MAKALAH ANALISIS PILKADA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan
kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi,
daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang
melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan
Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik
didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif
di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di
provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur
penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu
Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat
dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak
langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil
kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung
pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih
berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak

hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan
prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah
dipilih secara demokratis. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh
partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No. 32
Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala
daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh
sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk

1

mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk
mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung
dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari
telah berjalannya program desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi
untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf
otonomi individu.
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apa saja kelebihan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada) secara langsung di Indonesia ?
2. Apa saja kelemahan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada) secara langsung di Indonesia ?
3. Bagaimana masa depan pelakasanaan pemilihan umum kepala daerah
(Pemilukada) secara langsung di Indonesia ?

2

BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis Kelebihan Pemilukada
Banyak permasalahan baik dari implikasi politik maupun dampak
sosial ekonomi baik yang menguntungkan maupun tidak. Ada beberapa
keunggulan pilkada dengan model pemilihan secara langsung
Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih
Partisipasi. Partisipasi jelas akan membuka akses dan kontrol masyarakat yang
lebih kuat sebagai aktor yang telibat dalam pilkada dalam arti partisipasi

secara langsung merupakan prakondisi untuk mewujudkan kedaulatan
ditangan rakyat dalam konteks politik dan pemerintahan.
Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan pilihan
yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang
memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata
masyarakat sehingga pemimpin yang baru tersebut dapat membuahkan
keputusan-keputusan yang lebih baik dengan dukungan dan kepercayaan dari
masyarakat luas dan juga diharapkan akan terjadinya rasa tanggung jawab
secara timbal balik. Sang kepala daerah lebih merasa mendapatkan dukungan
dari masyarakat, sehingga kebijakan-kebijakan tentu saja lebih berpihak pada
kepentingan dan kesejahteraan rakyat. pada saat yang sama, rakyat juga akan
lebih mendukung kebijakan-kebijakan kepala daerah sebab mereka telah
berperan secara langsung dalam pengangkatan kepala daerah.
Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau masyarakat.
Diharapkan dengan pemilihan seperti ini mayarakat akan lebih mengenal
pemimpin mereka di daerah sehingga akan memudahkan proses komunikasi
politik di daerah
Keempat, lebih terdesenralisasi. Berbeda dengan pemilihan kepala
daerah sebelumnya, pemilihan kepala daerah dilakukan pemerintah pusat
dengan cara menunjuk atau menetapkan aktor politik untuk menempati jabatan

politik di daerah.7
Kelebihan diadakannya pilkada langsung adalah kepala daerah terpilih
akan memiliki mandat dan legitimasi yang samngat kuat, kepala daerah
terpilih tidak perlu terikat pada konsesi partai-partai atau faksi-faksi politik

3

yang telah mencalonkannya, sistem pilkada langsung lebih akuntabel karena
adanya akuntabilitas politik, Check and balances antara lembaga legislatif dan
eksekutif dapat lebih berjalan seimbang, kriteria calon kepala daerah dapat
dinilai secara langsung oleh rakyat yang akan memberikan suaranya, pilkada
langsung sebagai wadah pendidikan politik rakyat, kancah pelatihan dan
pengembangan demokrasi, pilkada langsung sebagai persiapan untuk karir
politik lanjutan, membangun stabilitas poilitik dan mencegah separatisme,
kesetaraan politik dan mencegah konsentrasi di pusat.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara
lain sebagai berikut :
a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena
pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa
selama ini telah dilakukan secara langsung.

b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati
dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah
diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi
rakyat. Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat
yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur
bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nuraninya.
d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam
pilkada langsung 2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam
mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.


4

e. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta,
jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka
sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi
Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru
dari pilkada langsung ini.
B. Analisis Kelemahan Pemilukada
Menurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada di
Indonesia, yaitu :
a. Daftar Pemilih tidak akurat
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada,
sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan
gugatan. Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara
lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU,
KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data
pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan

daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data
pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka
permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir,
karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
b. Persyaratan Calon tidak lengkap
Proses

pencalonan

yang

bermasalah

Permasalahan

dalam

pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu
konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan
para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan

mengikuti Pilkada. Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai
dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa
pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD

5

dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan
dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai
politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam
persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada
saat penetapan pasangan calon yang dirugikan. Pasal 59 ayat (5) huruf
a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai
politik atau gabungan partai politik

pada saat mendaftarkan pasangan

calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh
pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung.
Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik,

ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda
dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam
permasalahan

ini

karena pimpinan partai politik setempat tidak

melaksanakan rekomendasi DPP partai politik, kemudian diberhentikan
sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana
tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga
meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui
pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal
61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa
penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final
dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang
disalahgunakan untuk
tanpa


dapat

menggugurkan

pasangan

calon

tertentu

melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi

pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan
KPUD yang tidak netral melalui pengadilan. Untuk mengatasi kekurangan
ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan
keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.

