75. Isi dan Sampul Kisah Dewi Wasowati
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Bacaan untuk Remaja Setingkat SMP
Kisah Dewi Wasowati Cerita Rakyat
Ditulis oleh Muhammad Jaruki [email protected] MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Kisah Dewi Wasowati
Penulis : Muhammad Jaruki Penyunting : Kity Karenisa Ilustrator : Zora Penata Letak : Aziz Ramadinata H.
Diterbitkan ulang pada tahun 2017 oleh: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV Rawamangun Jakarta Timur Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Isi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang
diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari
penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan
artikel atau karangan ilmiah.Katalog Dalam Terbitan (KDT) PB 398.209 598 2
Jaruki, Muhammad JAR Kisah Dewi Wasowati/Muhammad Jaruki (Penulis), Kity k Karenisa (Penyunting). Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016. viii; 55 hlm.; 21 cm.
ISBN: 978-602-437-326-9 CERITA RAKYAT – JAWA
Sambutan
Karya sastra tidak hanya rangkaian kata demi kata, tetapi
berbicara tentang kehidupan, baik secara realitas ada maupun
hanya dalam gagasan atau cita-cita manusia. Apabila berdasarkan
realitas yang ada, biasanya karya sastra berisi pengalaman hidup,
teladan, dan hikmah yang telah mendapatkan berbagai bumbu,
ramuan, gaya, dan imajinasi. Sementara itu, apabila berdasarkan
pada gagasan atau cita-cita hidup, biasanya karya sastra berisi
ajaran moral, budi pekerti, nasihat, simbol-simbol filsafat
(pandangan hidup), budaya, dan lain sebagainya yang berkaitan
dengan kehidupan manusia. Kehidupan itu sendiri keberadaannya
sangat beragam, bervariasi, dan penuh berbagai persoalan serta
konflik yang dihadapi oleh manusia. Keberagaman dalam kehidupan
itu berimbas pula pada keberagaman dalam karya sastra karena
isinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang beradab dan
bermartabat.Karya sastra yang berbicara tentang kehidupan tersebut
menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya dan
seni imajinatif sebagai lahan budayanya. Atas dasar media
bahasa dan seni imajinatif itu, sastra bersifat multidimensi dan
multiinterpretasi. Dengan menggunakan media bahasa, seni
imajinatif, dan matra budaya, sastra menyampaikan pesan untuk
(dapat) ditinjau, ditelaah, dan dikaji ataupun dianalisis dari
berbagai sudut pandang. Hasil pandangan itu sangat bergantung
pada siapa yang meninjau, siapa yang menelaah, menganalisis, dan
siapa yang mengkajinya dengan latar belakang sosial-budaya serta
pengetahuan yang beraneka ragam. Adakala seorang penelaah
sastra berangkat dari sudut pandang metafora, mitos, simbol,
kekuasaan, ideologi, ekonomi, politik, dan budaya, dapat dibantah
penelaah lain dari sudut bunyi, referen, maupun ironi. Meskipun
demikian, kata Heraclitus, “Betapa pun berlawanan mereka bekerja
sama, dan dari arah yang berbeda, muncul harmoni paling indah”.
Banyak pelajaran yang dapat kita peroleh dari membaca
karya sastra, salah satunya membaca cerita rakyat yang disadur
atau diolah kembali menjadi cerita anak. Hasil membaca karya
sastra selalu menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk
berkreasi menemukan sesuatu yang baru. Membaca karya sastra
dapat memicu imajinasi lebih lanjut, membuka pencerahan, dan
menambah wawasan. Untuk itu, kepada pengolah kembali cerita ini
kami ucapkan terima kasih. Kami juga menyampaikan penghargaan
dan ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala
Bidang Pembelajaran, serta Kepala Subbidang Modul dan Bahan
Ajar dan staf atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan
sampai dengan terwujudnya buku ini.Semoga buku cerita ini tidak hanya bermanfaat sebagai
bahan bacaan bagi siswa dan masyarakat untuk menumbuhkan
budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional, tetapi
juga bermanfaat sebagai bahan pengayaan pengetahuan kita
tentang kehidupan masa lalu yang dapat dimanfaatkan dalam
menyikapi perkembangan kehidupan masa kini dan masa depan.
Salam kami,
Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum.Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Pengantar
Sejak tahun 2016, Pusat Pembinaan, Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa),
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, melaksanakan
kegiatan penyediaan buku bacaan. Ada tiga tujuan penting
kegiatan ini, yaitu meningkatkan budaya literasi baca-tulis, mengingkatkan kemahiran berbahasa Indonesia, dan
mengenalkan kebinekaan Indonesia kepada peserta didik di
sekolah dan warga masyarakat Indonesia.Untuk tahun 2016, kegiatan penyediaan buku ini
dilakukan dengan menulis ulang dan menerbitkan cerita
rakyat dari berbagai daerah di Indonesia yang pernah ditulis
oleh sejumlah peneliti dan penyuluh bahasa di Badan Bahasa.Tulis-ulang dan penerbitan kembali buku-buku cerita rakyat
ini melalui dua tahap penting. Pertama, penilaian kualitas
bahasa dan cerita, penyuntingan, ilustrasi, dan pengatakan.
Ini dilakukan oleh satu tim yang dibentuk oleh Badan Bahasa
yang terdiri atas ahli bahasa, sastrawan, illustrator buku,
dan tenaga pengatak. Kedua, setelah selesai dinilai dan
disunting, cerita rakyat tersebut disampaikan ke Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, untuk dinilai kelaikannya sebagai bahan bacaan bagi siswa berdasarkan usia dan tingkat pendidikan. Dari dua tahap penilaian tersebut, didapatkan 165 buku cerita rakyat.Naskah siap cetak dari 165 buku yang disediakan
tahun 2016 telah diserahkan ke Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk selanjutnya
diharapkan bisa dicetak dan dibagikan ke sekolah-sekolah
di seluruh Indonesia. Selain itu, 28 dari 165 buku cerita
rakyat tersebut juga telah dipilih oleh Sekretariat Presiden,
Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia, untuk
diterbitkan dalam Edisi Khusus Presiden dan dibagikan
kepada siswa dan masyarakat pegiat literasi.Untuk tahun 2017, penyediaan buku—dengan
tiga tujuan di atas dilakukan melalui sayembara dengan
mengundang para penulis dari berbagai latar belakang.
