BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Audit Investigatif 1. Audit Investigatif - GITA ASTRIDA KOSASIH BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Audit Investigatif 1. Audit Investigatif Audit yang digunakan dalam mengungkap tindak pidana korupsi

  tersebut berbeda dengan audit biasa yang digunakan para auditor keuangan biasa. Audit yang digunakan tersebut adalah audit yang bersifat investigatif dimana audit tersebut menggabungkan antara kemampuan ilmu audit yang terdapat dalam ilmu ekonomi dengan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat bertahan selama proses pengadilan atau proses peninjauan yudisial maupun administratif. Audit tersebut dikenal dengan audit investigasi atau audit investigatif.

  Di Indonesia Audit Investigasi mulai digunakan sejak terungkapnya kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada tahun 2001 yang melibatkan Samandikun Hartono dan Kaharudin Ongko (Purjono, 2: 2011). Kasus tersebut terungkap berkat kerjasama yang dibentuk oleh pihak kejaksaan selaku penyidik dan auditor investigatif dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

  Menurut Pusdiklatwas BPKP (2008:78) audit investigatif adalah “Audit investigatif merupakan sebuah kegiatan sistematis dan terukur untuk mengungkap kecurangan sejak diketahui atau diindikasinya sebuah peristiwa/kejadian/transaksi yang dapat memberikan cukup keyakinan serta dapat digunakan sebagai bukti yang memenuhi pemastian suatu kebenaran dalam menjelasan kejadian yang telah diasumsikan sebelumnya dalam rangka mencapai keadilan

  (search of the truth).” Menurut

  Fitrawansyah (2014:21) audit investigasi adalah ”Bagian dari managemen kontrol yang dilaksanakan dalam kegiatan internal audit disamping audit lainnya seperti audit keuangan dan audit kepatuhan atau compliance

  audit

  .”Menurut Tuanakotta pengertian investigasi yaitu sebagai berikut, Investigasi secara sederhana dapat didefinisikan sebagai upaya pembuktian. Umumnya pembuktian ini berakhir di pengadilan dan ketentuan hukum (acara) yang berlaku, diambil dari hukum pembuktian berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Theodorus Tuanakotta, 2012: 322).

2. Jenis Audit Investigatif

  Menurut Fitrawansyah terdapat dua macam audit investigatif diantaranya yaitu : (Fitrawansyah, 2014: 22)

  a. Audit Investigasi Proaktif Audit investigasi proaktif adalah audit yang dilakukan pada entitas yang mempunyai risiko-risiko penyimpangan, tetapi entitas tersebut dalam proses awal auditnya belum tidak didahului oleh informasi tentang adanya indikasi penyimpangan yang dapat berpotensi menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan negara dan/atau perekonomian negara. b. Audit Investigasi Reaktif Audit investigasi reaktif mengandung langkah-langkah pencarian dan pengumpulan bukti-bukti yang diperlukan untuk mendukung dugaan/sangkaan awal tentang indikasi adanya penyimpangan yang dapat/berpotensi menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan negara dan/atau perekonomian negara. Istilah reaktif itu sendiri didasarkan pada fakta bahwa auditor melakukan reaksi untuk memvalidasi bukti- bukti indikasi penyimpangan tersebut.

  3. Tujuan Audit Investigatif

  Audit investigatif berdasarkan permintaan penyidik adalah membantu penyidik untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi penyidik. Auditor bertugas mengumpulkan bukti-bukti surat yang mendukung dakwaan jaksa. Tujuan audit investigatif berdasarkan pengaduan masyarakat adalah untuk melakukan audit lebih lanjut untuk mencari kebenaran dari pengaduan tersebut. Tujuan audit berdasarkan hasil temuan sebelumnya adalah untuk mengadakan audit lebih lanjut untuk membuktikan apakah kecurigaan kecurangan tersebut terbukti atau tidak (Soejono Karni, 2000: 4).

  4. Pembuktian dalam Audit Investigatif

  Tugas auditor investigatif adalah membuat terang perkara pidana yang dihadapi penyidik dengan cara mengumpulkan bukti. Bukti pada audit investigatif sama dengan bukti yang ditetapkan dalam standar auditing , bukti tersebut harus kompeten.

  Audit investigatif dilaksanakan untuk membantu penyidik sehingga alat buktinya harus sesuai dengan alat bukti yang sah menurut Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu: a. Alat bukti yang sah, yaitu:

  1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat 4) Petunjuk 5) Keterangan terdakwa

  b. Hal yang secara umum sudah diketahui dan tidak perlu dibuktikan Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan pengetahuannya itu.

  Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

  Bukti audit adalah berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat pejabat umum yang berwenang, keterangan ahli dan surat lain yang berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

  Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain maupun tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa teah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.

  Tugas auditor sebagai tenaga ahli sebagaimana dimaksud pasal 120 ayat (1) KUHAP adalah: a. Mengumpulkan bukti-bukti surat untuk:

  1) Dasar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) auditor sebagai saksi ahli dan pembuatan keterangan ahli.

  2) Membantu penyidik dengan mengumpulkan bukti-bukti agar dapat membuat BAP secara benar sesuai (pokok perkara atau dakwaan jaksa) terhadap tersangka dan saksi-saksi ahli).

  b. Sebagai saksi ahli di persidangan Dalam persidangan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah ialah memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi bahwa terdakwa benar-benar melakukannya.

