Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Obesitas Di Sd Harapan 3 Kecamatan Delitua Kabupaten Deli Serdang Tahun 2014

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Obesitas Pada Anak
Kata obesitas berasal dari bahasa latin: obesus, obedere yang artinya gemuk atau
kegemukan. Obesitas merupakan keadaan berat badan anak yang melebihi dari berat badan ideal
sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak, dan protein (Almatsier,2010).
Obesitas pada anak merupakan konsekuensi dari asupan kalori (energi) yang melebihi jumlah
kalori yang dilepas atau dibakar melalui proses metabolisme tubuh (Wahyu, 2010). Sedangkan
menurut Jahari dalam Sartika (2011) obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah
energi yang masuk dengan yang dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti
pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas, dan pemeliharaan kesehatan.
Pengertian kegemukan berbeda dengan obesitas. Namun jika ketidakseimbangan jumlah
energi tersebut terus berlangsung, maka kegemukan pada anak dapat berlanjut menjadi obesitas.
Obesitas merupakan keadaan IMT anak yang berada di atas persentil ke-95 pada grafik tumbuh
kembang anak sesuai jenis kelaminnya (CDC, 2000). Sedangkan menurut WHO dalam Depkes
RI (2012) obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak
berlebihan dengan ambang batas IMT/U > 2 Standar Deviasi
2.2. Anak Usia Sekolah
Menurut UU No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak dikutip dari Suprajitno
(2004), anak sekolah adalah anak yang memiliki umur 6 sampai 12 tahun yang masih duduk di
sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan sesuai usianya. Anak anak usia

sekolah dasar memiliki ciri khas yaitu, anak anak gemar berkelompok sehingga perhatian utama
mereka

tertuju

pada

keinginan

diterima

oleh

teman

sebaya

sebagai

anggota


kelompok. Kemudian, anak pada usia ini merupakan anak dengan usia penyesuaian diri, yaitu

suatu masa ketika anak ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui oleh kelompok dalam
penampilan, berbicara, dan perilaku. Artinya, anak sudah bisa menentukan pilihan sendiri dan
terpengaruh oleh luar terutama dalam hal pemilihan makanan.
Pada usia sekolah dasar, anak mengalami perkembangan biologis, yaitu pertumbuhan
rata-rata 5 cm per tahun untuk tinggi badan. Berat badan meningkat 2 sampai 3 kg per tahun
untuk berat badan. Pada usia ini pembentukan jaringan lemak lebih cepat perkembangannya
daripada otot. Artinya, pada usia ini anak rentan terhadap obesitas.
Anak pada usia dini memiliki perkembangan psikososial yang berada dalam tahap
industri inferior (Ericsson dalam Suprajitno, 2004). Dalam tahap ini anak mampu melakukan
dam menguasai ketrampilan yang bersifat teknologi dan sosial.Anak-anak akan sangat mudah
menyerap teknologi, permainan-permainan yang bersifat teknologi yang justru meminimalisir
aktivitas fisik. Pada tahap ini juga anak mulai belajar tentang peraturan-peraturan yang berlaku,
menerima peraturan. Artinya, jika orangtua menerapkan aturan yang ketat tentang pola makan,
maka asupan gizi lebih teratur. Apalagi akhir masa kanak-kanak sering disebut usia berkelompok
yang ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan
yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok.
Menurut Suprajitno (2004) masalah–masalah yang sering terjadi pada anak usia ini

meliputi bahaya fisik dan psikologi. Bahaya fisik terdiri atas penyakit-penyakit infeksi,
kegemukan, dan kecelakaan. Penyakit-penyakit infeksi terjadi berhubungan dengan kebersihan
diri, dan kegemukan terjadi bukan karena adanya perubahan pada kelenjar tapi akibat banyaknya
karbohidrat yang dikonsumsi sehingga anak kesulitan mengikuti kegiatan bermain, sehingga
kehilangan kesempatan untuk mencapai ketrampilan yang penting untuk keberhasilan
sosial. Sedangkan bahaya psikologi meliputi kesederhanaan dan kecanggungan. Kecanggungan