Buku hasil sayembara tersebut adalah cerita rakyat, budaya
kuliner, arsitektur tradisional, lanskap perubahan sosial
masyarakat desa dan kota, serta tokoh lokal dan nasional.
Setelah melalui dua tahap penilaian, baik dari Badan Bahasa
maupun dari Pusat Kurikulum dan Perbukuan, ada 117 buku
yang layak digunakan sebagai bahan bacaan untuk peserta
didik di sekolah dan di komunitas pegiat literasi. Jadi, total
bacaan yang telah disediakan dalam tahun ini adalah 282
buku.Penyediaan buku yang mengusung tiga tujuan di
atas diharapkan menjadi pemantik bagi anak sekolah,
pegiat literasi, dan warga masyarakat untuk meningkatkan
kemampuan literasi baca-tulis dan kemahiran berbahasa
Indonesia. Selain itu, dengan membaca buku ini, siswa dan
pegiat literasi diharapkan mengenali dan mengapresiasi
kebinekaan sebagai kekayaan kebudayaan bangsa kita yang
perlu dan harus dirawat untuk kemajuan Indonesia. Selamat
berliterasi baca-tulis! Jakarta, Desember 2017Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S.
Kepala Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Sekapur Sirih
Alhamdulilah, atas izin-Nya, penulis dapat menyajikan sebuah buku cerita berjudul Kisah Dewi Wasowati. Buku cerita ini disajikan untuk para peserta didik di tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Untuk itu, penyajian cerita ini menggunakan bahasa yang sangat sederhana, sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik di tingkat sekolah menengah pertama (SMP).
Penulis sangat menyadari bahwa penulisan cerita Kisah Dewi Wasowati tidak akan selesai tanpa bimbingan dan arahan dari (1) Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S., Kepala Pusat Pembinaan, (2) Dr. Fairul Zabadi, Kepala Bidang Pembelajaran, dan (3) Drs. Kris Sanjaya, M.Hum. sebagai narasumber. Oleh karena itu, dengan hati yang tulus, penulis menyampaikan terima kasih kepada mereka.
Mudah-mudahan buku cerita ini dapat bermanfaat
Aamiin.
Penulis Muhammad Jaruki
Daftar Isi
Sambutan ............................................................iii Pengantar ...........................................................v Sekapur Sirih .......................................................vii
Daftar Isi ............................................................viii 1
Dewi Wasowati ................................................1 2. Tegal Arum .......................................................21 3. Batur Raden ......................................................43
Biodata Penulis ....................................................53 Biodata Penyunting ..............................................54 Biodata Ilustrator................................................55
Dewi Wasowati Ada seorang raja bernama Prabu Aji Pramosa
Prabu Aji Pramosa terkenal sebagai raja yang keras kepala, garang, dan tidak mau tunduk kepada raja-raja dari negeri lain. Meskipun demikian, senyum dikulum masih selalu mewarnai bibirnya. Jika ditanya, Prabu pasti menjawab.
Akan tetapi, sejak kehadiran Kiai Jamur, kehidupan Prabu Aji Pramosa tampak tidak tenteram. Prabu terlihat gelisah, mudah marah, dan tidak sedikit pun senyum mewarnai bibirnya.
“Akhir-akhir ini Prabu tampak aneh,” kata seorang punggawa. ”Ya, menurutku juga ada keanehan yang terjadi pada diri Prabu,” timpal punggawa yang lain. ”Keanehan apa, ya?” tanya punggawa yang lain pula. ”Jika ditanya, Prabu sering tidak menjawab. Kalau pun menjawab, jawaban Prabu amat judes. Gerangan apa yang terjadi?”
“Aku juga belum tahu persis penyebabnya.” ”Ah, peduli apa. Kita sebagai punggawa tidak usah terlalu dalam mencampuri urusan Prabu.”
“Ya, sesungguhnya aku tidak ingin mencampuri urusan Prabu, khususnya urusan pribadi Prabu. Namun, sebagai punggawa, aku harus tahu apa yang terjadi pada diri Prabu.”
“Sudahlah tidak usah kita pikirkan. Sekarang kita istrahat.” Esok pagi, sebelum matahari terbit, para punggawa telah sampai di istana. Mereka siap melaksanakan segala perintah Prabu. Namun, hingga matahari terbit, Prabu tidak kunjung keluar.
”Sudah sesiang ini Prabu belum keluar,” kata seorang punggawa. ”Ya, mengapa sudah sesiang ini Prabu belum keluar?” tanya punggawa yang lain. ”Apa mungkin Prabu masih tertidur?” tanya punggawa yang lain pula. ”Bisa jadi. Akan tetapi, hari telah siang begini.” ”Kita tunggu saja sampai Prabu keluar.” Waktu terus bergulir. Hari kembali petang. Namun,
Prabu tidak kunjung keluar pula. Oleh karena itu, mereka kembali ke tempat masing-masing.
Pada pagi hari berikutnya para punggawa telah sampai di istana. Mereka siap melaksanakan apa pun yang diperintahkan oleh Prabu. Namun, hari itu sama dengan hari kemarin. Prabu tidak kunjung keluar.
”Gerangan apa yang terjadi sudah dua hari Prabu tidak keluar?” tanya seorang punggawa. ”Barangkali Prabu sedang sakit?” jawab punggawa yang lain. ”Tidak mungkin Prabu sedang sakit.” ”Mengapa tidak mungkin? Semua bisa terjadi. Sakit tidak hanya menimpa orang-orang kecil. Sakit menimpa siapa pun. Begitu juga kematian.”
”Berhenti, berhenti! Jawabanmu jangan terlalu panjang. Aku juga sudah tahu bahwa sakit dan mati akan menimpa siapa pun.”
”Lalu, apa maksudmu?” ”Maksudku begini. Jika Prabu sakit, dayang- dayang pasti memanggil kita untuk mencari obat atau tabib.”
”Lalu, apa yang terjadi pada diri Prabu?” ”Inilah yang sudah kita bicarakan dari awal bahwa
Prabu akhir-akhir ini terlihat aneh.” “Barangkali begini, mengapa Prabu terlihat aneh?” ”Ayo, lanjutkan pendapatmu.” “Kalau aku boleh berpendapat, Prabu terlihat aneh sejak Kiai Jamur tinggal di wilayah kita. Namun, maaf masalah Kiai Jamur jangan disebarluaskan dulu. Aku takut jika pendapatku itu tidak benar.”