5. Aksioma Audit Investigatif

  Menurut Karyono (2013:135) ada beberapa aksioma yang menarik terkait dengan audit investigatif yaitu: a. Kecurangan pada hakekatnya tersembunyi, tidak ada keyakinan absolut yang dapat diberikan bahwa kecurangan pada umumnya selalu menyembunyikan jejaknya;

  b. Untuk mendapatkan bukti bahwa kecurangan tidak terjadi auditor juga harus berupaya membuktikan kecurangan yang telah terjadi; c. Dalam melakukan pembuktian, auditor harus mempertimbangkan kemungkinan adanya penyangkalan dari pihak pelaku dan pihak lain yang terkait;

  d. Dengan asumsi bahwa kasus tersebut akan dilimpahkan ke tingkat litigasi, maka dalam melakukan pembuktian seorang auditor harus mempertimbangkan kemungkinan yang terjadi di pengadilan.

6. Prinsip-Prinsip Audit Investigatif

  Menurut Karyono prinsip-prinsip audit investigatif sebagai berikut (2013:134)

  a. Mencari kebenaran berdasarkan peraturan perundang-undangan;

  b. Pemanfaatan sumber bukti pendukung fakta yang dipermasalahkan;

  c. Selang waktu kejadian dengan respons; semakin cepat merespons;

  d. Semakin besar kemungkinan untuk dapat mengungkap tindak fraud besar; e. Dikumpulkan fakta terjadinya sedemikian rupa sehingga bukti-bukti yang diperoleh dapat mengungkap terjadinya fraud dan menunjukkan pelakunya; f. Tenaga ahli hanya sebagai bantuan bagi pelaksanaan audit investigasi, bukan merupakan pengganti audit investigasi; g. Bukti fisik merupakan bukti nyata dan akan selalu mengungkap hal yang sama; h. Keterangan saksi perlu dikonfirmasikan karena hasil wawancara dengan saksi dipengaruhi oleh faktor kelemahan manusia; i. Pengamatan, informasi dan wawancara merupakan bagian penting dari audit investigasi; j. Pelaku penyimpangan adalah manusia, jika diperlukan dengan bijak sebagaimana layaknya ia akan merespons sebagaimana manusia.

B. Auditor 1. Auditor

  Menurut Alvin A. Arens, Auditor adalah seseorang yang menyatakan pendapat atas kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan hasil usaha dan arus kas yang sesuai dengan prinsip akuntansi berlaku umum di Indonesia (Alvin A. Arens et al, 2008: 6).

2. Jenis-Jenis Auditor

  Menurut Mulyadi, orang atau kelompok yang melaksanakan audit dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut (Mulyadi, 2009: 28). a. Auditor Independen Auditor independen adalah auditor profesional yang menyediakan jasanya kepada masyarakat umum, terutama dalam bidang audit atas laporan keuangan yang dibuat oleh kliennya. Audit tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan para pemakai informasikeuangan seperti: kreditor, investor, calon investor, calon kreditor, dan instansi pemerintahan seperti BUMN. Pihak yang memanfaatkan jasa auditor independen terutama adalah pihak selain kliennya. Oleh karena itu, independensi auditor dalam melaksanakan keahlian merupakan hal yang pokok, meskipun auditor tersebut dibayarkan oleh klien karena jasa yang diberikan tersebut. Sikap mental independen sama pentingnya dengan keahlian dalam bidang praktik akuntansi dan prosedur audit yang harus dimiliki oleh setiap auditor. Auditor harus independen dari setiap kewajiban atau independen dari pemilikan kepentingan dalam perusahaan yang diauditnya. Di samping itu, auditor tidak hanya berkewajiban mempertahankan sikap mental independen, tetapi ia harus pula mengindari keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan masyarakat meragukan independensinya.

  b. Auditor Pemerintah Auditor pemerintah adalah audit profesional yang bekerja di instansi pemerintah yang tugas pokoknya melakukan audit atas pertanggungjawaban keuangan yang disajikan oleh unit-unit organisasi atau entitas pemerintahan atau pertanggungjawaban keuangan yang ditunjukan pada pemerintah. Meskipun terdapat banyak auditor yang bekerja di instansi pemerintah, namun umumnya yang disebut auditor pemerintah adalah auditor yang bekerja di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Satuan Pengawas Internal (SPI);

  c. Auditor Internal Auditor internal adalah auditor yang bekerja di perusahaan

  (perusahaan negara maupun perusaahan swasta) yang tugas pokoknya adalah menentukan apakah kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh manajemen puncak telah dipatuhi, menentukan baik atau tidaknya penjagaan terhadap kekayaan organisasi atau perusahaan, menentukan efisiensi dan efektivitas prosedur kegiatan organisasi, serta menentukan kendalan informasi yang dihasilkan oleh berbagai bagian organisasi.

3. Karakteristik Auditor Investigatif

  (Fitrawansyah, 2014: 137) Kecurangan (fraud) sifatnya tersembunyi dan tidak pernah ada kecurangan yang persis sama. Pada audit investigasi juga tidak ada yang seratus persen dapat mengungkap fakta yang sebenar-benarnya. Oleh karena itu dibutuhkan: a. Kompetensi;

  b. Kreativitas; c. Intuisi auditor.