6

c. Pencalonan Pasangan dari parpol

Permasalahan internal parpol dalam menentukan pasangan calon
membuat Pilkada terhambat. Hal itu disebabkan, adanya kepengurusan
ganda, proses seleksi tidak transparan, adanya intervensi pengurus
pusat/provinsi, tidak menetapkan pasangan seperti kasus di Sampang,
Jatim.
d. Penyelenggara atau KPUD tidak netral
Faktor yang mempengaruhi ketidaknetralan KPUD berdasarkan
faktor kedekatan dan kekerabatan degan salah satu pasangan. Selain itu,
tidak adanya pengadilan yang mengkoreksi keputusan KPUD sehingga
sangat dominan kekeuasaan penyelenggara pemilikada.
e. Panwas pilkada dibentuk terlambat
Terlambatnya panitia pengawas (Panwas) oleh DPRD, sehinggat
tidak dapat mengawasi tahapan pemilukada secara keseluruhan. Berbagai
penyimpangan pada persiapan sering tidak dilanjuti, karena Panwas
dibentuk menjelang masa kampanye.
f. Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap
pelaksanaan pilkada.Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat
yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat
diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan desa
Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut.
Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada
masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi
memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya
tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat
diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang. Jadi sangat rasional
sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang
banyak. Karena untuk biayaini, biaya itu.
g. Dana kampaye
Sumber dana pasangan sering tidak transparan. Hasil audit dana
kampanye baik perorangan atau perusahan sering tidak diumumkan ke

7

publik. Hal itu menimbulkan kecurigaan publik, bahwa dana kampanye
pasangan berasal dari dana korupsi atau sumbangan yang dikemudian hari
pasangan tersebut, maka pemberi sumbangan akan menadpat imbalan
berupa jabatan atau proyek-proyek pemerintah.
h. Mencuri start kampaye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas
aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara
dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga
untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan
kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi
ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang
memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media
kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut
padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
i. PNS tidak netral
Dalam berbagai kampanye masih ditemukan PNS yang memihak
pasangan tertentu, terutam incumbent (petahana). Dilain pihak calon
incumbent memanfaatkan staf Pemda untuk kepentingan kampanyenya,
bila tidak menuruti akan diturunkan jabatanya atau bahkan diberhentikan.
j. Pelanggaran kampanye
Pelanggaran kampanye dapat berbagai macam bentuk, salah satu
yang menjadi sorotan yaitu kampanye hitam seperti yang menimpa Jokowi
Pada pemilukada Jakarta 2012. Kampanye negatif ini dapat timbul karena
kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan
sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi
mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi
panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah
yang dapat merusak integritas daerah tersebut
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal
75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu
meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan,
pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan
larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim
8

kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan
dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan
selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari
pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka
sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah
ditetapkan. Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat
pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih
mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak
tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup
dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk
menilai para calon dari segi program.
k. Intervensi DPRD
Pada umumnya terjadi apabila DPRD tidak setuju akan pasangan
terpilih dengan berbagai alasan. DPRD tidak mengirim berkas pemilihan
kepada Gubernur dan Mendagri, hal itu menghambat pelantikan pasamgan
terpilih. Hal itu pernah terjadi di Gorontalo dan Aceh. Peran DPRD dalam
Pilkada juga dapat memicu konflik. Pilkada memang sepenuhnya
dilaksanakan oleh KPU Daerah, tetapi pertanggungjawabannya harus
disampaikan kepada DPRD, seperti yang tertulis pada pasal 66 ayat 3
poin, bahwa tugas dan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalahmeminta
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD. Dalam hal ini, kerja
KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) berpotensi diintervensi oleh
partai politik yang mempunyai kekuatan di DPRD. Sebab, sejalan dengan
kewenangan yang besar dalam proses-proses politik lokal, partai politik
berpotensi mengintervensi fungsi KPUD, jika kerja KPUD dianggap tidak
menguntungkannya.

9

Selain kesebelas kelemahan pemilukada secara langsung di
Indonesia, masih terbadapat banyak kelemahan, antar lain :


Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan
suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU
Kabupaten, dan KPU Provinsi. Permasalahan penghitungan suara dan
rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan
oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan
banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit
mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar.
Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak
netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
Hal itu, memunculkan konflik pasca pilkada. Munculnya konflik pasca
pilkada dapat terjadi akibat kecurangan-kecurangan pada saat seperti,
kempanye, manipulasi data berupa penggelembungan suara dan rasa
tidak puas akibat calon idaman kalah.



Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan
penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para
bakal calon seperti : Intimidasi. Sebagai contoh yaitu pegawai
pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos
salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan
pemilu.



Beratnya persyaratan pengajuan calon. Dalam UU No. 32 tahun 2004
Pasal 59 ayat 2 disebutkan bahwa hanya partai politik yang
memperoleh suara 15% kursi DPRD atau 15% dari akumulasi suara
sah yang diperoleh dalam pemilu legislatif yang berhak mengajukan
calon. Pandangan diatas sangat relefan dengan kejadian yang terjadi di
beberapa daerah termasuk daerah Bali. Dimana beberapa daerah yang
ada di Bali, sekitar 80% dimenangkan oleh PDIP sehingga daerahdaerah tersebut sulit mendapatkan dua pasang calon.[9]



Sistem dua putaran yang dianut ternyata dijadikan sarana dibeberapa
daerah untuk mengajukan anggaran pilkada secara berlebihan. Di
Surabaya misalnya, KPUD mengajukan anggaran dua putaran, dan

10

disetujui oleh DPRD kotaSurabaya sekitar 36 milyar, dari dana ini, 23
milyar diantaranya dianggarkan untuk putaran pertama dan selebihnya
dianggarkan untuk putaran kedua. Padahal, disurabaya tidak mungkin
terjadi putaran kedua sebab calon yang ada tidak lebih dari empat
pasang.