muncul akibat anak mulai memiliki kemampuan membandingkan kemampuannya dengan teman
sebaya, sehingga bila muncul perasaan tidak mampu dapat menjadikan anak rendah diri.
2.3. Epidemiologi Obesitas
2.3.1. Berdasarkan tempat
Obesitas menjadi permasalahan kesehatan di dunia. Tidak hanya di negara maju, tapi juga
di negara-negara berkembang. Prevalensi anak usia 0-5 tahun di dunia dengan obesitas dan
kegemukan mencapai 6,7%, atau sama dengan 43 juta anak (De Onis et al, 2010). Sebagian
besar anak-anak tersebut, yaitu 35 juta anak merupakan anak-anak yang tinggal di negara
berkembang, sisanya 8 juta merupakan anak-anak di negara maju.
Prevalensinya di Afrika mencapai 8,5%, atau sama dengan 13,3 juta anak di Afrika
mengalami obesitas dan overweight. Di Afrika, kasus tertinggi terjadi di wilayah Afrika Utara
dengan prevalensi sebesar 17%. Sedangkan di Asia, kasusnya mencapai 17,7 juta anak dengan
prevalensi 4,9%. Di Asia wilayah dengan prevalensi tertinggi adalah wilayah Barat dengan

prevalensi sebesar 14,7% (De Onis et al, 2010).
Di Indonesia sendiri prevalensi obesitas cukup besar. Penelitian yang dilakukan di
sepuluh kota besar Indonesia pada kurun waktu 2003-2005 mendapati prevalensi rata-rata
obesitas mencapai 12,2%. Prevalensi obesitas dengan tingkat tertinggi ke terendah adalah Jakarta
(25%), Semarang (24,3%), Medan (17,7%), Denpasar (11,7%), Surabaya (11,4%), Padang
(7,1%), Manado (5,3%), Yogyakarta (4%), dan Solo (2,1%) (Wahyu, 2009).
Sedangkan berdasarkan data terbaru, yaitu Riskesdas 2013, ditemukan bahwa prevalensi
obesitas dan kegemukan sebesar 11,9%. Jumlah tersebut menurun 2,9% dari 14%

jika

dibandingkan pada tahun 2010. Namun, pada kelompok usia sekolah, yaitu 5-12 tahun
jumlahnya cukup tinggi, yaitu 18,8%. Sebanyak 10,8% anak-anak tersebut mengalami

kegemukan, dan sisanya 8,8% mengalami obesitas. Prevalensi gemuk terendah di Nusa Tenggara
Timur (8,7%) dan tertinggi di DKI Jakarta (30,1%). Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi
sangat gemuk diatas nasional, yaitu Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan
Timur, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Jambi, Papua, Bengkulu,
Bangka Belitung, Lampung dan DKI Jakarta.
Sumatera Utara termasuk dalam provinsi dengan prevalensi obesitas dan kegemukan di

atas rata-rata Nasional. Di Kota Medan sendiri, prevalensi obesitas pada anak usia sekolah dasar
cukup tinggi, yaitu 17,75%. Di SD Harapan 3 Deli Tua, pada penelitian yang dilakukan tahun
2011, prevalensi obesitas mencapai 19% atau 119 anak dari total 259 siswa.
2.3.2. Berdasarkan Waktu
Secara global, prevalensi obesitas dan kegemukan terus meningkat dalam dua puluh
tahun terakhir. Pada tahun 1990, prevalensi obesitas dan kegemukan hanya 4,2%. Namun
Jumlahnya meningkat hampir dua kali lipat dalam satu dekade menjadi 6,7% pada tahun 2010.
Diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat mencapai 9,1% atau sekitar 60 juta pada tahun
2020 (De Onis et al, 2010).
Di Amerika Serikat, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 6-12 tahun meningkat lebih
dari empat kali lipat dalam lima dekade terakhir. Prevalensi obesitas pada tahun 1960an hanya
4,2%, namun pada 2004, prevalensinya mencapai 18,8%. Peningkatan prevalensi obesitas di
Amerika sekitar 0,2% per tahunnya dari tahun 1964 ke tahun 1978, 0,4% dari tahun 1978 ke
tahun 1991 dan 0,6% dari tahun 1991 ke tahun 2004.
Di Indonesia, prevalensi obesitas mengalami peningkatan tiap tahunnya. Pada perempuan
berusia lebih dari 18 tahun ke atas, prevalensi obesitas meningkat lebih dari dua kali lipat dalam
kurun waktu 7 tahun, yaitu 14,8% pada tahun 2007 menjadi 32,9% pada tahun 2013. Sedangkan

pada kelompok laki-laki, meningkat dari 13,9% pada tahun 2007 menjadi 19,7% pada tahun
2013.