  Kecakapan intuisi dapat diperoleh jika punya fikiran terbuka, selalu ingin tahu dan objektif. Intuisi diartikan sebagai pertimbangan professional yang merupakan kualitas dan watak dari pikiran yang datang dari pengalaman pribadi. Pendidikan dan pelatihan berperan dalam pengembangan kecakapan intuisi. Pada auditor investigasi diperlukan:

  a. Kualitas;

  b. Keterampilan;

  c. Keahlian khusus; Ketiganya yaitu kombinasi antara auditor berpengalaman dengan penyelidik kriminal.dalam pelaksanaan tugasnya, auditor investigasi menerapkan berbagai disiplin ilmu, keahlian dan pengetahuan professional.

C. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 1. Badan Pemeriksa Keuangan

  Badan Pemeriksa Keuangan atau disingkat BPK adalah lembaga negara yang memiliki wewenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara menurut UUD 1945. Algemene Rekenkamer adalah nama lain dari apa yang kini disebut Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang memiliki kewenangan tertinggi atas pemeriksa keuangan negara.

  Badan Pemeriksa Keuangan merupakan satu lembaga negara yang bebas dan mandiri dalam memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Badan Pemeriksa Keuangan sebelumnya merupakan bagian dari Bab VIII yang membahas tentang hal keuangan negara, dipisahkannya Badan Pemeriksa Keuangan dalam bab tersendiri dimaksudkan untuk memberi dasar hukum yang lebih kuat serta pengaturan lebih rinci mengenai BPK. Dengan adanya ketentuan mengenai hal ini dalam UUD 1945, diharapkan pemeriksaan terhadap pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dilakukan secara lebih optimal. Dengan demikian, diharapkan dapat meningkatkan transparansi dan tanggung jawab (akuntabilitas) terhadap keuangan negara (

  Ni’matul Huda, 2005: 176).

  BPK mempunyai visi dan misi yaitu terwujudnya BPK RI sebagai lembaga pemeriksa yang bebas dan mandiri, professional, efektif dan modern dalam sistem pengelolaan keuangan negara yang setiap entitasnya memiliki pengendalian intern yang kuat, memiliki aparat pemeriksa intern yang kuat dan hanya diperiksa oleh satu aparat pemerintah ekstern untuk mewujudkan pemerintahan yang bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

  Badan Pemeriksa Keuangan berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi. Pembentukan perwakilan ditetapkan dengan keputusan BPK dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.

2. Sejarah dan Praktek Badan Pemeriksa Keuangan

  Pada pasal 23 ayat (5) UUD 1945 telah ditetapkan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang peraturannya ditetapkan dengan Undang-undang. Hasil pemeriksaan itu disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

  Berdasarkan amanat UUD Tahun 1945 tersebut telah dikeluarkan Surat Penetapan Pemerintah No. 11/OEM tanggal 28 Desember 1946 tentang pembentukan Badan Pemeriksa Keuangan, pada tanggal 1 januari 1947 yang berkedudukan sementara di kota Magelang. Pada waktu itu ketua Badan Pemeriksa Keuangan pertama adalah R. Soerasno. Untuk memenuhi tugasnya, Badan Pemeriksa Keuangan dengan suratnya tanggal

  12 April 1947 no. 94-1 telah mengumumkan kepada semua instansi di wilayah Republik Indonesia mengenai tugas dan kewajibannya dalam memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara, untuk sementara masih menggunakan peraturan perundang-undangan yang dulu berlaku bagi pelaksanaan tugas Algemene Rekenkamer (Badan Pemeriksa Keuangan) pada zaman Hindia Belanda, yaitu ICW (Indische

  

Comptabiliteitswet) dan IAR (Instructie en verdure bepalingen voor de

Algemeene Rekenkamer) (Abu Daud Busroh, 1994: 55).

  Dalam Penetapan Pemerintah No. 6/1948 tempat kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan dipindahkan dari Magelang ke Yogyakarta. Negara Republik Indonesia yang ibukotanya di Yogyakarta tetap mempunyai Badan Pemeriksa Keuangan sesuai pasal 23 ayat (5) UUD Tahun 1945 ketuanya diwakili oleh R. Kasirman yang diangkat berdasarkan SK Presiden RI tanggal 31 Januari 1950 No. 13/A/1950 terhitung mulai 1 Agustus 1949 (Abu Daud Busroh, 1994: 56).

  Berdasarkan piagam konstitusi RIS tanggal 14 Desember 1949 terbentuklah Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS), berbarengan dengan itu maka terbentuk pula Dewan Pengawas Keuangan yang merupakan salah satu alat perlengkapan negara RIS, sebagai ketua diangkat R. Soerasno Dewan Pengawas Keuangan RIS berkantor di Bogor menempati bekas kantor Algemene Rekenkamer pada masa pemerintah

  Netherland Indies Civil Administration (NICA) (Abu Daud Busroh, 1994: 57).

  Tanggal 17 Agustus 1950 Negara kesatuan Republik Indonesia kembali terbentuk, Dewan Pengawas Keuangan RIS sejak tanggal

  1 Oktober 1950 digabung dengan Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUDS 1950 Personalia Dewan Pengawas Keuangan RIS diambil dari unsur Badan Pemeriksa Keuangan di Yogyakarta dan dari Algemene

  Rekenkamer di Bogor (Abu Daud Busroh, 1994: 57)

  Sampai pada dikeluarkannya Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, yang menyatakan berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian Dewan Pengawas Keuangan berdasarkan UUD 1950 kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Pasal 23 (5) UUD Tahun 1945 ( Ni’matul Huda, 2005: 178).

