjadi Peserta Pengadaan Barang/ Jasa ……….... 61 E. Prakualifikasi dan Pasca Kualifikasi
dalam Pengadaan Barang/ Jasa ……….... 63 F. Metode Pengadaan Barang/ Jasa
Dilihat dari Perpres Nomor 70 Tahun 2012...……….……….. 65
BAB IV PERJANJIAN PENGADAAN BARANG INFORMASI
TEKNOLOGI (IT) ANTARA CV.DHYMAS COM DENGAN PT. GAPURA ANGKASA DALAM PELAKSANAANNYA
A. Pengaturan Pengadaan Barang/ Jasa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ………...….. 68 B. Analisis Terhadap Keseimbangan yang Terdapat dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com
dengan PT. Gapura Angkasa ……….……...……… 74
C. Tanggung jawab Para Pihak Akibat dari Terjadinya Kerugian yang Terjadi
Dikemudian Hari …...……….…...84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN ……… 88
B. SARAN ……….... 90
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
(7)
ABSTRAK
Keberadaan perjanjian pengadaan barang/ jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah. Proses pengadaan barang/ jasa yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara, namun dalam praktiknya kontrak pengadaan barang/ jasa sering menimbulkan masalah karena melanggar ketentuan yang berlaku. Jumlah temuan kasus pengadaan barang/ jasa tersebut cukup banyak dengan nominal penggunaan keuangan yang besar. Hal tersebut berdampak pada kerugian negara.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan pengadaan barang/ jasa dalam KUHPerdata dan KUHPidana, apakah ada keseimbangan dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa, dan bagaimana tanggung jawab para pihak bila terjadi kerugian di kemudian hari.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif yaitu pengumpulan data penelitian dari naskah wawancara, catatan lapangan, dan dokumen resmi. Penggunaannya menggunakan metode deskriptif yaitu mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dengan memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Analisis data dilakukan secara induktif yaitu dengan cara terjun ke lapangan dan mempelajari fenomena yang ada di lapangan.
Kesimpulan dalam skripsi ini adalah pengadaan barang/ jasa diatur dalam KUHPerdata dan KUHPidana namun tidak secara jelas, keseimbangan yang terdapat teraplikasi di lapangan tidak berbanding lurus dengan apa yang terdapat dalam perjanjian, kerugian di kemudian hari ditanggung oleh pihak yang melakukan kesalahan namun dilihat pula sebab dari terjadinya kesalahan tersebut Untuk itu, disarankan bagi para pihak hendaklah terlebih dahulu memahami kontrak sebelum melakukan perjanjian.
(8)
(9)
ABSTRAK
Keberadaan perjanjian pengadaan barang/ jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah. Proses pengadaan barang/ jasa yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara, namun dalam praktiknya kontrak pengadaan barang/ jasa sering menimbulkan masalah karena melanggar ketentuan yang berlaku. Jumlah temuan kasus pengadaan barang/ jasa tersebut cukup banyak dengan nominal penggunaan keuangan yang besar. Hal tersebut berdampak pada kerugian negara.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan pengadaan barang/ jasa dalam KUHPerdata dan KUHPidana, apakah ada keseimbangan dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa, dan bagaimana tanggung jawab para pihak bila terjadi kerugian di kemudian hari.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif yaitu pengumpulan data penelitian dari naskah wawancara, catatan lapangan, dan dokumen resmi. Penggunaannya menggunakan metode deskriptif yaitu mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dengan memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Data yang digunakan adalah data primer dan skunder. Analisis data dilakukan secara induktif yaitu dengan cara terjun ke lapangan dan mempelajari fenomena yang ada di lapangan.
Kesimpulan dalam skripsi ini adalah pengadaan barang/ jasa diatur dalam KUHPerdata dan KUHPidana namun tidak secara jelas, keseimbangan yang terdapat teraplikasi di lapangan tidak berbanding lurus dengan apa yang terdapat dalam perjanjian, kerugian di kemudian hari ditanggung oleh pihak yang melakukan kesalahan namun dilihat pula sebab dari terjadinya kesalahan tersebut Untuk itu, disarankan bagi para pihak hendaklah terlebih dahulu memahami kontrak sebelum melakukan perjanjian.
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perjanjian (overeenkomst) merupakan suatu hubungan hukum dengan mana para pihak saling mengikatkan dirinya terhadap suatu prestasi dan dapat menimbulkan akibat hukum berupa hak dan kewajiban. Pada umumnya para pihak bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan bentuknya yaitu tertulis atau tidak tertulis, bebas menentukan syarat-syaratnya, bebas menentukan pelaksanaannya dan bebas menentukan isinya asalkan tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan, serta ketertiban umum. Sistem inilah yang dianut oleh Buku III KUHPerdata yang dinamakan sistem terbuka (open system).1 Di samping itu, diperkenankan pula untuk membuat kontrak baik kontrak bernama (nominaat contract) yaitu kontrak yang dikenal dan diatur dalam KUHPerdata maupun kontrak tidak bernama (innominaat contract) yaitu kontrak yang timbul, tumbuh, hidup dan berkembang di masyarakat. Dalam pembuatan kontrak, para pihak melalui tiga tahapan yaitu tahap sebelum pelaksanaan kontrak (pracontractual), tahap pelaksanaan kontrak (contractual), dan tahap sesudah pelaksanaan kontrak (post contractual atau pasca contract). Tahap pracontractual merupakan tahap penawaran dan penerimaan,tahap contractual merupakan tahap adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, dan tahap post contractual atau pasca contract merupakan tahap akibat yang ditimbulkan dari
1
Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 1.
(11)
perjanjian tersebut. Dalam membuat perjanjian harus memberikan rasa aman dan menguntungkan bagi para pihak, untuk itu diperlukan adanya pembuatan kontrak secara tertulis dalam suatu perjanjian sebab kontrak memiliki dua fungsi, yaitu fungsi yuridis dan fungsi ekonomis. Fungsi yuridis kontrak yaitu dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak sedangkan fungsi ekonomis kontrak yaitu menggerakkan sumber daya dari nilai penggunaan yang lebih rendah menjadi nilai yang lebih tinggi.2
Dalam perkembangannya hukum kontrak atau perjanjian telah tumbuh dan berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Perjanjian-perjanjian baru tumbuh dan berkembang dalam lalu lintas hukum. Perjanjian-perjanjian itu dikenal dengan perjanjian tidak bernama (innominaat contract). Perjanjian inilah yang sering muncul dalam hubungan-hubungan hukum dewasa ini, salah satunya adalah perjanjian pengadaan barang/ jasa. Keberadaan perjanjian pengadaan barang/ jasa muncul sebagai bagian dari proses pembangunan yang merupakan program kerja pemerintah yang sangat signifikan untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan potensi nasional. Pembangunan identik dengan pembangunan sarana dan prasarana umum oleh pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan publik maupun penyelenggaran pemerintahan. Pada dasarnya pembangunan fasilitas publik untuk kepentingan umum merupakan bagian dari proses upaya penyediaan infrastruktur yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memperbaiki daya saing ekonomi nasional yang sudah lama terabaikan akibat krisis moneter yang
2
Salim H. S, Hukum Kontrak : Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 45.
(12)
terjadi beberapa tahun lalu, yang mana pembangunan ini berlangsung secara berkesinambungan sehingga menyebabkan perubahan bertahap seluruh aspek kehidupan menuju peningkatan taraf hidup masyarakat. Proses pengadaan barang/ jasa yang baik akan mendukung perkembangan sebuah negara, karena pemakaian anggaran belanja yang tepat akan menopang pembangunan yang berujung pada pertumbuhan ekonomi negara. Sebagai contoh sebuah wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik, cenderung menarik investor untuk membangun bisnisnya di wilayah tersebut dibanding wilayah yang infrastrukturnya buruk. Kehadiran investor ini dapat mendukung perekonomian wilayah tersebut. Kebutuhan inilah yang menjadi dasar utama kenapa Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) didirikan pada tahun 2008 lalu. Di pundak lembaga inilah tugas membangun kebijakan dan sistem pengadaan publik diberikan, dengan harapan dapat menciptakan pengadaan yang dapat mensejahterakan.