2.3.3. Berdasarkan Orang
2.3.3.1. Kelompok Umur
Setiap orang memiliki resiko untuk mengalami obesitas, tidak terbatas umur, ras, maupun
golongan ekonomi. Obesitas terjadi pada semua kelompok umur, baik kelompok usia muda
maupun dewasa atau lansia. Berdasarkan Riskesdas 2013, obesitas dijumpai dalam tiap
kelompok umur. Pada kelompok balita, prevalensi obesitas dan kegemukan 11,9%. Sedangkan
pada kelompok usia sekolah dasar mencapai 18,8%. Pada kelompok remaja awal 8,3%
mengalami kegemukan dan hanya 2,5% mengalami obesitas. Pada kelompok usia remaja akhir,
prevalensi mencapai 5,7% untuk kegemukan dan 1,6% untuk obesitas. Namun, prevalensi pada
kelompok dewasa, yaitu >18 tahun sangat tinggi. Yaitu 15,4% untuk prevalensi obesitas dan
13,5% berat badan lebih.
2.3.3.2. Jenis Kelamin
Baik laki-laki maupun perempuan dapat terkena obesitas. Dalam survei yang dilakukan
oleh Sartika (2011) prevalensi obesitas pada anak laki-laki di Indonesia mencapai 16,4% dan
pada anak perempuan lebih rendah, yaitu 12,3% per 100.000 penduduk. Di Jakarta, prevalensi
obesitas anak laki-laki mencapai 7,5% per 1000 penduduk. Pada anak perempuan jumlahnya
jauh lebih kecil yaitu 4,4% per 1000 penduduk (Prihatini, 2007). Dalam survei yang dilakukan
Ariani (2007), dari 400 siswa SD di Kota Medan terdapat 71 anak obesitas, 43 diantaranya
berjenis kelamin laki laki dan 28 merupakan anak perempuan.


2.4. Pengukuran Obesitas
Pengertian kegemukan sering kali disamakan dengan obesitas, padahal kedua istilah
tersebut memiliki arti yang berbeda. Kegemukan adalah kondisi berat tubuh melebihi berat tubuh
normal, sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan berat tubuh akibat tertimbunnya lemak.
Pengukuran Obesitas dapat dilakukan dengan metode antropometri maupun metode
laboratorik. Metode antropometri menggunakan pengukuran terhadap berat badan, tinggi badan,
lingkaran bagian-bagian tubuh dan tebal lapisan kulit. Pengukuran tersebut bervariasi menurut
umur dan derajat gizi. Sedangkan Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya menggunakan
densitometri, hidrometri dan sebagainya. Metode laboratorik jarang digunakan pada anak karena
sulit dan tidak praktis.
Metode antropometri merupakan pengukuran yang lazim dipakai dalam menentukan
obesitas, yaitu :
1. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar, dan disebut obesitas bila BB
> 120% BB standar.
2. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB). Dikatakan obesitas bila BB/TB
> persentile ke 95 atau > 120% 6 atau Z-score ≥2 SD
3. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit/TLK).
Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps > persentil ke 85.6
4. Indeks Massa Tubuh (IMT), > persentil ke 95 sebagai indikator obesitas.
5. Pengukuran obesitas pada anak-anak dapat menggunakan perbandingan IMT

dengan umur menurut standar WHO, yaitu ≥2 SD
Indeks massa tubuh (IMT) dihitung dengan cara membagi berat tubuh (kg) dengan
kuadrat tinggi tubuh (m). IMT = BB = berat badan; TB = tinggi badan, yaitu:

2.5. Dampak Obesitas Pada Kesehatan Anak
Obesitas membawa berbagai dampak bagi anak, salah satunya adalah prestasi belajar.
Dalam studi yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Malang, anak yang obesitas
cenderung memiliki nilai yang kurang dibandingkan dengan anak yang tidak obesitas dengan
nilai efektivitas 45,7% (Ahmadah, 2013). Datar et al (2004) menyatakan prestasi anak obesitas
di pelajaran Matematika dan membaca cenderung lebih rendah dibandingkan dengan anak yang
tidak obesitas. Penelitian lainnya juga menunujukkan anak obesitas memiliki nilai yang lebih
rendah dalam pelajaran matematika dan bahasa dibandingkan anak yang tidak obesitas (MoSuwan, et al.,1999).
Obesitas juga dapat memengaruhi kecerdasan intelektual anak (Damono, 2004). Tingkat
kecerdasan anak obesitas cenderung menurun karena umumnya kreativitas dan aktivitas anak
juga menurun, sebagai akibat dari kondisi badan anak yang besar sehingga tidak leluasa untuk
bergerak dan menyebabkan anak tersebut menjadi malas (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional dalam Sutjijoso, 2008). Obesitas juga berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak.
Obesitas memiliki hubungan terhadap perkembangan abnormal pada anak (Ariyanti, 2007).
Komplikasi obesitas lainnya pada anak adalah gangguan fungsi saluran napas yang
dikenal dengan obstructive sleep apnea syndrome (OSAS). Obstruksi saluran nafas intermiten di

malam hari menyebabkan tidur gelisah serta menurunnya oksigenisasi (Damayanti,
2002).Penyebabnya adalah penebalan jaringan lemak di daerah dinding dada dan perut yang
mengganggu pergerakan dinding dada dan diafragma, sehingga terjadi penurunan volume dan
perubahan pola ventilasi paru sertameningkatkan beban kerja otot pernafasan. Pada saat tidur
terjadi penurunan tonus otot dinding dada yang disertai penurunan saturasi oksigen dan

peningkatan kadar CO2, serta penurunan tonus otot yang mengatur pergerakan lidah dan
menyebabkan lidah jatuh kearah dinding belakang faring yang mengakibatkan obstruksi saluran
nafas intermiten dan menyebabkan tidur gelisah, sehingga keesokan harinya anak cenderung
mengantuk dan kurangnya suplai oksigen ke otak (hipoventilasi). Tidur yang gelisah dan tidak
cukup tersebut mengakibatkan anak lebih mudah mengantuk pada pagi harinya dan
memengaruhi kegiatan belajar anak di sekolah (Datar et al, 2004).
Menurut Manuaba (2004) dampak obesitas pada anak umumnya mungkin masih terbatas
pada gangguan psikososial, yaitu keterbatasan dalam pergaulan, aktivitas fisik, lebih suka
menyendiri, dan memuaskan dirinya dengan bersantai dan makan. Akan tetapi pada obesitas
berat, mungkin telah disertai gangguan pernafasan, hipertensi, eksima pada lipatan kulit akibat
timbunan lemak di bawah kulit yang mengakibatkan bau badan yang tidak sedap sehingga tidak
disukai teman pergaulannya. Obesitas juga menyebabkan anak merasa kurang percaya diri,
bahkan kalau anak berada pada masa remaja dan mengalami obesitas, biasanya menjadi pasif dan
depresi, karena sering tidak dilibatkan pada kegiatan yang dilakukan oleh teman sebayanya.

Kegemukan dan obesitas merupakan masalah yang serius karena akan berlanjut hingga
usia dewasa dan merupakan faktor risiko terjadinya berbagai penyakit metabolik dan degeneratif
seperti penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker, osteoartritis, dan sebagainya
(Kementerian Kesehatan RI, 2012). Penelitian di Jepang menunjukkan satu dari tiga anak yang
mengalami obesitas akan tumbuh menjadi orang dewasa yang juga mengalami obesitas (WHO,
2011). Seiring bertambah dewasanya orang yang mengalami obesitas, bertambah pula risiko
untuk terkena penyakit degeneratif yang terkait dengan obesitas, karena obesitas sendiri
sebetulnya adalah faktor risiko terbesar terhadap terjadinya penyakit kronis seperti jantung

