Konstruksi Media Massa Dalam Sampul Depan Majalah(Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah Time)

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Paradigma Penelitian II.1.1 Paradigma Konstruktivis Kritis Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang ada

  dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan bentuk cara pandangnya terhadap dunia. Lincoln dan Guba mendefinisikan paradigma sebagai serangkaian keyakinan-keyakinan dasar (basic beliefs) atau metafisika yang berhubungan dengan prinsip-prinsip pokok. Paradigma ini menggambarkan suatu pandangan dunia (worldview) yang menentukan (Sunarto dan Hermawan, 2011: 4).

  Menurut Guba dan Lincoln ada empat macam paradigma, yaitu: positivisme, post-positivisme, konstruktivisme dan kritis. Sedangkan Cresswel membedakan dua macam paradigma, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Sunarto dan Hermawan, 2011: 9). Dalam penelitian ini digunakan paradigma konstruktivis kritis yang akan melandasi pelaksanaan penelitian.

  Konsep mengenai konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretif, Peter L Berger bersama Thomas Luckman. Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah sebagai realitas natural, tetapi hasil dari konstruksi. Konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2001: 37).

  Sejarah konstruktivisme dapat dirunut pada teori Popper yang membedakan pengertian alam semesta menjadi tiga. Pertama, dunia fisik atau keadaan fisik. Kedua, dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku.

  Ketiga , dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah,

  puitis dan seni. Menurutnya, objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik melainkan melalui dunia pemikiran manusia. Pemikiran inilah yang kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru

  9 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia.

  Konstruktivisme berpendapat bahwa semesta secara epistemologi merupakan hasil konstruksi sosial. Pengetahuan manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan dan bukan dari reproduksi kenyataan.

  Berangkat dari penjelasan teoritik tadi, konstruktivisme merujukkan pengetahuan pada konstruksi yang sudah ada di benak subjek. Namun konstruktivisme juga meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi melainkan proses panjang sejumlah pengalaman. Ada banyak situasi yang memaksa seseorang untuk mengadakan perubahan. Menurut Bettencourt, situasi perubahan tersebut meliputi: konteks tindakan, konteks membuat masuk akal, konteks penjelasan dan konteks pembenaran (Ardianto, 2007: 156-157).

  Paradigma konstruktivis ini mendasarkan pada penafsiran teks yang menjadi objek dalam penelitian. Dalam proses penafsiran teks, pengalaman, latar belakang hingga perasaan peneliti dapat mempengaruhi hasil penelitian.

  Dalam penelitian ini, akan digunakan dua paradigma sebagai arah bagi penelitian yang akan dilakukan, yaitu paradigma konstruktivis dan paradigma kritis. Seperti yang telah dijelaskan tadi, konsentrasi analisis pada paradigma konstruktivis adalah menemukan bagaimana peristiwa atau realitas tersebut dikonstruksi, dan dengan cara apa konstruksi itu dibentuk. Paradigma kritis membantu peneliti untuk mengungkap lebih dalam dan lebih radikal mengenai segala hal yang berhubungan dengan objek penelitian.

  Salah satu sifat dasar dari paradigma kritis adalah selalu curiga dan mempertanyakan. Teori kritis lahir sebagai koreksi dari pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional.

  Analisis kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat (Ardianto, 2007: 187).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Paradigma kritis tidak bisa terhindar dari unsur subjektivitas peneliti. Paradigma kritis memungkinkan penafsiran yang berbeda dari peneliti lain tentang gejala sosial yang sama.

  II.2 Uraian Teoritis

  Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan masalah. Untuk itu, perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian akan disorot (Nawawi, 2001: 39). Maka, teori yang relevan untuk penelitian ini adalah:

  II.2.1 Semiotika

  Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari kata yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang–atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya–dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota (Wibowo, 2011: 5).

  Secara garis besar, teori tentang tanda, manusia, dan makna dapat dibagi atas tiga kelompok besar, yakni struktural, pragmatis, dan gabungan keduanya. Peneliti telah merangkumnya lewat penjelasan berikut (dalam Hoed, 2014: 5-13):

1. Semiotik Pragmatis

  Tokoh semiotik pragmatis yang terkenal adalah Charles Sanders Peirce (Amerika), dengan konsep “pan-semiotik” miliknya (1839–1914). Pan-semiotik adalah pandangan Peirce tentang tanda yang merupakan segala hal, baik fisik maupun mental, baik di dunia maupun jagat raya semesta, baik di dalam kognisi manusia maupun sistem biologi manusia dan hewan, yang diberi makna oleh manusia. Bagi Peirce, tanda adalah tanda hanya apabila bermakna bagi manusia.

  Bagi Peirce, tanda dan pemaknaannya bukanlah struktur melainkan suatu proses kognitif yang disebutnya sebagai proses pemaknaan dan penafsiran tanda, atau dikenal sebagai proses semiosis. Proses semiosis ini dilakukan melalui tiga

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  tahap, yaitu tahap penyerapan representamen, tahap object, dan tahap interpretant .

  Tahap pertama adalah penyerapan aspek representamen tanda (melalui pancaindra manusia), tahap kedua kemudian mengaitkan representamen secara spontan dengan pengalaman dalam kognisi manusia yang memaknai

  

representamen , yaitu object. Tahap ketiga yaitu interpretant, menafsirkan object

  sesuai keinginannya. Cara pemaknaan tanda melalui kaitan antara representamen dengan object didasari oleh pemikiran bahwa object tidak selalu sama dengan kenyataan yang diberikan oleh representamen, namun object timbul karena pengalaman memberi makna pada tanda. Proses inilah yang disebut semiosis. Karena ada tiga tahap dalam memaknai tanda, maka teori Peirce disebut bersifat trikotomis (tripihak).