Di Indonesia sendiri proyek-proyek pengadaan barang/ jasa datang dari pihak pemerintah maupun swasta sedangkan pelaksanaannya hanya sebagian kecil yang ditangani pemerintah selebihnya sangat diharapkan peran serta pihak swasta sebagai kontraktor. Dalam hal ini kontraktor bekerja dengan sistem pemborongan pekerjaan. Di lingkungan instansi pemerintah keuntungan dari pengadaan barang dan jasa ini bukan merupakan tujuan utama karena pemerintah mempunyai kewajiban untuk memberi pelayanan kepada publik. Berbeda dengan yang terjadi di lingkungan perusahaan swasta. Pengadaan barang merupakan usaha untuk mencari keuntungan. Karena itu, strategi yang ditempuh perusahaan swasta lebih ditekankan pada masalah biaya.
(13)
Dalam praktiknya kontrak pengadaan barang/ jasa sering menimbulkan masalah karena melanggar ketentuan yang berlaku. Jumlah temuan kasus pengadaan barang/ jasa tersebut cukup banyak dengan nominal penggunaan keuangan yang besar. Hal tersebut berdampak pada pemborosan dan kerugian negara. Contoh nyata di lapangan yang dapat dilihat yaitu kasus Hambalang. Sebagaimana yang dilansir Seputar Nusantara kasus proyek pembangunan sarana olahraga Hambalang di Bogor melibatkan banyak pihak diantaranya adalah Anas Urbaningrum, Atthiyah Laila selaku istri dari Anas Urbaningrum dan komisaris PT. Dutasari Citralaras, Andi Alfian Mallarangeng selaku Menteri Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia kala itu, Mahfud Suroso selaku Direktur PT. Dutasari Citralaras, Angelina Sondakh selaku anggota DPR komisi X dan lain sebagainya. Tender proyek ini dipegang oleh kontraktor dimana para kontraktor merupakan BUMN, yaitu PT. Adhi Karya Tbk dan PT. Wijaya Karya Tbk yang diduga mensubtenderkan sebagian proyek kepada PT. Dutasari Citralaras senilai Rp. 300.000.000.000 (tiga ratus miliar rupiah). Masalah yang timbul dalam kasus ini terkait dengan pengadaan pembangunan dan terkait dengan kepengurusan sertifikat tanah Hambalang. Dalam hal pengadaan pembangunan mega proyek seperti pembangunan sarana olahraga Hambalang yang menelan dana Rp. 1.000.000.175.000 (satu triliun seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) terkesan asal-asalan padahal perencanaan dan alokasi dana telah dipersiapkan jauh-jauhi hari. Amblasnya tanah pada 14 dan 15 Desember 2011 lalu terdapat di tiga titik, yaitu fondasi bangunan lapangan badminton, bangunan gardu listrik, dan jalan nomor 13 sekitar seribu meter persegi. Pengerjaannya yang tak kunjung usai menjadi
(14)
tanda tanya besar bagi halayak umum. Ketika Adhyaksa Dault menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga proyek Hambalang nilainya sebesar Rp. 125.000.000.000 (seratus dua puluh lima miliar rupiah) untuk sekolah olahraga dan saat Andi Mallarangeng menjabat proyek Hambalang berubah menjadi proyek olahraga terpadu Hambalang (sport center) dengan anggaran sebesar Rp. 1.000.000.175.000 (satu triliun seratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Teka-teki adanya pembengkakan anggaran proyek Hambalang dari Rp. 125.000.000.000 (seratus dua puluh lima miliar rupiah) menjadi Rp. 1.000.000.175.000 (satu triliun seratus tujuh puluh lima ribu rupiah) mulai terkuak. Kementerian pernah mengirim surat ke Komisi Olahraga DPR pada 22 Januari 2010. Isinya pemberitahuan alokasi anggaran proyek di Bukit Hambalang dengan dana Rp. 257.000.000.000.000 (dua ratus lima puluh tujuh triliun rupiah). Surat itu ditujukan kepada Wakil Ketua Komisi yaitu Rully Chairul Azwar dan diteken Wafid Muharam selaku Sekretaris Kementerian. Surat itu mengindikasikan bahwa proyek tersebut adalah proyek tahun jamak (multiyears project) yang mana dananya tidak sekaligus, namun diturunkan beberapa tahap dalam beberapa tahun anggaran. Proyek Hambalang beberapa kali dibahas Komisi DPR. Setelah mendapat Rp. 125.000.000.000 (seratus dua puluh lima miliar rupiah) pada 2010, Kementerian kembali mengajukan anggaran Rp. 625.000.000.000 (enam ratus dua puluh lima miliar rupiah). Dana yang disetujui hanya Rp. 150.000.000.000 (seratus lima puluh miliar rupiah) sehingga total dana Hambalang pada 2010 Rp. 275.000.000.000 (dua ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Tahun berikutnya mengalir Rp. 475.000.000.000 (empat ratus tujuh puluh lima miliar rupiah). Pada
(15)
2012, turun lagi Rp. 425.000.000.000 (empat ratus dua puluh lima miliar rupiah). Total Rp. 1.000.000.175.000 (satu triliun seratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Itu baru budget konstruksi. Ditambah dana untuk membeli peralatan senilai Rp. 1.000.000.400.000 (satu triliun empat ratus ribu rupiah), budget total proyek mencapai Rp. Rp. 257.000.000.000.000 (dua ratus lima puluh tujuh triliun rupiah). Hal-hal seperti ini menimbulkan banyak asumsi masyarakat. Banyak yang menuding proyek Hambalang ini merupakan lahan basah bagi para petinggi tanah air yang melibatkan salah satu partai yang dipegang oleh orang nomor satu di Indonesia, karena itu dalam pemecahan masalahnya jelas terkesan lambat. Salah satu LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang fokus pada bidang anggaran yaitu Forum Indonesia untuk Tranparansi Anggaran (FITRA) menilai bahwa jika pembangunan sarana olahraga Hambalang diteruskan, negara ditaksir akan merugi hingga Rp. 753.000.000.000 (tujuh ratus lima puluh tiga miliar rupiah). Potensi merugi hingga Rp. 753.000.000.000 (tujuh ratus lima puluh tiga miliar rupiah) ini, kata Uchok selaku Koordinator Advokasi dan Investigasi Sekretariat Nasional FITRA merupakan uang negara yang sudah dikeluarkan sejauh ini untuk membangun Hambalang. Menurutnya, miliaran rupiah uang tersebut dapat terbuang percuma apabila tanahnya ambles sehingga bangunan yang sudah dibuat tidak bisa digunakan. Menurut Uchok berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2009 lalu, pembangunan seharusnya dilakukan di wilayah Sentul, bukan di Hambalang. Dia mengutarakan bahwa tanah Hambalang labil dan tak akan terpakai lagi jika sudah ambles. Uchok menjelaskan, angka Rp. 753.000.000.000 (tujuh ratus lima puluh tiga miliar rupiah) itu terbagi atas 2 tahun
(16)
anggaran, yakni pada tahun 2010 sebesar Rp. 253.000.000.000 (dua ratus lima puluh tiga miliar rupiah) untuk pembangunan lanjutan fisik pusat pendidikan, pelatihan dan sekolah olahraga nasional dan sebesar Rp. 500.000.000.000 (lima ratus miliar rupiah) pada 2011 untuk pengadaan sarana olahraga pendidikan, pelatihan dan sekolah olahraga nasional Hambalang. Sedangkan pelaksana proyek yaitu PT. Adhi Karya dan PT. Wijaya Karya mengklaim kerugian yang diakibatkan peristiwa amblesnya bangunan tersebut mencapai Rp. 14.000.000.000 (empat belas miliar rupiah). Tender proyek Hambalang dimenangi PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya dengan sistem kerja sama operasi. Mereka lantas menunjuk 17 perusahaan lain sebagai subkontraktor proyek, salah satunya PT. Dutasari Citralaras yang kebagian pekerjaan di bidang mekanikal dan elektrikal. Namun PT. Dutasari Citralaras tak sepenuhnya menggarap pekerjaan tersebut. PT. Dutasari Citralaras hanya memasang rangkaian pipa baja untuk rangkaian elektrik. Pekerjaan PT. Dutasari Citralaras pun ada yang disubkontrakkan lagi ke perusahaan lain, antara lain PT. Kurnia Mutu yang menyediakan (supply) pipa tembaga untuk penyejuk udara dan PT. Bestindo Aquatek Sejahtera yang menyediakan sistem pengolahan limbah domestik. Dalam hal kepengurusan sertifikat tanah proyek Hambalang tak kunjung selesai sejak tahun 2003 lantaran terkendala masalah sertifikat tanah seluas 5.000 (lima ratus) hektar yang belum ada. Kasus tersebut pun terus bergulir hingga kini. Penetapan tiga tersangka yang diumumkan oleh pihak KPK, yaitu Andi Alfian Mallarangeng selaku Mentri Pemuda dan Olahraga kala itu diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
(17)
Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel yang merupakan adik kandung dari Andi Alfian Malarangeng, dan Muhammad Arief Taufiqurrahman yang menjabat kepala divisi konstruksi I PT. Adhi Karya diharapkan menjadi titik terang dari tuntasnya kasus ini. Sampai saat ini pun kasus ini terus bergulir untuk menangkap dalang utama yang diduga petinggi Partai Demokrat yaitu Anas Urbaningrum.3Kasus ini melanggar asas yuridis mengenai kontrak pemborongan yang terdapat dalam KUHPerdata, yaitu asas itikat baik dimana para pihak tidak menjalankann perjanjian yang ada sesuai kontrak. Kontrak itu berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Dengan terlanggarnya asas ini berarti para pihak melanggar Undang-Undang. Tidak hanya itu, para pihak dalam kasus ini juga melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (General Principle of Good Government) menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yaitu asas kepastian hukum, asas keterbukaan, dan asas akuntabilitas. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara pemerintah. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
3
Awal Mula dan Perkembangan Proyek Hambalang Menjadi Kasus Publik, http://seputarnusantara.com/?p=13559, terakhir diakses 22 juni 2012.