Cara pemilihan kepala daerah dengan menempatkan figur sebagai
pertimbangan utama dalam menentukan pilihan kepala daerah.
konsekuensi dari cara pemilihan semacam akan meningkatkan
ketegangan hubungan antar pendukung pasangan calon sebab
penerimaan dan penolakan terhadap pasangan calon dalam konteks
kultur Indonesia lebih banyak disebabkan oleh hubungan yang bersifat
emosional ketimbang rasional.



Besarnya daerah pemilihan, yaitu seluruh wilayah propinsi untuk
pemilihan gubernur dan seluruh wilayah kabupaten untuk pemilihan
bupati, menyebabkan proses pelaksanaan kampanye sulit dikendalikan.



Ketidaksiapan pemilih untuk menerima kekalahan calon yang
diunggulkan. Dibeberapa daerah yang telah melakukan pemilihan
kepala daerah secara langsung, kejadian seperti ini sering terjadi
sehingga menimbulkan konflik antar pendukung pasangan calon.

C. Analisis Masa Depan Pemilukada di Indonesia
Berkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia,
penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung. Alasan
itu didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain :
a. Masih

banyak

permasalahan-permasalahan

selama

pemilukada

Indonesia yang perlu dikaji secara mendalam, seperti masalah:


Money politic dan cost politic



Independensi Pawaslu Daerah



Lambatnya pengiriman logistik



Independensi media masa



Pendataan pemilih



Pendaftaran dan penetapan pasangan calon
11

di



Penghitungan suara dan penetapan hasil akhir



Konflik pilkada

b. Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan musyawarah untuk
mufakat. Subtansi pemilu adalah adanya pergantian kepemimpinan/ rotasi
kekuasaan secara rutin dan berkala, untuk mencegah kekuasaan yang
absolut. Pemilu secara langsung merupakan demokrasi yang prosedural.
Indonesia selama ini hanya merapkan demokrasi secara prosedural,
seharusnya penerapakan demokrasi lebih mengutamakan subtansinya.
Maka dari itu dalam memilih kepala daerah tidak harus/mutlak secara
langsung. Dalam Konstitusi tidak disebutkan dengan cara apa memilih
Kepala Daerah, yang terpenting dilakuakan secara demokratis. UUD 1945,
hanya mengamanatkan untuk memilih kepala daerah secara demokratis.
“Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis.”
Menimbang permasalahan Pemilukada lebih banyak kelemaha dari
pada kelebihannya. Pemilukada merupkan tuntutan saat reformasi akibat
trauma rakyat terhadap rezim sebelummnya. Namun saat ini pemilukda
yang sudah berjalan hampir 1 dekade tidak membuahkan hasil yang
maksimal. Banyak terjadi pelanggaran pada tahapan pemilu, biaya terlalu
besar dan kulitas pemimpin yang dihasilkan buruk seperti terlibat kasus
korupsi, dll.
Pilkada yang selama ini berlangsung dinilai terlalu mahal, dan
mempunyai dampak sosial yang amat luas. Pilkada langsung dianggap
sebagai pemicu lahirnya politik transaksional, sehingga turut andil
melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang
akan berlaga mengeluarkan biaya yang besar
Biaya ini muncul mulai dari pencalonan, kampanye hingga pada
perhitungan suara seperti untuk membiayai saksi. Untuk memperbaiki
kondisi ini, sejumlah kalangan mengusulkan agar Pilkada diusulkan
serentak. Langkah ini diharapkan dapat menekan biaya politik yang sudah

12

dinilai demikian tinggi. Mobilisasi suara antar daerah yang diduga kerap
mewarnai Pilkada juga dapat ditekan.
Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus Pilkada langsung.
Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali menimbulkan konflik antar
pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung selam ini hanya dianggap
hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah ‘mahar’ untuk mendapatkan
dukungan dari partai politik.
D. Masa depan Pemilukada di Indonesia
Sistem negara demokrasi di Indonesia adalah pilihan rasional atas
hipotesa fakta empiris dan sosiologis terkait struktur dan tatanan masyarakat
Indonesia saat ini. Ia tumbuh di atas metamorfosa pemikiran yang membidani
sebuah sistem politik untuk meletakkan masyarakat sebagai episentrum
partisipatoris akan quo vadis nasib bangsanya. Walaupun demokrasi bukanlah
merupakan sistem politik dan pemerintahan yang sempurna, namun saat ini
barangkali kita sepakat bahwa pilihan demokrasi adalah pilihan terbaik dari
sistem lainnya. Sebut saja misalnya monarki, aristokrasi, otokrasi, plutokrasi,
gerontokrasi,dll.
Walaupun demikian, sistem demokrasi yang dipilih negara untuk
mengorganisasikan tatanan kehidupan bermayarakat, berbangsa dan bernegara
bukanlah sebuah sistem sempurna dan tanpa cacat. Oleh karenanya, sebuah
sistem politik yang mengonstruksi sebuah negara, juga perlu menimbang
berbagai Implikasi serius yang timbul terkait ekses subyektif maupun obyektif
dari penerapan sistem demokrasi. Baik penerapannya melalui sistem
perwakilan (melalui mekanisme pemilihan wakil rakyat DPR/DPRD), maupun
langsung (melalui mekanisme pemilu presiden dan pilkada).
Pemilihan Umum secara langsung dalam pilkada, sejatinya merupakan
salah satu wujud demokrasi yang saat ini tengah diterapkan di Indonesia.
Perwujudan demokrasi tersebut, pada hakekatnya merupakan upaya
memberdayakan peran dan partisipasi masyakarat terkait pengejewantahan
hak-hak politik dan sosialnya, yang dijamin secara konstitusional. Medium
demokrasi dan demokratisasi melalui mekanisme politik partisipasi inilah

