SUASANA SERUMPUN ITU MASIH TERASA SEBUAH

SUASANA SERUMPUN I TU MASI H TERASA;
SEBUAH KESAN KUNJUNGAN SI NGKAT DI MALAYSI A
H. A. R. Maklin
Dalam kunjungan I r Muhamad Lukman Edy, Menteri Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) ke Malaysia selama tiga hari, yaitu pada
tanggal 31 Oktober sampai dengan 2 Nopember 2007, penulis ikut sebagai salah
seorang anggota rombongan. Setelah diberitahu akan diikutkan dalam kunjungan
Menteri Negara PDT tersebut, beberapa hari sebelum berangkat, saya
menanyakan kepada Staf Kementerian PDT yang mengurus keberangkatan
rombongan, tentang persiapan dokumen kunjungan tersebut. Yang ingin saya
konfirmasi terutama, Paspor, I zin Perjalanan Luar Negeri, Return Tiket, Akomodasi
dan Jadwal Kunjungan. Karena ada kekhawatiran, jangan sampai dokumen
tersebut belum lengkap. Sehingga saya mendapat kesulitan dalam perjalanan,
apalagi ada kesan hubungan I ndonesia - Malaysia sepertinya masih mengalami
berbagai ketegangan, bahkan sudah sangat sering saya mendengar/ baca berita;
‘bagaimana perlakuan aparat di Malaysia terhadap WNI , mulai dari klas TKI / TKW
sampai kepada Diplomat I ndonesia.
Pada awal kunjungan kami, perasaan was-was itu memang terasa,
bahkan sambil diselingi canda diantara kami anggota rombongan; supaya awas
dan awas, jangaan - jangaan…dstnya, sehingga paspor itu lengket seperti
perangko diantara kami semua. Dalam acara pertemuan Menteri PDT dan

rombongan dengan mahasiswa serta masyarakat I ndonesia di Malaysia di kantor
Kedutaan Besar I ndonesia di Kuala Lumpur, yang juga dihadiri Konsuler/ Wakil
Dubes I ndonesia beserta Staf. Kami mendapat penjelasan dari Pejabat Dubes
I ndonesia dan Tokoh Masyarakat serta mahasiswa I ndonesia di Malaysia, setelah
itu, perasaan kami masih campuir aduk, termasuk memang timbulnya heroisme
kebangsaan. tapi juga ada perasaan prihatin dan gemas.
Dari informasi yang kami peroleh, WNI terdaftar sekitar dua jutaan di
Malaysia atau hampir sepuluh persen dari jumlah penduduk Malaysia yang
berjumlah sekitar 25 jutaan. Jumlah tersebut merupakan suatu potensi besar,
yang bisa bermata dua dalam berbagai aspek.
Bagi politisi, ini dapat dilihat sebagai potensi kekuatan, yang bisa
digunakan untuk mempengaruhi kebijakan politik baik di Malaysia maupun di
I ndonesia. Jadi siapa yang dapat menggunakan secara efektip, maka dapat
memperoleh manfaat politis yang positip. Jumlah WNI yang begitu besar di
Malaysia dapat menjadi kekuatan yang mempererat hubungan I ndonesia dengan
Malaysia secara politis, tetapi juga bisa menjadi sebaliknya sebagai boomerang
bagi kedua Negara jika tidak dikelola kedua Negara secara tepat. Potensi WNI di
Malaysia ini secara politis bilateral memerlukan laporan dan analisis khusus.

1


Bagi Saudagar, jumlah WNI di Malaysia ini bisa dilihat sebagai potensi
Sumber Daya Manusia (SDM), paling tidak sebagai sumber tenaga kerja dan
potensi pasar. Sayang sekali bahwa menurut informasi, TKI khususnya klas buruh
di Malaysia sebenarnya gajinya sangat rendah, misalnya buruh perkebunan kelapa
sawit hanya dibayar + / - 6 Ringgit Malaysia perhari (setara + / - Rp18.000an). Jadi
lebih rendah dari UMR di I ndonesia, bahkan di Jakarta upah buruh harian + / Rp.40.000an dan PRT di gaji antara Rp.300.000,- sd Rp.1.000.000an dan
menikmati cuma- cuma kamar, makan minum , pengobatan dan fasiltas lainnya
dari majikan. Jadi TKI di Malaysia sebenarnya meskipun harus diakui sebagai
sumber devisa bagi I ndonesia, pada umumnya mereka menerima penghasilan
dengan standard yang rendah. Sehingga apabila I ndonesia mampu meningkatkan
pertumbuhan investasinya yang dapat menyerap tenaga lebih banyak khususnya
di sector perkebunan kelapa sawit misalnya, maka TKI ini akan balik dengan
sendirinya dengan kelebihan pengalamnnya selama di Malaysia. Dan kalau ini yang
terjadi, tentu pihak Malaysia, khususnya Saudagar perkebunan kelapa sawit itu
akan menghadapi kesulitan luar biasa.
Karena mereka akan sulit mencari tenaga kerja pengganti dengan upah
dibawah standar normal itu, apalagi WN Malaysia dengan kemajuan ekonominya
selama ini makin sedikit yang menjadi tenaga buruh perkebunan. Sebagai contoh,
sewaktu rombongan mengunjungi FELDA sebagai PENERAJU (sebuah perusahaan

