2.1. Amanat Pembangunan Nasional Terkait Bidang Cipta Karya - DOCRPIJM d72de9769a BAB II2.BAB II NR

2.1. Amanat Pembangunan Nasional Terkait Bidang Cipta Karya
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan nasional
karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh
sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat
kebijakan pembangunan nasional.
2.1.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007, merupakan
dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai arah dan prioritas
pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan secara bertahap dalam
jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen tersebut, ditetapkan bahwa Visi
Indonesia pada tahun 2025 adalah “Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan
Makmur”. Dalam penjabarannya RPJPN mengamanatkan beberapa hal sebagai
berikut dalam pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a. Dalam

mewujudkan

Indonesia

yang


berdaya

saing

maka

pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan untuk
mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta kebutuhan
sektor-sektor terkait lainnya, seperti industri, perdagangan, transportasi,
pariwisata, dan jasa sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemenuhan kebutuhan tersebut dilakukan melalui pendekatan tanggap
kebutuhan (demand responsive

approach)

dan

pendekatan


terpadu

dengan sektor sumber daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air,
serta kesehatan.

BAB II-1

b. Dalam

mewujudkan

pembangunan

yang

lebih

merata

dan


berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa air
minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan kualitas pengelolaan aset
(asset management) dalam penyediaan air minum dan sanitasi, (2)
pemenuhan kebutuhan minimal air minum dan sanitasi dasar bagi
masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan air minum dan sanitasi yang
kredibel dan profesional, dan (4) penyediaan sumber-sumber pembiayaan
murah dalam pelayanan air minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c. Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih merata
dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi
dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat
untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Peran pemerintah akan
lebih difokuskan pada perumusan kebijakan pembangunan sarana dan
prasarana, sementara peran swasta
prasarana

akan

dalam


penyediaan

sarana

dan

makin ditingkatkan terutama untuk proyek-proyek yang

bersifat komersial.
d. Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada setiap
tahapan RPJMN, yaitu:


RPJMN

ke

2

(2010-2014):


Daya

saing

perekonomian

ditingkatkan melalui percepatan pembangunan infrastruktur
dengan lebih meningkatkan kerjasama antara pemerintah dan
dunia

usaha

dalam

pengembangan

perumahan

dan


permukiman.


RPJMN ke 3 (2015-2019): Pemenuhan kebutuhan hunian bagi
seluruh masyarakat terus meningkat karena didukung oleh
sistem

pembiayaan

perumahan

jangka

panjang

dan

berkelanjutan, efisien, dan akuntabel. Kondisi itu semakin
mendorong terwujudnya kota tanpa permukiman kumuh.



RPJMN ke 4 (2020-2024): terpenuhinya kebutuhan hunian yang
dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukung sehingga
terwujud kota tanpa permukiman kumuh.

BAB II-2

2.1.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010 – 2014
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun
2010

menyebutkan bahwa

infrastruktur merupakan salah

satu prioritas

pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial yang
berkeadilan


Dalam

rangka

pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal dan lingkungan yang layak

sesuai

dengan UUD

dengan
1945

mendorong

partisipasi

masyarakat


Pasal 28 H, pemerintah

memfasilitasi penyediaan

perumahan bagi masyarakat berpendapatan rendah serta memberikan dukungan
penyediaan prasarana dan sarana dasar permukiman, seperti air minum, air
limbah, persampahan dan drainase.

Dokumen RPJMN juga

menetapkan sasaran

pembangunan infrastruktur

permukiman pada periode 2010-2014, yaitu:
a) Tersedianya akses air minum bagi 70 % penduduk pada akhir tahun
2014, dengan perincian akses air minum perpipaan 32 persen dan
akses air minum non-perpipaan terlindungi 38 %.
b) Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) hingga
akhir tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses terhadap

sistem pengelolaan air limbah terpusat (off-site) bagi 10% total
penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat skala kota
sebesar 5% maupun sistem pengelolaan air limbah

terpusat

skala

komunal sebesar 5% serta penyediaan akses dan peningkatan kualitas
sistem pengelolaan air limbah setempat (on-site) yang layak bagi 90 %
total penduduk.
c) Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80% rumah
tangga di daerah perkotaan.
d) Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan strategis
perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan diarahkan untuk
meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap layanan air minum dan sanitasi
yang memadai, melalui:
a. Menyediakan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
b. Memastikan ketersediaan air baku ai minum,