  Meskipun Badan Pemeriksa Keuangan berubah-ubah menjadi Dewan Pengawas Keuangan RIS berdasarkan konstitusi RIS dewan Pengawas Keuangan RI (UUDS 1950), kemudian kembali menjadi Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan UUD Tahun 1945, namun landasan pelaksanaan kegiatannya masih tetap menggunakan ICW dan IAR.

  Dalam perkembangan fungsi BPK, berdasarkan Ketetapan MPRS No.11/MPRS/1960 serta resolusi MPRS No. 1/Res/MPRS/1963 telah dikemukakan keinginan-keinginan untuk menyempurnakan Badan Pemeriksa Keuangan, sehingga dapat menjadi alat kontrol yang efektif. Untuk mencapai tujuan itu maka pada tanggal 12 Oktober 1963, Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang No. 7 Tahun 1963 (LN No. 195 Tahun) yang kemudian diganti dengan Undang-undang (PERPU) No. 6 Tahun 1964 tentang Badan Pemeriksa Keuangan Gaya Baru.

  Untuk mengganti PERPU tersebut, dikeluarkanlah UU No. 17 Tahun 1965 yang antara lain menetapkan bahwa Presiden, sebagai Pemimpin Besar Revolusi pemegang kekuasaan pemeriksaan dan penelitian tertinggi atas penyusunan dan pengurusan keuangan negara. Ketua dan Wakil Ketua BPK RI berkedudukan masing-masing sebagai Menteri Koordinator dan Menteri.

  Akhirnya oleh MPRS dengan Ketetapan No. X/MPRS/1966 Kedudukan BPK RI dikembalikan pada posisi dan fungsi semula sebagai Lembaga Tinggi Negara. Sehingga UU yang mendasari tugas BPK RI perlu diubah dan akhirnya direalisasikan pada Tahun 1973 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

  Diluar struktur BPK pemerintah orde baru membentuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang mempunyai struktur organisasi yang menjangkau ke seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. sementara itu organisasi BPK jauh lebih kecil. Di daerah ada beberapa kantor perwakilan, misalnya perwakilan BPK Wilayah II di Yogyakarta. Wilayah III di Ujung Pandang dan Wilayah IV di Medan. Untuk menghadapi dualism pemeriksaan oleh BPK dan BPKP itulah, maka pasal 23E ayat (1) menegaskan bahwa, “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. Di sini tegas dikatakan hanya satu badan yang bebas dan mandiri. Oleh karena itu, BKPK dengan sendirinya harus dilikuidasi, dan digantikan fungsinya dengan BPK (Padmo Wahjono, 2005: 277).

  Dalam era reformasi sekarang ini, Badan Pemeriksa Keuangan telah mendapatkan dukungan konstitusional dari MPR RI dalam Sidang Tahunan tahun 2002 yang memperkuat kedudukan BPK RI sebagai lembaga pemeriksa eksternal di bidang keuangan negara, yaitu dengan dikeluarkannya TAP MPR No. VI/MPR/2002 yang antara lain menegaskan kembali kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan sebagai satu- satunya lembaga pemeriksa eksternal keuangan negara yang perannya perlu lebih dimantapkan sebagai lembaga yang independen dan professional (Rahimullah, 2007: 52).

3. Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan

  Sesuai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan keuangan negara dilaksanakan oleh lembaga negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, BPK sebagai lembaga yang dimaksud mempunyai tugas dan kewenangan yang harus dilaksanakan dengan baik.

  Dijelaskan dalam UU RI No. 15 Tahun 2006 tentang BPK bahwa pada Bab III pasal 6 ayat (1) Badan Pemeriksaan Keuangan bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh:

  (i) Pemerintah Pusat; (ii) Pemerintah Daerah; (iii) Lembaga Negara; (iv) Bank Indonesia (BI); (v) Badan Usaha Milik Negara (BUMN); (vi) Badan Layanan Umum; (vii) Lembaga Atau Benda Lain yang Mengelola Keuangan Negara.

  Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan atas laporan keuangan. Kemudian yang dimaksud dengan pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan dengan tujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diperiksa.

  Pemeriksaan yang dilaksanakan oleh akuntan publik, berdasarjan ketentuan undang-undang laporan hasil pemeriksaan tersebut wajib disampaikan kepada BPK dan dipublikasikan. Kemudian dalam melaksanakan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan negara, BPK melakukan pembahasan atas temuan pemeriksaan dengan objek yang diperiksa sesuai standar pemeriksaan keuangan negara. Standar pemeriksaan adalah patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau pemeriksa.

  Selanjutnya, BPK bertugas menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Kemudian DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga perwakilan. Oleh karena itu, hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang telah diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD dinyatakan terbuka untuk umum (Jimly Asshidiqie, 2007: 869).

  Dijelaskan pula bahwa untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan, BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara tertulis kepada Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota sesuai dengan kewenangannya. Tindak lanjut dari hasil pemeriksaan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota kepada BPK. Namun, apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.