(18)
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka Penulis tertarik menulis skripsi dengan judul Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa dalam Pelaksanaannya. Alasan pemilihan judul ini dikarenakan Penulis ingin mengetahui lebih dalam tentang pengadaan barang/ jasa dari segi pidana dan keperdataannya, penerapan asas keseimbangan (proporsional) dalam kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa, dan tanggung jawab para pihak dalam kontrak ini bila terjadi masalah di kemudian hari.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas ada beberapa permasalahan yang dapat dibahas dalam skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimana pengaturan pengadaan barang/ jasa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dalam Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Pidana?
(19)
2. Apakah ada keseimbangan dalam Kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa? 3. Bagaimana tanggung jawab para pihak bila terjadi kerugian di kemudian
hari?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan skripsi ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui aturan-aturan hukum yang menaungi kegiatan pengadaan barang/ jasa baik dari segi pidana maupun perdata.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya keseimbangan para pihak dalam perjanjian pengadaan barang informasi teknologi (IT) dalam pelaksanaanya antara CV. Dhymas Com dengan PT. Gapura Angkasa baik di dalam kontrak maupun dalam pelaksanaannya.
3. Untuk mengetahui tanggung jawab para pihak dalam perjanjian pengadaan barang/ jasa bila terjadi kerugian di kemudian hari.
D. Manfaat Penulisan
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dari sisi : 1. Manfaat praktis
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan atau masukan bagi para pihak yang terkait dalam perjanjian pengadaan barang/ jasa.
b. Bermanfaat bagi masyarakat luas yang berkepentingan berupa masukan mengenai praktek perjanjian pengadaan barang/ jasa. 2. Manfaat teoretis
(20)
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat teoritis berupa sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan aspek hukum perjanjian.
E. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris yang dilakukan melalui pendekatan kualitatif yaitu pengumpulan data penelitian dari naskah wawancara, catatan lapangan, dan dokumen resmi. Tujuannya yaitu menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci, dan tuntas. Penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif yaitu peneliti mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dengan memusatkan perhatian kepada masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada saat penelitian berlangsung. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data skunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung di tempat penelitian. Data skunder adalah data yang diperoleh dari bahan kepustakaan seperti buku, jurnal, dokumen resmi, dan lain-lain. Analisis data dilakukan secara induktif yaitu dimulai dari fakta empiris dengan cara terjun ke lapangan dan mempelajari fenomena yang ada di lapangan. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui wawancara langsung dengan Bapak Danar Hadi selaku Manager Keuangan di PT. Gapura Angkasa dan Bapak H. Hasibuan selaku Direktur CV. Dhymas Com yang selanjutnya dianalisis dan diamati sehingga nantinya mendukung teori-teori yang diperoleh dari bahan
(21)
kepustakaan dengan cara meneliti data sekunder yang diperoleh melalui tinjauan kepustakaan (Library Research).
F. Keaslian Penulisan
Berdasarkan hasil pencarian judul skripsi di Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dinyatakan bahwa skripsi-skripsi yang telah ada sebelumnya mengenai Pengadaan Barang/ jasa terdiri dari tiga judul skripsi, namun ketiga judul skripsi sebelumnya memiliki perbedaan dengan judul skripsi yang dipilih yaitu dari segi subjek dan objek penelitiannya. Judul skripsi yang dipilh yaitu Perjanjian Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com Dengan PT. Gapura Angkasa Dalam Pelaksanaannya, namun jika ada kesamaan dengan tiga judul skripsi sebelumnya maka penulis akan bertanggung jawab atas segala risikonya. Penyusunan skripsi ini dilakukan melalui referensi buku-buku, media elektronik (internet), studi kasus pada data skunder yaitu menelaah surat kontrak Pengadaan Barang Informasi Teknologi (IT) Antara CV. Dhymas Com Dengan PT. Gapura Angkasa, dan bantuan dari berbagai pihak.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan
Pada bab ini berisikan latar belakang, permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penelitian, keaslian penulisan, sistematika penulisan.
(22)
BAB II : Tinjauan terhadap perjanjian pemborongan
Pada bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian pemborongan disertai pula dengan uraian mengenai perjanjian secara umum, dasar hukum perjanjian pemborongan, jenis-jenis perjanjian pemborongan, para pihak dalam perjanjian pemborongan, hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan, dan metode pelaksanaan perjanjian pemborongan.
BAB III : Tinjauan terhadap perjanjian pengadaan barang/ jasa
Pada bab ini menguraikan tentang pengertian pengadaan barang/ jasa, dasar hukum perjanjian pengadaan barang/ jasa, prinsip pengadaan barang/ jasa, jaminan dalam pengadaan barang/ jasa, Cara menjadi peserta pengadaan barang/ jasa, prakualifikasi dan pasca kualifikasi dalam perjanjian pengadaan barang/ jasa, serta metode pengadaan barang/ jasa dilihat dari Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012.
BAB IV : Analisis hukum terhadap kontrak pengadaan barang antara CV. Dhymas Com Dengan PT. Gapura Angkasa
Pada bab ini menguraikan tentang Pengaturan pengadaan barang/ jasa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, analisis terhadap keseimbangan yang terdapat dalam kontrak pengadaan barang informasi teknologi (IT) antara CV. Dhymas Com dan PT.
(23)
Gapura Angkasa, tanggung jawab para pihak akibat dari terjadinya kerugian yang terjadi dikemudian hari.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Pada bab ini menguraikan tentang kesimpulan dan saran dari penulis mengenai materi karya ilmiah.
(24)
BAB II
PERJANJIAN PEMBORONGAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pemborongan
Kata perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Di dalam Black’s Law Dictionary, yang diartikan sebagai kontrak adalah sebagai berikut:
“An agreement between two or more person which creates an obligation to do or not to do to particular thing”
Artinya kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, di mana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak meelakukan sesuatu secara sebagian.4
Berdasarkan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.
Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUHPerdata di atas memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad. Abdul Kadir Muhammad menyatakan kelemahan-kelemahan Pasal 1313 KUHPerdata adalah sebagai berikut :5
1. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya
4
Salim H. S, Hukum Kontrak : Teori …. , Op.Cit., hal. 26.
5
Apit Nurwidijanto, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada PT. Puri Kencana Mulyapersada di Semarang, Tesis, Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, 2007, hal. 14.
(25)
dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara pihak-pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus. Seharusnya dipakai kata persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata terlalu luas karena mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
4. Tanpa menyebut tujuan
Dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat.
Ada pula R. Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi:6
1. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum.
6
(26)
2. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313KUH Perdata.
Menurut R. Setiawan perjanjian adalah sebagai berikut:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”7
Pengertian perjanjian akan lebih baik apabila sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.8 Pengertian yang lengkap dan sempurna mengenai pengertian atau definisi dari perjanjian sangatlah sulit untuk kita dapatkan karena masing-masing sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Untuk mempermudah pengertian perjanjian dari para sarjana, maka ada beberapa pendapat yang dikemukakan sebagai berikut:
1. Menurut R. Subekti :
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lainnya atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal.”9
2. Menurut Sudikno Mertokusumo:
“Perjanjian adalah sebagai hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”10 3. Menurut Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih
yang didasarkan pada kata sepakat dengan tujuan untuk menimbulkan
akibat hukum.”
