IMPLEMENTASI BIAYA IJARAH PADA CABANG PEGADAIAN SYARIAH PASAR WAGE PURWOKERTO KABUPATEN BANYUMAS (Studi Kesesuaian dengan Fatwa DSN-MUI) - repository perpustakaan

  adalah: Jurnal Bukido dkk membahas tentang Penerapan Akad Ijarah Pada

  Produk Rahn di Cabang Pegadaian Syariah Istiqlal Manado. Kesimpulan jurnalnya menjelaskan bahwa penerapan akad Ijarah pada tarif jasa simpan di Cabang Syariah Istiqlal Manado pada produk rahn emas dari segi penentuan biaya ijarah berubah-ubah sesuai dengan jumlah pinjaman yang diberikan, jika semakin besar atau maksimal jumlah taksiran yang dipinjamkan pada nasabah, maka semakin besar pula nasabah dikenakan tarif ijarah begitupun sebaliknya (Bukido dkk;2016).

  Skripsi Anwar Munandar yang membahas tentang akad rahn di Perum Pegadaian Syariah Cabang Kusumanagara Yogyakarta. Kesimpulan skripsinya menjelaskan bahwa pelaksanaan akad sewa menyewa (Ijarah) sebagai sebuah unsur yang wajib ada untuk terlaksananya akad rahn. Dalam hal ini hukum Islam membolehkannya, karena suatu akad muamalah yang mubah lainnya maka akad tersebut diperbolehkan, dalam skripsi ini juga di sebutkan tentang pembentukan laba di Perum Pegadaian Syariah, laba tersebut dapat diperoleh melalui akad ijarah yaitu sewa tempat bagi marhun (Anwar Munandar;2009).

  M. Sholahuddin dalam bukunya yang berjudul lembaga ekonomi dan keuangan islam, membahas tentang kegiatan usaha di Perum Pegadaian Syariah, teknik transaksi dan prosedur penaksiran barang gadai. Teknik ini melalui jenis barang, nilai barang serta usia barang, disini dicontohkan tentang penaksiran emas, barang elektronik, berlian, dan mesin (M. Sholahuddin;2006;92-100).

  Buku Hukum Gadai Syariah karya Zainuddin Ali membahas tentang pengertian gadai dan dasar hukumnya serta sejarah pegadaian syariah. Dengan pembahasan yang berkenaan berbagai jenis akad gadai syariah dalam pelaksanaannya yang kemudian dilengkapi dengan dasar hukum dari ayat-ayat Al-

  Qur‟an, hadist Nabi Muhammad SAW. (Zainuddin Ali;2008) Beberapa penelitian dan karya-karya diatas menyoroti pegadaian dari berbagai segi tetapi yang membahas tentang implementasi biaya ijarah secara spesifik belum penulis temukan. Untuk itu penulis mencoba untuk membahas hal ini guna mengetahui penentuan biaya produk ijarah pada Pegadaian Syariah Purwokerto.

  1. GADAI (RAHN) Pengertian Gadai (Rahn) menurut bahasa dalam fikih Islam disebut

  al-Rahn . Kata Ar-Rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu

  barang sebagai tanggungan utang (Zainuddin Ali;2008). Sedangkan menurut Istilah gadai (rahn) adalah menahan barang pinjaman yang diterimanya, dan barang yang diterima tersebut bernilai ekonomis, sehingga pihak yang menahan (murtahin) memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian utangnya dari barang gadai dimaksud, bila pihak yang menggadaikan tidak dapat membayar utang pada waktu yang telah ditentukan.

  Karena itu, tampak bahwa gadai syariah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga pegadaian syariah menyerahkan uang sebagai tanda terima dengan jumlah maksimal 90% dari nilai taksir terhadap barang yang diserahkan oleh penggadai (Zainuddin Ali;2008;3).

  a. Dasar Hukum Gadai (Rahn) Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat-ayat Al-

  Qur‟an, hadist Nabi Muhammad SAW, Ijma‟ ulama, dan fatwa MUI. Hal dimaksud diungkapkan sebagai berikut: 1) Al-

  Qur‟an Dalil yang memperbolehkan gadai, seperti yang tercantum dalam surat Al-Baqarah, ayat 283 yang artinya sebagai berikut:

  ٌٌةَضوُبْقَمٌٌناَىِرَفٌاًبِتاَكٌاوُدَِتٌََْلََوٌٍرَفَسٌٰىَلَعٌْمُتْنُكٌْنِإَو

  Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuaamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggapan yang dipegang oleh orang yang berpiutang (Depag RI;1997;50).