13

yang diharapkan akan mampu memberikan multiplier effect. Bukan saja
terkait pada semakin besarnya tingkat pendewasaan berfikir masyarakat akan
hak dan kewajiban politik-konstitusionalnya, namun juga diharapkan melalui
mekanisme dan sistem pemilihan langsung (baik pilpres maupun pilkada).
Posisi tawar masyarakat terkait kepentingannya menentukan masa depan yang
lebih baik semestinya menjadi keniscayaan.
Terkait hasil dan berbagai problem dalam pelaksanaan pilkada itulah,
saat ini diperlukan kembali upaya menakar ekses penerapan sistem pemilihan
langsung (Pilkada). Saat ini berbagai bentuk wacana untuk mengevaluasi
kembali penerapan pilkada sangat penting untuk memberikan referensi bagi
pengambil kebijakan negeri ini untuk menimbang kembali implementasi
pilkada secara konstruktif dan proporsional, tanpa mencederai substansi peran
partisipasi politik masyarakat. Analisis ini menjadi catatan penting mengingat
pelaksanaan pilkada selama ini. Secara empiris, akhirnya menyadarkan kita
akan perlunya kembali menelaah arah dan cita-cita politik masyarakat terkait
bagaimana meletakkan proses, pelaksanaan dan hasil pilkada dalam konstruksi
pembangunan kesejahteraan masyarakat.
E. Implikasi Dinamika Pelaksanan Pemilukada di Indonesia
Berdasarkan perspektif pemberitaan media massa tentang pelaksanaan
pilkada di Indonesia, terdapat beberapa keyword yang sangat penting sebagai
ranah kajian bagi pengambil kebijakan negeri ini untuk menempatkan
kembali quo vadis pilkada dalam konteks yang lebih produktif bagi
kemaslahatan masyarakat. Keyword penting tersebut adalah sebagai berikut :
Pertama, Pilkada di daerah masih merupakan pilihan rasional yang
masih diinginkan masyarakat untuk menentukan pemimpinnya di daerah.
Fakta opini masyarakat ini menjadi catatan penting pemerintah. Mengingat,
masyarakat kita secara sosiologis memandang bahwa pemilihan langsung
untuk menunjuk seorang pemimpin yang berasal dari putra daerah merupakan
kebanggaan, Selain itu, juga masih menganggap bahwa mekanisme pemikiran
dan kepentingan masyarakat akan nilai keterwakilan aspirasinya masih lebih
besar terakomodir dengan baik. Ketimbang, asumsi bahwa pemimpin tersebut

14

merupakan titipan yang berasal dari pusat kekuasaan seperti yang terjadi di
masa orde baru dulu. Persepsi publik inilah yang kerap dijadikan oleh
pemerintah

untuk

melegitimasi

pencitraan

politiknya

kepada

dunia

internasional, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat produktif
melahirkan struktur kehidupan bermasyarakat yang memiliki nilai-nilai
demokratisasi dengan baik.
Persepsi publik masyarakat ini seharusnya perlu dikritisi agar
masyarakat memahami dan cenderung lebih penting mendudukkan kembali
nilai-nilai objektifitas untuk mendefinisikan kembali secara personal maupun
kepemimpinan seorang kepala daerah. Sebab faktanya, pemimpin yang berasal
dari putra daerah tidak serta merta berkoefisien korelatif secara langsung
dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Perspektif kepemimpinan ini dikaitkan dengan struktur kekuasaan
pemerintah daerah, yang di peroleh oleh seorang kepala daerah dengan
ongkos politik yang tidak murah. Biaya pilkada yang sangat mahal inilah yang
justru menyebabkan sistem demokrasi langsung di daerah berkembang secara
tidak proporsional dan obyektif. Terminologi yang tepat mendefinisikan
maksud pernyataan ini adalah bahwa proses pilkada yang mahal itu telah
menyebabkan terjadinya kapitalisasi pilkada dengan kultur kekuasaan yang
ekonomistik, yang menempatkan kekuasaan politik kepala daerah hanya
sebagai

investasi an

sich dan

melihat

potensi

daerah

sebagai opportunity ekonomi bagi kepentingan pribadinya.
Implikasi

politik

terjadinya

kapitalisasi

pilkada

inilah

yang

menyebabkan demokratisasi-partisipasi masyarakat menjadi ter-negasi oleh
paradigma tersebut. Artinya masyarakat hanya diletakkan sebagai obyek
politik massa ,yang dimanfaatkan calon kepala daerah hanya ketika proses
pilkada itu berlangsung. Masyarakat kemudian menjadi mahfum dengan
terminologi kapitalisasi pilkada ini, karena proses pilkada sarat dengan politik
uang.
Masyarakat memang sejatinya mendapat “berkah” sesaat dari proses
pelaksanaan pilkada. Setelah pelaksanaan pilkada usai, maka kepala daerah
terpilih, akan sibuk dengan upaya merekapitalisasi kembali asset yang telah