7
Ibid., hal. 16. 8
Ibid 9
Ibid 10
(27)
Dari pengertian di atas terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang membuat perjanjian. Dalam praktiknya bukan hanya orang perorangan yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang merupakan subjek hukum.
Perjanjian banyak jenisnya, tergantung dari para pihak yang ingin mengikatkan diri satu sama lain mengenai hal apa, antara lain perjanjian pemborongan. Istilah konstruksi dan pemborongan apabila dikaji terdapat perbedaan di antara kedua istilah tersebut, tetapi dalam teori dan praktek hukum kedua istilah tersebut dianggap sama terutama jika dikaitkan dengan istilah hukum atau kontrak konstruksi dan/atau hukum atau kontrak pemborongan. Walaupun begitu sebenarnya istilah pemborongan mempunyai cakupan yang lebih luas daripada istilah konstruksi. Sebab dengan istilah pemborongan dapat saja berarti bahwa yang diborong tersebut bukan hanya konstruksinya (pembangunannya), melainkan dapat juga berupa pengadaan barang saja (procurement).11 Berdasarkan Pasal 1601 huruf b KUHPerdata yang dimaksud dengan perjanjian pemborongan adalah perjanjian dengan mana pihak satu yaitu si pemborong mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak yang lain yaitu pihak yang memborongkan dengan menerima suatu harga yang ditentukan.12
11
Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 12.
12
(28)
Dari definisi yang diberikan oleh KUHPerdata terlihat bahwa Undang-Undang secara keliru memandang kepada kontrak pemborongan sebagai suatu jenis kontrak unilateral, dimana seolah-olah hanya pihak kontraktor yang mengikatkan diri dan harus berprestasi, padahal dalam perkembangannya baik pihak kontraktor maupun pihak bouwheer saling mengikatkan diri dengan masing-masing mempunyai hak dan kewajiban masing-masing.13 Di sini tidaklah penting bagi pihak yang memborongkan pekerjaan bagaimana pihak yang memborong pekerjaan mengerjakannya, karena yang dikehendaki adalah hasil dari pekerjaan tersebut yang akan diserahkan kepadanya dalam keadaan baik (mutu dan kualitas/ kuantitas) dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian.
Dalam Black’s Law Dictionary yang dimaksud kontrak konstruksi adalah
“Type of contract which plans and specification for construction for made a part of the contract itself and commonly it secured by performance and payment bonds to protect both subcontractor and party for whom building is beaing constructed” Artinya kontrak konstruksi adalah suatu tipe perjanjian atau kontrak yang merencanakan dan khusus untuk konstruksi yang dibuat menjadi bagian dari perjanjian itu sendiri.14
A.1 Syarat Sah Perjanjian
Subekti membagi syarat sahnya suatu perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata ke dalam 2 kelompok, yaitu:
13
Munir Fuady, Op. Cit., hal. 13.
14
Dinda Ayu Permatasari, Analisis Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak) antara Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dengan CV. Duta Utama Sumatera, Skripsi, Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2010, hal. 40.
(29)
1. Syarat subyektif merupakan syarat yang menyangkutkan subyek yang mengadakan perjanjian, yaitu pihak yang mengadakan perjanjian yang terdiri dari:
a. Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Kesepakatan adalah penyesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.15 Persetujuan kehendak di sini harus benar-benar atas kemauan sendiri tidak ada paksaan dari pihak manapun dalam persetujuan dan tidak ada kekhilafan dan penipuan. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:16
1) Bahasa yang sempurna dan tertulis; 2) Bahasa yang sempurna secara lisan;
3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan;
4) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; 5) Diam atau membisu asal dipahami pihak lawan.
Berdasarkan pasal 1321 KUH Perdata, kata sepakat harus diberikan secara bebas tidak boleh terdapat unsur cacat kehendak antara lain:
1) Kekhilafan, yaitu sesat dianggap ada apabila pernyatan sesuai dengan kemauan tapi kemauan itu didasarkan pada gambaran yang keliru baik mengenai orangnya (eror in persona) maupun objeknya (eror in substansia).
15
Salim H.S, Hukum Kontrak : Teori …. , Op.Cit., hal. 33.
16 Ibid
(30)
2) Paksaan (dwang), yaitu kekerasan jasmani atau ancaman dengan sesuatu yang diperbolehkan hukum yang menimbulkan ketakutan kepada seseorang sehingga ia membuat perjanjian. Paksaan ini bukan karena kehendaknya sendiri namun adanya paksaan dari pihak lain.
3) Penipuan (bedrag), yaitu pihak yang menipu dengan daya akalnya menanamkan suatu gambaran yang keliru tentang orangnya atau objeknya sehingga pihak lain bergerak untuk menyepakati.
b. Kecakapan Bertindak
Kecakapan bertindak adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum yaitu timbulnya hak dan kewajiaban. Mereka yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang sudah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin. Mengenai orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat suatu perbuatan hukum diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:
1) Orang-orang yang belum dewasa yaitu mereka yang dibawah 21 tahun dan/atau belum pernah menikah. Di Indonesia kecakapan seseorang dihadapan hukum telah ditentukan dalam suatu Undang-Undang. Masalahnya adalah Indonesia memiliki banyak Undang-Undang yang mengatur perihal kedewasaan seseorang, sehingga patut dipertanyakan dalam hal kapan
(31)
seseorang dianggap telah dewasa dihadapan hukum dalam melakukan suatu tindakan hukum. Berdasarkan Pasal 330 ayat (1) dan (2) KUHPerdata yang memberi batasan kedewasaan bila telah mencapai umur 21 tahun. Dasar hukum lainnya adalah Pasal 39 ayat (1) dan pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dimana sesorang dianggap telah dewasa bila telah mencapai umur 18 tahun dan tidak boleh kurang 1 hari pun. Hal ini berkaitan dengan fungsi Notaris itu sendiri yang membuat akta-akta otentik mengenai semua perbuatan hukum seperti perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik dalam setiap perbuatan hukum seseorang. Hal ini hanya berlaku bagi akta-akta notaris yang sifatnya lebih umum yang mana akta tersebut berkaitan langsung dengan pihak dan sangat berperan dalam dunia usaha. Bagi mereka yang belum mencapai usia 18 tahun tetapi telah menikah maka mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan perjanjian walaupun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mengatur hal tersebut. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis maka mereka tunduk pada Pasal 330 ayat (1) dan (2) KUHPerdata.
(32)
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan (curatele) yaitu mereka yang mengalami ganguan jiwa, sakit ingatannya, suka berjudi, suka mabuk-mabukan, dan pemboros.
3) Perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa Udang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun hal ini sudah tidak berlaku lagi sejak keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUHPerdata diantaranya Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata maka status sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan bertindak yang dilakukannya. Dalam Pasal 108 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu sekali pun, namun tak bolehlah ia mengibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya, baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan izin tertulis dari suaminya. Seorang istri, biar ia telah dikuasakan oleh suaminya, untuk membuat suatu akta, atau untuk mengangkat suatu perjanjian sekalipun, namun tidaklah ia karena itu berhak, menerima sesuatu pembayaran, atau memberi perlunasan atas itu, tanpa izin yang tegas dari suaminya.
(33)
Dalam Pasal 110 KUHPerdata disebutkan bahwa seorang istri biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan, atau telah berpisahan dalam hal itu, biar ia melakukan sesuatu mata pencaharian atas usaha sendiri sekalipun, namun tak bolehlah ia menghadap di muka Hakim tanpa bantuan suaminya.
Selain SEMA, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tepatnya Pasal 31 ikut memperkuat hapusnya Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata. Dengan begitu maka istri termasuk dalam subjek hukum yang cakap dalam melakukan perbuatan hukum.
2. Syarat obyektif yaitu syarat yang meliputi objek perjanjian yang terdiri dari:
a. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah objek perjanjian. Dalam suatu kontrak objek perjanjian yang disepakati oleh para pihak harus jelas. Objek perjanjian tersebut dapat berupa barang atau jasa.17 b. Suatu sebab yang halal
Perjanjian tanpa sebab yang halal akan berakibat bahwa perjanjian tersebut akan batal demi hukum. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum, sedangkan pengertian sebab (causa) disini adalah tujuan
17
Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 30.
(34)
daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian.
Bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dibatalkan. Artinya salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat. Bila syarat obyektif tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan.
A.2 Asas-Asas Perjanjian
Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang di selenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 dihasilkan 8 asas-asas perjanjian. Kedelapan asas tersebut antara lain:18
1. Asas kepercayaan
Setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
2. Asas persamaan hukum
Subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum.