  Dasar hukum dari ayat diatas adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian bila seseorang hendak melakukan transaksi utang-piutang yang memakai jangka waktu orang lain, dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (rahn) .

  2) Hadits Dari Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yang berbunyi sbb:

  

ٌُنْبٌىَسيِعٌاَنَرَ بْخَأٌ َلَاَقٌ ٍمَرْشَخٌُنْبٌ ُّيِلَعَوٌ ُّيِلَظْنَْلْاٌَميِىاَرْ بِإٌُنْبٌ ُقَحْسِإٌاَنَ ثَّد

ٌُلوُسَرٌىَرَ تْشاٌْتَلاَق ٌَةَشِئاَعٌْنَعٌِدَوْسَْلْاٌْنَعٌَميِىاَرْ بِإٌْنَعٌِشَمْعَْلْاٌْنَعٌَسُنوُي ٌٌٌٌٌٌ ٌٍد

  ٌْيِدَحٌ ْنِمٌ اًعْرِدٌ ُوَنَىَرَوٌ اًماَعَطٌ ٍّيِدوُهَ يٌ ْنِمٌ َمَّلَسَوٌ ِوْيَلَعٌ ُوَّللاٌ ىَّلَصٌ ِوَّللا ٌ )ملسمٌهاور(

  Artinya : Telah meriwayatkan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al- Hanzhali dan Ali bin Khasyram berkata: keduanya mengabarkan kepada kami Ias bin Yunus bin „Amasy dari Ibrahim dari Aswad dari „Aisyah berkata: bahwasanya Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menggadaikan baju besinya (HR. Muslim) (Imam Abi Husain Muslim;1993;51).

  Hadits lain dari Anas bin Malik ra yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang berbunyi:

  

ٌ ٍسَنَأٌْنَعٌَةَداَتَ قٌْنَعٌٌماَشِىٌاَنَ ثَّدَحٌ ِبَِأٌ ِنَِثَّدَحٌُّيِمَضْهَْلْاٌٍّيِلَعٌُنْبٌُرْصَنٌاَنَ ثَّد

ٌِةَنيِدَمْلاِبٌٍّيِدوُهَ يٌَدْنِع ٌُوَعْرِدٌَمَّلَسَوٌِوْيَلَعٌُوَّللاٌىَّلَصٌِوَّللاٌ ُلوُسَرٌَنَىَرٌْدَقَلٌ َلاَق

ٌ )ةجٌامٌنباٌهاؤر( اًيرِعَشٌُوْنِمٌِوِلْىَِلٌَْذَخَأَف

  Artinya : Telah meriwayatkan kepada kami Nashr bin Ali-Jahdhami, ayahku telah meriwayatkan kepadaku, meriwayatkan kepada kami Hisyam bin Qatadah dari Anas berkata: sungguh Rasulullah saw menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi di Madinah dan menukarnya dengan gandum untuk keluarganya (HR. Ibnu Majah) (Al-

  ).

  Hafidz Abi Abdillah Muhammad;1995;18

  3)

Ijma‟ Ulama

  Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Hal dimaksudkan berdasarkan pada kisah Nabi Muhammad SAW yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi. Para ulama juga mengambil indikasi dari contoh Nabi Muhammad SAW tersebut, ketika beliau beralih dari yang biasanya bertransaksi kepada para sahabat yang biasanya enggan mengambil ganti ataupun harga yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada mereka (Wahbah Zuhaily; 4210).

  4) Fatwa DSN Menurut Fatwa DSN No, 25/DSN-MUI/III/2002 di jelaskan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk rahn dibolehkan dengan ketentuan yang ditetapkan (Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 25/DSN-

  ).

  MUI/III/2002

  b. Rukun Dan Syarat-Syarat Perjanjian Gadai (Rahn) 1) Rukun Gadai (Rahn)

  Dalam fikih empat mazhab (fiqh al-madzahib al-

  arba’ah)

  diungkapkan rukun gadai sebagai berikut:

  a) Aqid (Orang yang Berakad)

  Aqid adalah orang yang melakukan akad yang meliputi 2

  (dua) arah, yaitu Rahin (orang yang menggadaikan barangnya), dan Murtahin (orang yang berpiutang dan menerima barang gadai). Untuk melaksanakan akad rahn yang memenuhi kriteria syariat Islam, sehingga akad yang dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih harus memenuhi beberapa rukun dan syarat.

  b)

Ma’qud ‘alaih (Barang yang Diakadkan) Ma’qud ‘alaih meliputi 2 (dua) hal, yaitu Marhun (barang

  yang digadaikan dan Marhun bihi (dain), atau utang yang karenanya diadakan akad rahn (Abdurrahman Al-Jaziri; 296).