  Selanjutnya laporan BPK sebagaimana dimaksud dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan BPK memantau pelaksanaan tindak pemeriksaan tersebut yang hasilnya kemudian diberitahukan secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemerintah.

  Seperti yang telah dikemukakan diatas, dalam melaksanakan tugasnya, bpk juga mempunyai wewenang. Pasal 9 ayat (1) Undang- undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menjelaskan bahwa BPK berwenang: a. Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan;

  b. Meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,

  Lembaga Negara lainnya, BUMN, BUMD, dan lembaga lain atau badan lain yang mengelola keuangan negara; c. Melakukan pemeriksaan di tmpat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;

  d. Menetapkan jenis dokumen, data serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;

  e. Menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;

  f. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara; g. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa diluar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK; h. Membina jabatan fungsional pemeriksa; i. Memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintah; j. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern pemerintah pusat/pemerintah daerah sebelum ditetapkan oleh

  Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah.

  BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian Negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelolaan BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

  Penilaian kerugian keuangan negara dan/atau penetapan pihak yang berkewajiban membayar ganti kerugian ditetapkan dengan keputusan BPK. Dan untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau: a. Penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain; b. Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK;

  c. Pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

  Kemudian dijelaskan pula bahwa, BPK dapat memberikan 1) pendapat kepada DPR, DPD, DPRD. Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah. Lembaga Negara Lain, Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum BUMD, Yayasan dan Lembaga atau Badan Lain yang diperlukan karena sifat pekerjaannya. 2) pertimbangan atas penyelesaian kerugian/daerah, dan 3) keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah.

  Terkait dengan kewenangannya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), mengajukan permohonan pengujian UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara perpajakan (UU Perpajakan) di Mahkamah Konstitusi (MK). Penjelasan pengujian UU tersebut menyatakan pasal 34 ayat (2a) huruf b dan penjelasan pasal tersebut telah mengurangi hak konstitusional BPK sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

  Ketentuan UU Perpajakan itu menyatakan bahwa pejabat atau tenaga ahli pajak dapat memberikan keterangan kepada lembaga negara yang berhak memeriksa keuangan negara harus ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

  Ketentuan itu bertentangan dengan UUD 1945, terutama pasal 23E ayat (1) tentang kewenangan BPK, yang menegaskan BPK didirikan sebagai suatu lembaga negara yang bebas dan mandiri hanya untuk satu tujuan saja. “Tujuan tunggal pendirian BPK itu adalah untuk memeriksa setiap sen uang yang dipungut oleh negara, dari mana pun sumbernya, di mana pun disimpan dan untuk apapun dipergunakan”. Dan jika hal itu bertentangan maka dapat diartikan bahwa sebagai lembaga negara yang bebas dan mandiri BPK belum dapat menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan Undang-undang yang mengaturnya.

  Lebih lanjut, prosedur izin dari Menteri Keuangan dalm hal pemeriksaan pajak itu juga tidak lazim. Hal itu disebabkan BPK adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya lebih tinggi dari Departemen Keuangan. Kedudukan Ketua BPK sebagai lembaga negara adalah lebih tinggi daripada Menteri Keuangan.

  Untuk memahami tentang wewenang Badan Pemeriksa Keuangan yaitu kita harus mengerti, apa yang dimaksud dengan pemeriksaan.

  Pemeriksaan adalah terjemahan dari auditing. Pada saat ini, tidak ada jaminan pengelolaan yang dapat dibebaskan dari keharusan auditing sebagai jaminan bahwa pengelolaan keuangan itu memang sesuai dengan norma-sorma yang berlaku (rule of the games). Oleh sebab itu, setiap pengelolaan keuangan harus dilakukan sesuai aturan yang benar sehingga diperlukan mekanisme pemeriksaan yang di sebut financial audit.

  Pemeriksaan keuangan itu sendiri sebenarnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah secara umum. Kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintahan haruslah dilakukan secara simultan dan menyeluruh sejak dari tahap perencanaan sampai ke tahap evaluasi dan penilaian, mulai dari tahap rule making sampai ketahap rule enforcing. Auditing atau pemeriksaann tidak selalu bertujuan mecari kesalahan, melainkan juga untuk meluruskan yang bengkok dan memberikan arah dan bimbingan agar pelaksanaan tugas-tugas dan fungsi lembaga ini dapat tetap berada di dalam koridor aturan yang berlaku. Artinya, pemeriksaan dapat berfungsi preventif dan dapat berfungsi korektif dan kuratif (Jimly Asshidiqie, 2006: 162).

  Selama ini, pemeriksaan pajak hanya menggunakan mekanisme pemeriksaan dan perhitungan pajak dilakukan secara internal (self

  

assessment) oleh kelengkapan Departemen Keuangan. Pemeriksaan

  tertutup itu, bisa memunculkan berbagai upaya penggelapan pajak. Oleh karena itu, jika tidak ada pemeriksaan eksternal oleh BPK, sistem

  “self assessment

  ” itu hanya merupakan lisensi untuk melakukan kejahatan penggelapan pajak.

  Pembatasan wewenang BPK dalam Undang-undang Perpajakan itu juga bertentangan dengan beberapa ketentuan lain, yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor

  1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Jimly Asshidiqie, 2004: 53) 4.