perkebunan kelapa sawit dan karet yang layaknya seperti PTPN (Persero)
Perkebunan, dengan Skim Khusus dari Pemerintah Malaysia). Salah seorang
PENEROKA yang telah bekerja lebih 25 tahun ( sebagai TK Transmigrasi
perkebunan WN Malaysia, asal Banjar, I ndonesia sekitar 40 tahun yang lalu).
Dalam kesempatan itu, kami tanyakan “Berapa Anaknya Pak Haji dan Apakah ada
yang bisa meneruskan sebagai Peneroka). Pak Haji sambil senyum- senyum,
menjawab, ’Punya anak lima dengan cucu enam orang, tapi mereka tidak ada
yang mau lagi sebagai Peneroka. Bahkan tidak ada lagi anaknya yang tinggal di
Luar Bandar itu, tapi semuanya tinggal di Kota (Bandar). Fenomena ini masih
memerlukan laporan dan analisis tersendiri.
Bagi pemerhati Sosial, Budaya dan Agama, Potensi WNI sekitar dua
jutaan itu sangat besar bagi Malaysia yang hanya memiliki WN sekitar 25 jutaan,
untuk bisa saling memperkuat dan mempererat pengembangan social, budaya dan
agama. Apalagi WNI sebagai warga rumpun Melayu pada umumnya juga
beragama islam. Jadi mestinya terjadi percepatan pengembangan multiple
brotherhood, ya saudara serumpun Melayu, yaa saudara sesama Moslem. Tapi
kenapa akhir- akhir ini makin sering terjadi gesekan, dari persoalan yang sepele
menjadi besar atau di besar- besarkan, dari persoalan antar perorangan menjadi
persoalan antar masyarakat, bangsa dan Negara ?. Siapa tahu memang ada pihak
ketiga dari masing- masing pihak yang selalu memanfaatkan setiap kejadian untuk

mendapatkan keuntungan pribadi dan atau kelompok, layaknya selalu memancing
di air keruh. Kekhawatiran serupa juga sempat dikemukakan Tun Abdul Aziz
(beliau keturunan Tuanku Rao dari Padang), Menteri Negara Kemajuan Luar

2

Bandar dan Wilayah, Malaysia ( sepadan Menteri Negara PDT), sewaktu
rombongan diterima beliau di Kantor-nya, dengan segala keakraban dan
keramahannya sampai diantar dengan lambaian tangan beliau beserta Staf.
Dari berbagai rasa kekhawatiran sebelum berangkat sampai dengan
awal kedatangan di Kuala Lumpur, mulai cair dan suasana serumpun itu masih
terasa setelah rombongan mengadakan kuinjungan antara lain;
Kunjungan ke Universitas Malaya, pada hari Kamis, tanggal 1 Nopember
2007, sekitar jam 10.00 pagi, dengan diantar Staf Kedubes RI di Kuala Lumpur,
rombongan Menteri Negara PDT mengunjungi Universiti Malaya (UM). University of
Malaya ini sebagai Universitas tertua di Malaysia, yang didirikan pada tahun 1949,
telah menghasilkan lulusan sejak tahun 1905 yang mewarnai Kepemimpinan di
berbagai Lembaga Pemerintah dan Non Pemerintah di Malaysia. Rombongan
diterima Prof. Dato’ DR. Mohd Amin Jalaluddin, Deputy Vice – Chancellor, mewakili
UM dan didampingi beberapa Professor dan Staf UM. Suasana Serumpun sangat