”Siapa Kiai Jamur itu?”
”Kiai Jamur adalah nama panggilan Resi Kano.” ”Mengapa Prabu tampak aneh setelah Resi Kano tinggal di wilayah kita? Apakah Resi Kano itu jahat?” “Oh, bukan itu. Resi orangnya baik. Konon Resi
Kano terkenal amat sakti. Tidak seorang pun dapat mengalahkan kesaktian Resi,” jelas seorang punggawa. “Kamu tahu bukan bahwa Prabu itu tidak suka tersaingi kesaktiannya oleh orang lain?”
“Kalau jawaban kamu begitu, aku bisa terima. Memang begitu karakter Prabu.”
”Lalu, apa yang harus kita lakukan?” ”Kita tunggu perintah Prabu saja.” Resi Kano atau Kiai Jamur adalah seorang pendatang baru. Tidak seorang pun yang mengetahui asal mula Resi. Namun, banyak orang tahu, tidak terkecuali Prabu, bahwa Resi terkenal amat sakti. Dia dapat menghilang atau berubah menjadi naga. Oleh karena itu, tidak seorang pun yang mampu mengalahkan kesaktian Resi.
Resi Kano bertempat tinggal di wilayah Kediri, sebuah kota di Jawa Timur. Sejak dia bertempat tinggal di kota itu, Prabu Aji amat panas hatinya. Prabu tidak senang Resi bertempat tinggal di wilayahnya. Prabu merasa tersaingi olehnya. Oleh karena itu, Prabu menganggapnya musuh.
Semakin hari keberadaan Resi semakin membuat perasaan Prabu tidak tenang. Prabu menginginkan agar Resi diusir dari Kediri. Prabu lalu mengumpulkan para punggawanya untuk bermusyawarah di istana.
Pagi itu sambil menikmati getuk pisang, Prabu dengan beberapa punggawanya bermusyawarah. Dalam musyawarah itu, Prabu meminta agar para punggawa segera mengusir Resi Kano. Tiba-tiba salah seorang punggawa mengangkat tangan, menyampaikan usul.
”Maaf, Prabu,” kata seorang punggawa. ”Ya, apa yang ingin kamu sampaikan?” tanya Prabu.
”Maaf, hamba usul agar Resi tidak diusir dari Kediri.”
”Mengapa kamu usul demikian? Apa kamu tidak tahu bahwa Resi adalah musuh kita?” ”Maaf, Prabu. Apakah Resi tidak dapat kita dekati lebih dahulu?”
”Maksudmu?” ”Kita dekati Resi agar dapat bekerja sama, menjaga keamanan dan kenyamanan Kediri yang gersang ini.” ”Tidak. Resi adalah musuh kita yang harus segera diusir.” Prabu tetap kukuh dengan pendapatnya. Prabu menginginkan agar Resi segera diminta pergi, bahkan jika perlu ditangkap dan dipenjarakan.
“Suruh Resi Kano pergi sekarang juga. Jangan biarkan dia hidup di negeri ini. Dia akan membuat negeri ini tidak aman dan nyaman,” perintah Prabu Aji Pramosa.
”Baik, Prabu. Kami segera melaksanakan perintah Prabu,” jawab seorang punggawa.
”Siapa yang tidak patuh perintahku akan ku minta untuk pergi pula,” tegas Prabu. “Hamba tidak membangkang perintah Prabu. Hamba hanya usul,” kata seorang punggawa itu.
”Aku tidak setuju dengan usulmu. Sekarang kalian harus segera menyuruh Resi pergi.” ”Baik, Prabu. Kami akan segera melaksanakan perintah Prabu,” jawab para punggawa. Seketika itu, para punggawa melengkapi diri dengan senjata. Mereka lalu berbagi tugas. Sebagian menuju ke tempat tinggal Resi melalui arah kanan dan sebagian melalui arah kiri. Namun sayang, sesampai di sana, Resi telah pergi.
Sehari sebelum para punggawa sampai, rencana pengusiran atau penangkapan itu telah sampai di telinga Resi. Seketika itu, Resi menuju ke tempat yang belum pernah dijamah orang. Resi pergi dengan membawa kebencian atas keserakahan Prabu Aji Pramosa.
Para punggawa amat geram karena tidak berhasil menemukan Resi untuk kemudian mengusir atau menangkap Resi. Mereka juga takut kepada Prabu karena tidak berhasil melaksanakan tugas.
”Bagaimana kita?” tanya seorang punggawa. ”Maksudmu?” balas punggawa yang lain. ”Kita pulang atau terus melanjutkan mencari
Resi?” ”Kita lanjutkan saja mencari Resi sampai menemukannya.” ”Apa tidak sebaiknya kita pulang dahulu?” usul seorang punggawa.
”Bagaimana, kawan-kawan, kita lanjutkan mencari Resi sampai menemukannya atau kita pulang?”
”Sebaiknya kita pulang dan memberi tahu perihal ini kepada Prabu. Namun, ....” ”Namun bagaimana?” ”Jika pulang, kita akan dimarahi oleh Prabu.” ”Tidak apa. Itu risiko kita sebagai prajurit.”
Para punggawa segera pulang dan melapor kepada
Prabu, “Prabu, kami mohon maaf. Kami telah sampai di tempat tinggal Resi Kano. Namun, sesampai di sana
tempat tinggal Resi telah kosong,” lapor salah seorang punggawa kepada Prabu.
“Aku tidak memerlukan laporan kalian. Yang aku perlukan adalah kalian berhasil menangkap Resi,” jawab Prabu.
Para punggawa diam. Mereka hanya saling main mata, saling menyalahkan. Namun, tiba-tiba, salah seorang punggawa menjelaskan keadaan sesungguhnya kepada Prabu.
”Maaf, Prabu. Kami telah berusaha mencarinya ke sana ke mari. Kami juga telah menanyakan kepada penduduk di sekitar tempat tinggalnya. Namun, tidak seorang pun yang mengetahui di mana Resi berada.”