koroner, diabetes tipe II atau NIDDM, gangguan fungsi paru, peningkatan kadar kolesterol,
gangguan ortopedik (kaki pengkor) serta rentan terhadap kelainan kulit (Wahyu, 2010).
Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu resiko gangguan kesehatan anak obesitas
(Hidayati, et al., 2006). Faktor risiko ini meliputi peningkatan kadar insulin, trigliserida,Lowdensity lipoprotein (LDL) kolesterol dan tekanan darah sistolik serta penurunan kadar Highdensity lipoprotein(HDL) kolesterol. Risiko penyakit kardiovaskuler di usia dewasa pada anak

obesitas sebesar 1,7 - 2,6. Selain itu, IMT memiliki hubungan yang kuat dengan kadar insulin.
Anak dengan IMT > persentil ke 99, 40% diantaranya mempunyai kadar insulin tinggi, 15%
mempunyai kadar HDL-kolesterol yang rendah dan 33% dengan kadar trigliserida tinggi. Anak
obesitas cenderung mengalami peningkatan tekanan darah dan denyut jantung, serta 20-30%
menderita hipertensi.
Anak obesitas juga memiliki kecenderungan mengalami gangguan ortopedik yang

disebabkan kelebihan berat badan, yaitu tergelincirnya epifisis kaput femoris yang menimbulkan
gejala nyeri panggul atau lutut dan terbatasnya gerakan panggul. Selain kelainan ortopedik, anak
obesitas juga beresiko mengalami pseudotumor serebri, yaitu gejala sakit kepala yang
diakibatkan oleh peningkatan ringan tekanan intrakranial yang menyebabkan peningkatan kadar
CO2. (Hidayati et al, 2006).
2.6. Determinan Obesitas
Secara sederhana timbulnya obesitas dapat diterangkan apabila masukan makanan
melebihi kebutuhan fungsi tubuh. Tubuh memiliki kemampuan menyesuaikan diri terhadap
berbagai macam masukan bahan makanan. Apabila masukannya melebihi kebutuhan tubuh,
maka kelebihannya akan disimpan dalam bentuk lemak di jaringan adiposa (Misnadiarly, 2007).
Obesitas disebabkan oleh ketidakseimbangan antara jumlah energi yang masuk dengan yang

dibutuhkan oleh tubuh untuk berbagai fungsi biologis seperti pertumbuhan fisik, perkembangan,
aktivitas, pemeliharaan kesehatan (Sartika, 2011). Jika keadaan ini berlangsung terus menerus
(positive energy balance) dalam jangka waktu cukup lama, maka dampaknya adalah terjadinya

obesitas.
Obesitas merupakan penyakit tidak menular dengan penyebab yang multikausal.
Beberapa faktor determinan yang diperkirakan memengaruhi kejadian obesitas pada anak adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan faktor internal seseorang yang akan berpengaruh terhadap
komposisi tubuh dan distribusi lemak. Powers dalam Rakhmawati (2009) menyatakan anak
perempuan lebih banyak menyimpan lemak dibandingkan anak laki-laki. Hasil penelitian Malik
& Bakir (2006) menyatakan proporsi kelebihan berat badan pada anak perempuan (5-17 tahun)
lebih tinggi dibanding pada anak laki-laki. Menurut WHO (2011), perempuan cenderung
mengalami peningkatan penyimpanan lemak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan
cenderung mengonsumsi sumber karbohidrat yang lebih kuat sebelum masa pubertas,sementara
laki-laki lebih cenderung mengonsumsi makanan yang kaya protein.
Tetapi penelitian yang dilakukan oleh Sartika (2011) menyatakan anak laki-laki memiliki
risiko mengalami obesitas sebesar 1,4 kali dibandingkan anak perempuan. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena perempuan lebih sering membatasi makan untuk alasan penampilan. Rata-rata
asupan energi total dan karbohidrat pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Kebutuhan zat gizi anak laki-laki usia 10-12 tahun lebih besar dibandingkan anak perempuan
karena pengaruh aktivitas fisik dan growth spurt anak laki-laki lebih besar, akibatnya kebutuhan
energi menjadi lebih banyak.