   Lembaga BPK Pasca Amandemen UUD 1945

  Sistem ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945, sesungguhnya mengandung dimensi yang sangat luas, yang tidak saja berkaitan dengan hukum tata negara tetapi juga bidang-bidang hukum yang lain, seperti hukum administrasi, hak asasi manusia dan lain-lain. Dimensi perubahan itu juga menyentuh tatanan kehidupan politik di tanah air, serta membawa implikasi perubahan yang cukup besar di bidang social, politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional (Jimly Asshidiqie, 2007: 84).

  Sebelum UUD 1945 diubah, pasal 23 ayat (5) diartikan secara restriktif yaitu mengenai pelaksanaan APBN. Namun, menurut Harun Al Rasid, tidak menutup kemungkinan adanya suatu peraturan perundang- undangan yang menugaskan kepada Badan pemeriksa Keuangan untuk memberiksa badan hukum yang lain dari negara (Jimly asshidiqie, 2007: 850).

  Namun, dengan adanya perubahan UUD 1945, ketentuan mengenai Badan Pemeriksa Keuangan mencakup 7 butir ketentuan yang cukup luas dan rinci pengaturannya, maka kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan mengalami perluasan yang substansif. Pemeriksaan keuangan negara oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dikaitkan dengan objek pemeriksaan pertanggungjawaban hasil pemeriksaan yang lebih luas dan melebar. BPK juga diharuskan menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD, dan DPRD. Bahkan dalam hasil pemeriksaan itu mengindikasikan perlunya penyelidikan dan penyidikan diproses secara hukum oleh lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum inilah yang dimaksud oleh pasal 23E UUD 1945 dengan istilah “badan sesuai dengan Undang- undang”. Dalam rumusan ayat (3) yang berbunyi “Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang- undang”.

  Pasal 23 ayat (1) hasil amandemen UUD 1945 memberi peran strategis kepad BPK, yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara melalui suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. Sebagai institusi resmi pemeriksa eksternal independen, keberadaan BPK diakui secara konstitusional dan perannya direvitalisasi menjadi lembaga negara yang sejajar dengan MPR, DPR, DPD, Presiden dan MA.

  Sudah tentu, BPK sendiripun juga tidak dapat dikatakan salah jika beritikad baik untuk menyampaikan hasil-hasil pemeriksaannya itu kepada lembaga penegak hukum. Kemungkinan lain, dapat pula terjadi bahwa yang berinisiatif untuk menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK itu adalah DPR sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah dan pemerintahan. DPR-lah yang meneruskan hasil pemeriksaan BPK itu kepada kepolisian atau badan-badan lain seperti KPK dan sebagainya. Namun, setelah berhasil pemeriksaan oleh BPK itu disampaikan kepada DPR, maka semua informasi mengenai hasil pemeriksaan itu sudah menjadi milik umum atau publik, sehingga dengan sendirinya setiap lembaga penegak hukum dapat berinisiatif sendiri untuk menegakkan hukum dan menyelamatkan kekayaan negara dari kegiatan yang tidak terpuji yang merugikan kekayaan negara (Jimly Asshiddiqie, 2006: 165).

  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bagai momok menakutkan bagi lembaga dan instansi pemerintah di negeri ini. Sebagi auditor negara, BPK kerap menemukan penyimpangan anggaran dibeberapa instansi. Sebab itu tak jarang tim audit BPK dihalang-halangi untuk melakukan proses audit.

  Pasca Amandemen UUD 1945, BPK memang mulai menjadi lembaga tinggi negara yang diperhitungkan. Sesuai dengan perubahan konstitusi, maka keberadaan BPK harus disesuaikan karena ada keluasaan kewenangan yang diberikan. Kewenangan ini menyangkut tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, ada beberapa UU yang turut mengganjal kewenangan BPK dalam tugasnya antara lain UU BUMN, UU Pasar Modal, UU Wajib Pajak, dan UU Kerahasiaan Bank. Sebelum diamandemen, BUMN diaudit oleh auditor atau akuntan publik, tapi setelah amandemen seharusnya BPK yang melakukannya.

  Selain terhambat oleh beberapa Undang-undang, dari pihak BUMN sendiri juga ada keengganan untuk diperiksa BPK. Dengan alasan, bila BPK yang memeriksa maka saham perusahaan plat merah itu akan turun nilainya. Ada sentimen negatif bila BPK yang mengaudit karena sifatnya terbuka public (Jimly Asshidiqie, 2006: 173) hal tersebut dimaksud dalam rangka transparansi dan peningkatan partisipasi publik Undang-undang menetapkan bahwa setiap laporan hasil pemeriksaan yang telah disampaikan kepada lembaga perwakilan dinyatakan terbuka untuk umum.

  Dengan demikian masyarakat dapat memperoleh kesempatan untuk mengetahui hasil pemeriksaan.

  Sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan untuk memeriksa keuangan dan tanggung jawab pengelolaan keuangan negara, BPK dapat memeriksa uang negara yang dikelola oleh para penyelenggara negara. Misalnya, BPK dapat memeriksa Menteri Keuangan dan Menteri BUMN ataupun menteri lain yang membidangi pembinaan teknis badan usaha milik tersebut. BPK tidak perlu memeriksa fisik uang dan pembukuannya, tetapi cukup memeriksa tanggung jawab pengelolaan uang negara oleh pejabat negara yang terkait dengan uang negara itu (Jimly Asshidiqie,

  2007: 822). Bahkan, jika di perusahaan-perusahaan negara tersebut terdapat wakil pemerintah yang duduk di komisaris, maka BPK dan aparat penyidik bisa saja memeriksa komisaris yang bersangkutan sebagai tindakan dalam rangka menilai pelaksanaan tanggung jawabnya mengawasi kekayaan negara yang dikelola oleh perusahaan yang bersangkutan.