  Semiosis dapat berlanjut melalui interpretant yang menjadi representamen baru dan kemudian menghasilkan interpretant yang menjadi representamen baru.

  

Representamen pada tahap lanjutan ini merupakan sesuatu yang terdapat dalam

  pikiran manusia. Menurut Peirce semiosis dapat terus berlanjut terus tanpa akhir, ia menyebutnya sebagai “unlimited semiosis,” Namun Umberto Eco telah membantahnya. Menurutnya, proses semiosis yang berlanjut itu dapat terhenti ketika seseorang dibatasi oleh aturan budaya (prinsip-prinsip supra-individual) yang tidak memberikan kemungkinan lagi untuk melakukan proses semiosis lanjutan.

  Proses semiosis ini bertolak pada hal yang konkret (representamen; melalui pancaindra), maka semiosis ini disebut semiotik pragmatik. Teori semiotik Peirce mendefinisikan tanda sebagai “something that represents

  

something else, ” atau tanda adalah representamen yang secara spontan mewakili

objek. Kata mewakili di sini berkaitan secara kognitif, atau secara sederhana dapat

  dikatakan sebagai proses pemaknaan. Terdapat kaitan antara “realitas” dan “apa yang berada dalam kognisi manusia.” Pengertian ini menjadi lebih jelas ketika kita memasuki tiga kategori tanda (unsur makna) berdasarkan sifat hubungan antara representamen dan object menurut Peirce.

  Kategori pertama adalah index, yakni tanda yang hubungan antara

  

representamen dan objectnya bersifat kausal atau kontigu. Kategori kedua adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  icon , kategori tanda yang representamennya memiliki keserupaan identitas

  dengan object yang ada dalam kognisi manusia yang bersangkutan. Kategori ketiga adalah symbol, tanda yang makna representamennya diberikan berdasarkan konvensi sosial.

  Setelah Peirce, dalam semiotik pragmatik juga ada Danesi dan Perron yang mengembangkan teori Peirce tentang semiosis melalui proses pemaknaan tanda pada manusia. Semiosis berlanjut tidak terjadi dalam diri seseorang semata, tetapi dapat terjadi pada tataran sosial sebagai suatu proses “getok tular.” Ketika tanda memasuki ranah sosial budaya, tanda menjadi bagian dari apa yang oleh Danesi dan Perron sebut sebagai “the signifying orders.” Fenomena ini juga dikenal dengan nama “dari mulut ke mulut.”

2. Semiotik Struktural

  Strukturalisme lahir dari pemikiran Ferdinand de Saussure (1857–1913) melalui kuliah-kuliahnya di Universitas Jenewa, Swiss, dan juga melalui buku anumerta Cours de linguistique générale (terbit 1917)–buku kumpulan kuliah de Saussure–yang dibukukan oleh dua mantan mahasiswanya, yaitu Charles Bally dan Albert Sechehaye. Menurut Dosse (1991: 12) dalam Hoed (2014: 65), hanya ditemukan tiga kata structure dalam buku anumerta Cours de linguistique

  générale. Namun, kaidah struktural yang dikemukakan de Saussure dalam konsep

  sintagmatik dan asosiatif digunakan sebagai dasar untuk menggambarkan sebuah struktur dan sistem. De Saussure ingin mengemukakan bahwa bahasa dapat dikaji dengan teori mandiri yang disebutnya ”linguistique.” De Saussure memperkenalkan empat konsep penting yang masing-masing ditampilkan secara dikotomis (dwipihak; menggunakan model dua pihak), yaitu (1) langue vs. parole, (2) sintagmatik vs. paradigmatik, (3) sinkroni vs. diakroni, (4) signifiant vs.

  signifié.

  (1) Secara sederhana, langue adalah langage dikurangi parole. Langue adalah aspek sosial dari langage (bahasa sebagai gejala sosial), sedangkan parole adalah tataran praktik berbahasa dalam masyarakat, manifestasi langue. (2) Konsep sintagmatik dan paradigmatik menyangkut sifat relasi (hubungan) antarkomponen di dalam struktur dan sistem. Relasi sintagmatik adalah relasi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  antarkomponen di dalam struktur yang sama (in praesentia), sedangkan relasi paradigmatik adalah relasi antarkomponen dalam suatu struktur dan komponen lain di luar struktur itu, bersifat asosiatif (in absentia). (3) Sinkroni dan diakroni merupakan konsep ruang dan waktu untuk melihat suatu gejala kebahasaan. Sinkroni yaitu pada lapisan ruang dan waktu tertentu, sedangkan diakronis yaitu melihat perkembangannya dari satu lapisan waktu ke lapisan waktu yang lain. Sinkroni merupakan dasar analisis diakronis. (4) De Saussure mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen, yaitu aspek citra tentang bunyi (semacam kata atau representasi visual) dan sebuah konsep di mana citra bunyi disandarkan. Tanda itu sendiri merupakan manifestasi konkret dari citra bunyi dan diidentifikasikan sebagai signifiant (penanda) dan signifié (petanda).

  Gambar II.1 Elemen-Elemen Makna Saussure

  Sign Composed of

  Signification Signifier Signified External reality of meaning

  (Physycal Existence) (Mental Concept)

Sumber: John Fsiske, Introduction to Communication Studies, 1990, hlm.

  44 (Sobur, 2004: 125)

  De Saussure mengutamakan bahasa lisan sebagai sumber bahasa yang sesungguhnya. Sama seperti konsep humanistik yang dikemukakan Husserl bahwa bahasa bersumber dari “Suara” manusia, sedangkan de Saussure menempatkan bahasa sebagai “kenyataan sosial” yang dimaknai secara sosial pula. De Saussure

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  mengatakan bahwa bahasa tulisan merupakan derivat/representasi dari bahasa lisan, sehingga bahasa lisan itulah objek kajian utama linguistik.