  Namun demikian, ulama fikih berbeda pendapat mengenai masuknya shighat sebagai rukun dari terjadinya rahn. Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa shighat tidak termasuk sebagai rukun rahn, malainkan ijab (pernyataan menyerahkan barang sebagai agunan bagi pemilik barang) dan qabul (pernyataan kesediaan dan memberi utang, dan menerima barang agunan tersebut). 2) Syarat Sah Gadai (Rahn)

  Sebelum dilakuan gadai (rahn), terlebih dahulu dilakukan akad. Akad menurut teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh 2 orang berdasarkan persetujuan masing-masing (Teuku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy;2001;28).

  Sedangkan syarat rahn, ulama fiqh mengemukakannya sesuai dengan rukun rahn itu sendiri, yaitu: a) Shighat

  Syarat shighat tidak boleh terkait dengan syarat tertentu dan waktu yang akan datang. Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya mempersyaratkan tenggang waktu untung habis dan utang belum terbayar, sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan tenggang waktunya. Kecuali jika syarat itu mendukung kelancaran akad maka diperbolehkan. Sebagai contoh, pihak penerima gadai meminta supaya akad itu disaksikan oleh dua orang saksi.

  b) Pihak-Pihak yang Berakad Pihak-pihak yang berakad cakap menurut hukum mempunyai pengertian bahwa pihak rahn dan marhun cakap melakukan perbuatan hukum, yang ditandai dengan aqil baligh, berakal sehat, dan mampu melakukan akad. Menurut sebagian pengikut ulama Abu Hanifah membolehkan anak-anak yang mumayyiz untuk melakukan akad karena dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Syarat orang yang menggadaikan (ar-rahin) dan orang yang menerima gadai adalah cakap bertindak dalam kacamata hukum. Lain halnya menurut mayoritas ulama, orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang yang telah baligh dan berakal; sedangkan menurut ulama mazhab Hanafi, kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, melainkan cukup berakal saja. Karena itu menurut mazhab Hanafi, anak kecil yang

  

mumayyiz , yang sudah dapat membedakan sesuatu yang baik dan

  buruk, maka ia dapat melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang dilakukan mendapat persetujuan dari walinya. c) Utang (Marhub Bih) Utang (marhun bih) mempunyai pengertian bahwa : (a) utang adalah kewajiban bagi pihak berutang untuk membayar kepada pihak yang memberi piutang; (b) merupakan barang yang dapat dimanfaatkan, jika tidak bermanfaat maka tidak sah; (c) barang tersebut dapat dihitung jumlahnya.

  d) Marhun

  Marhun adalah harta yang dipegang oleh murtahin

  (penerima gadai) atau wakilnya, sebagai jaminan utang. Para ulama menyepakati bahwa syarat yang berlaku pada barang gadai adalah syarat yang berlaku pada barang yang dapat diperjual belikan, yang ketentuannya adalah (

Muhammad Syafi‟i )

  Antonio;2001;21 1) Agunan itu harus bernilai dan dapat dimanfaatkan menurut ketentuan syariat Islam; sebaliknya agunan yang tidak bernilai dan tidak dapat dimanfaatkan menurut syariat Islam tidak dapat dijadikan agunan. Sebagai contoh dapat diungkapkan misalnya, khamar (minuman memabukkan). Minuman dimaksud, tidak bernilai dan tidak dapat dimanfaatkan menurut syariat Islam sehingga tidak dapat dijadikan agunan;

  2) Agunan itu harus dapat dijual dan nilainya seimbang dengan besarnya utang.