18
(35)
3. Asas keseimbangan
Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
4. Asas kepastian hukum
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai Undang-Undang bagi yang membuatnya.
5. Asas moral
Asas ini di dasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati nurani. 6. Asas kepatutan
Asas ini tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang. 7. Asas kebiasaan
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.
8. Asas perlindungan (protection)
Para pihak baik kreditur maupun debitur harus dilindungi oleh hukum, namun yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena berada pada pihak yang lemah.
(36)
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of making contract)
Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian dengan siapa saja, dengan syarat apa saja, dalam bentuk apa saja, dan tentang apa saja walaupun belum atau tidak diatur dalam Undang-Undang. Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak bertentangan dengan Undang-Undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum (beginselen der contrachtsvrjheid atau party autonomy).
2. Asas Konsensualisme
Perjanjian sudah dapat dikatakan ada atau lahir pada saat adanya kata sepakat dari pihak yang membuat perjanjian walaupun belum terjadi penyerahan barang yang diperjanjikan (levering). Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.19 Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
3. Asas Kepastian Hukum (Pacta sunt servanda)
Setiap perjanjian yang dibuat adalah mengikat para pihak yang membuat dan berlaku seperti undang-undang bagi para pihak. Asas ini berarti bahwa perjanjian hanya belaku bagi para pihak yang membuatnya. Hal ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuat. Hal ini juga dimaksudkan untuk menyatakan kekuatan tentang perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu
19
(37)
Undang-Undang, kekuatan seperti itu diberikan kepada semua perjanjian yang dibuat secara sah. Karena itu, Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah Undang-Undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.20
4. Asas Itikad Baik (Goede Trouw)
Asas itikat baik merupakan asas bahwa para pihak yaitu pihak kreditur dan debitur harus melakukan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak. Asas itikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Itikad baik nisbi dapat dilihat dengan memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Sedangkan itikad baik mutlak penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan dimana di dalamnya dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma yang objektif.21 Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
5. Asas Kepribadian (Personalitas)
Pada prinsipnya asas ini menentukan bahwa suatu perjanjian berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja. Ketentuan mengenai asas ini tercantum dalam Pasal 1315 KUHPerdata yang menyatakan bahwa pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
20 Ibid. 21
(38)
dirinya sendiri. Dalam Pasal 1340 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.
A.3 Subjek dan Objek Perjanjian
Subjek perjanjian adalah para pihak yang terdiri dari kreditur yaitu pihak yang berhak atas prestasi dan debitur yaitu pihak yang berkewajiban memenuhi prestasi yang terdiri dari manusia (natuurlijk persoon) dan badan hukum (recht persoon). Objek Perjanjian adalah segala sesuatu yang diperjanjikan oleh para pihak yang membuat perjanjian. Objek perjanjian dapat berupa benda atau jasa. Berdasarkan Pasal 503, 504, 505 KUHPerdata benda (zaak) dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:22
1. Benda bertubuh atau benda berwujud (lichamelijke zaken)
Benda ini sifatnya dapat dilihat, diraba dan dirasakan dengan panca indera. Benda bertubuh dapat dibagi lagi, yaitu:
a. Benda bergerak atau benda tidak tetap (roerende zaken) yang dapat digolongkan menjadi:
1) Benda yang dapat dihabiskan, misalnya minyak, bensin dan lain-lain.
2) Benda yang tidak dapat dihabiskan misalnya mobil, perhiasan dan lain-lain.
b. Benda tidak bergerak atau benda tetap (onroerende zaken)
Misalnya tanah, pabrik, rumah, kapal yang berukuran 20 m3 ke atas, toko, gedung, sawah, kayu di hutan dan barang-barang lain yang
22
(39)
sifatnya secara prinsip terpaku atau tertancap di tanah. Termasuk juga hak-hak seperti hak pakai hasil, hak usaha, hak bunga tanah, hak pengabdian tanah, hak pasar yang diakui pemerintah.
2. Benda tak bertubuh atau benda tak berwujud (onlichamelijke zaken)
Benda ini hanya bisa dirasakan oleh panca indera saja dan tidak dapat direalisasikan menjadi suatu kenyataan, seperti hak cipta, merek, dan lain-lain.
Perjanjian pemborongan diatur dalam beberapa aturan hukum yang berlaku sebagai payung yang melindungi para pihak yang ada di dalamnya demi terciptanya asas kepastian hukum. Dasar hukum perjanjian pemborongan, yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
2. Pasal 1604 s/d 1617 KUHPerdata dan peraturan-peraturan khusus yang dibuat Pemerintah seperti AV 1941 (Algemene Voorwarden Voor de uitvoering bij aaneming van openbare werken in Indonesia) yang artinya syarat-syarat umum untuk pelaksanaan pemborongan pekerjaan umum di Indonesia.23 Tidak adanya ketegasan dalam pasal-pasal KUHPerdata mengenai kontrak pemborongan ini apakah bersifat hukum memaksa (mandatory law) atau hanya hukum mengatur. Sebagaiman umumnya pasal-pasal dalam buku ketiga KUHPerdata, maka kebanyakan ketentuan tentang hukum pemborongan tersebut bersifat hukum mengatur. Jadi umumnya dapat dikesampingkan oleh para pihak.24
23
F. X. Djumialdji, Op.Cit., hal. 3-4. 24
(40)
3. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa konstruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2010 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi.
4. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan dan Pembinaan Jasa Konstruksi
6. Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/ Jasa Instansi Pemerintah.
Dibentuknya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
(41)
2. Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di bidang jasa konstruksi.
Syarat sah perjanjian pemborongan bagi pihak swasta tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata sedangkan bagi pihak pemerintah tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Pasal 1319 KUHPerdata mengatur bahwa semua perjanjian baik yang mempunyai suatu nama khusus maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab ini dan bab yang lalu, karena itu para pihak yang melakukan perjanjian tidak bernama tidak hanya tunduk pada peraturan yang mengaturnya, tapi harus tunduk pula pada ketentuan dalam KUHPerdata. Dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat legi generalis. Jika pengaturan khusus tersebut tidak mengatur secara rinci maka dapat dipergunakan peraturan yang bersifat umum.
Pemborong bertanggung jawab dalam jangka waktu tertentu. Pada masa ini pemborong wajib melakukan perbaikan jika terbukti adanya cacat ataupun kegagalan. Menurut Pasal 25 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, kegagalan bangunan yang menjadi tanggung jawab penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan terhitung sejak penyerahan akhir pekerjaan konstruksi dan paling lama 10 tahun.
B. Jenis-Jenis Perjanjian Pemborongan
Berdasarkan cara terjadinya perjanjian pemborongan pekerjaan dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu:25
25
(42)
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil pelelangan atas dasar penawaran yang diajukan.
2. Perjanjian pemborongan pekerjaan atas dasar penunjukkan.
3. Perjanjian pemborongan pekerjaan yang diperoleh sebagai hasil perundingan antara pemberi tugas dengan pemborong.
Berdasarkan cara penentuan harganya perjanjian pemborongan dapat dibedakan atas 3 bentuk utama sebagai berikut:26
1. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga pasti (fixed price). Di sini harga pemborongan telah ditetapkan secara pasti, baik mengenai harga kontrak maupun harga satuan.
2. Perjanjian pelaksanaan pemborongan dengan harga lumpsum. Di sini harga borongan diperhitungkan secara keseluruhan.
3. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar satuan (unit price).
Di sini harga yang diperhitungkan untuk setiap unit. Luas pekerjaan ditentukan menurut jumlah perkiraan atau jumlah unit.
4. Perjanjian pelaksanaan pemborongan atas dasar jumlah biaya dan upah (costplus fee).
Di sini pihak pemberi tugas akan membayar pemborongan dengan jumlah biaya yang sesungguhnya yang telah dikeluarkan ditambah dengan upahnya.
Berdasarkan usahanya perjanjian pemborongan dapat dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:27
26
(43)
1. Kontrak perencanaan konstruksi, yaitu kontrak yang dibuat oleh masing-masing pihak. Salah satu pihak yaitu pihak perencana memberikan layanan jasa perencanaan dalam pekerjaan konstruksi. Layanan jasa perencanaan ini meliputi rangkaian kegiatan atau bagian dari kegiatan mulai dari studi pengembangan sampai dengan penyusunan dokumen kontrak kerja konstruksi.