Pada penelitian Rakhmawati (2009) kejadian obesitas pada siswa sekolah dasar juga
berhubungan dengan jenis kelamin. Siswa laki-laki-laki memiliki resiko 5,436 kali lebih besar
dari siswa perempuan. Proper et al (2006) menyatakan bahwa laki-laki secara signifikan lebih
berkemungkinan untuk menjadi overweight atau obesitas daripada wanita, karena laki-laki
cenderung untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk santai pada saat akhir minggu atau
waktu senggang. Pada anak laki-laki peningkatan lemak subkutan terjadi pada usia 8 hingga 12
tahun. Sedangkan anak perempuan mengalami peningkatan lemak subkutan pada usia 16 tahun
dan menurun ketika berumur 25 tahun (Rakhmawati, 2009).
2. Umur
Obesitas sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Obesitas yang muncul pada
tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan perkembangan rangka yang cepat (Salam
dalam Simatupang, 2008).
3. Riwayat Keturunan
Riwayat obesitas orangtua juga berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Anak yang
memiliki ayah obesitas memiliki peluang obesitas sebesar 1,2 kali dibandingkan dengan anak
yang memiliki ayah tidak obesitas. Riwayat obesitas pada orangtua berhubungan dengan
genetik/hereditas anak dalam mengalami obesitas (Sartika, 2011). Kelebihan berat badan pada
orangtua memiliki hubungan positif dengan kelebihan berat badan anak. Jika ayah dan/atau ibu
menderita overweight (kelebihan berat badan) maka kemungkinan anaknya memiliki kelebihan
berat badan sebesar 40-50%. Apabila kedua orang tua menderita obesitas kemungkinan anaknya
menjadi obesitas sebesar 70-80%. (Haines et al., 2007). Riwayat orang tua juga merupakan
faktor risiko terjadinya obesitas pada anak SD di Kota Manado (Hamel et al, 2013)

Barker dalam Hidayati (2011) menyatakan bahwa perubahan lingkungan nutrisi
intrauterin menyebabkan gangguan perkembangan organ-organ tubuh terutama kerentanan
terhadap pemrograman janin yang dikemudian hari bersama-sama dengan pengaruh diet dan
stress lingkungan merupakan predisposisi timbulnya berbagai penyakit dikemudian hari.
Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting metabolic
ratethermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek.

Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan
menentukan ekspresi fenotipe.
Penelitian yang dilakukan Anggrainy (2008), pada studi obesitas di anak TK Kota Bogor
menununjukkan kecenderungan obesitas terjadi pada anak yang memiliki ayah obes. Terdapat 21
dari 29 (72.4%) ayah yang obesitas memiliki anak obes. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat
hubungan yang signifikan antara IMT ayah dengan status gizi obesitas anak. Kecenderungan
obesitas pada anak juga terjadi pada anak yang memiliki ibu obesitas. Sebanyak 65% ibu
obesitas memiliki anak yang obesitas pula, namun secara statistik hubungan tersebut tidak
signifikan.
4. Besar uang saku
Uang saku anak memiliki peran dalam pola konsumsi anak yang kemudian juga
berpengaruh terhadap status gizi anak. Besar uang saku siswi di Sekolah Dasar Kelas 3-5 di
Teheran, Iran merupakan faktor yang berkorelasi positif dengan kejadian obesitas
(Alborzimanesh et al, 2011). Sedangkan di Amerika Serikat, besar uang saku per hari juga
memiliki hubungan terhadap kejadian obesitas (Wang et al, 2007). Anak dengan uang saku lebih
besar dari US$ 2 per hari memiliki resiko obesitas lebih besar daripada anak dengan uang saku
kurang dari US$ 2 per hari.