15

dikeluarkan selama proses “investasi” pemilihan itu berlangsung. Fakta ini
bisa dilihat dengan data 10 tahun terakhir terkait tingkat korupsi kepala daerah
yang sangat tinggi. Termasuk data yang dilansir oleh lembaga-lembaga survei
bahwa saat ini saja 60 persen lebih, kepala daerah dipimpin oleh seorang
pemimpin berstatus tersangka.
Karena terjadinya pola kapitalisasi pilkada inilah, maka yang terjadi
adalah siapa yang mempunyai modal besar, dialah yang akan menjadi
pemimpin. Karena kapitalisasi pilkada ini pulalah kemudian berimbas bagi
ketidakrelaan calon yang kalah dalam pilkada. Ketidakrelaan kekalahan ini
kemudian dimanifestasikan dalam upaya mempolitisasi hasil pilkada baik
secara formal-konstitusional (melalui gugatan ke MK), maupun mempolitisasi
massa untuk tidak menerima calon pemimpin yang menang. Sehingga,
berimplikasi kepada timbulnya resistensi politik bagi kepemimpinan kepala
daerah terpilih. Lebih parah lagi, semakin diproduksinya eskalasi konflik
politik dan konflik sosial dalam berbagai spektrum kepentingan, oleh calon
yang tidak berjiwa besar menerima kekalahan. Dalam konteks yang demikian,
maka kita kerap menyaksikan bahwa konflik politik dan sosial di daerah tidak
pernah kunjung usai dan terus terpelihara dengan baik walaupun pelaksanaan
pilkada jauh telah usai.
Kedua, pilkada merupakan manifestasi reformasi birokrasi yang
merubah mindset pengelolaan negara yang tadinya bersifat sentralistik
menjadi desentralistik.
Sebagai salah satu buah semangat reformasi adalah merubah tatanan
struktur pengelolaan birokrasi negara yang tadinya sentralistik menjadi
desentralistik. Hal ini merupakan antitesa dari semangat merubah tatanan dari
orde baru menjadi sistem baru yang dikenal pasca reformasi sekarang ini.
Namun demikian, setelah 10 tahun lebih reformasi bergulir, semangat
desentralisasi ini cenderung dimanfaatkan oleh pemimpin daerah untuk
“bebas” mengeksploitasi daerah sesuai dengan selera kekuasaannya.
Radikalisasi pengelolaan pemerintahan daerah inilah yang menyebabkan
konstitusi negara yang diatur dan dijalankan oleh pemerintah pusat terabaikan.

16

Yang terlihat, justru munculnya raja-raja kecil yang sangat “otonom”
menguasai daerah.
Akibatnya, program-program nasional yang dicanangkan

oleh

pemerintah pusat menjadi terhambat. Fakta terjadinya distorsi ini terlihat
ketika presiden, sebagaimana dilansir berbagai media massa, menyatakan
salah satu gagalnya program-program berskala nasional, karena ulah arogansi
sepihak pimpinan daerah. Misalnya , masalah kebijakan ekonomi dan
investasi, justru sebagian besar dihambat pimpinan pemerintah daerah sekelas
walikota dan bupati. Terhambatnya program-program tersebut, bukan cuma
terkait dengan arogansi pemimpin daerah, tapi juga disebabkan karena
banyaknya regulasi dalam bentuk perda dan kebijakan pemerintah daerah yang
tidak inheren atau justru bertentangan dengan kebijakan dan regulasi
pemerintah pusat. ini menunjukkan absurditas hiraki pemerintahan. Kebijakan
pemerintah pusat menjadi gembos ketika masuk pada tataran pelaksanaan
teknis di daerah.
Pemerintah memang kerap melakukan evaluasi terkait persoalan ini.
Namun faktanya, hingga saat ini, problem mendasar masalah regulasi dan
kebijakan pemimpin daerah yang menghambat kebijakan program nasional
pemerintah pusat, masih kerap terjadi. Salah satu sebab mendasar yang
menjadi argumentasi pemerintah daerah adalah

menyangkut persoalan

intervensi pemerintah pusat, yang dianggap melanggar sendi-sendi atau
semangat otonomi daerah. Kesalah-kaprahan memaknai otonomi daerah inilah
yang menyebabkan pemerintah pusat sampai saat ini mengalami dispute dan
seolah tidak memiliki kekuasaan “memaksa”. Padahal, pemerintah pusat
secara formal dan konstitusional punya kewenangan untuk meluruskan
kesalahpahaman pengelolaan daerah, karena terlalu sempit menafsirkan
konsep kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya di daerah. Sehingga,
pucuk pimpinan pemerintah daerah “merasa” mempunyai kewenangan mutlak
untuk melakukan kebijakan apapun.
Ketiga, Pemilukada telah meletakan sistem demokrasi di Indonesia
baru sebatas demokrasi “theatrical“. Yakni demokrasi yang diusung melalui
jalan pemilihan umum, hanya sebatas kosmetika wajah suatu bangsa yang