2. Kontrak pelaksanaan konstruksi, yaitu kontrak antara orang perorangan atau badan usaha dengan pihak lainnya dalam pelaksanaan konstruksi. 3. Kontrak pengawasan, yaitu kontrak antara orang perorangan atau badan
usaha dengan pihak lainnya dalam pengawasan konstruksi.
Berdasarkan jangka waktunya perjanjian pemborongan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:28
1. Tahun tunggal, yaitu pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai selama satu tahun.
2. Tahun jamak, yaitu pekerjaan yang pendanaan dan pelaksanaannya direncanakan selesai lebih dari satu tahun.
Berdasarkan cara pembayaran hasil pekerjaan perjanjian pemborongan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:29
1. Sesuai kemajuan pekerjaan, yaitu kontrak yang pembayaran hasil pekerjaannya dilakukan dalam beberapa tahapan dan bisa juga pembayaran dilakukan sekaligus pada saat pekerjaan fisik selesai seluruhnya.
27
Ibid., hal. 43.
28
Ibid., hal. 45
29
(44)
2. Pembayaran secara berkala, yaitu kontrak yang pembayaran hasil pekerjaannya dilakukan secara bulanan pada setiap akhir bulan.
Berdasarkan obyeknya perjanjian pemborongan dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:30
1. Kontrak pengadaan barang, yaitu kontrak yang dibuat oleh para pihak yang objeknya berupa barang dan dipergunakan untuk kepentingan pemerintah.
2. Kontrak konsultasi, yaitu kontrak yang dibuat oleh para pihak dimana pihak penyedia jasa memberika jasa professional dalam berbagai bidang untuk mencapai sasaran tertentu yang hasilnya berupa piranti lunak. Kontrak jenis ini disusun berdasarkan kepada kerangka acuan kerja yang sistematis yang ditetapkan pengguna jasa.
C. Para pihak Dalam Perjanjian Pemborongan
1. Pemberi Tugas (bouwheer/ aanbesteder/ owner/ employer/ client/ promoter/ buyer/ kepala kantor/ satuan kerja/ pemimpin proyek/ prinsipal/ yang memborongkan)
Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Adapun tugas dan wewenang dari seorang pemberi tugas, yaitu:
a. Memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan pemborong. b. Menerima hasil pekerjaan.
c. Membayar harga bangunan.31
30
(45)
d. Penunjukan arsitek.
e. Wewenang dalam hubungannya dengan asuransi. f. Memberikan lokasi kepada kontraktor.
g. Kewenangan dalam hubungannya dengan ganti rugi. h. Kewenangan menetapkan pekerjaan dari kontraktor. i. Kewenangan dalam hal persertifikasian.
j. Kewenangan dalam hal arbitrase bila terjadi sengketa di kemudian hari.32
Hubungan antara pemberi tugas dengan perencana jika pemberi tugas adalah pemerintah dan perencana juga dari pemerintah maka terdapat hubungan kedinasan. Jika pemberi tugas dari pemerintah dan/atau swasta dengan perencana adalah pihak swasta yang bertindak sebagai penasihat pemberi tugas, maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal (perjanjian perencana), sedangkan apabila pemberi tugas dari pemerintah atau swasta dengan perencana dari pihak swasta yang bertindak sebagai wakil pemberi tugas (sebagai direksi) maka hubungannya dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa (Pasal 1792-1819 KUHPerdata).
2. Pemborong (kontraktor/ rekanan/ developer/ annamar)
Pemborong bisa perseorangan, badan hukum, swasta, maupun pemerintah. Tugas pemborong adalah:
a. Melaksanakan pekerjaan sesuai dengan kontrak. b. Menyerahkan pekerjaan.
31
F. X. Djumialdji, Op.Cit., hal. 8. 32
(46)
Penunjukan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas dapat terjadi karena pemborong menang dalam pelelangan atau memang ditetapkan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas. Dalam perjanjian pemborongan, pemborong dimungkinkan menyerahkan sebagian pekerjaan tersebut kepada pemborong lain yang merupakan subkontraktor berdasarkan perjanjian khusus.
Subkontraktor adalah pihak ketiga yang dilibatkan oleh pihak kontraktor utama untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tertentu yang terbit dari kontrak konstruksi antara pihak bouwheer dengan pihak kontraktor utama, pekerjaan mana dilakukan oleh subkontraktor untuk dan atas nama pihak kontraktor utama.33 Secara yuridis hubungan hukum subkontraktor hanya dengan kontraktor utamanya saja. Apabila dilakukan pengangkatan subkontraktor maka kontraktor harus meminta persetujuan dari pengguna jasa serta menyatakan secara rinci jenis pekerjaan yang diberikan kepada subkontraktor. Pihak pemborong tetap bertanggung jawab atas segala akibat yang ditimbulkan dalam mensubkontrakkan pekerjaan. Apabila terbukti bahwa pelaksanaan pekerjaan kontraktor tidak sesuai dengan perencanaan, maka kontraktor akan dikenakan sanksi-sanksi yaitu: denda, penangguhkan pembayaran, diadakan pembongkaran atau penggantian, memasukkan nama perusahaan kontraktor ke dalam daftar hitam rekanan dan pemutuskan kontrak dengan kontraktor.
Penunjukan pada pihak subkontraktor dapat dilakukan dengan cara penunjukan sendiri oleh pihak kontraktor utama atau penunjukan subkontraktor dengan partisipasi pihak bouwheer. Pihak bouwheer campur tangan dalam
33
(47)
menentukan subkontraktor dengan alasan bouwheer hanya percaya pada kemampuan pihak kontraktor semata-mata, ketersediaan keahlian yang cukup pada kontraktor tertentu, dan ketersediaan peralatan yang cukup pada kontraktor tertentu. Apabila pihak subkontraktor gagal memenuhi kewajibannya maka pihak bouwheer dapat mengajukan klaim atas kerugiannya kepada pihak kontraktor, kecuali kontrak yang bersangkutan dengan tegas menentukan sebaliknya.34 Untuk menghindari terjadinya kerugian maka kontraktor harus benar-benar memilih subkontraktor yang memilih reputasi yang baik, bertanggung jawab dan memiliki kemampuan yang dapat diandalkan.
3. Perencana (arsitek)
Arsitek adalah perseorangan atau badan hukum yang berdasarkan keahliannya memiliki tugas, yaitu:
a. Sebagai penasihat
Di sini perencana mempunyai tugas membuat rencana biaya dan gambaran proyek sesuai dengan pesanan pemberi tugas (bouwheer).
b. Sebagai wakil
Di sini perencana bertindak sebagai pengawas dengan tugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan. Perencana juga dapat menunjuk orang lain untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan (ada subsitusi).35 Sebagai wakil perencana dapat diberhentikan sewaktu-waktu apabila ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan
34
Ibid., hal. 186-188. 35
(48)
pemberitahuan penghentian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pengampuannya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa (Pasal 1813 KUHPerdata).
4. Pengawas (Direksi)
Direksi bertugas untuk mengawasi pelaksanaan pekerjaan pemborong. Di sini pengawas memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu pengawas bertugas untuk mengadakan pengumuman pelelangan yang akan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS) untuk pemborongan-pemborongan atau pembelian dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran, mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya.36 Fungsi mewakili yang terbanyak dari direksi adalah pada fase pelaksana pekerjaan dimana direksi bertindak sebagai pengawas terhadap pekerjaan pemborong, jadi kewenangan mewakili dari direksi ini ada selama tidak ditentukan sebaliknya oleh pemberi tugas secara tertulis dalam perjanjian yang bersangkutan bahwa dalam hal-hal tertentu hanya pemberi tugas yang berwenang menanganinya.
36
(49)
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak Dalam Perjanjian Pemborongan
1. Pemberi tugas (bouwheer) Hak-hak pihak bouwheer, yaitu :
a. Hak utama yaitu menerima hasil pekerjaan secara utuh dan sesuai ketentuan yang terdapat dalam kontrak sesuai dengan keinginan pihak pemberi tugas dan diselesaikan sesuai jadwal waktunya. b. Mengetahui jalannya pekerjaan pemborongan di lapangan.
c. Mengecek jalannya pelaksanaan pekerjaan di lapangan apakah sudah sesuai dengan perjanjian atau tidak.
d. Memperoleh laporan bulanan mengenai hasil kemajuan pekerjaan. e. Berhak untuk memperlakukan subkontraktor dalam pemenuhan
kewajiban dan konsep yang sama seperti kontraktor utama, yaitu dalam hal pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh kontraktor utama, subkontraktor juga dianggap tidak dapat melakukannya. Jika kontraktor mengenai sesuatu hal dianggap tidak berkepentingan untuk melakukannya maka subkontraktor juga dianggap tidak berkepentingan untuk melakukan pekerjaan tersebut.
f. berhak untuk memutuskan perjanjian dengan didahului dengan pemberitahuan secara tertulis apabila denda keterlambatan penyelesaian proyek telah mencapai batas maksimum yaitu 10% (sepuluh persen) dari nilai kontrak.