  Bagi de Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat bebas (arbitrer), yakni arbitrer dalam pengertian penanda tidak mempunyai hubungan alamiah dengan petanda (Sobur, 2004: 31-32). Pada dasarnya apa yang disebut sebagai penanda dan petanda merupakan produk kebudayaan yang hubungan di antara keduanya bersifat arbitrer dan hanya berdasarkan pada konvensi, kesepakatan atau peraturan dari budaya pemakai bahasa tersebut.

  Hubungan antara penanda dengan petanda secara bersamaan membentuk tanda, keduanya tidak terlepas satu sama lain. Keduanya membentuk satu kesatuan yang sering kali disebut sebagai struktur. Begitu pula hubungan antara “langue” dan “parole,” keduanya tak terpisahkan sehingga membentuk sebuah struktur, yakni “langage.” Hierarki oposisi biner dalam pemaknaan de Saussure (pertinensi dan komutasi dalam kaidah analisis struktural) inilah yang menjadikan semiotika ini disebut semiotik struktural.

  Perkembangan dari strukturalisme ke semiotik terbagi dua, yakni yang sifatnya melanjutkan, yakni kontinuitas (Hjemslev, Barthes), dan yang sifatnya mulai meninggalkan tapi masih memperlihatkan dasar strukturalismenya, yakni

  

evolusi (Foucault, Lacan, Ricœur, Derrida). Dalam perkembangan selanjutnya,

  Barthes misalnya, tidak melepaskan kaidah-kaidah analisis struktural (Hoed, 2014: 44).

II.2.2 Semiologi Roland Barthes

  Roland Barthes (1915-1980) adalah salah satu tokoh semiotika struktural sampai pascastruktural. Sebagai penerus de Saussure, Barthes setuju dengan konsep oposisi biner penanda dan petanda milik de Saussure. Barthes dan de Saussure sama-sama menganut teori tanda yang dikotomis atau diadik, yaitu tanda terdiri dari dua komponen yang berbeda tetapi berkaitan erat satu sama lain seperti dua sisi selembar kertas. Konsep oposisi biner dan hubungannya (sintagmatik dan paradigmatik) yang dikembangkan de Saussure inilah yang kemudian menjadi cikal bakal strukturalisme.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Barthes lahir tahun 1915 dari keluarga kelas menengah Protestan di Cherbourg dan dibesarkan di Bayonne, kota kecil dekat pantai Atlantik di sebelah barat daya Prancis. Pada 1976, Barthes diangkat sebagai profesor untuk “semiologi literer” di College de France. Barthes telah banyak menulis buku dan mencipta karya, antara lain: Le degre zero de l’ecriture atau “Nol Derajat di Bidang Menulis” (1953, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Writing Degree

  Zero , 1977), Michelet (1954), Mythologies (1957), Criticial Essays (1964),

Eléments de sémiologie (1964), Criticism and Truth (1966), The Fashion System

  (1967), S / Z (1970), The Empire of Sign (1970), Sade, Fourier, Loyola (1971),

  

The Pleasure of the Text (1973), Roland Barthes by Roland Barthes (1975), The

Death of Author (1977), A Lover’s Discourse: Fragments (1977), Camera Lucida: Reflections on Photography (1980), The Grain of the Voice: Interviews 1962-1980

  (1981), The Responsibility of Forms (1982), L’aventure Sémiologique (1985), dan banyak lagi karya serta tulisan Barthes lainnya (Sobur, 2004: 63-67).

  Semiologi Barthes pada awalnya didasarkan pada kritik budaya, eksplorasi tanda-tanda, budaya massa sebagai bentuk mitos yang menandai hadirnya petit

  

bourgeois (borjuis kecil) yang dianggap sebagai representasi universal. Pada

  tulisannya yang berjudul Systéme de la Mode (Sistem Mode) (Barthes, 1967), ia menjelaskan bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam dunia mode penuh dengan idealisme kaum borjuis. Seperti konsep mode celana gentleman yang dianggap cocok dengan jas dan dasi, diterima oleh masyarakat seakan-akan sebagai sebuah kebenaran absolut (Barthes, 2007: vi).

  Teori semiologi Barthes secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure. De Saussure mengemukakan empat konsep teoritis, yakni konsep langue-parole, signifiant-signifié, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni- diakroni. Empat konsep dasar ini digunakan dan dikembangkan oleh Barthes dalam bukunya Eléments de sémiologie (1964) yang terbit di Paris (Penerbit Seuil). Dua dari beberapa konsep yang dikembangkan oleh Barthes, yaitu sintagmatik dan paradigmatik, denotasi dan konotasi.

  Barthes mengembangkan pandangan sintagmatik dan paradigmatik dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme merupakan suatu susunan yang didasari oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  hubungan sintagmatik, sintagme berbeda dari sistem. Barthes menjelaskannya lewat pengamatannya terhadap mode busana. Secara singkat, sintagme merupakan gatra (ruang kosong) yang memiliki “fungsi” masing-masing. Keseluruhan urutan sintagme tersebut membentuk sebuah struktur. Dalam hal mode busana, terdapat proses diferensiasi (memiliki tempat sendiri serta masing-masing saling membedakan) antar sintagme sehingga membentuk makna masing-masing, dan karenanya sintagme-sintagme itu berada dalam suatu relasi paradigmatik. Sementara itu, dalam hal praktik busana, sintagme-sintagme tersusun sesuai dengan tempatnya pada tubuh manusia, terjukstaposisi dalam suatu susunan. Susunan tersebut disebut susunan sintagmatik (Hoed, 2014: 23).