17

seolah-olah menjalankan nilai demokrasi dalam pemilihan umum. Yaitu,
langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Namun, dalam prakteknya hal tersebut
sangat jauh dari nilai-nilai yang sesungguhnya. Walaupun kita sibuk
menjustifikasi bahwa demokrasi memerlukan proses. Tapi, faktanya proses
tersebut tetap haruslah bersinergi dengan faktor-faktor lain, yang mendasari
terbentuknya proses demokratisasi tersebut secara konstruktif.
Faktor-faktor tersebut antara lain dipengaruhi oleh wibawanya
Pemerintah Pusat (Presiden dan DPR) dan KPU/ KPUD dalam membuat
aturan yang tegas terkait rule of the game pemilukada. Hal tersebut penting,
mengingat selama ini regulasi yang tegas hanya terkait pada proses dan
mekanisme pemilhan. Namun sangat tidak berbanding lurus dengan ketegasan
membangun law enforcement bagi setiap bentuk pelanggaran etika dan
pelanggaran konstitusional aturan pemilukada. Sehingga inilah yang
dikatakan, demokrasi kita masih bersifat theatrical, bukan demokrasi
substantif yang benar-benar mengusung nilai-nilai demokratisasi dan hakhak civil society dengan baik.
Terkait dengan masalah civil society ini, maka faktor yang mendorong
berkembangnya proses demokrasi sangat dipengaruhi juga oleh, bagaimana
peran parpol dalam mencetak kader pemimpin di daerah. Sebab selama ini
proses pengkaderan dan lahirnya pemimpin melalui jalan mekanisme politik
praktis, khususnya di daerah masih sangat lemah. Kondisi ini yang
menyebabkan hampir sebagian besar pemimpin daerah lahir dari seorang
pengusaha dan/ atau mereka yang hanya memliki modal kuat. Sementara,
parpol berfungsi hanya sebagai stempel yang menjadi kendaraan sekaligus
supir yang ditumpangi oleh calon kepala Daerah. Kondisi obyektif inilah yang
menyebabkan

hasil

pemilukada

secara

langsung

tidak

serta

merta

menghasilkan pemimpin yang berkualitas, kompeten dan memiliki integritas
serta peduli dengan rakyatnya.
Seperti yang telah diulas sebelumnya, karena persoalan melihat
perspektif pemilukada sebagai sebuah peluang ekonomis inilah maka yang
terjadi praktek korupsi di daerah dan suburnya persoalan money politics tak
pernah kunjung usai dan sulit diberantas. Sinergitas dan kolaborasi efektif

18

antara parpol dan calon kepala daerah dalam konteks melihat begitu besarnya
biaya pemilukada adalah dikarenakan antara calon kepala daerah dengan
parpol

sama-sama

memiliki

persepsi

dan mindset yang

sama,

yakni

memahami pilkada sebatas sebagai sebuah komoditas dan industri yang
profitabilitasnya memadai untuk tujuan-tujuan jangka pendek maupun jangka
panjang kekuasaan-bukan kesejahteraan sosial masyarakat.
Keempat, Alasan kompatibilitas bahwa pemilihan langsung presiden
juga harus dilakukan pula terhadap gubernur, bupati dan walikota harus
segera dievaluasi. Alasan kompabilitas sebagai implementasi UU No.32 Tahun
2004, sebenarnya dimaksudkan agar arah pembangunan politik dan ekonomi
bersinergi serta terintegrasi dari pusat sampai ke daerah. Namun pada
kenyataannya, kesamaan proses inilah yang menjadi akar penyebab hirarki
kepemimpinan dalam pemerintahan menjadi tersekat-sekat dan tidak sejalan.
Sehingga, antara pemimpin pemerintahan di daerah dan pusat seolah
masing-masing berdiri sendiri. Implikasinya, baik pemerintah maupun pejabat
di daerah bekerja secara parsial-tidak kontekstual sesuai dengan arah dan visi
negara. Dengan kondisi seperti ini, sebenarnya sama saja bangsa ini
menerapkan pseudo demokrasi. Hanya menjadikan pemimpin sekedar simbol
kosong, yang tidak memiliki peran strategis dalam memberdayakan rakyatnya.
Dengan kata lain, kondisi ini menyebabkan ada atau tidaknya pemimpin,
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah khususnya, ditentukan
sendiri oleh kesanggupan dan nasib individu masyarakatnya. Padahal negara
berperan melindungi segenap masyarakat dan memajukan kesejahteraan
masyarakat.
Empat kata kunci tentang implikasi dinamika pelaksanaan pilkada ini,
seyogyanya mendorong pengambil kebijakan negeri ini untuk menemukan
formasi ideal dan proporsional terkait masa depan bangsa. Khususnya,
menyangkut masalah proses suksesi kepemimpinan melalui pemilukada.
Sehingga dapat menimbang dan menakar secara obyektif, antara konsep
sistem pelaksanaan demokrasi di daerah dengan ekses yang timbul selama
penerapan pemilukada secara langsung di daerah. Proses ini seharusnya
menjadikan bangsa besar ini lebih peka terhadap berbagai akar persoalan baik