Beberapa literatur di Indonesia juga menunjukkan uang saku memiliki hubungan
terhadap kejadian obesitas. Pada penelitian Imtihan dan Noer (2013), besarnya uang saku
berpengaruh frekuensi makanan cepat saji. Makin besar uang saku anak maka makin besar pula
kecenderungan konsumsi anak dari jajanan yang ada di sekolah (Arimurti, 2010). Berdasarkan
observasi, jenis makanan yang dijual di kantin SD Harapan 3 Kecamatan Delitua Kabupaten Deli
Serdang didominasi oleh makanan tinggi kalori, misalnya hamburger, bakso, mie goreng, pizza,
dan nasi soto.
5. Frekuensi Makan
Frekuensi makan adalah faktor penting yang mempengaruhi status gizi dan kesehatan.
Frekuensi makan, terkait dengan variasi makanan diperkirakan dapat mengurangi resiko terhadap
penyakit dan pada beberapa kasus dapat mencegah penyakit. Frekuensi makan mencerminkan
terjadinya kelebihan asupan dan penyakit akibat gizi. Sumber utama makanan masyarakat
Indonesia adalah serealia lalu diikuti oleh yang lainnya (Anggrainy, 2008).
Frekuensi makanan yang dikonsumsi berpengaruh terhadap kejadian obesitas. Menurut
penelitian yang dilakukan Simatupang (2008), 90% anak yang obesitas memiliki frekuensi
makan lebih dari 13 kali sehari, sehingga frekuensi makan memiliki hubungan yang bermakna
terhadap kejadian obesitas. Sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan Sartika (2011),
rerata asupan energi total per kapita per hari melebihi kebutuhan energi per hari sehingga
kelebihan asupan karbohidrat dan protein, juga berhubungan dengan kejadian obesitas pada anak
usia 5-15 tahun di Indonesia.
Tingginya asupan energi kemungkinan disebabkan oleh konsumsi makanan cepat saji
yang menjadi kebiasaan umum baik di kota besar maupun kecil di wilayah Indonesia. Secara
umum, komposisi makanan jenis makanan cepat sajiadalah tinggi energi, lemak, garam dan

rendah serat. Frekuensi konsumsi makanan cepat saji serta makanan tinggi lemak juga
merupakan faktor resiko obesitas pada anak sekolah dasar, dimana anak dengan frekuensi
mengonsumsi makanan tinggi lemak dan cepat saji sering beresiko 4 kali lebih besar
dibandingkan dengan yang frekuensi mengonsumsinya jarang (Pramudita, 2011). Konsumsi
fastfood juga memiliki hubungan dengan kejadian obesitas pada anak usia 10-12 tahun (Indayati,

2007).
Selain konsumsi fastfood, kebiasaan makan yang mempengaruhi lainnya adalah tingkat
kecukupan protein, dan kecukupan energi. Anggrainy (2008) menyatakan konsumsi nasi pada
anak obesitas lebih banyak dibandingkan anak normal. Terdapat hubungan yang signifikan
antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi obesitas anak (0.033). Persen kontribusi
lemak pada anak obesitas mencapai 30.4% Terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi
lemak dengan obesitas pada anak (P=0.004), demikian pula konsumsi camilan gorengan dan
biskuit (P = 0.000).
6. Aktivitas Fisik
Rendahnya aktivitas fisik merupakan faktor utama yang memengaruhi obesitas (Sartika,
2011). Penelitian yang dilakukan oleh Mustelin (2009) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
bermakna antara aktivitas fisik dengan obesitas pada anak. Anak yang tidak rutin berolahraga
memiliki risiko obesitas sebesar 1,35 kali dibandingkan dengan anak yang rutin berolahraga.
Selain itu anak yang tidak rutin berolah raga justru cenderung memiliki asupan energi yang lebih
tinggi dibandingkan anak yang rutin berolah raga. Penelitian yang dilakukan Pramudita (2011) di
Kota Bogor menunjukkan, sebanyak 77,5% anak obesitas menghabiskan waktu lebih dari 8 jam
untuk tidur dalam satu hari, 85% anak obesitas menghabiskan waktu lebih dari 2 jam untuk

waktu menonton TV, bermain game, dan internet dalam satu hari, dan 70% anak obesitas yang
menghabiskan waktunya bermain di luar rumah kurang dari 2 jam per hari.
Aktivitas fisik (physical activity) adalah istilah umum untuk tiap pergerakan yang
diproduksi oleh otot skeletal yang menghasilkan peningkatan penggunaan energi-istirahat
(resting energy) secara substansial. Aktivitas fisik terdiri dari tiga komponen utama. Pertama,
aktivitas kerja (occupational work), yaitu aktivitas yang dilakukan dalam rangka bekerja. Kedua
adalah aktivitas domestik rumahtangga (household and other chores), yaitu aktivitas yang
dilakukan sebagai bagian aktivitas harian dalam rumah (day-today living activities). Ketiga
adalah aktivitas fisik dalam waktu bebas (leisure-time physical activity), yaitu aktivitas yang
dilakukan seseorang dalam waktu senggang/bebas yang dimilikinya. Aktivitas fisik dalam waktu
bebas ini terbatas hanya pada kebutuhan dan ketertarikan seseorang, termasuk didalamnya
exercise dan olahraga (sport). Terdapat perbedaan antara exercise dan olahraga. Exercise ialah