(50)
a. Kewajiban utama adalah melakukan pembayaran sesuai dengan nilai kontrak dari pihak pemborong jika pemborong telah menyelesaikan pekerjaannya.
b. Membayar uang maka pekerjaan (down payment) kepada pihak pemborong setelah menerima jaminan pelaksanaan dari pihak pemborong.
c. Memberikan pengarahan dan bimbingan apabila dalam pelaksanaan pekerjaan lapangan terdapat hal-hal menyimpang di luar isi perjanjian.
d. Memberikan biaya tambahan atas kenaikan harga atau jasa sehubungan dengan pekerjaan tersebut.
2. Pemborong (kontraktor)
Hak-hak pihak pemborong,yaitu:
a. Hak utama adalah menerima pembayaran sebesar nilai kontrak dari pihak pemberi tugas.
b. Hak mendapatkan uang muka (down payment) dari pihak pemberi borongan pekerjaan bangunan sesuai dengan yang diperjanjikan. c. Berhak menuntut tambahan biaya atas kenaikan harga barang atau
jasa sehubungan dengan perkerjaan itu dengan syarat telah mendapat ijin dari pemberi borongan pekerjaan tentang klaim yang diajukan pihak pemborong.
d. Mendapat pengarahan dan bimbingan dari pemberi tugas dalam melaksanakan pekerjaan pemborongan.
(51)
e. Mencari tambahan dana dari pihak ketiga.
f. kontraktor utama berhak untuk memberlakukan syarat-syarat dari perjanjian induk kepada subkontraktor yang berarti mengalihkan beban yang diwajibkan oleh pemberi tugas yang semula berlaku bagi kontraktor utama menjadi berlaku bagi subkontraktor.
g. kontraktor dapat juga berhak atas pembayaran mengerjakan bangunan tersebut jika si pemberi tugas lalai untuk melakukan pemeriksaan dan menyetujui pekerjaan atau bendanya menjadi rusak karena cacat.
Kewajiban-kewajiban pihak pemborong, yaitu :
a. Kewajiban utama adalah menyelesaikan pekerjaan pemborongan pekerjaan bangunan yang diberikan pihak pemberi borongan pekerjaan.
b. Mentaati dan melaksanakan ketentuan umum yang berlaku di Indonesia termasuk ketentuan mengenai hubungan ketenagakerjaan dan keselamatan kerja.
c. Mengadakan tindakan preventif agar pelaksanaan pekerjaan dapat dilaksanakan dengan cara yang benar dan tidak membahayakan keselamatan, baik bagi para pekerja atau yang berdampak buruk bagi masyarakat sekitar.
d. Pemborong wajib mengasuransikan tenaga kerjanya dan harus melaporkan pada pemberi tugas.
(52)
e. Melakukan pekerjaan pemeliharaan pekerjaan selama 30 (tiga puluh) hari sejak penyerahan pertama dilakukan.
f. Membuat laporan setengah harian dan setengah bulan atas kemajuan fisik yang dicapai dalam pelaksanaan pekerjaan.
g. Mengadakan pemberitahuan secara tertulis apabila terjadi force majeure pada pihak pemberi tugas.
h. Jika ada kekurangan atau kekeliruan dalam gambar bestek, maka pemborong wajib memberitahukan pada pemberi tugas dan pemborong wajib bertanggung jawab atas kekurangan serta keamanan dan konstruksi hasil pekerjaan, sehingga jika pekerjaan yang tidak baik, pemborong masih berkewajiban memperbaiki atas biaya pemborong sampai baik dan diterima pihak pemberi tugas. i. Pemborong yang melakukan pekerjaan dan menyediakan material,
jika kemudian pekerjaannya musnah sebelum penyerahan pekerjaan maka risiko ada pada pemborong, ini berarti pemborong harus mengerjakan lagi dengan material yang baru kecuali jika si pemberi tugas telah lalai melakukan pemeriksaan dan menyetujui pekerjaan tersebut maka risiko beralih pada pemberi tugas (Pasal 1650 KUH Perdata).
j. Bagi pemborong yang hanya melaksanakan pekerjaan saja, kemudian terjadi kerusakan sebelum pekerjaan diserahkan maka resiko ada pada pemborong yaitu hanya bertanggungjawab terbatas pada kesalahan yang dibuatnya (Pasal 1606 KUHPerdata).
(53)
Sebagai tambahan pula bahwa peran serta masyarakat dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan tidak dapat dihilangkan begitu saja. dalam hal ini masyarakat pun memiliki hak dan kewajibannya. Hak masyarakat berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu:
1. Melakukan pengawasan untuk mewujudkan tertib pelaksanaan jasa konstruksi.
2. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang dialami secara langsung sebagai akibat penyelenggaraan pekerjaan konstruksi.
Kewajiban masyarakat berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu:
1. Menjaga ketertiban dan memenuhi ketentuan yang berlaku di bidang Pelaksanaan jasa konstruksi.
2. Turut mencegah terjadinya pekerjaan konstruksi yang membahayakan kepentingan umum.
E. Metode Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan
Dalam tahap awal pelaksanaan perjanjian pemborongan dilakukan kualifikasi perusahaan pemborongan, yaitu:37
1. Golongan C3 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 5.000.000 (lima juta rupiah) sampai dengan Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah).
37
(54)
2. Golongan C2 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 20.000.000 (dua puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah).
3. Golongan C1 adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan pemeliharaan/ perbaikan ringan dan pembangunan dengan persyaratan teknis sederhana bernilai di atas Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
4. Golongan B2 adalah pemborong yang mampu melaksanakan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis madya di atas Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
5. Golongan B1 adalah pemborong yang mampu melaksanakan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis madya di atas Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000 (satu miliyar rupiah).
6. Golongan A adalah pemborong yang mampu melaksanakan pekerjaan perbaikan dan pembangunan dengan persyaratan teknis tinggi atau sangat tinggi bernilai di atas RP 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Setelah tahap pengkualifikasian perusahaan pemborongan selesai lalu lanjut ke tahap selanjutnya, yaitu:38
1. Pelelangan umum
38
(55)
Pelelangan umum adalah pelelangan yang dilakukan secara terbuka dengan pengumuman secara luas melalui media masa dan atau pada papan pengumuman resmi untuk penerangan umum, sehingga masyarakat luas atau dunia usaha yang berminat dapat mengikutinya. Pelelangan umum dilakukan denga cara sebagai berikut:
a. Diadakannya pengumuman kepada yang berminat. b. Pemberian penjelasan.
c. Pengajuan penawaran kepada panitia. d. Pembukaan surat penawaran.
e. Penetapan calon pemenang pelelangan. f. Penetapan pemenang pelelangan. g. Pengumuman pemenang pelelangan. h. Penunjukan pemenang.
2. Pelelangan terbatas
Pelelangan terbatas adalah pelelangan untuk pekerjaan tertentu yang dilakukan di antara pemborong atau rekanan yang dipilih dari pemborong atau rekanan yang terdaftar dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM) sesuai dengan bidang usaha atau ruang lingkupnya atau klasifikasi kemampuannya.
3. Penunjukan langsung
Penunjukan langsung adalah penunjukan pemborongan atau rekanan sebagai pelaksana pemborongan tanpa melalui pelelangan umum atau
(56)
pelelangan terbatas dan dilakukan diantara sekurang-kurangnya tiga penawar dari pemborong atau rekanan yang tercatat dalam Daftar Rekanan Mampu (DRM). Penunjukan langsung bisa terjadi karena alasan khusus berhubungan dengan telah terjadinya bencana alam berdasarkan pernyataan Kepala Daerah yang bersangkutan. Contohnya penunjukan langsung pada pihak-pihak pemborong untuk membangun kembali Nangroe Aceh Darusalam pasca tsunami yang melanda Aceh 26 Desember 2004 lalu. Penunjukan langsung ini dikarenakan pekerjaan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi yang membutuhkan tindakan yang cepat.