19

secara ideologis, sosiologis maupun filosofis yang kerap menjadi preseden
yang tak pernah selesai, atau minimal tereliminasi kualitas dan kuantitatsnya.
Seperti besarnya biaya politik pemilukada dan money politics selama
proses pemilukada, yang berimbas pada terjadinya korupsi pemimpin di
daerah sebagai bentuk pengganti ongkos investasi menjadi pemimpin. Selain
itu, terjadinya resistensi pemimpin daerah kepada pemerintah pusat, yang
menyebabkan eksistensi pemerintah pusat justru tidak legitimate di mata
pemerintah daerah terkait dengan banyaknya program, kebijakan dan
kebijakan berskala nasional yang tidak/ enggan dilaksanakan oleh pemerintah
daerah. Bahkan, tak jarang di tentang oleh pemerintah di daerah. Kemudian,
lestarinya konflik horizontal antar masyarakat akar rumput karena kerap
dipicu oleh pemanfaatan politik massa oleh calon pemimpin dan pemimpin
yang berkuasa didaerah. Baik selama proses pemilukada maupun sepanjang
pemimpin tersebut memimpin daerah, yang konstelasi masalahnya kerap
dipicu oleh calon pemimpin daerah yang kalah dalam kompetisi pemilihan.
Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat, proporsional dan
obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem pemilihan
langsung hanya cukup sampai dengan presiden dan gubernur saja. Dengan
cara dan mekanisme yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi
masyarakat, tanpa mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat
terhadap negara.

20

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkaan

pembahasan

permasalahan

pada

BAB

II

:

PEMBAHASAN, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
1.

Analisis Kelebihan Pemilukada
Pertama, pilkada secara langsung memungkinkan proses yang lebih
Partisipasi. Kedua, proses pilkada secara langsung memberikan ruang dan
pilihan yang terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin
yang memiliki kapasitas, dan komitmen yang kuat serta legitimate dimata
masyarakat. Ketiga, mendekatkan elit politik dengan konstituen atau
masyarakat. Keempat, lebih terdesenralisasi.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara
lain sebagai berikut :
a. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat.
b. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
c. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi bagirakyat.
d. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
e. Pilkada langsung sarana bagi proses kaderisasi kepemimpinan
nasional.

2.

Analisis Kelemahan Pemilukada
Menurut Leo Agustino ada sebelas (11) permasalahan pemilukada
di Indonesia, yaitu :
1) Daftar Pemilih tidak akurat
2) Persyaratan Calon tidak lengkap
3) Pencalonan Pasangan dari parpol
4) Penyelenggara atau KPUD tidak netral
5) Panwas pilkada dibentuk terlambat
6) Money politik
7) Dana kampaye
8) Mencuri start kampaye

21

9) PNS tidak netral
10) Pelanggaran kampanye
11) Intervensi DPRD
Selain itu, masih terdapat banyak kelemahan pemilukada secara
langsug di Indonesia baik yang dilakukan secar tidak disengaja ataupu
terorganisir.
3.

Analisis Masa Depan Pemilukada di Indonesia
Berkaitan dengan masa depan pelaksanaan Pemiluda di Indonesia,
penulis cenderung untuk menghapuskan Pemilukada secara langsung.
Alasan itu didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara lain : Pertama,
masih

banyak

permasalahan-permasalahan

selama

pemilukada

di

Indonesia yang perlu dikaji secara mendalam, seperti masalah: Money
politic dan cost politic; Independensi Pawaslu Daerah; Lambatnya
pengiriman logistik; Independensi media masa; Pendataan pemilih;
Pendaftaran dan penetapan pasangan calon; Penghitungan suara dan
penetapan hasil akhir; Konflik pilkada
Kedua, Demokrasi yang dianut Indonesia lebih mengutamakan
musyawarah untuk mufakat. Subtansi pemilu adalah adanya pergantian
kepemimpinan/ rotasi kekuasaan secara rutin dan berkala, untuk mencegah
kekuasaan yang absolut. Pemilu secara langsung merupakan demokrasi
yang prosedural. Indonesia selama ini hanya merapkan demokrasi secara
prosedural, seharusnya penerapakan demokrasi lebih mengutamakan
subtansinya.
Pilkada yang selama ini berlangsung terlalu mahal, dan
mempunyai dampak sosial yang amat luas. Pilkada langsung dianggap
sebagai pemicu lahirnya politik transaksional, sehingga turut andil
melahirkan perilaku koruptif. Hal itu dikarenakan, setiap kandidat yang
akan berlaga mengeluarkan biaya yang besar. Biaya ini muncul mulai dari
pencalonan, kampanye hingga pada perhitungan suara seperti untuk
membiayai saksi. Untuk memperbaiki kondisi ini, sejumlah kalangan
mengusulkan agar Pilkada diusulkan serentak. Langkah ini diharapkan
dapat menekan biaya politik yang sudah dinilai demikian tinggi.
Mobilisasi suara antar daerah yang diduga kerap mewarnai Pilkada juga