dirasakan, sejak rombongan diterima. Selama di Balai Pertemuan UM, sebelum
pembicaraan resmi dimulai, didahului perbincangan yang sangat santai dan akrab
antara rombongan dengan tuan rumah. Kami samasekali tidak merasakan adanya
ketegangan, bahkan para Professor UM tersebut menawarkan berbagai
kemudahan dan peluang mengembangkan kerjasama antara UM dan Kementerian
PDT. Apalagi I r Lukman Edy secara pribadi pada kesempatan ini juga sekaligus
menerima Kartu Mahasiswa (sebelumnya sudah diterima) Program Post Graduate
(S3) UM. Jadi suasana bertambah akrab.
Seperti layaknya suatu pertemuan antara dua institusi atau lebih,
diambil kesepakatan. Dalam pertemuan ini disepakati untuk mengembangkan
kerjasama. Untuk tahap awal akan ditindak lanjuti antara lain, Program
Pengembangan Desa Terpadu di Wilayah Terpencil di Perbatasan I ndonesia –
Malaysia di Kalimantan , Pengembangan Penelitian dan DI KLAT Kewirausahaan.
Untuk menindak lanjuti kesepahaman ini juga akan melibatkan Universitas
Tanjung Pura di Pontianak, yang dekat perbatasan. Suasana keakraban,
kekeluargaan kembali sangat dirasakan menjelang berakhirnya pertemuan.
Dimulai pada saat pertukaran cendera hati, sewaktu diajak makan siang dan
pada saat rombongan diantar. Makanan yang disediakan dilahap rombongan
layaknya makan dirumah sendiri. Karena disamping menunya, juga suasana
keramahan yang sangat jelas dari gesture tuan rumah yang begitu ikhlas

menyediakan makan siang, yang diselingi canda ala melayu dengan penuh rasa
damai. Tapi salah seorang anggota rombongan kami ‘nyeletuk berbisik kepada
saya’, “Mereka inikan Cendekiawan, malah Professor”, jadi walaupun I ndonesia
dalam suasana ‘Perang’ dengan Malaysia, mereka tetap berfikir jernih, rasional dan
damai. Sedangkan dilapangan, dilingkungan masyarakatnya, apalagi aparatnya
belum tentu suasana ini terjadi.
Setelah makan siang bersama di UM, kunjungan dilanjutkan ke FELDA
dan ke daerah yang berhasil dalam membangun daerah tertinggal. Perjalanan dari
UM ke FELDA sekitar satu setengah jam. Sepanjang perjalanan baik di Toll

3

maupun diluarnya, kita menikmati lingkungan pemandangan perkebunan kelapa
sawit, yang diselingi kebun karet dan beberapa tanaman perkebunan lainnya.
Kesan saya bahwa sepertinya memang Malaysia ini adalah negara kelapa sawit.
FELDA yang didirikan sejak tahun 1956, dengan visinya “Sebagai Peneraju I ndustri
Sawit Dunia dan Warga Peneroka Menjadi Warga Klas Pertengahan Menjelang
Tahun 2010”. Setelah rombongan menerima penjelasan dari Pejabat FELDA, yang
disertai dengan informasi tertulis dan kunjungan lapangan ke kebun- kebun dan
pabrik pengolah sawit untuk CPO, agak kagum juga melihat prestasi FELDA ini.

Sebelum tahun 2010 sepertinya perusahaan (semacam PTPN) perkebunan kelapa
sawit ini telah mewujudkan visinya. Sangat berbeda dengan PTPN- PTPN di Negeri
tercinta, yang banyak mengalamii kerugian sehingga harus tetap di subsidi
pemerintah. FELDA bahkan telah outward looking dan telah mengembangkan
investasinya ke Kutai, Kalimantan Timur.
Selama berkunjung di FELDA ini termasuk ke Daerah Luar Bandar yang
tertinggal yang berhasil dimajukan, kembali suasana serumpun itu yang penuh
keakraban, keramah tamahan dirasakan. Kalau yang ramah, akrab, dan penuh
senyum hanya pejabat FELDA-nya, Pejabat Kementerian Luar Bandar dan Wilayahnya, yaa, itukan mereka sudah termasuk elit dan berpendidikan (seperti yang
dibisikkan teman di UM). Tapi sewaktu kami berkunjung ke para PENEROKA dan
keluarganya termasuk para pengrajin disekitar kebun- kebun itu, mereka sangat
kekeluargaan. Semua yang dikunjungi minimal menyediakan minuman dan
makanan kecil, melebihi layaknya berkunjung di daerah- daerah di tanah air
tercinta. Selama kunjungan juga terjadi perbincangan yang sangat akrab, bukan
hanya soal kebun dan hasilnya tapi juga soal- soal keluarga mereka, dan dijawab
dengan penuh keterbukaan. Memang diantara mereka banyak yang berasal dari
berbagai wilayah I ndonesia, seperti dari Aceh, Padang, Banjar, Bugis, dan tentu
dari Jawa. Bisikan teman bahwa suasana damai, ramah dan akrab itu karena
mereka cendekiawan dan elit tentu terjawab bahwa juga dikalangan
masyarakatnya, bahkan selama kunjungan diluar bandar itu, aparatnya mengawal

( tapi memang dalam rombongan ada Menteri PDT).

Jakarta, 6 Nopember 2007

Penulis,

H.A.R. Maklin

4