4. Pengadaan langsung
Pengadaan langsung adalah pelaksanaan pemborongan yang dilakukan dari pemborong/ rekanan golongan ekonomi lemah tanpa melalui pelelangan umum atau pelelangan terbatas atau penunjukan langsung. Dalam praktek jika pengguna jasa tidak menghendaki bahwa pekerjaan tersebut dilakukan oleh sub-kontraktor maka dalam perjanjian harus dicantumkan dengan tegas adanya klausula bahwa pekerjaan tersebut dilarang untuk diborongkan lebih lanjut kepada subkontraktor. Dalam praktek banyak sekali terjadi adanya subkontraktor yang memang dibutuhkan oleh kontraktor besar untuk dapat membantu menyelesaikan pekerjaan tersebut menurut bagian-bagian yang telah dibagi-bagi untuk dikerjakan.
(57)
BAB III
PERJANJIAN PENGADAAN BARANG/JASA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang dimaksud dengan pengadaan barang/ jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/ jasa oleh Kementerian/ Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah/ Institusi yang prosesnya (K/ L/D/ I) dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh Barang/ Jasa.
Pada tanggal 6 Agustus 2010 ditetapkan dan diberlakukanlah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang/ jasa pemerintah. Terbitnya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah merupakan satu bentuk kebijakan terkait pengadaan publik dalam upaya mengurangi ekonomi biaya tinggi, mendorong terjadinya pesaingan usaha yang sehat, meningkatkan penggunaan produk dalam negeri dan keberpihakan kepada pengusaha kecil. Pada akhirnya semua berdampak luas pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Belum genap 1 tahun sejak dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, tanggal 30 Juni 2011 pemerintah telah mengeluarkan Perubahan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011. Kalau melihat dasar perubahan ini yang tertuang pada konsideran Peraturan Presiden
(1)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pengadaan barang/ jasa diatur dalam KUHPerdata, namun hanya mengenai aspek perjanjiannya saja. Dalam KUHPerdata pengadaan barang/ jasa tidak diatur secara jelas seperti perjanjian pemborongan, karena itu perjanjian pengadaan barang/ jasa didasarkan pada Pasal 1601 dan buku III pada umumnya yang terdiri dari Pasal 1320 , Pasal 1321, Pasal 1322, Pasal 1324, Pasal 1337, Pasal 1338 dan Pasal 1339 KUHPerdata. Saat ini pengadaan barang/ jasa telah diatur secara khusus dalam Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah sehingga segala kegiatan pengadaan barang/ jasa berpedoman pada aturan ini, sedangkan di dalam KUHPidana pelanggaran di bidang pengadaan barang/ jasa tidak diatur secara jelas, namun pelanggarannya diidentikan dalam bentuk penggelapan (Pasal 372 KUHP), penyalahgunaan jabatan (Pasal 415 KUHP), dan pemerasan (Pasal 368 KUHP) yang termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi. Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generalis maka aturan mengenai pelanggaran di bidang pengadaan barang/ jasa yang diidentikan dengan korupsi diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
(2)
2. Dalam kontrak perjanjian pengadaan barang/ jasa antara CV. Dhyams Com dengan PT. Gapura Angkasa terdapat klausul yang tidak seimbang yang memberikan hak pada salah satu pihak yaitu PT. Gapura Angkasa sebagai pengguna barang untuk memutuskan kontrak secara sepihak bila terdapat keterlambatan dalam pengadaan barang yang telah disepakati, namun hak tersebut tidak dimiliki oleh CV. Dhymas Com selaku penyedia jasa bila PT. Gapura Angkasa melakukan kesalahan. Hal ini disebabkan oleh kedudukan para pihak yang tidak seimbang dimana subjek hukumnya satu pihak tidak berbadan hukum yaitu CV. Dhymas Com selaku penyedia barang dan pihak yang lain berbadan hukum yaitu PT. Gapura Angkasa selaku pengguna barang, tetapi dalam pelaksanaannya keseimbangan lebih tampak nyata dari apa yang terdapat di dalam kontrak dimana para pihak bisa saling bernegosiasi apabila timbul masalah-masalah dalam perjanjian tersebut.
3. Tanggung jawab para pihak bila terjadi kerugian di kemudian hari ditanggung oleh pihak yang melakukan kesalahan, namun pertanggung jawaban yang menyebabkan kerugian tersebut harus dilihat pula penyebab dan situasinya contoh seperti kerugian yang disebabkan oleh kelalaian para pihak, kerugian yang disebabkan oleh tidak adanya itikad baik para pihak dalam menjalankan perjanjian, atau kerugian yang dikarenakan oleh force majaure. Karena itu, apabila CV. Dhymas Com selaku penyedia barang/ jasa mengalami keterlambatan dalam menjalankan tugasnya akibat tidak tersedianya barang (not ready stock) maka pihak penyedia barang/ jasa
(3)
harus menerima bila kontrak batal akibat keterlambatan maksimal dalam pengadaan barang yang telah disepakati bersama.
B. SARAN
Bagi para pihak yang akan membuat atau mengadakan suatu perjanjian hendaklah terlebih dahulu memahami dan mengerti mengenai dasar-dasar suatu perjanjian, Umumnya hal ini ditujukan kepada pihak tertentu yang memiliki posisi tawar yang lemah karena azas keseimbangan merupakan hal yang sulit diaplikasikan di lapangan sehingga dapat terhindari hal-hal yang merugikan mereka sebagai pelaku perjanjian pengadaan barang/ jasa dan agar terlaksananya tujuan dari kontrak yang telah disepakati. Tidak hanya itu, sepatutnya institusi yang terkait dengan kasus pengadaan barang dan jasa pemerintah melakukan refleksi dan introspeksi untuk sistem yang lebih baik dan transparan. Jika tidak, maka lingkaran yang korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) yang telah mengakar dan membelenggu selama ini tidak akan terputus dan kredibilitas instansi terkait pun akan semakin buruk. Hal ini akan berimbas pada timbulnya ketidak percayaan masyarakat.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Korupsi dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Yogyakarta, Genta Publising, 2010
Ayu Permatasari, Dinda, Analisis Surat Perjanjian Pemborongan (Kontrak) antara Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dengan CV. Duta Utama Sumatera, Skripsi, Medan: Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010 Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Jakarta,
Citra Aditya, 2006
Danar Hadi, Manager Keuangan PT. Gapura Angkasa Cabang Medan
Dirdjosisworo, Soedjono, Misteri di Balik Kontrak Bermasalah, Bandung, CV Mandar Maju, 2002
Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, Jakarta, Rineka Cipta, 1995
Dwiyatmi, Sri Harini, Pengantar Hukum Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2006
Fitri M. Manurung, Kiki, Analisis Hukum terhadap Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara, Skripsi, Medan: Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010.
Fuady, Munir, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Bandung, PT Citra Aditya Bakti, 1998
Habibullah, Kebijakan Privatisasi BUMN: Relasi State, Market dan Civil Society, Malang, Averroes Press, 2009
Jusuf, Tony dan Erna Himawati, Memahami Kontrak Kerja Pembangunan Rumah, Jakarta, Griya Kreasi, 2007
Kusumohamidjojo, Budiono, Panduan untuk Merancang Kontrak, Jakarta, Grasindo, 2004
Miru, Ahmad, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2007
Muladi, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Kencana, 2010
Mulhadi, Hukum Perusahaan: Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Bogor, Ghalia Indonesia, 2010
(5)
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta, PT Rasa Grafindo Persada, 2003
Nugroho, Rianto, dkk, Management Privatisasi BUMN, Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2008
Nurwidijanto, Apit, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada PT. Puri Kencana Mulyapersada di Semarang, Tesis, Semarang: Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, 2007.
Rusli, Hardijan, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1996
Salim HS, Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, 2003
________, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2003
________, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, Jakarta, PT Rajagrafindo Persada, 2006
Santoso, Lukman, Hukum Perjanjian Kontrak: Panduan Memahami Hukum Perikatan dan Penerapan Surat Perjanjian Kontrak, Yogyakarta, Cakrawala, 2012
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2004
Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2003
Sutedi, Adrian, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya, Jakarta, Sinar Grafika, 2008
Widjaya, IG Rai, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting) Teori dan Praktik, Jakarta, Mega Ponin, 2007
www.google.com tentang perjanjian pengadaan barang/ jasa dan perjanjian pemborongan
www.gapuraangkasa.co.id www.lkpp.go.id
www.tempo.com
(6)
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54)
Undang-undang Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disahkan pada tanggal 21 November 2011
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70)
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah disahkan dan berlaku pada tanggal 6 Agustus 2010, Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah, Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah berlaku pada saat diundangkan yaitu tanggal 1 Agustus 2012.