22

dapat ditekan. Usulan yang paling ekstrim, adalah menghapus Pilkada
langsung. Usulan ini terlontar karena Pilkada acapkali menimbulkan
konflik antar pendukung. Tidak hanya itu, Pilkada langsung selam ini
hanya dianggap hanya berorientasi uang. Belum lagi, masalah ‘mahar’
untuk mendapatkan dukungan dari partai politik.
B. Saran
Penulis dapat memberikan saran, terkait Pemilukada yaitu dihapus.
Mekanisme lebih lajut dapat dibahas Pemerintah yaitu Presiden dan DPR-RI
tentang bagaimana pengangkatan kepala daerah, dipilih DPRD atau diangkat
Presiden. Pertama, Pemilukada dihapus secara keseluruhan dan mekanisime
pemilihan diserahkan ke DPRD, dengan memperbaiki rekruitmen politik dan
sistem kepartaian terlebih dahalu. Agar kader partai yang memiliki kapasitas
dan kapabilitas berhak menduduki jabatan kepala daerah. Selain itu untuk
mencegah kongkalikong, haruslah dibuat mekanisme yang tidak biasa main
dibelakang anatara DPRD dan calon pasangan. Kedua, pengangakatan kepala
daerah oleh Presiden harus memunuhi kriteria-kriteria/ persyaratan yang
ditetapkan oleh peraturan perundang-undanagan, agar Presiden tidak
sewenang-wenang mengangkat dan memnerhentikan kepala daerah.
Pada akhirnya, setidaknya perlu evaluasi secara tepat, proporsional dan
obyektif. Sangat logis, bilamana mewacanakan kembali sistem pemilihan
langsung hanya cukup sampai dengan presiden. Dengan cara dan mekanisme
yang tetap menjunjung tinggi peran dan partisipasi masyarakat, tanpa
mencederai hak dan kepentingan civil society masyarakat terhadap negara.

DAFTAR PUSTAKA

23

Agustino, Leo. 2009. Pilkada dan Dinamika Politik Lokal. Yogyakata: Pustaka
Pelajar.
Author. (2010, 19 Desember). Makalah Otonomi Daerah. Diperoleh 2 Januari
2013, dari http://miellahsmartflower.blogspot.com.
Author. (2011, 7 Februari). Analisa Proses Pelaksanaan Pemerintahan Daerah.
Diperoleh 2 Januari 2013, dari http://liarkanpikir.wordpress.com.
Author. Kelebihan dan kekurangan pilkada secara langsung. Diperoleh 2
Januari 2013, dari http://www.yousaytoo.com/kelebihan-dan-kekuranganpilkada-secara-langsung/2745411.
Firmanto, Taufik. (2011, 9 Desember). Kedaulatan Rakyat Dalam Pemilihan
Umum
di
Indonesia.
Diperoleh
2
Januari
2013,
dari
http://politik.kompasiana.com/2011/12/09/kedaulatan-rakyat-dalam-pemilihanumum-di-indonesia.
Iqbal, M. (2012, 10 Juli). Dulu Pilkada, Lalu Pemilukada, Kini Pilgub.
Diperoleh
3
Januari
2013,
dari http://news.detik.com/read/2012/07/10/093845/1961693/10/dulu-pilkadalalu-pemilukada-kini-pilgub.
Kamo, Jhon. (2011, 16 April). Kontestasi Elit Lokal Dalam Pilkada. Diperoleh
2
Januari
2013,
dari
http://idadagiyakanews.multiply.com/journal/item/54/KONTESTASI-ELITLOKAL-DALAM PILKADA.
Mahardika, Ariyanto. (2012, 18 September). Pilkada langsung: Serentak atau
Dihapus. Diperoleh 3 Januari 2013, dari http://www.soloposfm.com/2012/09/pilkadalangsung-serentak-atau-dihapus/.
Prasojo E., Maksum, Irfan Ridwan., dan Kurniawan, Teguh. 2006. Desentralisasi
&
Pemerintahah Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi
Struktural. Jakarta: FISIP UI.
Sofyan, Syafran. 2012. Permasalahan dan Solusi Pemilukada. Diperoleh 2
Januari 2013, dari http://www.lemhannas.go.id/portal/in/daftar-artikel/1634permasalahan-dan-solusi-pemilukada.html.

24

PAPER
TANTANGAN DAN HARAPAN
PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK 2017
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Mata Kuliah Dasar-dasar ilmu politik

Disusun oleh :
Ai Suryani N.PM

PROGRAM STUDI ……………………..
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS

2015

25

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan tuhan yang maha esa karena
berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas paper
dengan mengambil pembahasan “Tantangan Dan Harapan Pelaksanaan Pilkada
Serentak 2017”
Dalam pembentukan makalah ini tentu banyak hambatan-hambatan yang
penulis temukan, akan tetapi atas bantuan dan dukungan semua pihak makalah ini
dapat terselesaikan, oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan makalah ini sehingga penulis dapat
menyelesaikannya dengan baik.
Penulis menyadari bahawa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,
hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Denpasar, Januari 2017

Penulis

1i