BAB II-3

c. Meningkatkan

prioritas

pembangunan

prasarana

dan

sarana

air

minum,

permukiman,
d. Meningkatkan

kinerja

manajemen

penyelenggaraan

penanganan air limbah, dan pengelolaan persampahan,
e. Meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan
sanitasi,
f.

Meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,

g. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS),
h. Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan
infrastruktur,
i.

Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,

j.

Mengurangi

volume

air

limpasan,

melalui

penyediaan

bidang

resapan.

2.1.3. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia
Dalam rangka transformasi ekonomi menuju negara maju dengan pertumbuhan
ekonomi 7-9 persen per tahun, Pemerintah menyusun MP3EI yang ditetapkan
melalui Perpres No. 32 Tahun 2011. Dalam dokumen tersebut pembangunan
setiap koridor ekonomi dilakukan sesuai tema pembangunan masing-masing
dengan prioritas pada kawasan

perhatian

investasi

(KPI

MP3EI).

Ditjen

Cipta Karya diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman
pada KPI Prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan tersebut.
Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah adalah satu atau
lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau terhubung dengan
satu atau lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK. Pendekatan KPI dilakukan
untuk mempermudah identifikasi, pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan
ekonomi atau sentra produksi yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM
IPTEK yang sama.

BAB II-4

Gambar 2-1 : Peta Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Gambar 2-1 : Peta Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia

2.1.4. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan
Indonesia
Sesuai dengan agenda RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu
diimbangi

dengan

upaya

pembangunan

yang

inklusif

dan berkeadilan.

Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan
kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka kemiskinan dan
memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di semua daerah dan di
semua kelompok masyarakat. Dalam mencapai misi penanggulangan kemiskinan
pada tahun 2025, MP3KI bertumpu pada sinergi dari tiga strategi utama,
yaitu:
a. Mewujudkan system perlindungan sosial nasional yang menyeluruh,
terintegrasi,dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan
goncangan,
b. Meningkatkan pelayanan

dasar

bagi

penduduk

miskin

dan

rentan

sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan meningkatkan
kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang,
c. Mengembangkan

penghidupan

berkelanjutan

(sustainable

livelihood)

masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan dukungan di
tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan aspek.

BAB II-5

Kementerian Pekerjaan Umum, khususnya Ditjen Cipta Karya, berperan penting
dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan pelaksanaan program
pemberdayaan masyarakat (PNPM- Perkotaan/P2KP, PPIP, Pamsimas, Sanimas
dsb) serta Program Pro Rakyat.
2.1.5. Kawasan Ekonomi Khusus
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi Khusus adalah
kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan
memperoleh fasilitas tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan
yang memiliki keunggulan geoekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang
memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional. Di samping zona
ekonomi, KEK juga dilengkapi zona fasilitas pendukung dan perumahan bagi
pekerja. Ditjen Cipta Karya dalam hal ini diharapkan dapat mendukung
infrastruktur permukiman pada kawasan tersebut sehingga menunjang kegiatan
ekonomi di KEK.
2.1.6. Direktif Presiden Program Pembangunan Berkeadilan
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh
Kementerian,

Gubernur,

Walikota/Bupati,

untuk

menjalankan

program

pembangunan berkeadilan yang meliputi Program pro rakyat, Keadilan untuk
semua, dan Program Pencapaian MDGs. Ditjen Cipta Karya memiliki peranan
penting dalam pelaksanaan Program Pro Rakyat terutama program air bersih
untuk rakyat dan program peningkatan kehidupan

masyarakat

Sedangkan

Cipta

dalam

dalam

peningkatan

pencapaian MDGs,

Ditjen

Karya

perkotaan.
berperan

akses pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta

pengurangan permukiman kumuh.
2.2. Peraturam Perundangan Bidang PU/Cipta Karya
Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi
peraturan perundangan yang terkait dengan bidang Cipta Karya, antara lain UU
No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, UU No. 7 tahun 2008 tentang Sumber
Daya Air, dan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan.
BAB II-6

UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan kewenangan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan permukiman mempunyai
tugas:
a. Menyusun

dan

melaksanakan kebijakan

dan

strategi

pada

tingkat

kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman dengan
berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan provinsi.
b. Menyusun dan rencana pembangunan dan pengembangan perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c. Menyelenggarakan
pelaksanaan

fungsi

kebijakan

operasionalisasi
kabupaten/kota

dan

koordinasi

terhadap

dalam penyediaan rumah,

perumahan, permukiman, lingkungan hunian, dan kawasan permukiman.
d. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta

program di

bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e. Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota.
f. Melaksanakan
kebijakan

melaksanakan

dan

peraturan

perundang-undangan serta

strategi penyelenggaraan

perumahan

dan kawasan

permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
g. Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman.
h. Melaksanakan kebijakan dan strategi provinsi dalam penyelenggaraan
perumahan

dan

kawasan

permukiman berpedoman pada kebijakan

nasional.
i. Melaksanakan

pengelolaan

prasarana,

sarana,

dan

utilitas

umum

perumahan dan kawasan permukiman.
i. Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi
di

bidang

perumahan

dan

kawasan

permukiman pada tingkat

kabupaten/kota.
k. Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.

BAB II-7

Adapun wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menjalankan tugasnya
yaitu:
a. Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
b. Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan bidang
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
d. Melaksanakan

sinkronisasi

dan

sosialisasi

peraturan

perundang-

undangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota.
e. Mencadangkan

atau

menyediakan

tanah

untuk

pembangunan

perumahan dan permukiman bagi MBR.
f. Menyediakan prasarana

dan

sarana

pembangunan perumahan bagi

MBR pada tingkat kabupaten/kota.
g. Memfasilitasi

kerja

sama

pada

tingkat

kabupaten/kota

antara

pemerintah kabupaten/kota dan badan hukum dalam penyelenggaraan
perumahan dan kawasan permukiman.
h. Menetapkan lokasi

perumahan

dan

permukiman

sebagai

perumahan kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.
i. Memfasilitasi

peningkatan

kualitas

terhadap

perumahan

kumuh dan

permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota.

Di samping mengatur

tugas

dan

wewenang, UU

ini

juga

mengatur

penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman, pemeliharaan dan
perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh
dan permukiman kumuh, penyediaan tanah pendanaan dan pembiayaan, hak
kewajiban dan peran masyarakat.
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi,
dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Untuk itu perlu dilakukan upaya pencegahan,

terdiri

dari

pengawasan,

pengendalian, dan pemberdayaan masyarakat, serta upaya peningkatan kualitas
permukiman, yaitu pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.

BAB II-8

UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-Undang Bangunan Gedung menjelaskan bahwa penyelenggaraan
bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang meliputi proses
perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan,
pelestarian, dan pembongkaran. Setiap bangunan gedung harus memenuhi
persyaratan administratif dan persyaratan

teknis

sesuai

dengan

fungsi

bangunan gedung. Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas
tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan.
Sedangkan persyaratan teknis meliputi persyaratan tata

bangunan dan

persyaratan keandalan bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi
persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan
gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang ditetapkan
melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal sebagai berikut:
a.

keseimbangan,

keserasian,

dan

dengan lingkungannya harus

keselarasan

bangunan

gedung

mempertimbangkan terciptanya ruang

luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan
selaras dengan lingkungannya. Di samping itu, sistem penghawaan,
pencahayaan,

dan

pengkondisian

udara

dilakukan

dengan

mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam bangunan
gedung (amanat green building).
b.

Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar
budaya
dilindungi

sesuai

dengan

dan

dilestarikan.

perlindungan,

serta

peraturan

perundang-undangan harus

Pelaksanaan

pemeliharaan

atas

perbaikan,
bangunan

pemugaran,
gedung

dan

lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai
dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya.
c.

Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lanjut
usia merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung

UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
UU Sumber Daya Air pada dasarnya mengatur pengelolaan sumber daya air,
termasuk didalamnya pemanfaatan untuk air minum. Dalam hal ini, negara
menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok

BAB II-9

minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat, bersih, dan
produktif.
Pemenuhan kebutuhan air baku untuk air minum rumah tangga dilakukan dengan
pengembangan sistem penyediaan air minum dimana Badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah menjadi penyelenggaranya. Air minum rumah
tangga tersebut merupakan air dengan standar dapat langsung diminum tanpa
harus dimasak terlebih dahulu dan dinyatakan sehat menurut hasil pengujian
mikrobiologi Selain itu, diamanatkan pengembangan sistem penyediaan air
minum diselenggarakan secara terpadu dengan pengembangan prasarana dan
sarana sanitasi.
UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah bertujuan
untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta
menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan sampah rumah tangga
dan sampah sejenis sampah rumah tangga dilakukan dengan pengurangan
sampah, dan penanganan sampah. Upaya pengurangan sampah dilakukan
dengan

pembatasan timbunan sampah, pendauran ulang sampah, dan

pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan penanganan sampah
meliputi:
a. Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah
sesuai dengan jenis, jumlah, dan/atau sifat sampah,
b. Pengumpulan

dalam

bentuk

pengambilan

dan

pemindahan

sampah dari sumber sampah ke tempat penampungan sementara atau
tempat pengolahan sampah terpadu,
c. Pengangkutan

dalam

bentuk

membawa

sampah

dari

sumber

dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari tempat
pengolahan

sampah

terpadu

menuju

ke

tempat pemrosesan

akhir,
d. Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah,
e. Pemrosesan akhir

sampah

dalam

bentuk

pengembalian sampah

dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan
secara aman.

BAB II-10

Undang-undang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara terbuka di
tempat

pemrosesan

akhir.

Oleh

karena

itu,

Pemerintah daerah harus

menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem
pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA dengan sistem controlled landfill
ataupun sanitary landfill.

UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya turut serta
dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan UU No. 20 Tahun
2011. Dalam undang-undang tersebut Rumah susun didefinisikan sebagai
bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang
terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam
arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masingmasing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah
bersama. Peraturan ini juga mengatur perihal pembinaan, perencanaan,
pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan,
peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang, hak
dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran masyarakat.
2.3. Amanat International
Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan
perumusan

kesepakatan

bersama

di

bidang

permukiman. Beberapa

amanat internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan
dan

program

Rio+20,

bidang Cipta

Millenium

Karya

meliputi Agenda

Habitat,

Konferensi

Development Goals, serta Agenda Pembangunan Pasca

2015.
2.3.1. Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan Konferensi Habitat II
sebagai kelanjutan dari Konferensi Habitat I di Vancouver tahun 1976. Konferensi
tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen kesepakatan prinsip dan
sasaran pembangunan permukiman yang menjadi panduan bagi negara-negara
dunia dalam menciptakan permukiman yang layak dan berkelanjutan.
Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia, termasuk
Indonesia, adalah penyediaan tempat hunian yang layak

bagi seluruh

masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air minum, sanitasi, dan
pelayanan dasar terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok
rentan.
BAB II-11

2.3.2. Konfrensi Rio +20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT
Pembangunan Berkelanjutan atau lebih dikenal dengan KTT Rio+20. Konferensi
tersebut menyepakati dokumen The Future We Want yang menjadi arahan bagi
pelaksanaan

pembangunan

berkelanjutan

di tingkat global, regional, dan

nasional. Dokumen memuat kesepahaman pandangan terhadap masa depan
yang diharapkan oleh dunia (common vision)
menuju pembangunan berkelanjutan

dan

penguatan komitmen untuk

dengan memperkuat

penerapan

Rio

Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama bagi
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi Hijau dalam konteks
pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan, (ii) pengembangan
kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan tingkat global, serta (iii)
kerangka

aksi

dan

instrumen pelaksanaan pembangunan berkelanjutan.

Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development Goal’s
(SDG’s) post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan berkelanjutan secara
inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium Development Goal’s (MDG’s).
Bagi Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana
pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2014-2019, dan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (2005-2025).
2.3.3. Milenium Development Goal’s
Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati Deklarasi
Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi tujuan dan sasaran
pembangunan millennium (Millenium Development Goal’s). Konsisten dengan itu,
Pemerintah Indonesia telah mengarusutamakan MDG’s dalam pembangunan
sejak tahap perencanaan sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan
dalam

Rencana

Pembangunan

Jangka

Panjang

2005-2025,

Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014 serta Rencana Kerja
Tahunan berikut dokumen penganggarannya.
Sesuai tugas dan fungsinya, Ditjen Cipta Karya memiliki kepentingan dalam
pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga setengahnya proporsi rumah
tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap sumber air minum layak dan fasilitas
sanitasi dasar layak hingga tahun 2015. Di bidang air minum, cakupan pelayan

BAB II-12

air minum saat ini (2013) adalah 61,83%,

sedangkan

target

cakupan

pelayanan adalah 68,87% yang perlu dicapai pada tahun 2015. Di samping
itu, akses sanitasi yang layak saat ini baru mencapai 58,60%, masih kurang
dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta Karya juga turut
berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu mencapai peningkatan yang
signifikan dalam kehidupan penduduk miskin di permukiman kumuh (minimal
100

juta)

pada

tahun 2020.

Pemerintah Indonesia menargetkan luas

permukiman kumuh 6%, padahal data terakhir (2009) proporsi penduduk kumuh
mencapai 12,57%.
Untuk memenuhi target MDG’s di bidang permukiman, diperlukan perhatian
khusus dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat pusat
daerah.

Oleh

karena

itu,

maupun

pemerintah kabupaten/kota perlu melakukan

optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur permukiman dalam rangka
percepatan pencapaian target MDG’s.
2.3.4. Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi untuk
memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global pasca 2015.
Panel ini diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak Susilo Bambang
Yudhoyono, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia, dan Perdana Menteri
David Cameron dari Inggris, dan beranggotakan 24 orang dari berbagai negara.
Pada Mei 2013, panel tersebut mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris
Jenderal PBB berjudul “A New Global Partnership: Eradicate Poverty and
Transform Economies Through Sustainable Development”. Isinya adalah
rekomendasi

arahan

kebijakan

pembangunan

global

pasca-2015

yang

dirumuskan berdasarkan tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran yang
diambil dari implementasi MDG’s.
Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif pembangunan global
pasca 2015, sebagai berikut:
a.

Mengakhiri kemiskinan;

b.

Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan
gender;
Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur

c.

hidup;
d.

Menjamin kehidupan yang sehat;
BAB II-13

e.

Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik;

f.

Mencapai akses universal ke Air Minum dan Sanitasi;

g.

Menjamin energi yang berkelanjutan;

a.

Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan
pertumbuhan berkeadilan;

b.

Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan;

c.

Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif ;

d.

Memastikan masyarakat yang stabil dan damai;

e.

Menciptakan sebuah lingkungan permukiman global dan mendorong
pembiayaan jangka panjang.

Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta Karya berkepentingan dalam
pencapaian sasaran 6 yaitu mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi.
Adapun target yang diusulkan dalam pencapaian sasaran tersebut adalah:
a. Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di
rumah, dan di sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi;
b. Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses
universal ke sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan meningkatkan
akses sanitasi di rumah tangga sebanyak x%;
c. Menyesuaikan kuantitas air baku (freshwater withdrawals) dengan
pasokan air minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian
sebanyak x%, industri sebanyak y% dan daerah-daerah perkotaan
sebanyak z%;
d. Mendaur ulang atau mengolah semua

limbah

cair

dari

daerah

perkotaan dan dari industri sebelum dilepaskan.
Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen laporan tersebut
juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara global maupun lokal antar
pemangku kepentingan pembangunan. Kemitraan yang dimaksud memiliki
prinsip inklusif, terbuka, dan akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersamasama untuk bekerja bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan
kerangka kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

BAB II-14