  Pemanggilan yang dilakukan oleh BPK adalah tindakan terakhir yang dilakukan oleh BPK untuk menghadirkan seseorang setelah upaya dalam rangka memperoleh, melengkapi, dan/atau meyakini informasi yang dibutuhkan dalam kaitan dengan pemeriksaan.

  Untuk menjamin integritas dalam menjalankan kewenangannya, BPK wajib bersikap tegas dalam menerapkan prinsip, nilai dan keputusan.

  Juga dalam mengemukakan dana/atau melakukan hal-hal yang menurut pertimbangan yang menurut keyakinannya.

  Sebagaimana telah ditetapkan dalam UUD 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi (i) pemeriksaan atas pengelolaan, dan (ii) pemeriksaan atas tanggung jawab mengenai keuangan daerah. Dengan demikian, berarti lingkup kewenangan pemeriksaan keuangan negara oleh BPK ini menjadi sangat luas.

  BPK pasca reformasi dapat dikatakan memiliki kewenangan yang sangat besar dan luas, mencakup bidang-bidang pengaturan (legislatif), pelaksanaan (eksekutif), dan bahkan juga penjatuhan sanksi (yudikatif). Disamping fungsinya yang demikian, BPK tentu saja memiliki wewenang untuk menetapkan keputusan-keputusan yang bersifat administratif. Karena itu, BPK setelah informasi kewenangan yang bersifat campuran. Padahal, pengertian keuangan negara yang menjadi objek kewenangannya juga telah di diperluas sedemikian rupa sehingga pemeriksaan yang dilakukannya menjangkau obyek pengelola keuangan negara dalam arti yang sangat luas, baik dari segi substansial sektoral maupun struktural horizontal dan struktural vertikal sampai ke daerah-daerah. Akibatnya, format organisasi BPK mau tidak mau juga harus diperbaiki dan diperbesar sedemikian rupa, sehingga kapasitas kelembagannya benar- benar dapat memenuhi tugasnya secara efektif (Jimly Asshidiqie, 2007: 863).

  Karena pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam kedudukannya yang demikian, negara tunduk padatatanan hukum publik.

  Melalui kegiatan berbagai lembaga pemerintahan, negara berusaha memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat. Oleh karena itu, dengan adanya perluasan kewenangan yang dimiliki BPK, tidak hanya memeriksa keuangan lembaga negara atau lembaga lain yang menggunakan anggaran negara tetapi juga diberi kewenangan mengaudit kebijakan lembaga negara. Dengan demikian, diharapkan BPK dapat meningkatkan kinerja dan mampu mengaudit laporan keuangan yang lebih rumit. Sehingga keberadaan dan kedudukan BPK diperkokoh sebagai satu lembaga negara pemeriksa keuangan agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

5. Landasan Hukum Kekuasaan Badan Pemeriksa Keuangan

  (Tim BEPEKA, 1998: 36)

  a. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dari ketentuan pasal 23 ayat (5) UUD 1945, diketahui bahwa kekuasaan pemeriksaan tanggung jawab tentang keuangan negara berada pada Badan Pemeriksa Keuangan.

  Kata “kekuasaan” memang tidak tampak pada teks pasal 23 ayat (5) UUD 1945, tetapi disebut dua kali pada penjelasan pasalnya yaitu sebagai berikut;…Untuk memeriksa tanggung jawab jawab pemerintah itu perlu ada suatu yang terlepas dari pengaruh dan kekuasaan pemerintah…. Sebab itu kekuasaan dan kewajiban itu ditetapkan dengan undang-undang. Kata kekuasaan yang disebut terakhir pada kalimat di atas adalah kekuasaan yang dimiliki oleh BPK untuk melakukan pemeriksaan tanggung jawab tentang keuangan negara. Dengan demikian cukup jelas maksud yang melatarbelakangi penyebutan kekuasaan BPK dalam penjelasan pasal 23 ayat (5) UUD 1945 yang memberikan imbangan kekuasaan yang sederajat antara kekuasaan BPK dan kekuasaan Pemerintah seperti yang disebutkan dalam ketentuan pasal 6, 7, 8, 9 UUD 1945. Kekuasaan yang dimiliki oleh BPK lazim disebut sebagai kekuasaan konstitusional BPK. Oleh sebab itu kekuassan tersebut perlu diidentifikasikan baik mengenai makna maupun sifatnya.

  Pertama, bahwa kekuasaan BPK itu adalah salah satu bagian dari kekuasaan negara yang oleh pemegang kekuasaan tertinggi negara dilimpahkan kepada BPK. Mengenai kekuasaan tertinggi negara yang berada pada MPR dinyatakan secara tegas oleh UUD 1945

  “die gezamte staat gewalt lieght allein beider majelis”. Kekuasaan itu

  disebut sebagai

  “gewalt” atau “geweld” dalam bahasa Belanda, yang

  identik dengan kata

  “force atau violence” dalam baha Inggris, yang

  berarti kekerasan atau paksaan. Demikian pula halnya kekuasaan BPK yang dilimpahkan oleh negara atau MPR, mengandung daya paksa, sehingga tidak dapat diremehkan atau dilecehkan atau dipermainkan oleh kepentingan suatu golongan dan sembarang orang.