”Aku tidak butuh jawaban dari kamu yang mudah menyerah itu. Sebagai punggawa, kalian harus mematuhi dan bertanggung jawab atas perintahku. Pergilah kalian mencari Resi Kano. Jangan pulang sebelum kalian menemukan Resi Kano.”
Seketika itu para punggawa bergegas-gegas meninggalkan istana untuk mencari Resi Kano. Berhari- hari mereka berjalan tanpa kenal lelah. Mereka menelusuri hutan dan naik turun gunung.
Sementara itu, Resi Kano mengembara ke arah tepi pantai selatan Pulau Jawa. Dia terus berjalan hingga sampai di Cilacap, sebuah kabupaten di wilayah Banyumas, Jawa Tengah. Resi lalu mencari tempat yang belum pernah dijamah dan sulit untuk ditempuh oleh manusia. Di tempat itulah Resi bertapa.
Para punggawa terus berjalan menuju ke arah selatan hingga sampai di sebuah daerah yang bernama Cilacap. Daerah itu amat panas karena dekat dengan laut. Karena terlalu lelah dan hari sudah sore, mereka beristirahat di daerah itu.
Pagi itu sebelum matahari keluar dari peraduannya, mereka kembali mencari tempat persembunyian Resi Kano. Satu per satu tempat yang mencurigakan mereka datangi. Berkat kegigihan para punggawa, tempat persembunyian Resi dapat mereka temukan.
”Tidak salah lagi bahwa tempat ini adalah tempat persembunyian Resi,” kata seorang punggawa. ”Apa yang menjadikan kamu yakin bahwa Resi bersembunyi di tempat ini?” tanya punggawa yang lain. ”Ya, ini hanya firasatku.” ”Kalau hanya firasat belum tentu benar.” ” Aku yakin jika Resi berada di sini.” ”Kalau kamu yakin bahwa Resi bersembunyi di sini, mari kita buktikan.” Para punggawa lalu berusaha keras menemukan tempat Resi bersembunyi. Mereka berjalan melalui semak- semak. Tidak lama kemudian, salah seorang punggawa melihat Resi sedang duduk bertapa. Dia menggerakkan tangannya, memanggil para punggawa yang lain. Dengan hati-hati mereka segera mendekatinya.
”Lihatlah Resi sedang bertapa,” kata seorang punggawa itu. ”Mana?” tanya punggawa yang lain. ”Lihatlah ke arah sana,” jelas seorang punggawa itu sambil menunjuk dengan jarinya.
”O, iya,” jawab punggawa yang lain secara serentak. ”Sekarang apa yang harus kita lakukan?” ”Kita tangkap saja.” ”Hai, jangan gegabah. Resi sangat sakti.” ”Lalu bagaimana?” ”Sebaiknya kita pulang melapor kepada Prabu.” ”Apa kita harus pulang? Bagiamana kalau kita dimarahi Prabu?” ”Saya yakin Prabu tidak akan memarahi kita. Prabu justru senang dengan laporan kita ini.”
”Jika yakin Prabu tidak akan marah, kita pulang!” Seketika itu, para punggawa meninggalkan tempat persembunyian Resi Kano. Setelah berhari-hari berjalan, para punggawa sampai di istana. Mereka segera menghadap Prabu.
”Prabu, kami telah menemukan tempat persembunyian Resi,” kata salah seorang punggawa. ”Mengapa kalian tidak menangkapnya?” ”Kami masih ragu.” ”Mengapa kalian ragu? Jangan-jangan yang kalian jumpai itu bukan Resi Kano.” ”Kami yakin yang sedang bertapa di tempat persembunyian itu adalah Resi Kano.”
”Mengapa kalian ragu?” ”Kami masih ragu atas kemampuan kami. Resi itu amat sakti.” ”Jika itu yang kalian maksud, ayo kita ke sana. Akan tetapi, apa benar kalian telah menemukan persembunyian Resi?”
”Benar, Prabu,” jawab para punggawa serentak, ”Resi bersembunyi di tepi pantai selatan Pulau Jawa.”
”Di daerah mana Resi bersembunyi?” ”Di daerah Cilacap, Prabu.” ”Kalian yakin bahwa Resi bersembunyi di sana?” ”Kami yakin. Kami telah melihatnya dengan mata kepala kami sendiri.” ”Jika yakin, kalian sekarang beristirahat. Besok pagi kita berangkat ke Cilacap.” Pagi itu ayam baru pertama berkokok. Para punggawa telah sampai di istana. Begitu pula Prabu telah berada di ruang depan istana.
Pagi itu, Prabu Aji Pramosa dengan dikawal oleh para punggawa berangkat menuju ke persembunyian Resi Kano. Sepanjang perjalanan mereka sangat serius. Tidak seorang pun mengumbar kata apalagi tawa.
Setelah berhari-hari berjalan, Prabu Aji Pramosa dan para punggawa sampai di tempat bertapa Resi Kano di daerah Cilacap. Mereka tidak sabar lagi ingin segera menangkapnya.
”Hai Resi, keluarlah dari persembunyianmu!” teriak Prabu Aji Pramosa. Resi Kano diam, tidak menjawab sepatah kata pun. ”Hai, Resi keluarlah! Kami telah mengepungmu!” Resi tetap tidak menjawab. Prabu Aji Pramosa amat kesal. ”Hai, Resi. Jika kamu tidak keluar, akulah yang akan masuk ke persembunyianmu,” tegas Prabu Aji
Pramosa.
”Tidak. Aku tidak akan menyerah begitu saja kepada kalian,” jawab Resi Kano. ”Hai, Resi keluarlah!” ”Tidak. Aku tidak akan keluar.” Muka Prabu Aji Pramosa semakin merah. Prabu lalu memerintahkan para punggawa masuk ke persembunyian
Resi.
” Ayo, kalian masuk dan tangkaplah dia!” ”Baik, Prabu.” Dengan ragu-ragu dan takut para punggawa masuk ke tempat persembunyian Resi. Akan tetapi, setiba di persembunyian, Resi Kano telah menghilang. Para punggawa segera keluar dan melapor kepada Prabu.