  3) Agunan itu harus jelas dan tertentu (harus dapat ditentukan secara spesifik);

  4) Agunan itu milik sah debitur 5) Agunan itu tidak terikat dengan hak orang lain (bukan milik orang lain, bagian sebagian maupun seluruhnya). Agunan dimaksud, berbeda dengan agunan dalam praktik perbankan konvensional, agunan kredit boleh milik orang lain, baik sebagian maupun seluruhnya. Hal tersebut adalah sejalan dengan ketentuan KUH Perdata yang membolehkan hal demikian itu. Dalam hal debitur menghendaki agar barang pihak ketiga yang menjadi agunan, seharusnya ditempuh dengan menggunakan prinsip kafalah;

  6) Agunan itu harus harta yang utuh, tidak berada di beberapa tempat. Lain halnya dalam praktik perbankan konvensional, agunan kredit boleh berupa tagihan (yang dibuktikan dengan surat utang atau bukti lainnya). Demikian pula boleh dijadikan agunan kredit barang-barang yang bertebaran di berbagai lokasi. Hal tersebut adalah sejalan dengan ketentuan KUH Perdata yang membolehkan hal itu;

  7) Agunan itu dapat diserahkan kepada pihak lain, baik materinya maupun manfaatnya (Zainuddin Ali;2008;22-23) Berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN)-

  MUI No. 25/ DSN-MUI/III/2002 tentang gadai, tanggal 22 juni 2002, bahwa semua barang dapat diterima sebagai agunan pinjaman. Akan tetapi semua pegadaian syariah mempunyai pengkhususan pada barang-barang yang tidak dapat diterima sebagai marhun, yaitu: 1) Barang milik pemerintah 2) Mudah membusuk 3) Berbahaya dan mudah terbakar 4) Barang yang dilarang peredarannya oleh peraturan yang berlaku dan atau hukum Islam 5) Cara memperoleh barang tersebut dilarang oleh hukum Islam 6) Serta ketentuan khusus sebagai berikut: a) Barang yang disewa-belikan.

  b) Barang tersebut masih berupa hutang dan belum lunas.

  c) Barang tersebut dalam masalah.

  d) Berupa pakaian jadi.

  e) Pemakaiannya sangat terbatas.

  f) Hewan ternak.

  g) Barang yang kurang nilai rahn-nya dibawah biaya invest gadai.

  Ketentuan-ketentuan tersebut diberlakukan mengingat keterbatasan tempat, sumberdaya, fasilitas. Chatamarrasid menambahkan barang yang tidak dapat digadaikan yaitu barang- barang karya seni yang nilainya relative sukar ditaksir dan kendaraan bermotor tahun keluaran 1996 keatas (Chatamarrasid;2008;15).

  Aturan pokok dalam mazhab Maliki tentang masalah ini adalah, bahwa gadai dapat dilakukan pada semua macam harga pada semua macam Rahn, kecuali Rahn mata uang (sharf) dan pokok modal pada salam yang berkaitan dengan tanggungan.

  Demikian itu karena pada sharf disyaratkan tunai (yakni kedua belah pihak saling menerima, oleh karena itu tidak boleh terjadi akad gadai padanya.

  2. IJARAH

  a. Pengertian Ijarah 1) Pengertian Ijarah Secara Bahasa ijarah berarti upah atau sewa, yang sesungguhnya menjual belikan manfaat suatu harta benda (Ghufron A.

  Mas‟Adi;2002;181). 2) Pengertian Ijarah Menurut Istilah

  a) Menurut Syekh Syamsudin dalam kitab Fathul Qorib mendefinisikan ijarah adalah bentuk akad yang jelas manfaat dan tujuannya, serah terima secara langsung dan di bolehkan dengan pembayaran (ganti) yang telah diketahui.

  b) Menurut Muhammad Syafi‟i Antonia Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyah) atas barang itu sendiri (Muhammad Syafi‟i Antonio;2001;117). c) Menurut Fatwa DSN Dalam fatwa DSN ijarah ialah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan

  ).

  barang itu sendiri (Fatwa Dewan Syariah Nasional;2003;58 Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa akad ijarah adalah akad yang objeknya merupakan penukaran manfaat harta benda pada masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan seseorang menjual manfaat barang.

  Dalam akad ini ada kebolehan untuk menggunakan manfaat atau jasa dengan sesuatu penggantian berupa kompensasi. Dalam akad dimaksud, penerima gadai (murtahin) dapat menyewakan tempat penyimpanan barang (deposit box) kepada nasabahnya. barang titipan dapat berupa harta benda yang menghasilkan manfaat atau tidak menghasilkan manfaat.

  b. Landasan Hukum 1) Al-

  Qur‟an Landasan hukum ijarah terdapat dalam Q.S Ath-Thalaq ayat 6 dan Q.S Al-Baqarah ayat 233 yang artinya sbb: a) Q.S Ath-Thalaq 6

  ٌَّنُىَروُجُأٌَّنُىوُتآَفٌْمُكَلٌَنْعَضْرَأٌْنِإَف

  Artinya : Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya (Depag RI;1997;559). b) Q.S Al-Baqarah ayat 233

  ٌْمُتْيَ تآٌاَمٌْمُتْمَّلَسٌاَذِإٌْمُكْيَلَعٌَحاَنُجٌ َلََفٌْمُكَد َلَْوَأٌاوُعِضْرَ تْسَتٌْنَأٌُْتُْدَرَأٌْنِإَو ۗ ٌ ٌٌيرِصَبٌَنوُلَمْعَ تٌاَِبٌَِوَّللاٌَّنَأٌاوُمَلْعاَوٌَوَّللاٌاوُقَّ تاَو ٌ ِفوُرْعَمْلاِب

  Artinya: Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan (Depag RI;1997;387-388).

  Yang menjadi landasan ijarah dalam ayat diatas adalah ungkapan “maka berikanlah upahnya” dan “apabila kamu memberikan pembayaran yang patut”, hal ini menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah secara patut.

  2) Al-Hadits

  ٌىطعاوٌملسوٌويلعٌللهاٌىلصٌلله اٌلاٌلوسرٌمجتحاٌ:لاقٌساباٌنباٌنعٌو )يرٌاخبلاٌهاور(ٌ.وطعيٌلٌَامارحٌناكٌولوٌ.هرجاٌماجلْا

  Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dia berkata: bahwa Rasulullah SAW berbekam dan memberi upah kepada orang yang membekam kalau ia haram beliau tidak akan memberinya upah (HR. Bukhari dan Muslim) (IbnuHajar;1995;387-388). 3) Rukun dan Syarat-Syarat Perjanjian Ijarah

  Semua hal yang berkaitan dengan muamalat harus memiliki rukun dan syarat-syarat tertentu. Rukun-rukun ijarah yang harus dipenuhi ada 4 macam, yaitu:

  a) Pelaku akad, yaitu

  musta’jir (penyewa), adalah pihak yang

  menyewa aset dan

  mu’jir/muajir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset. b) Objek akad, yaitu

  

ma’jur (aset yang disewakan)

  c) Ujrah (harga sewa)

  d) Sighat yaitu ijab dan qabul Syarat ijarah yang harus ada agar terpenuhi ketentuan- ketentuan hukum Islam, adalah sebagai berikut: a) Jasa atau manfaat akan diberikan oleh aset yang disewakan harus tertentu dan diketahui dengan jelas oleh kedua belah pihak.

  b) Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab pemeliharaannya, sehingga aset tersebut harus dapat memberi manfaat kepada penyewa.

  c) Akad ijarah dihentikan pada aset yang bersangkutan berhenti memberikan manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut berakhir rusak dalam periode kontrak, akad ijarah masih tetap berlaku.

  Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 09/DSNMUI/IV 2000 tanggal 13 April 2000 Tentang Pembiayaan Ijarah ditetapkan (Fatwa Dewan Syariah Nasional;2002):

  a) Rukun dan Syarat Ijarah: (1) Pernyataan ijab dan qabul (2) Pihak-pihak yang berakad (berkontrak) : terdiri atas pemberi sewa (lessor, pemilik aset, Lembaga Keuangan Syariah) dan penyewa (Lesse, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan aset, nasabah).

  (3) Objek kontrak : pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan aset.

  (4) Manfaat dari penggunaan aset dalam ijarah adalah objek kontrak yang harus dijamin, karena ia rukun yang harus dipenuhi sebagai ganti dari sewa dan bukan aset itu sendiri. (5) Sighat ijarah adalah berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain yang equivalent, dengan cara penawaran dari pemilik aset (Lembaga Keuangan Syariah) dan penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa (nasabah).

  b) Ketentuan Objek Ijarah (1) Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan atau jasa.

  (2) Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.

  (3) Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan. (4) Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.

  (5) Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidak tahuan) yang akan mengakibatkan sengketa. (6) Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik. (7) Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada lembaga keuangan syariah sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam Rahn dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.

  (8) Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.

  (9) Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

  Tidak semua benda boleh diakadkan ijarah, kecuali yang memenuhi persyaratan berikut ini (Ghufron A. Mas‟adi; 2002;184).

  (1) Manfaat dari objek akad harus diketahui secara jelas. Hal ini dilakukan misalnya, dengan memeriksa atau pemilik memberikan informasi transparan tentang kualitas manfaat barang.