  Dalam sistem busana kita, terdapat (a) tutup kepala, (b) pelindung tubuh bagian atas, (c) pelindung tubuh bagian bawah, (d) alas kaki. Dalam kebudayaan busana di dunia, masing-masing mempunyai ciri fisik yang berbeda dan diberi nama khusus. Misalnya untuk (a) topi, peci, lobe, kerudung; (b) baju, blus, blazer,

  

tank top , t-shirt, kaftan, jas; (c) celana panjang, celana pendek, jeans, kain sarung;

  (d) sepatu, sendal, terompah, geta. Urutan (a) sampai (d) merupakan urutan sintagmatis, setiap bagian atau gabungannya merupakan sintagme, sintagme- sintagme tersebut berada dalam relasi paradigmatik karena setiap sintagme sudah memiliki tempatnya sendiri serta saling membedakan sehingga membentuk makna masing-masing (Hoed, 2014: 23-24).

  Barthes kemudian mengembangkan model dikotomis penanda-petanda de Saussure menjadi lebih dinamis. Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya, penanda adalah “ekspresi” (E) tanda, sedangkan petanda ada “isi” (dalam bahasa Prancis contenu [C]), dan tanda adalah “relasi” R antara E dan C. model tersebut dikenal dengan E-R-C (Hoed, 2014: 25)

  Model E-R-C disebut juga sebagai pemaknaan sistem “pertama” (denotasi). Biasanya pemakai tanda mengembangkan pemakaian tanda ke dua arah, ke dalam apa yang disebut Barthes sebagai sistem “kedua” (metabahasa dan konotasi). Metabahasa adalah pengembangan makna pada segi E, dan membentuk “kesinoniman.” Segi ini merupakan segi “retorika bahasa” (bahasa dalam arti umum). Jika pengembangan itu berproses ke arah C, yang terjadi adalah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  pengembangan makna yang disebut konotasi. Konotasi merupakan segi “ideologi” tanda. Berikut adalah peta tanda metabahasa dan konotasi Roland Barthes:

  Gambar II.2 Peta Tanda Metabahasa dan Konotasi Roland Barthes

  dukun paranormal E R C sistem sekunder

  2

  2

  2

  orang pintar METABAHASA E

1 R

  1 C 1 sistem primer

  Orang yang pandai DENOTASI dukun mengobati secara spiritual

  Tanda sistem sekunder E

  2 R

  2 C

  2 KONOTASI orang jahat, kaki tangan

  setan, syirik dan musyrik

  Sumber: Barthes, 1957, 1964 (dalam Hoed, 2014: 97-98) (dengan sedikit penambahan interpretasi dari peneliti)

  Konotasi adalah makna baru yang diberikan oleh pemakai tanda sesuai dengan keinginan latar belakang pengetahuan serta konvensi sosial yang ada di dalam masyarakatnya. Dalam teori linguistik, konotasi tidak dijelaskan sebagai makna dalam rangka E dan C, tetapi merupakan reaksi (pemberian nilai) terhadap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  suatu tanda. Misalnya pada kata mati, meninggal, tutup usia, pemilihan kata tersebut berdasarkan penilaian atas setiap kata itu (reaksi emosional): kasar, halus, pantas, tidak pantas, positif atau negatif.

  Barthes menggunakan konsep konotasi untuk membahas makna gejala budaya. Dalam bukunya Mythologies (1957), Barthes menggunakan konotasi untuk melakukan kritik budaya. Seperti konotasi le vin (minuman anggur) sebagai “minuman totem” (boisson-totem), yakni minuman yang berkonotasi “keprancisan” (Frenchness).

  Bagi masyarakat Prancis, minuman anggur bukan sekadar minuman beralkohol, melainkan minuman yang dirasakan sebagai pemameran (étalement,

  

display ; sebagai ajang unjuk gigi dan prestise) kesenangan (étalement d’un

plaisir ), bukan sekadar minuman memabukkan yang membawa pada tindakan

  bercinta (philtre), melainkan suatu tindakan minum yang berefek jangka panjang dalam kehidupan sosial, sedangkan tindakan minumnya memiliki nilai retoris. Menurut Barthes, konotasi minuman anggur berakar pada kebudayaan Prancis selama berabad-abad sehingga menjadi mitos (Hoed, 2014: 25-26).

  Barthes berbicara tentang mitos melalui proses konotasi (pengembangan model penanda-petanda de Saussure) yang hidup dalam masyarakat tertentu. Bila konotasi menjadi tetap, maka akan menjadi mitos. Bila mitos menjadi mantap akan menjadi ideologi. Penekanan teori tentang tanda Barthes adalah pada konotasi dan mitos.

  Model konotasi Barthes dapat diterapkan pada kebudayaan nonbahasa. Modelnya dapat diterapkan pada simbol atau ikon suatu hal. Misalnya pada masyarakat tertentu, bendera Nabi Muhammad SAW bukan sekedar bendera perang dan persatuan umat Muslim. Relasi [R] antara E (konsep bendera Nabi Muhammad SAW) dan C (Salah satu lambang yang mewakili umat Muslim dan bendera perang Nabi Muhammad SAW) pada sistem primernya memang demikian. Akan tetapi untuk kalangan tertentu, terjadi perkembangan C dalam sistem sekundernya, yakni ‘lambang teroris,’ ‘bendera ISIS.’ Relasi antara E dan C berubah dalam sistem sekundernya. Ini adalah suatu gejala konotasi yang semakin menguat sejak sepak terjang kelompok ekstrimis ISIS yang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  mengatasnamakan Agama Islam dalam menduduki wilayah-wilayah Timur Tengah demi membentuk Negara Islam Irak dan Suriah.