”Resi sudah tidak ada di persembunyian,” kata salah seorang punggawa. ”Ke mana dia pergi?” tanya Prabu. ”Kami tidak tahu.” ”Wah, jangan-jangan Resi menghilang bersama angin ribut,” kata salah seorang punggawa yang lain. ”Ya, barangkali begitu,” kata punggawa yang lain pula. ” Resi sungguh sakti.” Prabu Aji Pramosa sangat marah setelah mendengar para punggawa mengagung-agungkan kesaktian Resi.
”Hai, para punggawa! Kalian tidak perlu heran melihat peristiwa itu. Itu belum seberapa jika dibandingkan dengan kesaktianku.”
Seketika itu, para punggawa diam. Mereka ketakutan. Tidak seorang pun berani mengangkat kepalanya.
”Lihat kesaktianku!” seru Prabu Aji Pramosa. Prabu Aji Pramosa segera membaca mantra. Angin ribut dan suara gemuruh itu mendadak berhenti. Suasana menjadi lengang. Tidak lama kemudian seekor naga raksasa keluar dari dalam goa.
”Apa itu?” tanya seorang punggawa. ”Mana? Mana?” tanya punggawa yang lain.
”Wah, itu naga raksasa!” jawab punggawa. ”Kalian diam,” kata Prabu Aji Pramosa sambil melepaskan anak panah.
Berkali-kali Prabu melepaskan anak panah. Namun, raksasa itu dapat menghindar dari anak-anak panah yang melesat.
”Wah, secepat itu dia menghindar,” kata punggawa. ”Diam, kalian jangan banyak bicara,” kata Prabu Aji Pramosa. Setelah tujuh kali Prabu Aji Pramosa melepaskan anak panah, sebuah anak panah mengenai perut naga raksasa itu. Naga raksasa itu jatuh tersungkur.
”Coba kalian lihat naga raksasa itu,” perintah Prabu Aji Pramosa. Para punggawa tidak bergerak sedikit pun. Mereka takut jika terjadi sesuatu. ”Cepat kalian lihat naga raksasa itu!” ”Ayo ..., ayo ..., kita lihat!” kata salah seorang punggawa. ” Kalian harus hati-hati,” kata Prabu Aji Pramosa.
Mereka dengan hati-hati menuju ke naga raksasa. Langkah demi langkah mereka mendekat ke tempat naga raksasa. Mereka semakin yakin bahwa naga raksasa itu telah mati.
”Bagaimana raksasa itu?” tanya Prabu Aji Pramosa. ”Sudah mati, Prabu,” jawab punggawa. ”Kalau naga raksasa itu sudah mati, mari kita pulang!” ajak Prabu Aji Pramosa. Prabu Aji Pramosa dan pengiringnya bergegas pulang. Namun, baru beberapa langkah hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba muncul suara anak kecil.
”Jangan pergi, jangan pergi!” Prabu Aji Pramosa dan para punggawa mendadak berhenti. Anak kecil itu berusaha lari mendekati Prabu.
Namun, Prabu melarangnya.
”Berhenti! Siapa kamu?” tanya Prabu. ”Aku Dewi Wasowati.” ”Siapa Dewi Wasowati itu?” Dewi Wasowati diam. Dia tidak menjelaskan siapa
Dewi Wasowati itu. Namun, matanya tetap menatap kepada Prabu Aji Pramosa. Kemudian dia mendekati Prabu Aji Pramosa dan menyerahkan cangkok kembang wijaya kusuma.
“Tuan, terimalah cangkok kembang wijaya kusuma ini,” kata Dewi Wasowati. Prabu Aji Pramosa diam. Dia ragu-ragu bahkan takut menerima cangkok kembang wijaya kusuma. Kembang itu berwarna merah dan ada juga yang
berwarna putih. Kembang itu memiliki ciri-ciri yang amat unik, tumbuh di daerah pantai dan menempel pada karang-karang besar.
”Tuan janganlah takut. Terimalah cangkok kembang wijaya kusuma ini.” ”Terima kasih, Nak,” kata Prabu Aji Pramosa sambil menerima cangkok kembang wijaya kusuma. ”Tuan, rawatlah cangkok kembang wijaya kusuma ini baik-baik!” pesan Dewi Wasowati. ”Baik, Nak. Akan kurawat cangkok kembang wijaya kusuma ini,” jawab Prabu Aji Pramosa. ”Tuan, jangan lupa rawatlah cangkok kembang wijaya kusuma ini. Karena siapa pun yang merawat cangkok kembang wijaya kusuma ini akan menjadi raja di Tanah Jawa.”
Setelah menyerahkan cangkok kembang wijaya kusuma, Dewi Wasowati menghilang. Prabu amat terkejut. Prabu juga amat penasaran, siapakah gadis kecil tersebut? Seketika itu pula, Prabu sadar bahwa di atas langit masih ada langit.
”Ayo, kita pulang!” ajak Prabu kepada para punggawa. ”Mari!” jawab para punggawa serentak. Prabu Aji Pramosa dan para punggawa segera melanjutkan perjalanan. Mereka sampai di di tepi pantai. Di sana ada sebuah perahu kecil. Dengan mengendarai perahu kecil itu mereka pulang.
Selama dalam perjalanan Prabu terlihat amat girang. Prabu banyak bercanda dengan para punggawa. Prabu lengah, tidak merasakan cangkok kembang wijaya kusuma yang dipegangnya itu lepas terbawa gelombang. Prabu baru sadar bahwa cangkok kembang wijaya kusuma itu hilang setelah turun dari perahu. Prabu lalu menamakan tempat itu Nusakembangan. Kemudian, nama itu berubah penyebutannya menjadi Nusakambangan, sebuah pulau di dekat pulau Jawa bagian tengah.
Prabu Aji Pramosa pulang ke Kediri dengan tangan hampa. Tidak lama setelah tiba di Kediri, Prabu mendengar berita bahwa di atas Pulau Nusakambangan tumbuh sebatang pohon ajaib. Prabu penasaran dan ingin mengetahui kebenaran berita itu.
”Hai, para punggawa! Pernahkah kalian mendengar berita tentang sebatang pohon ajaib?” tanya Parbu Aji Pramosa.
”Belum. Kami belum pernah mendengar,” jawab salah seorang punggawa. ”Sebatang pohon apa?” timpal seorang punggawa yang lain. ”Aku tidak tahu nama pohon itu,” jawab Prabu. ”Apakah Prabu ingin melihat kebenaran berita sebatang pohon ajaib itu?” ”Tentu. Aku ingin melihatnya.”
”Kapan? Kami dengan senang hati akan menemani Prabu ke sana.” ”Besok.”
”Baik, Prabu.” Prabu bersama beberapa pengiringnya kembali ke Pulau Nusakambangan. Setiba di sana, Prabu terkejut karena pohon ajaib itu adalah cangkok kembang wijaya kusuma yang pernah Prabu terima dari Dewi Wasowati.
Prabu amat kecewa karena siapa pun yang memiliki kembang itu akan dapat menurunkan raja-raja di Jawa. Namun, apa hendak dikata karena semuanya itu Tuhan yang menentukan. Prabu lalu kembali ke Kediri bersama pengikutnya.
Sejak itu, muncul kepercayaan dalam masyarakat Surakarta dan Yogyakarta bahwa siapa pun yang memiliki kembang wijaya kusuma akan menjadi raja yang sah dan dapat diwariskan secara turun-temurun.
Tegal Arum
Lelaki itu amat sempurna. Wajahnya amat tampan, bertubuh tinggi, berkulit sawo matang, serta berambut lurus dan hitam. Di samping itu, dia amat cerdas dan tutur katanya amat santun. Jika ada suatu masalah, dia cepat mengatasinya dengan bahasa dan perilaku yang santun.
Lelaki itu bernama Pangeran Tejaningrat atau lebih dikenal dengan nama Adipati Anom. Dia adalah anak semata wayang Sunan Amangkurat I, Raja Mataram.
Sebagai ayahnya, Sunan Amangkurat amat bangga mempunyai keturunan seorang anak laki-laki yang tampan, patuh, dan amat cerdas. Untuk itu, Sunan melakukan penjagaan yang ekstra ketat terhadap Pangeran Tejaningrat. Ke mana pun pergi, Pangeran Tejaningrat selalu didampingi oleh para pengawalnya.
Pangeran Tejaningrat makin hari makin besar dan makin dewasa. Dia merasa tidak bebas jika selalu didampingi oleh para pengawalnya.
”Ayahanda , bolehkan Ananda menyampaikan suatu usul?” kata Pangeran Tejaningrat dengan santun. ”Silakan. Usul apa yang ingin Ananda sampaikan?” jawab Sunan Amangkurat I.
”Ananda telah dewasa. Ananda merasa kurang bebas jika selalu didampingi oleh para pengawal.” ”Kurang bebas, bagaimana? Apa para pengawal suka melarang Ananda ?” ”Tidak, Ayahanda. Namun, Ananda merasa kurang bebas.” ”O, itu tidak benar. Ayahanda menugasi mereka bukan untuk merampas kebebasan Ananda.” ”Betul, Ayahanda. Mereka tidak merampas kebebasan Ananda. Tetapi, Ananda yang merasa kurang bebas.” ”Ayahanda tahu jika Ananda kurang bebas. Namun, Ayahanda khawatir jika Ananda tidak dikawal.”
”Mengapa Ayahanda harus khawatir? Bukankah Ananda telah dewasa?”
”Ayahanda tahu jika Ananda telah dewasa dan dapat membawa diri. Namun, Ayahanda khawatir jika terjadi sesuatu.” ”Ayahanda tidak perlu khawatir terhadap Ananda. Ananda telah dewasa. Ananda telah dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat.”
”Ayahanda percaya. Namun, Ayahanda amat khawatir jika Ananda pergi tidak didampingi oleh para pengawal.”
”Kekhawatiran Ayahanda sangat berlebihan. Masak iya, setiap hari Ananda selalu didampingi oleh para pengawal?”
Sunan terdiam. Di dalam hatinya ia membenarkan jawaban Pangeran Tejaningrat. ”Baiklah, jika tidak ingin selalu didampingi oleh para pengawal, Ananda mulai besok hari belajar ilmu bela diri.”
”Benar Ananda boleh berlatih bela diri?” ”Tentu. Untuk menjaga diri, Ananda harus bisa bela diri.” ”Ananda amat setuju. Mulai besok Ananda akan belajar bela diri. Siapa guru bela diri yang akan mengajar
Ananda?” ”Masalah guru, Ananda tidak perlu khawatir. Ayahanda telah menyiapkan guru untuk melatih Ananda.”
Sejak itu Sunan Amangkurat I menyuruh Pangeran Tejaningrat berlatih ilmu bela diri dan ilmu kesaktian. Sebagai anak yang cerdas, Pangeran Tejaningrat cepat menguasai ilmu yang diberikan oleh gurunya.
Sunan Amangkurat amat senang melihat perkembangan tubuh dan kecerdasan Pangeran Tejaningrat. Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Sunan agak bersedih. Meskipun telah cukup dewasa, Pangeran Tejaningrat belum juga mempunyai calon pendamping.
”Ananda, Ayahanda sangat bangga dengan segala yang Ananda miliki, baik kesantunan maupun kecerdasan,” puji Sunan Amangkurat I.
”Terima kasih atas segala pujian Ayahanda,” jawab Pangeran Tejaningrat. ”Namun, ada sesuatu kekurangan yang perlu segera Ananda penuhi.” ”Kekurangan apa lagi, Ayahanda ? Ananda telah berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai ilmu beladiri dan ilmu kesaktian yang guru ajarkan.”
”Bukan masalah itu yang Ayahanda maksud.” ”Lalu kekurangan apa yang Ayahanda maksudkan?” Sunan Amangkurat I terdiam. Sunan tidak menjawab karena takut jika Pangeran Tejaningrat tersinggung.
”Mengapa Ayahanda diam?” ”Tidak ada apa-apa, Ayahanda hanya ....” ”Kalau tidak ada apa-apa, mengapa Ayahanda terdiam?” ”Sesungguhnya bukan suatu kekurangan. Ini hanya suatu keinginan Ayahanda .” ”Apa yang Ayahanda inginkan?” ”Ayahanda sangat menginginkan kehadiran cucu.
Namun, sementara ini Ayahanda melihat Ananda belum mempunyai calon pendamping.” ”O, itu yang Ayahanda maksudkan?” ”Ya. Ananda adalah anak semata wayang. Ananda juga telah dewasa.”
Pangeran Tejaningrat terdiam. Sunan Amangkurat I pun terlihat menyesal mengungkapkan keinginannya itu. Suasana menjadi lengang.
”Maafkan jika Ayahanda terlalu cepat mengungkapkan masalah itu.” ”O, tidak apa, Ayahanda . Amat wajar jika
Ayahanda telah merindukan cucu.” Setelah Pangeran Tejaningrat menjawab demikian,
Sunan Amangkurat I meninggalkan tempat pertemuan itu. Begitu pula Pangeran Tejaningrat langsung masuk ke kamar.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Pangeran Tejaningrat mengajak ayahnya untuk melanjutkan pembicaraan itu. Pagi itu Pangeran Tejaningrat telah rapi. Begitu pula Sunan Amangkurat I pada hari itu tidak ada kegiatan.
”Maaf, Ayahanda . Pada pagi ini Ananda ingin melanjutkan pembicaraan yang lalu,” kata Pangeran Tejaningrat.
”Pembicaraan apa?” tanya Sunan Amangkurat berpura-pura. Pangeran Tejaningrat diam. Pangeran Tejaningrat malu untuk mengungkapkan masalahnya. ”O, ya. Ayahanda ingat,” kata Sunan Amangkurat
I tiba-tiba, ”Sekarang mari kita lanjutkan pembicaraan yang lalu!” ajak Sunan Amangkurat I.
”Baik, jika Ayahanda tidak mempunyai tugas yang lain.” Pagi itu pembicaraan antara Sunan Amangkurat
I dengan Pangeran Tejaningrat dimulai. Pembicaraan itu tidak lama berlangsung. Dalam pembicaraan itu, Pangeran Tejaningrat bersedia memenuhi keinginan ayahnya.
Demi kebahagiaan ayahnya, Pangeran Tejaningrat pergi meninggalkan istana untuk mencari calon istri. Dia pergi seorang diri. Berhari-hari dia pergi hingga sampai di Negara Keradenan. Namun, Pangeran Tejaningrat belum juga menemukan calon istri. Oleh karena itu, Pangeran Tejaningrat memutuskan pulang.
Dalam perjalanan pulang, Pangeran Tejaningrat singgah di Kepatihan, tempat tinggal kakeknya. Kebetulan, di tempat kakeknya itu ada seorang putri yang berasal dari Kabupaten Madiun, Jawa Timur, yang sedang belajar tata krama. Larah Hoyi nama putri itu.
Tidak disangka dan tidak direncanakan, Pangeran Tejaningrat bertemu dengan Larah Hoyi. Melihat parasnya yang sangat cantik, Pangeran Tejaningrat jatuh hati kepadanya. Seketika itu juga, Pangeran Tejaningrat menyampaikan isi hatinya kepada kakeknya.
“Kakek, siapakah perempuan itu?” tanya Pangeran Tejaningrat. “Dia bernama Larah Hoyi.”
”Wah, namanya sangat menarik. Dia berasal dari mana?” ”Dia berasal dari Madiun.” ”Mengapa tinggal di tempat Kakek?” ”Dia tinggal di sini karena sedang belajar tata krama.” ”Siapa yang mengajarinya tata krama?” ”Karena tinggal bersama Kakek, tentu yang mengajarinya tata krama juga Kakek.” ”Apakah Pangeran Tejaningrat boleh mengikuti belajar tata krama kepada Kakek?” ”Tentu saja boleh. Namun, Pangeran Tejaningrat harus pulang dulu untuk meminta izin kepada Ayahanda
.” ”Pangeran Tejaningrat tidak perlu pulang untuk meminta izin kepada Ayahanda karena sedang berpetualang.” ”Berpetualang?” ”Ya, Pangeran Tejaningrat sedang berpetualang.
Pangeran Tejaningrat telah izin kepada Ayahanda untuk berpetualang.” ”Jika demikian, silakan Pangeran Tejaningrat belajar tata krama!”
Sejak itu Pangeran Tejaningrat dan Larah Hoyi belajar tata krama kepada kakeknya. Setiap hari mereka belajar bersama. Tidak heran jika Pangeran Tejaningrat semakin jatuh hati kepada Larah Hoyi.
Sang kakek sedang santai di balai. Dia duduk seorang diri. Kesempatan yang baik itu digunakan Pangeran Tejaningrat untuk mencurahkan isi hatinya kepada kakek. “Kek, bolehkah Pangeran Tejaningrat menyampaikan sesuatu kepada Kakek?”
”Apa yang hendak Pangeran Tejaningrat sampaikan kepada Kakek?” ”Pangeran Tejaningrat hendak menyampaikan sesuatu ....” ”Sesuatu apa yang hendak Pangeran Tejaningrat sampaikan?” ”Kek, apakah tidak salah jika Pangeran Tejaningrat
....” ”Jika Pangeran Tejaningrat bagaimana?” ”Jika Pangeran Tejaningrat menyenangi Larah
Hoyi.” ”Dalam ilmu tata krama, setiap orang harus senang atau suka kepada orang lain. Orang dilarang benci kepada orang lain,” jawab Kakek panjang lebar.
”Bukan itu, maksud Pangeran Tejaningrat, Kek.” ”Lalu, apa maksud Pangeran Tejaningrat?”
”Pangeran Tejaningrat mencintai Larah Hoyi.” ”Mencintai Larah Hoyi?” ”Pangeran Tejaningrat tidak hanya mencintai, tetapi menginginkan Larah Hoyi menjadi pendamping
Pangeran Tejaningrat.” ”Hahahaha,” tawa Kakek.
“Tentu saja tidak salah jika Pangeran Tejaningrat menginginkannya menjadi pendamping. Namun ...,” “Namun apa, Kek?” Kakek terlihat bingung. Beberapa lama Kakek mengernyitkan kening. “Namun, sebaiknya Pangeran Tejaningrat tidak memilihnya sebagai pendamping hidupnya.” Pangeran Tejaningrat diam. Pangeran Tejaningrat tidak mengerti mengapa Kakek menjawab demikian. “Mengapa, Kek?” Kakek berganti diam. Kakek sangat berat untuk menjawab pertanyaan Pangeran Tejaningrat. Setelah beberapa lama diam, akhirnya Kakek menjelaskan masalahnya kepada Pangeran Tejaningrat.