  Kedua, bahwa kekuasaan BPK itu dapat dibedakan dan atau dipisahkan dengan kekuasaan Pemerintah. Kekuasaan pemerintah itu disebut oleh UUD 1945 sebagai power yang terpusat ditangan Presiden dengan ungkapan

  “concentration of power and responsibility upon the

president”. Kata power dalam Bahasa Inggris berarti kekuasaan,

  kekuatan atau pengaruh. Demikian pula halnya, sebagai imbangan power pemerintah yang dimaksud, maka BPK memiliki power atau kekuasaan yang bersifat kuat serta berpengaruh terhadap pihak lain yang menjadi obyek pemeriksaannya.

  Ketiga, bahwa kekuasaan BPK itu tidak berbeda makna dan sifatnya dengan pengertian kekuassan pada umumnya, baik dibidang sosial maupun politik, yakni mengandung kekuatan memaksa dan atau dapat mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti kehendak yang memiliki kekuasaan. Penggunaan kata kuasa dan atau kekuasaan dalam UUD 1945 itu dapat diketahui dan ketentuan pasal-pasal yang bersangkutan, seperti kekuasaan tertinggi, kekuasaan pemerintahan, kekuasaan membentuk undang-undang kekuasaan kehakiman dan lain sebagainya.

  Keempat, bahwa kekuasaan BPK itu bersumber pada faham demokrasi yang dianut oleh UUD 1945, khususnya di bidang keuangan negara. UUD 1945 menganut faham atau berjiwa demokrasi konstitusional, yang menghendaki agar distribusi kekuasaan dalam negara berjalan moderat, sehingga setiap kekuasaan tidak terlampaui kuasa. Beberapa kekuasaan tidak boleh berada disatu tangan, itulah faham mengenai distribusi kekuasaan politik negara. Dalam faham yang dianut UUD 1945, kekuasaan pemeriksaan keuangan negara tidak diabaikan. Di dalam negara modern dewasa ini uang atau kekayaan dinilai sebagai kekuatan yang menakjubkan. Kekayaan itu adalah salah satu sumber kekuasaan, karena dengan uang dapat dibeli apa saja yang diinginkan. Menghadapi kekuatan uang atau kekayaan seperti itu, maka UUD 1945 sejak dini telah meletakkan daya tangkal jauh ke masa depan. Ketentuan Pasal 23 UUD 1945 yang terdiri dari lima ayat itu pada dasarnya merupakan pembatasan dari kekuasaan pemerintah dibidang keuangan negara. Tidak saja mengenai penganggaran jumlah uang kas atau uang tunai yang akan diperoleh dan digunakan oleh pemerintah harus mendapat persetujuan dari rakyat, yang dalam hal ini diwakili oleh DPR, melainkan semua hal yang berkaitan dengan keuangan negara harus diatur dengan undang-undang. Lenih lanjut dikatakan bahwa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara tersebut harus diperiksa oleh BPK. Jelaslah bahwa kekuasan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada DPR dan BPK sesungguhnya merupakan faktor pembatas terhadap kekuasaan pemerintah dalam mengelola keuangan Negara.

  Penguasaan uang atau kekayaan negara oleh pemerintah tidak dibiarkan berjalan sendiri oleh UUD 1945. Kekuasaan pemerintah tersebut harus berjalan berdampingan, serasi, selaras, dan seimbang dengan kekuasaan DPR dan BPK, dalam suasana kedaulatan rakyat.

  Dari faham demokrasi mengenai kekuassan pemeriksaan keuangan Negara, sebagai diutarakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa setiap pendapat yang akan mengurangi, memperkecil, membatasi atau mempersulit penerapan kekuasaan konstitusional DPR dan kekuasaan BPK, pada dasarnya adalah pendapat yang menjauhi demokrasi (inkonstitusional) dan mengganggu ketaatan dan ketertiban keuangan negara yang diamanatkan oleh UUD 1945.

  b. Menurut Peraturan Perundang-undangan.

  Untuk merealisasikan kekuasaan BPK itu diberlakukan Undang- Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK meskipun undang-undang ini dirasakan belum menjamin kelancaran pelaksana kegiatannya. Kedudukan konstitusional itu nampaknya belum berarti legal dalam pelaksanaan operasional. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1973 tersebut masih banyak memerlukan peraturan perundang-undangan yang melandasi pelaksanaan kegiatan BPK, yang diharapkan dapat membantu BPK dalam memenuhi tugas konstitusionalnya guna menegakkan kedudukan, tugas, kewajiban, wewenang, dan fungsinya.

  Kekurangan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1973 tersebut kiranya dapat dimaklumi, karena Undang-undang ini memang bersifat lebih banyak mengatur tentang apa dan siapa BPK itu, daripada mengatur tentang pelaksanaan kegiatannya. Meskipun demikian, undang-undang ini antara lain menunjuk pada Indische Comptabiliteitswet (ICW) dan instructieen verdure bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR).