BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Atribusi - Analisis Akuntansi Forensik Dan Audit Investigatif Terhadap Pelaksanaan Prosedur Audit Dalam Penerapan Good Corporate Governance

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Atribusi

  Teori yang dikembangkan oleh Fritz Heider (1958) ini mempelajari proses bagaimana seseorang menginterpretasikan sesuatu peristiwa, alasan, atau sebab perilakunya. Perilaku seseorang oleh kombinasi antara kekuatan internal dan eksternal.

  Hal yang sama dikemukakan Robbins (2003) bahwa teori atribusi merupakan dari penjelasan cara-cara manusia menilai orang secara berlainan, tergantung pada makna apa yang dihubungkan ke suatu perilaku tertentu. Pada dasarnya teori ini menyarankan bahwa jika seseorang mengamati perilaku seseorang individu, orang tersebut berusaha menentukan apakah perilaku itu disebabkan oleh faktor internal atau eksternal yang tergantung pada tiga faktor.

  1. Kekhususan (ketersendirian), merujuk pada apakah seseorang individu memperlihatkan perilaku-perilaku yang berlainan. Yang ingin diketahui adalah apakah perilaku ini luar biasa atau tidak. Jika luar biasa, maka kemungkinan besar pengamat memberikan atribusi eksternal kepada perilaku tersebut. Jika tidak, kelihatannya hal ini akan dinilai sebagai sifat internal.

2. Konsensus, yaitu jika semua orang yang menghadapi suatu situasi yang serupa bereaksi dengan cara yang sama.

  3. Konsistensi dicari dari tindakan seorang apakah orang tersebut memberikan reaksi yang sama dari waktu ke waktu. Makin konsistensi perilaku, maka hasil pengamatan semakin cenderung untuk menghubungkan dengan sebab-sebab internal.

  Penafsiran Pengamatan Atribusi sebab Tinggi Internal Kekhususan Rendah eksternal

  Perilaku Individu Tinggi Internal Konsensus Tinggi Internal Rendah eksternal

  Konsistensi Rendah eksternal Gambar 2.1

2.2 Auditing

2.2.1 Pengertian Auditing

  Auditing adalah pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan oleh pihak yang independen dimana hasil pemeriksaan laporan keuangan yang dilakukan oleh auditor dapat memberikan informasi kepada para pemakai laporan keuangan.

  Menurut Alvin A. Arens, Elder dan Beasley (2011:4) mengemukakan definisi Auditing ialah “Auditing is the accumulation and evaluation of

  

evidience about information to determine and report on the degree of

correspondence between the information and established criteria. Auditing

should be done by a competent, independent person”

  Diterjemahkan adalah “Auditing adalah pengumpulan dan evaluasi bukti tentang informasi untuk menentukan dan melaporkan derajat kesesuaian antar informasi itu dan kriteria yang telah ditetapkan. Auditing harus dilakukan oleh orang yang kompeten dalam deskripsi”.

  Menurut Whittington, O.Ray dan Kurt Panny, (2012:4)

  

“In a financial statement audit , the auditors undertake to gather evidence

and provide a high level of assurance that the financial statements follow

generally accepted accounting principles,or some other appropriate basis of

accounting. An audit involves searching and verifying the accounting

records and examining other evidence supporting the financial statements.

By gathering information about the company and its environment,, including

internal control; insoection documents; observing assets; making inquires

within and outside the company; and performing other auditing procedures,

the auditors will gather the evidence necessary to issue an audit report. That

audit report states that it is the auditors’ opinion that the financial

statements follow generally accepted accounting principles”.

  Menurut Konrath (2002:5) definisi auditing adalah “Suatu proses sistematis untuk secara objektif mendapatkan dan mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan antara asersi tersebut dan kriteria yang telah ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan”. Definisi auditing menurut Sukrisno Agoes (2012 :4) adalah,

  “Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut”.

  Beberapa hal penting dari pengertian diatas yang bisa disimpulkan adalah sebagai berikut :

  1. laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen perusahaan beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya,

  2. pemeriksaan dilakukan secara kritis dan sistematis, 3. pemeriksaaan dilakukan oleh pihak independen, yaitu akuntan publik, 4. tujuan pemeriksaan oleh akuntan adalah untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang diperiksa.

2.2.2 Jenis-Jenis Audit

  Menurut Alvin Arens (2008:16) mengemukakan bahwa jenis audit yang dilakukan oleh akuntan publik terdiri dari tiga jenis utama audit adalah: Audit operasional adalah mengevaluasi efisiensi dan efektivitas setiap bagian dari prosedur dan metode operasi organisasi yang pada akhir audit operasional, manajemen biasanya mengaharapkan saran-saran untuk memperbaiki operasi perusahaan.

  Review atau penelaahan yang dilakukan tidak terbatas pada akuntansi,

  tetapi juga mencakup evaluasi atas struktur organisasi, operasi komputer, metode produksi, dan semua bidang lain dimana auditor menguasainya.

  Dalam hal ini, audit operasinal lebih menyerupai konsultasi menajemen daripada yang biasanya dianggap auditing.

  Audit kepatuhan (compliment audit) adalah tinjauan yang dilaksanakan bertujuan menentukan apakah pihak yang diaudit (auditee) telah mengikuti prosedur, aturan, tata cara, atau ketentuan tertentu yang ditetapkan oleh otoritas yang lebih tinggi.

  Audit atas laporan keuangan (financial statement audit) dilaksanakan untuk menentukan apakah seluruh laporan keuangan (informasi yang diverifikasi) telah dinyatakan sesuai dengan kriteria tertentu. Biasanya criteria yang berlaku adalah prinsip-prinsip akuntansi.

  Sedangkan Sukrisno Agoes (2012:10) membedakan jenis audit berdasarkan dari luasnya pemeriksaan yaitu,

  1. Pemeriksaan umum (General audit) Suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh

  Kantor Akuntan Publik (KAP) yang independen dengan tujuan bisa memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan sesuai dengan Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) atau ISA atau Panduan Audit Entitas Bisnis Kecil dan memperhatikan Kode Etik Profesi Akuntan Akuntan Publik, Pengendalian Mutu serta kode etik Akuntan Indonesia yang telah disahkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia.

  2. Pemeriksaan khusus (Special audit) Suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan auditee) yang dilakukan oleh KAP independen dan pada akhir pemeriksaannya auditor tidak memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pendapat yang diberikan terbatas pada pos atau masalah tertentu yang diperiksa karena prosedur audit yang dilakukan juga terbatas.

2.3 Akuntansi Forensik

2.3.1 Pengertian Akuntansi Forensik

  Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan (Tuanakotta,2012:4). Akuntansi forensik dapat diterapkan di sektor publik maupun swasta, sehingga apabila memasukkan pihak yang berbeda maka akuntansi forensic menurut D. Larry Crumbey dalam Tuanakotta (2012:5) dari Journal of Forensic Accounting menuliskan “Simply put, forensic accounting is legally accurate accounting. That is,

  

accounting that is sustainable in some adverdarial legal proceding, or within

some judicial or administrative review.” (“secara sederhana akuntansi

  forensik dapat dikatakan sebagai akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial, atau tinjauan administrative.”).

  Definisi dari Crumbey menekankan bahwa ukuran dari akuntansi forensik adalah ketentuan hukum dan perundang-undangan, berbeda dari akuntansi yang sesuai dengan GAAP (Generally Accepted Accounting

  

Principles ). Sedangkan menurut Bologna dan Lindquist yang dikutip dalam

  Crumbley dan Apostolou (2002 :17) mendefenisikan akuntansi forensik sebagai “forensic and investigative accounting is the application of financial

  

skills and an investigative mentality to unresolved issues, conducted within the

context of the rules of evidence ”. Dengan terjemahan sebagai berikut,

  akuntansi forensik dan investigasi adalah aplikasi kecakapan finansial dan sebuah mentalitas penyelidikan terhadap isu-isu yang tak terpecahkan, yang dijalankan dalam konteks rules of evidence”.

  Dari beberapa pengertian akuntansi forensik di atas, dapat disimpulkan bahwa akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi yang berdasarkan pada keterampilan-keterampilan dalam menginvestigasi dan menganalisis yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah keuangan yang dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh hukum. Oleh karena itu akuntansi forensik sering didefinisikan sebagai analisis akuntansi yang dapat mengungkap penipuan, yang mungkin sangat cocok untuk presentasi di pengadilan. Analisis semacam itu akan menjadi dasar untuk resolusi diskusi, perdebatan, dan perselisihan.

  Seorang akuntan forensik menggunakan pengetahuannya tentang akuntansi, studi hukum, investigasi dan kriminologi untuk mengungkap fraud, menemukan bukti dan selanjutnya bukti tersebut akan dibawa ke pengadilan jika dibutuhkan (Ramaswamy, 2007).

  The American Institute of Certified Public Accountants (AICPA) dalam

  Hopwood (2008:5) mengklasifikasikan akuntansi forensic dalam dua kategori :“jasa penyelidikan (investigative services) dan jasa litigasi (litigation

  

services )”. Dalam jasa layanan yang pertama meliputi pemeriksa penipuan

  atau auditor penipuan dimana mereka mengetahui tentang akuntansi mendeteksi, mencegah, dan mengendalikan penipuan, penyalahgunaan dan misinterpretasi. Jenis layanan yang kedua merepresentasikan kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa akuntansi forensik yang ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian.

  Akuntansi forensik pada awalnya adalah perpaduan paling sederhana antara akuntansi dan hukum (misalnya dalam pembagian harta gono-gini).

  Dalam kasus yang lebih pelik, ada satu bidang tambahan yaitu audit sehingga model akuntansi forensiknya direpresentasikan dalam tiga bidang.

  (Tuanakotta,2012:18)

  

AKUNTANSI

HUKUM AUDITING

  Gambar 2.2 Diagram Akuntansi Forensik

  Ada cara lain dalam melihat akuntansi forensik menurut Tuanakotta dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif yaitu dengan menggunakan Segitiga Akuntansi Forensik.

  Perbuatan melawan hukum

  Hubungan Kerugian kulitatif

  Gambar 2.3 Segitiga Akuntansi Forensik

  Pada sektor publik maupun swasta akuntansi forensik berurusan dengan kerugian. Pada sektor publik negara mengalami kerugian Negara dan kerugian keuangan negara. Sementara itu pada sektor swasta kerugian juga terjadi akibat adanya ingkar janji dalam suatu perikatan. Titik pertama dalam segitiga adalah kerugian. Adapun perbuatan melawan hukum menjadi titik kedua. Tanpa adanya perbuatan melawan hukum, tidak ada yang dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Titik ketiganya adalah hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum.

  Hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum merupakan ranahnya para ahli dan praktisi hukum dalam menghitung besarnya kerugian dan mengumpulkan barang bukti. Jadi, Segitiga Akuntansi Forensik juga merupakan model yang mengaitkan disiplin hukum, akuntansi dan auditing.

2.3.2 Ruang Lingkup Akuntansi Forensik 1.

  Praktek di Sektor Swasta

  G. jack Bologna Robert J. Lindquist penulis perintis akuntansi forensik dalam Tuanakotta (2012:84) menekankan beberapa istilah dalam perbendaraan akuntansi, yaitu: fraud auditing, forensik accounting

  

investigative support , dan valuation analysis. Litigation support merupakan

  istilah dalam akuntansi forensik bersifat dukungan untuk kegiatan ligitasi keempat istilah tersebut.