“Pangeran Tejaningrat, Larah Hoyi itu ....” ”Larah Hoyi itu bagaimana, Kakek?” ”Larah Hoyi itu adalah calon selir ayah Pangeran
Tejaningrat.”
Pangeran Tejaningrat terkejut mendengar jawaban Kakek. Muka dan telinga Pangeran Tejaningrat mendadak merah.
”Namun, karena ayah Pangeran Tejaningrat telah mempunyai beberapa selir, Kakek mengizinkan Larah Hoyi menjadi pendamping Pangeran Tejaningrat.”
Setelah mendengar jawaban kakeknya, muka Pangeran Tejaningrat terlihat girang. Berkali-kali Pangeran Tejaningrat mengucapkan terima kasih kepada kakeknya.
Suatu hari, setelah belajar tata krama, Kakek mengundang Pangeran Tejaningrat dan Larah Hoyi berkumpul di ruang tamu. Mereka pun segera memenuhi keinginan Kakek. Kemudian, secara pelan Kakek menyampaikan keinginan Pangeran Tejaningrat kepada Larah Hoyi.
”Sengaja Kakek mengumpulkan kalian di ruang ini. Kakek ingin menyampaikan sesuatu, khususnya untuk Larah Hoyi,” kata Kakek.
”Mengapa hanya untuk Larah Hoyi?” tanya Larah Hoyi. ”Karena yang akan kakek sampaikan adalah keinginan Pangeran Tejaningrat.” Pangeran Tejaningrat tersenyum setelah mendengar kata-kata Kakek.
”Keinginan apa, Kek?” tanya Larah Hoyi. ”Begini, Larah Hoyi. Pangeran Tejaningrat meminta agar Kakek menyampaikan sesuatu kepada Larah Hoyi.” ”Apa itu, Kek?” ”Pangeran Tejaningrat menginginkan agar Larah
Hoyi bersedia menjadi pendamping hidupnya.” Larah Hoyi menunduk diam. Namun, wajahnya menampakkan kegembiraan.
”Bagaimana, Larah Hoyi?” tanya Kakek. Larah Hoyi tetap menunduk dan diam. ”Jika Larah Hoyi menerima keinginan Pangeran
Tejaningrat, Kakek segera memberitahukannya kepada Ayahanda Pangeran Tejaningrat.” Dengan malu-malu Larah Hoyi mengangguk. Pangeran Tejaningrat pun tersenyum setelah melihat Larah Hoyi mengangguk.
Pada esok harinya Kakek dengan ditemani oleh seorang muda pergi menjumpai Sunan Amangkurat. Setiba di sana, dengan pelan Kakek memberi tahu perihal itu kepada Sunan Amangkurat. Sunan amat marah setelah mendengar berita itu. Seketika itu pula Sunan Amangkurat memerintah beberapa utusannya menjemput Pangeran Tejaningrat.
Pada hari itu pula Pangeran Tejaningrat pulang dengan dikawal oleh beberapa orang utusan. Pangeran Tejaningrat tidak mengetahui jika Ayahanda nya sedang marah. Setiba di hadapan Ayahanda , Pangeran Tejaningrat melaporkan bahwa dirinya telah mendapatkan calon pendamping.
“Ayahanda , Ananda pulang. Ananda membawa berita gembira. Ananda telah mendapatkan calon pendamping,” kata Pangeran Tejaningrat Tejaningrat.
“Siapa calon pendamping Ananda ?” tanya Sunan Amangkurat. “Larah Hoyi,” jawab Pangeran Tejaningrat tegas. ”Siapa Larah Hoyi itu?” ”Larah Hoyi adalah seorang perempuan yang berasal dari Madiun. Pada saat ini Larah Hoyi sedang belajar tata krama di rumah Kakek.”
“Ananda memang anak yang patuh. Ananda telah melaksanakan keinginan Ayahanda untuk mencari calon pendampingi.”
”Terima kasih atas pujian Ayahanda ,” kata Pangeran Tejaningrat. ”Sekarang, jika Ananda benar-benar anak yang patuh, Ayahanda meminta agar Pangeran Tejaningrat menjauhinya.”
Pangeran Tejaningrat terkejut setelah mendengar jawaban Ayahanda nya yang demikian itu.
”Mengapa Ayahanda tiba-tiba mememinta Ananda menjauhi Larah Hoyi? Bukankah Kakek telah mengizinkan Ananda memilih Larah Hoyi menjadi calon pendamping? Bukankah kakek telah memberitahukannya kepada Ayahanda ?” Sunan Amangkurat bingung. Lidah Sunan terasa kelu untuk menjelaskan mengapa Pangeran Tejaningrat harus menjauhi Larah Hoyi.
Sebagai anak yang patuh terhadap perintah orang tua, Pangeran Tejaningrat memenuhi keinginan Ayahanda nya. Pangeran Tejaningrat segera pergi ke tempat Kakek untuk memutus hubungannya dengan Larah Hoyi.
Siang itu Kakek sedang tidak berada di rumah. Pada kesempatan itu, Pangeran Tejaningrat menyampaikan putus hubungan kepada Larah Hoyi. Telinga Larah Hoyi bak mendengar suara petir setelah Pangeran Tejaningrat menyampaikan kata-kata putus. Larah Hoyi menangis tersedu-sedu.
Tidak berapa lama setelah Pangeran Tejaningrat pergi, Kakek pulang. Kakek melihat Larah Hoyi menangis tersedu-sedu. Kakek bingung menghadapinya.
Malam itu Pangeran Tejaningrat telah sampai di hadapan Ayahandanya. Pangeran Tejaningrat memberi tahu bahwa dirinya telah meutuskan hubungan dengan Larah Hoyi. Sunan Amangkurat amat senang menderita berita itu. Sunan Amangkurat lalu mempersilakan Pangeran Tejaningrat pergi kembali.
Pagi itu, dengan hati yang kesal, Pangeran Tejaningrat meninggalkan Mataram tanpa arah dan tujuan. Dalam perjalanan, dia bertemu dengan orang dari Madura ,Trunajaya namanya.
“Hai, pemuda, siapa namamu?” tanya Trunajaya. “Namaku Pangeran Tejaningrat,“ jawab Pangeran Tejaningrat.