aktivitas fisik yang terstruktur dan terencana dilakukan dalam waktu bebas (leisure-time) yang
bertujuan untuk meningkatkan memelihara kebugaran fisik (physical fitness). Sedangkan
olahraga sendiri adalah sebuah bentuk aktivitas fisik yang biasanya dikompetisikan. Didalamnya
termasuk exercise yang umum dan pekerjaan yang spesifik (WHO, 2009).
2.7. Pencegahan Obesitas
2.7.1. Pencegahan Primer
Pencegahan ini merupakan suatu upaya yang ditujukan kepada semua orang, khususnya
kelompok yang berisiko menderita obesitas. Dalam hal ini upaya promotif dan preventif
dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan anak. Usaha pencegahan dimulai dari
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Menurut Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak
Sekolah oleh Kementerian Kesehatan RI (2012), pencegahan primer obesitas di lingkungan
rumah dan keluarga dapat dimulai dengan memperbaiki kebiasaan makan, baik dari segi jenis,
frekuensi, maupun cara. Dari segi frekuensi, yaitu makan sesuai dengan waktunya. Dari segi
jenis makanan misalnya, mengurangi makanan berlemak dan gorengan, mengurangi makanan
dan minuman yang manis, dan mengonsumsi buah dan sayur ≥ 5 porsi per hari. Dari segi cara
misalnya, dengan mengurangi makan diluar, membiasakan anak makan pagi dan membawa
makanan bekal ke sekolah, serta membiasakan makan bersama keluarga minimal 1 x sehari.
Orangtua juga tidak boleh menyediakan televisi di kamar anak serta membatasi kegiatan
menonton televisi, bermain komputer, bermain game kurang dari dua jam sehari dan sebaliknya
meningkatkan aktivitas fisik minimal 1 jam sehari
Lingkungan sekolah merupakan tempat yang baik untuk pendidikan kesehatan yang dapat
memberikan pengetahuan, keterampilan serta dukungan sosial dari warga sekolah. Pengetahuan,
keterampilan serta dukungan sosial ini memberikan perubahan perilaku makan sehat yang dapat
diterapkan dalam jangka waktu lama. Pencegahan primer obesitas di lingkungan sekolah dapat
berupa olahraga atau aktifitas fisik secara teratur sesuai dengan kemampuan dan kondisi masingmasing anak. Kemudian, pemeriksaan berkala yang dapat dilakukan oleh petugas kesehatan yang
datang ke sekolah anak secara periodik, atau dengan memanfaatkan klinik kesehatan yang ada di
sekolah.
2.7.2. Pencegahan Sekunder
Upaya yang dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang diakibatkan
oleh proses degeneratif. Upaya yang dilakukan adalah pengobatan bagi penderita obesitas.
Diantaranya penggunaan obat–obat pelangsing, akupuntur, dan pembedahan.Penggunaan obatobat pelangsing harus dibawah pengawasan dokter karena tidak semua masalah obesitas dapat diberi

obat. Akupuntur hanya dilakukan untuk mempermudah anak dalam melakukan diet. Akupuntur pada
telinga dapat menekan nafsu makan, sehingga akan mengurangi konsumsi makanan yang pada
akhirnya dapat menurunkan berat badan (Desky, 2011). Pembedahan merupakan jalan pintas bagi
penderita obesitas, karena akan menurunkan berat badan hingga 35%.

2.7.3. Pencegahan Tersier
Upaya yang dilakukan adalah pengobatan lanjut perawatan bagi penderita obesitas.
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi
(upaya untuk mempertahankan fungsi organ seoptimal mungkin) berupa rehabilitasi mental dan
kegiatan fisik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui psikoterapi. Misalnya dengan
melakukan diet rendah kalori seimbang disertai dengan melakukan aktifitas fisik secara rutin.

2.8. Kerangka Konsep
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka, maka dapat digambarkan kerangka
konsep penelitian sebagai berikut:

Karateristik Anak
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Riwayat Keturunan
4. Besar Uang saku

Obesitas
Frekuensi Makan

Aktivitas Fisik