  (2) Objek Ijarah dapat diserahterimakan dan dimanfaatkan secara langsung dan tidak mengandung cacat yang menghalangi fungsinya.tidak dibenarkan transaksi ijarah atasharta benda yang masih dalam penguasaan pihak ketiga,

  (3) Objek ijarah dan pemanfaatanya haruslah tidak bertentangan dengan hukum syara‟. Menyewakan VCD porno merupakan contoh kasus transaksi persewaan yang tidak memenuhi persyaratan ini.

  (4) Objek yang disewakan adalah manfaat langsung dari sebuah benda. Misalnya menyewakan rumah untuk ditempati. Tidak dibenarkan sewa menyewa manfaat suatu benda yang bersifat tidak langsung. Seperti sewa menyewa pohon untuk diambil buahnya.buah adalahmateri bukan manfaat.

  (5) Harta benda yang menjadi objek ijarah haruslah harta benda yang bersifat

  isti’maly, yakni harta benda yang dapat

  dimanfaatkan berulangkali tanpa mengakibatkan kerusakan dzat danpengurangan sifatnya, seperti rumah, mobil, tanah.

  Sedangkan harta benda yang bersifat istikhlahi, harta benda yang rusak atau berkurang sifatnya karena pemakaian, tidak sah ijarah atasnya seperti buku tulis.

  Menurut Saleh Al- Fauzan dalam buku yang berjudul “fiqih

  sehari- hari” menyebutkan bahwa syarat sah ijarah adalah sebagai

  berikut: (1) Ijarah berlangsung atas manfaat.

  (2) Manfaat tersebut dibolehkan. (3) Manfaat tersebut diketahui. (4) Jika ijarah atas benda yang tidak tertentu maka harus diketahui secara pasti ciri-cirinya.

  (5) Diketahui masa penyewaan. (6) Diketahuinya ganti atau bayarannya. (7) Upah sewa berdasarkan jerih payah yang memberikan jasa.

  (Saleh Al Fauzan;2006;483)

Dokumen yang terkait

ANALISIS PENERAPAN AKUNTANSI GADAI SYARIAH (RAHN) PADA PEGADAIAN SYARIAH CABANG JEMBER

6 86 46

PELAKSANAAN AKAD DALAM GADAI EMAS SYARIAH PADA PEGADAIAN SYARIAH CABANG RADEN INTAN

0 13 54

IMPLEMENTASI AKAD AL-MUSYARAKAH WAL IJARAH PADA PEMBIAYAAN KONGSI PEMILIKAN RAKYAT SYARIAH (KPRS) DI BANK MUAMALAT INDONESIA CABANG PEMBANTU SALATIGA

0 0 15

IMPLEMENTASI BIAYA IJARAH PADA CABANG PEGADAIAN SYARIAH PASAR WAGE PURWOKERTO KABUPATEN BANYUMAS (STUDI KESESUAIAN DENGAN FATWA DSN-MUI) - Digital Library Universitas Muhammadiyah Purwokerto

0 0 18

2.1 Pengertian Parkir - PERENCANAAN POLA PARKIR DI PASAR LARANGAN KECAMATAN KEMBARAN KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

1 1 34

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN GIZI SEIMBANG DAN PERILAKU DIET DENGAN STATUS GIZI PADA REMAJA PUTRI DI SMK BAKTI PURWOKERTO KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 0 17

GAMBARAN PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR PERSONAL HYGIENE PADA ANAK JALANAN DI KABUPATEN BANYUMAS - repository perpustakaan

0 0 14

ANALISIS KANDUNGAN LEMAK ANJING DALAM BAKSO YANG BEREDAR DI PASAR WAGE PURWOKERTO MENGGUNAKAN FOURIER TRANSFROM INFRARED (FTIR) YANG DIKOMBINASI DENGAN KEMOMETRIK SEBAGAI AUTENTIKASI HALAL - repository perpustakaan

0 1 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANALISIS KANDUNGAN LEMAK ANJING DALAM BAKSO YANG BEREDAR DI PASAR WAGE PURWOKERTO MENGGUNAKAN FOURIER TRANSFROM INFRARED (FTIR) YANG DIKOMBINASI DENGAN KEMOMETRIK SEBAGAI AUTENTIKASI HALAL - repository perpustakaan

0 0 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PURWOKERTO SELATAN KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 2012 - repository perpustakaan

1 10 39