  Saat berbicara mitos, maka kita akan berbicara mengenai kajian budaya masyarakat setempat. Proses konotasi menjadi mitos sudah jauh dari konsep awal de Saussure. Walaupun strukturalisme de Saussure masih terlihat di sini, tapi Barthes telah meninggalkan de Saussure jauh di depan. Pada tahap konotasi, mitos dan ideologi, Barthes tidak lagi masuk pada kaum strukturalis, tapi sudah masuk pada golongan awal pascastrukturalis.

II.2.3 Evolusi Pascastruktural Dalam perkembangannya, strukturalisme bersifat kontinuitas dan evolusi.

  Bersifat kontinuitas yaitu berangkat dari oposisi biner dan kaidah semiotik struktural de Saussure. Perkembangan strukturalisme juga mengalami apa yang disebut Nöth sebut “evolusi.” Terdapat perubahan evolusioner dari kaidah-kaidah strukturalis dalam pemikiran sejumlah tokoh (Lacan, Ricœur, Barthes, Kristeva, Derrida).

  Pada awalnya, Barthes masih sangat “dekat” dengan de Saussure seperti halnya Louis Hjelmslev (1899-1965; Hjelmslev merupakan pendiri aliran strukturalis dalam linguistik yang dikenal dengan nama glossematics atau aliran linguistik Kopenhagen). Menurut Barthes, apa yang dikemukakan de Saussure masih berada pada tanda yang berlaku umum dan terkendali secara sosial, ia menyebutnya “denotasi” atau sistem tanda “sistem pertama” yang ia kembangkan menjadi “metabahasa dan konotasi” atau “sistem kedua.”

  Barthes kemudian mengembangkan teori konotasi ini sebagai dasar untuk mengkaji budaya dan membangun teori tentang kebudayaan, yaitu teori tentang mitos. Barthes mengemukakan bahwa mitos adalah bahasa: “le mythe est une

  

parole, ” dalam pengertian khusus ini Barthes mengemukakan bahwa mitos

merupakan perkembangan dari konotasi.

  Dalam Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, mitos adalah kata benda yang memiliki arti: dongeng, kepercayaan, keyakinan, mite (Departemen Pendidikan Nasional, 2009). Sobur (2004: 209) mengatakan bahwa mitos adalah uraian naratif atau penuturan tentang sesuatu yang suci (sacred), yaitu kejadian-kejadian

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  luar biasa, di luar dan mengatasi pengalaman manusia sehari-hari dalam wujud dongeng-dongeng, atau legenda tentang dunia supra-natural. Karena itu studi tentang mitos biasanya digali dari cerita-cerita rakyat (folklore). Namun menurut Hoed (2014: 78), definisi Webster’s Dictionary lebih mendekati pengertian umum untuk menjelaskan mitos pada Barthes, yaitu: a popular belief or tradition that

  

has grown up around something or someone (Webster’s Dictionary 1991; salah

satu definisi).

  Barthes mengatakan bahwa mitos merupakan sistem semiologis (sistem tanda-tanda yang dimaknai manusia) yang bersifat arbitrer sehingga terbuka untuk berbagai kemungkinan. Namun dalam kebudayaan massa (la culture de masse), konotasi terbentuk oleh kekuatan mayoritas atau kekuasaan yang memberikan konotasi tertentu pada suatu hal sehingga lama-kelamaan menjadi mitos (Hoed, 2014: 79).

  Mitos juga merupakan wahana dimana suatu ideologi berwujud. Satu tanda dapat memiliki banyak konotasi, namun konotasi dominan ataupun dari mereka yang berkuasalah yang diterima sebagai konvensi bersama. Pendekatan Barthes ini memungkinkan untuk menempatkan teks pada konteks sosial, budaya, politis dan mengekspos sifat dasar teks yang ideologis (Gray, 2003: 13).

  Salah satu kekuatan mayoritas dan kekuasaan tersebut adalah media massa. Mitos dieksploitasi sebagai media komunikasi lewat konotasi, sebagaimana kritik budaya Barthes tentang sistem busana masyarakat Prancis dalam tulisannya Systéme de la Mode. Dalam Image, Music, Text (1977) Barthes bahkan membahas fotografi, musik dan teks sebagai bahasa (Hoed, 2014: 83).

  Salah satu wilayah penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (The Reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes menunjukkan perhatiannya pada teks sebagai manifestasi parole dan pemaknaannya. Baginya, teks dimaknai oleh pembacanya sehingga dalam hal ini pembaca memainkan peran penting.

  Dalam bukunya Barthes S / Z (1970), ia menganalisis sebuah novel kecil yang kurang dikenal berjudul Sarrasine, ditulis oleh sastrawan Prancis abad ke-19 Honore de Balzac. Barthes berpendapat bahwa teks Sarrasine terangkai dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  kode-kode rasionalisasi, suatu proses yang mirip dengan yang terlihat dalam retorika tentang tanda mode. Ada lima kode yang ditinjau Barthes (Sobur, 2004: 65-66), yaitu: 1.

  Kode hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks.

  Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

  2. Kode semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita.

3. Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pascastruktural.

  Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes.

  4. Kode proairetik atau kode tindakan/lakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi. Namun pada praktiknya, ia menerapkan beberapa seleksi. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.

  5. Kode gnomik atau kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu.

  Dalam buku The Death of Author (1977), Barthes banyak memaparkan tentang peran pengarang, buku dan teksnya. “Kita tahu bahwa suatu teks terdiri bukan dari suatu barisan kata-kata yang melepaskan suatu ‘makna teologis” (artinya, pesan dari Tuhan-Pengarang), tetapi suatu ruang multidimensi di mana telah dikawinkan dan dipertentangkan beberapa tulisan, tidak ada yang asli darinya: teks adalah suatu tenunan kutipan, berasal dari seribu sumber budaya” (Sobur, 2004: 67). Barthes juga mengemukakan bahwa teks adalah sesuatu yang dinikmati secara badaniah, le plaisir du texte atau “nikmatnya teks” yang didasari kenikmatan badaniah dan kemudian memasuki ranah keinginan (désir).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Berdasarkan pemahaman dan diskusi mendalam dengan beberapa dosen semiotika, peneliti menarik kesimpulan bahwa aspek intertekstualitas terlihat jelas dalam buku The Death of Author milik Barthes tersebut. Intertekstualitas maksudnya adalah produksi teks tidak bersumber pada satu subjek saja, tetapi melalui subjek itu terjadi proses yang berasal dari berbagai teks lain yang diketahuinya. Konsep yang dipopulerkan oleh Kristeva ini mirip dengan konsep yang diusung Barthes dalam buku The Death of Author. Bedanya, dalam konsep intertekstual milik Kristeva kajian ini lebih condong ke arah bahasa sastra, sedangkan Barthes pada teks seluruhnya.

  Barthes sudah pergi jauh dari konsep de Saussure dan strukturalisme, namun bukan berarti lepas dari strukturalisme sepenuhnya. Konsep-konsep dasar de Saussure dan strukturalis masih terlihat, dan alat analisisnya juga masih menggunakan sebagian dari tujuh kaidah analisis struktural.

  Konotasi bekerja dalam tingkat subjektif sehingga kehadirannya tidak disadari. Sehingga, salah satu tujuan analisis semiotik adalah untuk menyediakan metode analisis dan kerangka berpikir untuk mengatasi salah baca (misreading). Konotasi yang sudah mantap akan menjadi mitos, mitos yang sudah mengakar akan menjadi ideologi. Ideologi ada selama kebudayaan ada, dan itulah sebabnya dalam buku S / Z Barthes berbicara tentang konotasi sebagai suatu ekspresi budaya.

II.2.4 Komunikasi Massa

  Pada bulan April 2007, Pew Research Center for the People and the Press merilis hasil penelitiannya mengenai pengetahuan masyarakat Amerika terhadap

  

national public affairs . Sebagian besar hasil temuannya bersifat logis–mereka

  yang berpendidikan tinggi lebih mengetahui public affairs daripada yang berpendidikan rendah; mereka yang berpendapatan tinggi, terdaftar sebagai pemilih pemilu, mereka yang senang mengikuti berita, dan mereka yang memiliki berbagai macam sumber informasi, memiliki kelebihan daripada yang lain.

  Semenjak akhir tahun 1980-an, kebiasaan publik Amerika telah berubah sejak kemunculan program berita televisi 24 jam sebagai sumber berita yang dominan dan besarnya pertumbuhan internet. Para peneliti terkejut karena mereka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  berasumsi mengenai hubungan antara banyaknya jumlah media yang ada dengan kemauan masyarakat dan kemampuan mereka untuk terus mengikuti perkembangan permasalahan publik.

  Banyak asumsi yang terbentuk akibat penelitian tersebut, seperti banyaknya sumber berita, tempat survei dilaksanakan, keadaan sosial politik yang memanas karena pemilihan Presiden tahun 2008, perang di Irak yang semakin kontroversial dan asumsi-asumsi lain. Ide dan asumsi ini dapat–dan sering– menjadi basis teori yang lebih formal dan lebih sistematis, yang berasal dari ilmu pengetahuan sosial. Ketika teori ilmiah sosial ini melibatkan hubungan antara media dan manusia serta masyarakat yang menggunakan media, inilah yang disebut dengan teori komunikasi massa (Baran, 2009: 3-4).

  Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirimkan pesan kepada audiens yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 405). Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967):

  “Mass communication is the technologically and institutionally based

  

production and distribution of the most broadly shared continuous flow of

messages in industrial societies.” (Komunikasi massa adalah produksi dan

  distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Sobur, 2004: 4).

  Pada dasarnya, komunikasi massa ialah komunikasi melalui media massa (cetak dan elektronik). Awalnya, komunikasi massa berasal dari pengembangan kata media of mass communication (media komunikasi massa). Media massa yang dimaksud ialah saluran yang dihasilkan oleh teknologi modern, menunjuk pada hasil produk teknologi modern sebagai saluran dalam komunikasi massa (Nurudin, 2007: 4).

  Perkembangan komunikasi massa, lebih spesifiknya media massa, begitu menakjubkan sejak penggunaan internet meningkat dan kajian mengenai new

  

media semakin banyak. Dunia sudah menjadi global village, sebuah desa yang

mendunia, dan sekali lagi media massa telah memasuki era yang baru.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Sejak Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak pada tahun 1455, surat kabar pertama di Amerika Public Occurrences terbit tahun 1690, Samuel Morse menciptakan telegraf pada tahun 1844, Pulitzer menganugerahi penghargaan yang diambil dari namanya pada tahun 1915, munculnya warna pada semua jaringan TV komersial di tahun 1965, Steve Jobs dan Stephen Wozniak menyempurnakan Apple II pada tahun 1977, IBM memperkenalkan PC di tahun 1981, Journal of

  

Communication mencurahkan keseluruhan temanya mengenai melek media di

  tahun 1998, dan menerbitkan edisi khusus mengenai framing, agenda setting dan priming pada tahun 2007; komunikasi massa terus berkembang hingga sekarang.

  Dalam bukunya Teori Komunikasi Massa, McQuail menjelaskan beberapa efek komunikasi massa (McQuail, 2011: 225):

  1. Stimulus-Respons Tiga elemen utama dalam teori ini adalah pesan (sebagai stimulus), seorang penerima atau receiver (manusia) dan efek (respons). Teori ini menjelaskan bahwa tanggapan yang diterima merupakan reaksi terhadap stimulus tertentu. Efeknya bersifat individualistis, pragmatis dan berjangka pendek.

  2. Difusi-Inovasi Proses penyebaran segala jenis alat teknis, ide atau informasi berguna yang baru. Dalam Komunikasi Pembangunan Sosial, difusi inovasi juga diartikan sebagai penyerapan ide inovatif untuk kepentingan dan pembangunan masyarakat. Terdapat empat tingkat difusi informasi yang terjadi pada teori ini dimulai dari informasi, persuasi, keputusan dan adopsi, dan konfirmasi.

  3. Agenda Setting

  Agenda Setting diperkenalkan pertama kali oleh McCombs dan DL Shaw

  pada 1972. Teori ini menjelaskan bahwa media berita mengindikasikan kepada publik apa yang menjadi isu utama hari ini dan hal ini tercermin dalam apa yang dipersepsikan publik sebagai isu utama. Semakin banyak perhatian media diberikan kepada suatu topik, semakin besar kepentingan yang dilekatkan oleh khalayak berita terhadap topik tersebut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

4. Uses and Gratification

  Teori yang menjelaskan pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap informasi dari media. Asumsi dasar dari teori ini adalah, media dan pilihan konten secara umum rasional dan diarahkan kepada tujuan dan kepuasan spesifik tertentu.

II.2.4.1 Media Massa

  Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) Offline, media adalah sarana atau saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas. Dalam dunia komunikasi, media dapat diartikan sebagai sebuah wadah/saluran/alat untuk menyampaikan suatu pesan dari komunikator kepada komunikan.

  Secara singkat, media massa adalah sebuah wadah/saluran/alat yang digunakan untuk menyampaikan suatu pesan dari komunikator kepada audiens secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang luas. Keuntungan komunikasi dengan menggunakan media massa adalah, bahwa media massa menimbulkan keserempakan, artinya suatu pesan dapat diterima oleh komunikan yang jumlahnya relatif banyak. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang sama.

  Media massa dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok besar, yaitu media massa cetak (1), media massa broadcast (2), dan media massa online (3). Kelompok media massa tersebut mempunyai industri mereka masing-masing, berikut adalah daftarnya:

1. Buku 2.

  Surat Kabar 3. Majalah 4. Rekaman 5. Radio 6. Film 7. Televisi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Internet Buku, surat kabar, dan majalah merupakan media massa Amerika yang tersedia selama 250 tahun sejak buku Amerika pertama kali diterbitkan pada tahun

  1640. Tengah pertama abad ke-20 membawa empat jenis media baru–rekaman, radio, film, dan TV–dalam kurun waktu kurang dari 50 tahun. Akhir abad ke-20 terdapat tambahan dalam campuran media, tentu saja, Internet (Biagi, 2010: 11).

  Perkembangannya yang begitu pesat ini layaknya jamur di musim penghujan (sporadis). Pertarungan antar media massa kerap terjadi, berbagai strategi dijalankan untuk meraih perhatian pembaca dan audiens. Tak dapat dipungkiri juga bahwa terkadang media massa memainkan peranan penting terhadap suatu perubahan, atau menjadi tunggangan bagi para penguasa dan pemilik modal.

  Secara umum, fungsi media massa terbagi dua, yaitu fungsi nyata (manifest function) adalah fungsi yang diinginkan dan latent function ialah fungsi tidak nyata atau tersembunyi, yaitu fungsi yang tidak diinginkan. Namun secara khusus, media massa memiliki lima fungsi (Bungin, 2006: 78-79), yaitu: 1.

  Fungsi Pengawasan Pengawasan dan kontrol sosial dilakukan sebagai tindakan pencegahan hal-hal yang tidak diinginkan. Bentuknya berupa pengawasan dan kontrol sosial serta kegiatan persuasif.

  2. Fungsi Pembelajaran Sosial (Social Learning) Fungsi ini biasa disebut sebagai fungsi utama dari media massa, sebagai media pendidikan sosial.

  3. Fungsi Penyampaian Informasi Media massa memungkinkan penyampaian suatu pesan dari komunikator kepada audiens secara masif, pada satu waktu, dalam ruang lingkup yang luas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 8.

  4. Fungsi Transformasi Budaya Semakin berkembangnya teknologi, tidak dapat dipungkiri nilai-nilai budaya kemudian menjadi perhatian utama oleh banyak orang. Perubahan- perubahan budaya tersebut penting ditransmisikan melalui media massa sebab menyangkut bidang lain seperti politik, agama, hukum dan lain-lain.

  5. Hiburan Setiap orang butuh hiburan sebagai selingan dan relaksasi pikiran dari tayangan-tayangan, hidangan berita dan artikel yang berat-berat. Fungsi ini bertujuan menyampaikan pesan yang bersifat informatif secara ringan.

  Pada dasarnya, studi media massa mencakup pencarian pesan dan makna- makna dalam materinya. Dalam konteks media massa, khususnya media cetak, kajian semiotika ini, juga kebanyakan, adalah mengusut ideologi yang melatari pemberitaan (Sobur, 2004: 110). Skripsi yang berjudul “Konstruksi Media Massa dalam Sampul Depan Majalah (Analisis Semiotika Sampul Depan Majalah Time)” ini berfokus pada kajian semiotika yang hasilnya akan digunakan untuk melihat konstruksi media massa.

II.2.4.2 Konstruksi Media Massa

  Konstruksi media massa memainkan peranan penting dalam opini publik dan konstruksi realitas sosial. Komunikasi sebagai bentuk interaksi tidak bisa lepas dari konstruksi realitas sosial. Menurut Berger dan Luckmann (Wibowo, 2011: 125), realitas sosial adalah pengetahuan yang bersifat keseharian yang hidup dan berkembang di masyarakat seperti konsep, kesadaran umum, wacana publik, sebagai hasil dari konstruksi sosial.

  Media massa sebagai saluran komunikasi masif dan kekuatan serta pengaruhnya yang besar di tengah masyarakat, telah menjadi entitas yang dipercaya mengisi gatra antara publik dan kenyataan yang terjadi. Akibatnya, tak jarang apa yang diberitakan oleh media massa menjadi suatu kebenaran di mata publik, menjadi suatu realitas yang pada awalnya hanya eksis pada rangkaian kata suatu media massa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Realitas berita hadir dalam keadaan subjektif. Walter Lippmann pernah menyatakan, “The world outside and the pictures in our head,” (dunia di luar dengan gambarannya di pemikiran kita). Secara singkat, manusialah yang membentuk imaji dunia. Teks dalam sebuah berita dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karena pada hakikatnya, isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Realitas yang ditampilkan media adalah realitas yang sudah diseleksi, realitas tangan kedua (second hand reality).

  Menurut Gerbner dan kawan-kawan, dunia simbol media membentuk konsepsi khalayak tentang dunia nyata atau dengan kata lain media merupakan alat konstruksi realitas (Wibowo, 2011: 125). Khalayak membentuk citra tentang lingkungan sosial berdasarkan realitas kedua yang ditampilkan media massa.

  Tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran konstruksi; tahap pembentukan konstruksi; tahap konfirmasi (Bungin, 2001: 188-189), yaitu: 1.

  Tahap menyiapkan materi konstruksi Tiga hal penting dalam tahapan ini adalah: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

  2. Tahap sebaran konstruksi Prinsip dasarnya adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dianggap penting oleh media dianggap penting juga oleh masyarakat.

  3. Tahap pembentukan konstruksi realitas Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: konstruksi realitas pembenaran; kesediaan dikonstruksi oleh media massa; sebagai pilihan yang konsumtif.

  4. Tahap konfirmasi Ini adalah tahapan ketika media massa maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembentukan konstruksi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  Konstruksi media massa juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain yang dijelaskan dalam teori hierarki media. Teori ini dibagi menjadi lima tingkatan kekuasaan dan otoritas berbeda yang mempengaruhi pemberitaan, yaitu (1)

  ideological level, (2) extramedia level, (3) organization level, (4) media routines level , dan (5) individual level.

  Gambar II.3 Model hierarki media Sumber: Shoemaker, P. J., & Reese, S. D. (1996). Mediating the message: Theories of influences on mass media content (2nd ed.). White

Plains, N.Y.: Longman. (dengan sedikit perubahan dari peneliti).

  Bagan di atas adalah model hierarki media yang mempengaruhi pemberitaan media mulai dari tingkat paling rendah sampai tertinggi, berikut adalah penjelasannya: 1.

  Individual level atau tingkatan individu adalah tingkat yang menjelaskan peran seorang jurnalis dalam proses pemberitaan. Walaupun tidak memiliki pengaruh besar dan langsung pada konten media, namun

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

  karakter, sikap, dan nilai supra-individual tetap mempengaruhi konten media.

  2. Media routines level atau tingkatan rutinitas media adalah tingkat yang menjelaskan tentang pengaruh rutinitas, keseharian media dalam pemberitaan. Level ini juga menyangkut tentang target pembaca dari media itu sendiri dan kebijakan dari media itu sendiri untuk memilih mana yang akan menjadi berita dan tidak. Kebijakan tersebut berhubungan dengan ideologi media dan keputusan rapat redaksi sehari-hari.

Dokumen yang terkait

BAB II DESKRIPSI LOKASI DAN ELIT KAB. PADANG LAWAS 2.1 Profil Kabupaten Padang Lawas 2.1.1 Sejarah Kabupaten Padang Lawas - Peran Elite Lokal Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 (Studi Deskriptif: Elite Partai Golkar Di Kabupaten Padang Lawas)

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN - Peran Elite Lokal Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 (Studi Deskriptif: Elite Partai Golkar Di Kabupaten Padang Lawas)

0 0 28

Peran Elite Lokal Dalam Pemilu Legislatif Tahun 2014 (Studi Deskriptif: Elite Partai Golkar Di Kabupaten Padang Lawas)

0 0 10

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Kerangka Teori - Peran Televisi Dalam Pembentukan Opini Publik (Studi Analisis Deskriptif Peran Televisi Dalam Pembentukan Opini Masyarakat Desa Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Terhadap Pemberitaan Kebijakan P

0 0 26

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Peran Televisi Dalam Pembentukan Opini Publik (Studi Analisis Deskriptif Peran Televisi Dalam Pembentukan Opini Masyarakat Desa Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Terhadap Pemberitaan Kebijaka

0 0 8

Peran Televisi Dalam Pembentukan Opini Publik (Studi Analisis Deskriptif Peran Televisi Dalam Pembentukan Opini Masyarakat Desa Muliorejo Kecamatan Sunggal Kabupaten Deli Serdang Terhadap Pemberitaan Kebijakan Presiden Joko Widodo Menghukum Mati Pengedar

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

0 1 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perspektif Paradigma Penelitian - Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 53

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan)

0 0 17

Konstruksi Realitas Pesan Imaji Kebangsaan Dalam Ilustrasi Karya Jitet Koestana Di Harian Kompas (Studi Analisis Semiotika Ilustrasi Ilustrator Jitet di Harian Kompas Terhadap Makna Imaji Kebangsaan) SKRIPSI

0 0 11