  Bologna dan Lindquist melanjutkan bahwa para akuntan tradisional membedakan fraud auditing dan forensic accounting. Mereka berpendapat,

  

fraud auditing berurusan dengan pendekatan dan metodologi yang bersifat

  aktif dalam meneliti fraud; artinya, audit ini ditujukan kepada pencarian bukti terjadinya fraud. Sedaangkan akuntansi forensik dipanggil ketika bukti-bukti terkumpul atau kecurigaan (suspicion) naik ke permukaan melalui tuduhan (allegation), keluhan (complaint), temuan (discovery), atau

  tip-off dari whistleblower.

  Bologna dan Lindquist tidak menyentuh istilah valuation analysis karena analisis ini berhubungan dengan akuntansi atau unsur hitungan. Pihak-pihak yang bersengketa dapat meminta satu pihak membeli seluruh saham pihak lainnya atau mereka sepakat akhirnya pembeli adalah penawar yang mengajukan harga tertinggi.

2. Praktek di Sektor Pemerintahan

  Akuntansi forensik pada sektor publik di Indonesia lebih menonjol daripada akuntansi forensik pada sektor swasta. Secara umum akuntansi forensik pada kedua sektor tidak berbeda, hanya terdapat perbedaan pada tahap-tahap dari seluruh rangkaian akuntansi forensik terbagi-bagi pada berbagai lembaga.

  Tuanakotta (2012:93) mengemukakan ada lembaga yang melakukan pemeriksaan keuangan negara, ada beberapa lembaga yang merupakan bagian dari internal pemerintahan, ada lembaga-lembaga pengadilan, ada lembaga yang menunjang kegiatan memerangi kejahatan pada umumnya, dan korupsi khususnya seperti (PPATK), dan lembaga-lembaga lainnya seperti KPK. Juga ada lembaga swadaya masyarakat yang berfungsi sebagai

  Ukuran Keberhasilan

  Penilaian bisnis (business

  Akuntansi Tekanan pada kerugian Negara dan kerugian keuangan Negara

  Relative lebih sedikit dibandingkan di sektor publik. Kreativitas dalam pendekatan sangat menenetukan

  Sangat bervariasi karena kewenangan yang relatif besar

  Bukti intern, dengan bukti ekstern yang lebih terbatas Teknik audit investigative

  Memulihkan kerugian Pembuktian Dapat melibatkan instansi lain di luar lembaga yang bersangkutan

  Memenangkan perkara pidana dan memulihkan kerugian

  Perdata, arbitrase, administratif/aturan intern perusahaan

  pressure group .

  Hukum Pidana umum dan khusus, hukum administarsi Negara

  and expense )

  Amanat undang-undang Penugasan tertulis secara spesifik Imbalan Lazimnya tanpa imbalan Fee dan biaya (contingency fee

  Landasan Penugasan

  Dimensi Sektor Publik Sektor Swasta

  Akuntansi forensik di Sektor Publik dan Swasta

  Tabel 2.1

  Tabel dibawah ini membandingkan akuntansi forensik di sektor publik dengan akuntansi forensik di sektor swasta.

  valuation )

2.3.3 Atribut, Standar dan Kode Etik Akuntansi Forensik 1. Atribut

  Howard R. Davia dalam Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif (Tuanakotta,2012:99-104) memberikan nasehat kepada seorang auditor pemula dalam melakukan investigasi terhadap fraud.

  Pertama, Hindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur. Identifikasi terlebih dahulu, siapa pelaku atau yang berpotensi untuk menjadi pelaku kecurangan karena ketika auditor berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan tidak dapat menjawab siapa pelakunya.

  Kedua, Fraud auditor harus mampu membuktikan niat pelaku melakukan kecurangan (perpetrators’ intent to commit fraud). Dalam sidang di pengadilan seringkali kasus kandas di tengah jalan dikarenakan penyidik dan saksi ahli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau pelanggaran.

  Ketiga, “Be creative, think like preparatory, do not be predictable”. Seorang fraud auditor harus kreatif, berpikir seperti pelaku fraud jangan mudah ditebak. Seorang auditor harus berpikir seperti pelaku fraud atau seperti penjahat sehingga ia dapat mengantispasi langkah-langkah selanjutnya pelaku fraud atau koruptor ketika mengetahui perbuatan mereka terungkap.

  Keempat, Auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan (collusion conspiracy). Pengendalian intern yang sebaik bagaimanapun tidak dapat mencegah hal ini terjadi. Ada dua macam persengkokolan yaitu,

  a.

   Ordinary conspiracy. Persekongkolan yang sifatnya sukarela, dan dan pesertanya memang mempunyai niat jahat.

  b.

   Pseudo conspiracy. Misalnya, seorang tidak menyadari bahwa

  keluguannya dimanfaatkan oleh rekan kerjanya (contoh: memberikan password computer ).

  Kelima, Dalam memilih proactive fraud detection strategy (strategi untuk menemukan kecurangan dalam investigasi proaktif), auditor harus tahu dimana kecurangan itu dilakukan, di dalam atau di luar pembukuan.

2. Standar

  Secara sederhana, standar adalah ukuran mutu. Dimana standar berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman bagi seluruh anggota organisasi auditor dalam mematuhi kode etik dan menjalankan tugas serta kewajiban profesional sebagaimana tercantum dalam Kode Etik bagi auditor.

  K.H. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett dalam Tuanakotta (2012:115) merumuskan beberapa standar untuk mereka yang melakukan investigasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas fraud yang dilakukan pegawai di sebuah perusahaan. Standar tersebut ialah : a. seluruh investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui.

  b. kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian sehingga bukti- bukti tadi dapat diterima pengadilan. c. pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks; dan jejak audit tersedia.

  d. memastikan para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senatiasa menghormatinya.

  e. beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.

  f. cakup seluruh subtansi investigasi dan “dikuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.

  g. liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamatan hal-hal yang rahasia, ikuti tata cara, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, melibatkan dan/atau melapor ke polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai laporan.

  Sedangkan standar-standar dibawah ini akan dijelaskan dengan konteks Indonesia.

  Standar 1

  Seluruh investigasi harus dilandasi praktek terbaik yang diakui (accepted

  

best practices ). Dalam hal ini tersirat dua hal yaitu adanya upaya

  membandingkan antara praktik-praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu (benchmarking) dan upaya benchmarking dilakukan terus menerus mencari solusi terbaik.

  Standar 2

  Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian (due care) sehingga bukti-bukti tadi dapat diterima di pengadilan.

  Standar 3

  Pastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi dan diindeks, dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan dengan benar. Referensi ini juga membantu perusahan dalam upaya perbaikan cara-cara investigasi sehingga accepted best practices yang dijelaskan di atas dapat dilaksanakan.

  Standar 4

  Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan senantiasa menghormatinya. Apabila investigasi dilakukan dengan cara yang melanggar hak asasi pegawai yang bersangkutan dapat membuat perusahaan dan investigator dituntut.

  Standar 5

  Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan kecurangan dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut baik dalam kasus hukum administratif maupun hukum pidana.

  Standar 6

  Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasai” seluruh target yang sangat kritis ditinjau dari segi waktu.

  Standar 7

  Liput seluruh tahapan kunci dalan proses investigasi, termasuk perencanaan, pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai pelaporan.

  Selain standar yang sudah dijelaskan diatas, Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) Nomor 06 yang dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, juga diatur mengenai standar audit kecurangan yaitu dalam bagian standar pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Adapun standar pelaksanaan pemeriksaan dengan tujuan tertentu berisikan : a.

  Hubungan dengan Standar Profesional Akuntan Publik yang ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) b.

  Komunikasi Pemeriksa c. Pertimbangan terhadap hasil pemeriksaan sebelumnya d.

  Pengendalian intern e. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimanpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan : kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse) f. Dokumentasi pemeriksaan g.

  Pemberlakukan standar pemeriksaan

3. Kode etik

  Kode etik merupakan bagian dari kehidupan berprofesi dimana kode etik mengatur Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya, dengan pemakai jasanya dan stakeholder lainnya,dan dengan masyarakat luas. Kode etik berisi nilai-nilai luhur yang sangat penting bagi eksistensi profesi. Eksistensinya sebuah profesi dikarenakan adanya intergritas, rasa hormat dan menghormati, dan nilai-nilai yang lainnya yang bisa menciptakan rasa percaya dari para stakeholders lainnya.

  Di Amerika Serikat, (ACFE) telah menetapkan kode etik bagi para fraud

  auditor yang bersertifikat, yang terdiri atas delapan butir yaitu : a.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam segala keadaan, harus menunjukkan komitmen terhadap profesionalisme dan ketekunan dalam pelaksanaan tugasnya.

  b.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan yang bersifat ilegal atau melanggar etika, atau segenap tindakan yang dapat menimbulkan adanya konflik kepentingan.

  c.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam semua keadaan, harus menunjukkan integritas setinggi-tingginya dalam semua penugasan profesionalnya, dan hanya akan menerima penugasan yang memiliki kepastian yang rasional bahwa penugasan tersebut akan dapat diselesaikan dengan sebaik-baiknya. d.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mematuhi peraturan/perintah dari pengadilan, dan akan bersumpah/bersaksi terhadap suatu perkara secara benar dan tanpa praduga.

  e.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat, dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, harus memperoleh bukti atau dokumentasi lain yang dapat mendukung pendapat yang diberikan. Tidak boleh menyatakan pendapat bahwa seseorang atau pihak-pihak tertentu “bersalah” atau “tidak bersalah”.

  f.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat tidak boleh mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia yang diperoleh dari hasil audit tanpa melalui otorisasi dari pihak-pihak yang berwenang.

  g.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat harus mengungkapkan seluruh hal yang material yang diperoleh dari hasil audit yakni, apabila informasi tersebut tidak diungkapkan akan menimbulkan distorsi terhadap fakta yang ada.

  h.

  Seorang fraud auditor yang bersertifikat secara sungguh-sungguh harus senantiasa meningkatkan kompetensi dan efektivitas hasil kerjanya yang dilakukan secara profesional.

2.4 Audit Investigatif

  Sudah dijelaskan pada bab awal bahwa akuntansi forensik pada awalnya adalah perpaduan sederhana antara akuntansi dan hukum. Namun seiring perkembangan, akuntansi forensik menjadi lebih kompleks karena selain bidang akuntansi dan hukum yakni melibatkan satu bidang lagi yaitu audit. Karena adanya kompleksitas di sektor bisnis dan perkembangan investasi yang pesat hal inilah yang membuat risiko terjadinya fraud semakin tinggi. Dimana fraud adalah penggelapan yang meliputi berbagai kecurangan antara lain penipuan yang disengaja (intentional deceit), pemalsuan rekening (falsification of account), praktik jahat (corrupt practices), penggelapan atau pencurian (embezlement), korupsi (corruption) dan sebagainya (Jones dan Bates,1990). Oleh karena itu untuk memperkecil akibat fraud dan memperbaiki sistem pengendalian, perusahaan diharapkan mengambil langkah yang tepat dengan melakukan audit investigasi.

  Pelaksanaan audit investigasi lebih mendasarkan kepada pola pikir bahwa untuk mengungkapkan suatu kecurangan auditor harus berpikir seperti pelaku

  

fraud itu sendiri, dengan mendasarkan pelaksanaan prosedur yang ditetapkan baik

  pada tahap perencanaan, pelaksanaan, pelaporan hingga tindak lanjut pemeriksaan. Untuk itu auditor harus memiliki kemampuan untuk membuktikan adanya fraud yang terjadi dan sebelumnya telah diindikasikan oleh berbagai pihak. Auditor harus peka terhadap semua hal yang tidak wajar. Auditor juga harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti konsep-konsep keuangan, dan kemampuan untuk menarik kesimpulan. Paling penting bagi seorang auditor adalah kemapuan menyederhanakan konsep-konsep keuangan sehingga orang- orang pada umumnya dapat memahami apa yang dimaksudkannya.sehingga Tuanakotta merumus auditor investigative (2007 :49) adalah “gabungan antara pengacara, akuntan, kriminolog, dan detektif (atau investigator)”.

2.4.1 Pengertian Audit Investigatif

  Pengertian audit investigatif menurut Jack Bologna dan Paul Shaw yang dikutip dalam Amin Widjaja (2005:36) mengatakan

  forensic accounting, sometimes called fraud auditing or investigative accounting, is a skill that goes beyond the realm of corporate and management fraud, embezzlement or commercial bribery. Indeed,

forensic accounting skill go beyond the general realm of collar crime

  Yang diterjemahkan sebagai berikut, akuntansi forensik kadang-kadang disebut audit penipuan, adalah keterampilan yang melampaui alam penggelapan dan penipuan manajemen perusahaan, atau penyuapan komersial. Memang, keterampilan akuntansi forensic melampaui wilayah umum kejahatan berkerah.

  Menurut Bastian (2002) dalam artikel “Peran Audit Investigasi Dalam

  Penegakan Good Governance Di Indinesia ” mengatakan bahwa:

  audit investigasi adalah kegiatan pemeriksaan dengan lingkup tertentu, periodenya tidak dibatasi, lebih spesifik pada area-area pertanggungjawaban yang diduga mengandung inefisiensi atau indikasi penyalahgunaan wewenang, dengan hasil audit berupa rekomendasi untuk ditindaklanjuti bergantung pada derajat penyimpangan wewenang yang ditemukan.

  Masih dalam artikel yang sama Rosjidi (2001) menjelaskan bahwa investigasi adalah audit dengan tujuan khusus yaitu, Untuk membuktikan dugaan penyimpangan dalam bentuk kecurangan (fraud), ketidakteraturan (irregulaties), pengeluaran illegal (illegal

  

expenditure ) atau penyalahgunaan wewenang (abuse of power) di bidang

  pengelolaan keuangan negara yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi dan atau, kolusi, nepotisme yang harus diungkapkan oleh auditor serta ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang kejaksaan atau kepolisian berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  Secara garis besar audit investigasi mirip dengan istilah Fraud

  

Examination sebagaimana yang dimaksud dalam Fraud Examination Manual

yang diterbitkan oleh Association of Certified Fraud Examiners (ACFE).

  Menurut panduan/manual para fraud examiners tersebut, yang dimaksud audit investigasi yaitu

  

Methodology for resolving fraud allegations from inception to disposition.

More specifically, fraud examination involves obtaining evidence and taking statements, writing reports, testifying findings and assisting in the detection and prevention of fraud

  Yang artinya adalah metodologi untuk menyelesaikan tuduhan-tuduhan penipuan dari awal sampai disposisi. Lebih khusus, pemeriksaan penipuan melibatkan memperoleh bukti dan mengambil laporan, menulis laporan, kesaksian temuan dan membantu dalam mendeteksi dan pencegahan penipuan.

  Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa audit investigatif merupakan cara atau ketrampilan yang melampaui fraud itu sendiri dengan cara dilakukannya pemeriksaan dan pengumpulan bukti-bukti untuk membuktikan dugaan kecurangan sehingga dapat ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2.4.2 Aksioma Audit Investigatif

  Menurut M. Tunanakota (2012:322), ada beberapa aksioma yang menarik terkait dengan audit investigatif yaitu,

  1. Kecurangan itu tersembunyi (Fraud is Hidden) Kecurangan memiliki metode untuk menyembunyikan seluruh aspek yang mungkin dapat mengarahkan pihak lain menemukan terjadinya kecurangan tersebut. Upaya-upaya yang dilakukan oleh pelaku kecurangan untuk menutupi kecurangannya juga sangat beragam, dan terkadang sangat canggih sehingga hampir semua orang (Auditor Investigatif) juga dapat terkecoh.

  2. Melakukan pembuktian dua sisi (Reserve Proof) Auditor harus mempertimbangkan apakah ada bukti-bukti yang membuktikan bahwa dia tidak melakukan kecurangan. Demikian juga sebaliknya, jika hendak membuktikan bahwa seseorang tidak melakukan tindak kecurangan, maka dia harus memeprtimbangkan bukti-bukti bahwa yang bersangkutan melakukan tindak kecurangan.

  3. Keberadaan suatu Kecurangan (Existence of Fraud) Adanya suatu tindak kecurangan atau korupsi baru dapat diperiksa jika telah diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.

  Dengan demikian, dalam melaksanakan Audit Investigatif, seorang auditor dalam laporannya tidak boleh memberikan opini mengenai kesalahan atau tanggung jawab salah satu pihak jawab atas terjadinya suatu tindak kecurangan atau korupsi”. Auditor hanya mengungkapkan fakta dan proses kejadian, beserta pihak-piahk yang terkait dengan terjadinya kejadian tersebut berdasarkan bukti- bukti yang telah dikumpulkannya.

2.4.3 Prinsip-prinsip Audit Investigatif

  Menurut M Tuanakotta (2010:351) mengumukakan bahwa prinsip- prinsip audit investigatif yaitu,

  1. Invetigasi adalah tindakan mencari kebenaran.

  2. Kegiatan investigasi mencakup pemanfaatan sumber-sumber bukti yang dapat mendukung fakta yang dipermaslahkan.

  3. Semakin kecil selang antara waktu terjadinya tindak kejahatan dengan waktu untuk “merespon ‟ maka kemungkinan bahwa suatu tindak kejahatan dapat terungkap akan semakin benar.

  4. Auditor mengumpulkan fakta-fakta sehingga bukti-bukti yang diperolehnya tersebut dapat memberikan kesimpulan sendiri/bercerita.

  5. Bukti fisik merupakan bukti nyata. Bukti tersebut sampai kapanpun akan selalu mengungkap hal yang sama.

  6. Informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan saksi akan sangat dipengaruhi oleh kelemahan manusia.

  7. Jika auditor mengajukan pertanyaan yang cukup kepada sejumlah orang yang cukup, maka akhirnya akan mendapatkan jawaban yang benar.

8. Informasi merupakan nafas dan darahnya investigasi”.

2.4.4 Macam-macam audit investigatif

  Menurut Ikatan Akuntan Indonesia Edisi No.20/Tahun

  IV/Maret/2008 mengemukakan bahwa ada dua jenis audit investigatif adalah, 1.

  Audit Investigatif Proaktif Dilakukan pada entitas yang mempunyai resiko penyimpangan tetapi entitas tersebut dalam proses awal auditnya belum atau tidak didahului oleh informasi tentang adanya indikasi penyimpangan, yang berpotensi menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan Negara dan atau perekonomian Negara.

2. Audit Investgatif Reaktif

  Audit Investiigatif reaktif mengandung langkah-langkah pencarian dan pengumpulan bahan bukti yang diperlukan untuk mendukung dugaan/sangkaan awal tentang adanya indikasi penyimpangan yang dapat menimbulkan kerugian keuangan/kekayaan Negara dan atau perekonomian Negara”.

2.4.5 Tujuan Audit Investigatif

  Tujuan investigasi yang di ambil dari K.H. Spencer Pickett and Jennifer Picket, Financial Crime Investigation and Control dalam Tuanakotta (2007:201) beberapa diantaranya,

  1. Memberhentikan manajemen. Tujuannya adalah sebagai teguran keras bahwa manajemen tidak mampu mempertanggung-jawabkan kewajiban fidusiernya, 2. Memeriksa, mengumpulkan dan menilai cukup dan relevannya bukti.

  Tujuannya akan menekankan bisa diterimanya bukti-bukti sebagai alat bukti untuk meyakinkan hakim di pengadilan,

  3. Melindungi reputasi dari karyawan yang tidak bersalah, 4.

  Menemukan dan mengamankan dokumen yang relevan untuk investigasi,

  5. Menemukan asset yang digelapkan dan mengupayakan pemulihan dari kerugian yang terjadi,

  6. Memastikan bahwa semua orang, terutama mereka yang diduga menjadi pelaku kejahatan, mengerti kerangka acuan dari invetigasi tersebut; harapannya adalah bahwa mereka bersedia bersikap kooperatif dalam investigasi itu,

  7. Memastikan bahwa pelaku kejahatan tidak bisa lolos dari perbuatannya,

  8. Menyapu bersih semua karyawan pelaku kejahatan, 9.

  Memastikan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sasaran penjarahan,

  10. Menentukan bagaimana investigasi akan dilanjutkan,

  11. Melaksanakan investigasi sesuai standar, sesuai dengan peraturan

  perusahaan, sesuai dengan buku pedoman,

  12. Menyediakan laporan kemajuan secara teratur untuk membantu pengambilan keputusan mengenai investigasi di tahap berikutnya.

  13. Memastikan pelakunya tidak melarikan diri atau menghilang sebelum

  tindak lanjut yang tepat dapat diambil, Mengumpulkan cukup bukti yang dapat diterima pengadilan, dengan

  14.

  sumber daya dan terhentinya kegiatan perusahaan seminimal mungkin,

  15. Memperoleh gambaran yang wajar tentang kecurangan yang terjadi dan

  membuat keputusan yang tepat mengenai tindakan yang harus diambil, Mendalami tuduhan (baik oleh orang dalam atau luar perusahaan, baik

  16.

  lisan maupun tertulis, baik dengan nama terang atau dalam bentuk surat kaleng) untuk menanggapinya secara tepat,

  17. Memastikan bahwa hubungan dan suasana kerja tetap baik,

  Melindungi nama baik perusahaan atau lembaga, 18. Mengikuti seluruh kewajiban hukum dan mematuhi semua ketentuan 19.

mengenai due diligence dan klaim kepada pihak ketiga (misalnya klaim

asuransi), Melaksanakan investigasi dalam koridor, 20.

  21. Menentukan siapa pelaku dan mengumpulkan bukti mengenai niatnya,

  22. Mengumpulkan bukti yang cukup untuk menindak pelaku dalam perbuatan

  yang tidak terpuji,

Mengidentifikasi praktik manajemen yang tidak dapat

  23.

  dipertanggungjawabkan atau perilaku yang melalaikan tanggung jawab,

  24. Mempertahankan kerahasiaan dan memastikan bahwa perusahaan atau

  

lembaga ini tidak terperangkap dalam ancaman tuntutan pencemaran nama

baik,

  25. Mengidentifikasi saksi yang meihat atau mengetahui terjadinya kecurangan

  dan memastikan bahwa mereka memberikan bukti yang mendukung tuduhan atau dakwaan terhadap sipelaku,

  26. Memberikan rekomendasi mengenai bagaimana mengelola risiko

  terjadinya kecurangan ini dengan tepat,

  Menurut pendapat Karni (2000:4) tentang audit investigasi adalah audit ketaatan bertujuan untuk mengetahui apakah seorang klien telah melaksanakan prosedur atau aturan yang telah ditetapkan oleh pihak yang memiliki otorisasi lebih tinggi. Dalam audit investigasi, ketentuan yang harus ditaati sangat luas, tidak hanya kebijakan manajemen, auditor investigasi sampai dengan hukum formal, hukum material dan lain-lain. Untuk itu, audit investigasi tidak hanya cukup untuk menguasai bidang ekonomi, tetapi juga mengerti tentang hukum yang berlaku

2.4.6 Metodologi Audit Investigatif

  Metodologi ini digunakan oleh Association of Certified Fraud

  Examiners (2004), yang terjadi rujukan internasional dalam melakukan Fraud

Examination . Metodologi tersebut menekankan kepada kapan dan bagaimana

  melaksankan suatu Pemeriksaan Investigatif atas kasus yang memiliki indikasi tindak kecurangan dan berimplikasi kepada aspek hukum, serta bagaimana menindaklanjutinya.

  Pemeriksaan Investigatif yang dilakukan untuk mengungkapkan adanya tindak kecurangan terdiri atas banyak langkah. Karena pelaksanaan pemeriksaan investigatif atas kecurangan berhubungan denga hak-hak individual pihak-pihak lainnya, maka pemeriksaan investigatif harus dilakukan setelah diperoleh alasan yang sangat memadai dan kuat, yang diistilahkan sebagai prediksi.

  Prediksi adalah suatu keseluruhan kondisi yang mengarahkan atau menunjukan adanya keyakinan kuat yang disadari oleh profesionalisme dan sikap kehati-hatian dari auditor yang telah dibekali dengan pelatihan dan pemahaman tentang kecurangan, bahwa Fraud/kecurangan telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi. Tanpa prediksi, pemeriksaan investigatif tidak boleh dilakukan. Hal ini menyebabkan adanya ketidakpuasan dari berbagai kalangan yang menyangka bahwa pelaksanaan financial audit-nya, maka institusi tersebut dapat melakukan Pemeriksaan Investigatif.

  Pemeriksaan Investigatif belum tentu langsung dilaksanakan karena indikasi yang ditemukan umumnya masih sangat prematur sehingga memerlukan sedikit pendalaman agar diperoleh bukti yang cukup kuat untuk dilakukan Pemeriksaan Investigatif. Garis besar proses audit investigasi secara keseluruhan, dari awal sampai dengan akhir yaitu sebagai berikut (Pusdiklatwas,2008): 1.

  Penelaahan Informasi Awal a.

  Sumber informasi. Informasi awal sebagai dasar penugasan audit investigatif berasal dari berbagai sumber, misalnya media massa, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), penegak hukum dan lain- lain.

  b.

  Mengembangkan hipotesis awal. Hipotesis awal disusun untuk menggambarkan perkiraan suatu tindak kecurangan itu terjadi.

  Hipotesis awal dikembangkan untuk menjawab mengenai apa, siapa, di mana, bilamana, dan bagaimana fraud terjadi.

  c.

  Menyusun hasil telaahan informasi awal. Hasil penelaahan informasi awal dituangkan dalam bentuk “Resume Penelaahan Informasi Awal” sehingga tergambar secara ringkas mengenai gambaran umum organisasi, indikasi bentuk-bentuk penyimpangan, besarnya estimasi potensi nilai kerugian negara yang terindikasi, hipotesis, pihak-pihak yang diduga terkait, rekomendasi penanganan.

  d.

  Keputusan pelaksanaan audit investigatif. Didasarkan dari apa yang diinformasikan dan tidak mempermasalahkan siapa yang menginformasikan. Namun fraud audit dapat dilakukan apabila telah ada suatu prediksi yang valid, yaitu keadaan-keadaan yang menunjukkan bahwa fraud telah, sedang, dan atau akan terjadi.

2. Perencanaan Pemeriksaan Investigasi a.

  Penetapan sasaran, ruang lingkup dan susunan tim. Sasaran dan ruang lingkup audit investigatif ditentukan berdasarkan informasi awal.

  b.

  Penyusunan program kerja. Untuk menyusun langkah-langkah kerja audit perlu memahami kegiatan yang akan diaudit.

  c.

  Jangka waktu dan anggaran biaya. Jangka waktu audit disesuaikan dengan kebutuhan yang tercantum dalam Surat Tugas Audit.

  Adapun anggaran biaya audit direncanakan seefisien mungkin tanpa mengurangi pencapaian tujuan audit.

  d.

  Perencanaan Audit Investigatif dengan metode SMEAC. Model perencanaan SMEAC menggunakan pendekatan terstruktur yang mencangkup semua elemen dasar dalam pelaksanaan satu operasi dan dapat pula digunakan sebagai kerangka untuk mengembangkan perencanaan yang lebih detail untuk memenuhi kondisi tertentu. SMEAC merupakan singkatan dari lima kata yang dirancang dalam proses perencanaan penugasan investigasi yaitu Situation, Mission, Execution, Administration & Logistics,

  Communication.

3. Pelaksanaan Audit Investigatif a.

  Pembicaraan Pendahuluan. Pelaksanaan audit investigatif didahului dengan melakukan pembicaraan pendahuluan dengan pimpinan auditan dengan maksud untuk: menjelaskan tugas audit, mendapatkan informasi tambahan dari auditan dalam rangka melengkapi informasi yang telah diperoleh serta menciptakan suasana yang dapat menunjang kelancaran pelaksanaan audit.

  b.

  Pelaksanaan program kerja. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan program kerja audit investigatif yaitu: perolehan bukti dokumen, jenis bukti atau dokumen, cara memperoleh bukti berbasis dokumen serta mendokumentasikan hasil analisis dokumen.

  c.

  Penerapan teknik audit investigatif. Untuk mengumpulkan bukti- bukti pendukung maka auditor dapat menggunakan teknik-teknik dalam pelaksanaan audit keuangan yaitu prosedur analitis, menginspeksi, mengonfirmasi, mengajukan pertanyaan, menghitung, menelusuri, mencocokan dokumen, mengamati, pengujian fisik serta teknik audit berbantu komputer.

  d.

  Melakukan observasi dan pengujian fisik. Teknik-teknik yang biasa dilakukan pada audit investigatif yaitu: wawancara, mereview laporan-laporan yang dapat dijadikan rujukan, berbagai jenis analisis terhadap dokumen atau data, pengujian teknis atas suatu objek, perhitungan-perhitungan, review analitikal, observasi dan konfirmasi.

  e. hasil observasi dan pengujian fisik. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendokumentasian yang baik dalam kegiatan investigasi yaitu penyimpanan dokumen pada arsip tersendiri serta pemisahan dokumen atau bukti untuk tiap kejadian hasil observasi dan pengujian fisik.

  f.

  Melakukan wawancara. Wawancara yang baik mencangkup pemahaman atas: tujuan dan sasaran melakukan wawacara, unsur-unsur pelanggaran yang harus dibuktikan, mengkaji bukti yang dibutuhan, mengajukan pertanyaan yang tepat sebelum wawancara, sadar akan pendapat dan prasangka, serta menyusun kerangka wawancara.

  g.

  Menandatangani berita acara. Penandatanganan dilakukan untuk menegaskan ketepatan informasi yang diberikan pihak oleh pihak yang diwawancarai.

  h. dan evaluasi kecukupan bukti.

  Pendokumentasian Pendokumentasian bukti harus dapat menjawab hal-hal berikut: gambaran posisi kasus, siapa yang dirugikan, siapa yang menjadi pelaku, kapan, di mana dan apa tuntutannya, serta kegiatan apa yang diinvestigasi.

4. Pelaporan Audit Investigatif

  Isi laporan hasil pemeriksaan audit investigasi memuat : unsur-unsur melawan hukum, fakta dan proses kejadian, dampak kerugian keuangan akibat penyimpangan/tindak melawan hukum, sebab-sebab terjadinya tindakan melawan hukum, pihak-pihak yang terkait dalam penyimpangan/tindakan melawan hukum yang terjadi, dan bentuk kerja sama pihak-pihak yang terkait dalam penyimpangan/tindakan melawan hukum. Dimana laporan audit investigatif disampaikan pada pihak-pihak yang berkepentingan untuk: a.

  Dalam rangka melakukan kerjasama antara unit pengawasan internal dengan pihak penegak hukum untuk menindaklanjuti adanya indikasi terjadinya fraud. b.

  Memudahkan pejabat yang berwenang dan atau pejabat obyek yang diperiksa dalam mengambil tindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

5. Tindak Lanjut

  Pada tahap tindak lanjut ini : proses sudah diserahkan dari tim audit kepada pimpinan organisasi dan secara formal selanjutnya diserahkan kepada penegak hukum. Penyampaian laporan hasil audit investigasi kepada pengguna laporan diharapkan sudah memasuki pula tahap penyidikan. Berkaitan dengan kesaksian dalam proses lanjutan dalam peradilan, tim audit investigasi dapat ditunjuk oleh organisasi untuk memberikan keterangan ahli jika diperlukan.

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian - Pergantian Debitur Pada Perjanjian Jual-Beli Mobil Secara Kredit Di Pt. Daya Adicipta Wihaya Di Medan

0 0 34

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pergantian Debitur Pada Perjanjian Jual-Beli Mobil Secara Kredit Di Pt. Daya Adicipta Wihaya Di Medan

0 0 10

BAB II PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI INDONESIA A. Penerapan Alat Bukti, Barang Bukti dan Kekuatan Pembutian pada KUHAP - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Seri

0 0 40

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Kajian Perbandingan Hukum Atas Pembuktian Menurut Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia Dengan Sistem Peradilan Pidana Di Amerika Serikat

0 0 31

Analisis Pendapatan Pengrajin Olahan Ubi Kayu Di Kecamatan Pegajahan (Studi Kasus : Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai)

1 1 69

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Analisis Pendapatan Pengrajin Olahan Ubi Kayu Di Kecamatan Pegajahan (Studi Kasus : Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai)

0 1 11

Analisis Kinerja Reksa Dana dengan Metode Sharpe, Metode Treynor dan Metode Sortiono (Studi pada Reksa Dana Saham di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2012-2014)

0 0 24

2.1.1.2 Tujuan Investasi - Analisis Kinerja Reksa Dana dengan Metode Sharpe, Metode Treynor dan Metode Sortiono (Studi pada Reksa Dana Saham di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2012-2014)

0 1 26

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Analisis Kinerja Reksa Dana dengan Metode Sharpe, Metode Treynor dan Metode Sortiono (Studi pada Reksa Dana Saham di Bursa Efek Indonesia Periode Tahun 2012-2014)

0 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kewirausahaan - Pengaruh Keterampilan Berwirausaha Terhadap Keberhasilan Usaha Pada Doorsmeer Sabena

0 1 11