BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - ANALISIS KEKAMBUHAN PADA PASIEN ASMA BRONKHIAL DALAM 1 TAHUN DI RSU. ST. ELISABETH PURWOKERTO TAHUN 2013 - repository perpustakaan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asma merupakan suatu penyakit paru yang terjadi akibat radang dan
penyempitan saluran nafas, dengan gejala nafas yang berbunyi apabila pasien menghembuskan nafasnya, tetapi ada juga pasien yang tidak mengalami nafas bunyi namun hanya mengalami batuk terutama pada saat malam hari atau setelah melakukan aktivitas (Widjaja, 2009). Penyakit asma ini, secara global merupakan penyakit penyebab 5 besar kematian di dunia. Individu dunia yang mengalami penyakit asma pada tahun 2010 ada sebanyak 300 juta (17,4%). Jika asma tidak dikontrol dengan baik, maka angka kejadian asma ini diperkirakan akan meningkat hingga 400 juta pasien pada tahun 2025 (Eric et.al, 2010).
Penelitian epidemiologi di berbagai negara mengenai prevalensi asma menunjukkan angka yang sangat bervariasi, di Skandinavia 0,7-1,8%; Norwegia 0,9- 2%; Finlandia 0,7-0,8%; Inggris 1,6-5,1%; Australia 5,4-7,4%, India 0,2%; Jepang 0,7%; Barbados 1,1% (GINA, 2011). Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%. Penelitian prevalensi asma di Australia 1982-1992 yang didasarkan kepada data atopi atau mengi menunjukkan kenaikan prevalensi asma akut di daearah lembah (Belmont) dari 4,4% (1982) menjadi 11,9% (1992), dari daerah perifer yang kering
1 adalah sebesar 0,5% dari 215 anak dengan bakat atopi sebesar 20,5% dan mengi 2%.
Indonesia merupakan negara berkembang yang banyak menghadapi masalah kesehatan masyarakat, salah satunya adalah penyakit asma. Asma merupakan penyebab kematian nomor lima di Indonesia dan pada tahun 2007 jumlah penderita asma di Indonesia telah mencapai 5000 orang. Pasien asmayang tidak terkontrol pada tahun 2007 ada sekitar 64% dari 400 pasien yang menderita asma. Jumlah pasien asmayang terdapat di Indonesia pada tahun 2011 ada sebanyak 12 juta orang (Bakrie, 2011). Berdasarkan data Riskesdas (2013), prevalensi asma di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 4,5 persen, prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara Timur (7,3%), DI Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%).
Peningkatan prevalensi penderita asma disebabkan oleh adanya polusi udara (industri, kendaraan bermotor, pembakaran hutan dll), gaya hidup masyarakat (obesitas, allergen dalam rumah seperti tungau, debu rumah, bulu hewan dan allergen luar rumah seperti rokok, serbuk sari dan spora jamur) dan kurangnya pengetahuan keluarga mengenai kondisi penyakit dan pengobatan pasien asma tersebut (Iris, 2008). Penyakit asma yang sering kambuh dan tidak terkontrol selain dapat menyebabkan penurunan produktivitas dan kualitas hidup masyarakat juga dapat meningkatkan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit serta dapat pula menimbulkan kematian (Eric et.al, 2010). Menanggapi hal ini, pemerintah mencanangkan program pengendalian penyakit Asma dalam undang-undang kesehatan Nomor 1023/Menkes/SK/XI/2008 (DEPKES RI, 2008).
Faisal (2007) melalui penelitiannya yang berjudul “Asthma Insight
and Reality in Asia Pasific (AIRIAP)” menemukan bahwa 98% dari 4.805
pasien asma di Asia Pasifik yang masuk dalam kategori asma tidak terkontrol dan dalam hal ini 64 persen dari 400 orang penyandang asma di Indonesia juga termasuk dalam kategori asma tidak terkontrol. Hal ini disebabkan oleh kurangnya edukasi asma yang didapatkan masyarakat dari tenaga kesehatan setempat. Kebiasaan tenaga kesehatan, hanya mengatasi gejala penyakit asma tanpa memberikan konstribusi pengetahuan kepada masyarakat mengenai cara meminimalisasi faktor penyebab kekambuhan asma tersebut (Hudoyo, 2008).
Purnomo (2008) telah melakukan penelitian terkait asma dengan judul penelitian “Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma di
RS Umum Kabupaten Kudus, Semarang, Jawa Tengah ”. Berdasarkan penelitian ini didapatkan data bahwa penyebab Asma adalah asap rokok (p
value = 0,001), jenis kelamin (p value= 0,028), kepemilikan binatang (p
value = 0,025), riwayat keluarga (p value= 0,015) dan perubahan cuaca (p
value = 0,008). Namun, didalam penelitian ini dinyatakan bahwa perabot
rumah tangga (p value =0,059), jenis makanan (p value =0,50) dan debu rumah (p value =0,306) tidak termasuk kedalam faktor pencetus timbulnya asma. Ketiga faktor tersebut berpengaruh akan menimbulkan penyakit asma tetapi besar risiko yang diakibatkan lebih kecil, dan secara statistik tidak bermakna.
Deva (2009) juga melakukan penelitian tentang proporsi asma terkontrol dan tidak terkontrol dari kekambuhan asma. Berdasarkan hasil pemeriksaan ACT didapatkan bahwa hanya 1 pasien yang terkontrol penuh dan 113 (33%) yang terkontrol sebagian. Sebagian besar pasien 230 orang (67%) tidak terkontrol. Satu orang pasien terkontrol penuh merupakan pasien dengan derajat asma intermiten dengan pengetahuan tentang asma yang baik dan aktif mengikuti kegiatan senam asma dan selalu berusaha menghindari faktor pencetus Sedangkan pasien yang lain belum memiliki pengetahuan yang cukup terhadap faktor pencetus asma.
Hasil penelitian diatas diperkuat oleh hasil penelitian dari Syaiful (2012) tentang asosiasi penyakit alergi dengan genetik dan faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan pula data bahwa debu rumah (p =0,018), genetik (p value =0,042), urutan kelahiran pertama/ anak
value sulung (p value = 0,232) berpotensi untuk mengalami manifestasi klinis asma.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak faktor pencetus penyebab kekambuhan asma, bukan hanya genetik tapi juga bisa didapat dari lingkungan dalam dan luar rumah.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di RSU St. Elisabeth didapatkan angka kejadian asma bronkhial yang menjalani rawat inap mengalami peningkatan dalam 3 tahun terkahir, dimana pada tahun 2011 sebesar 27 pasien, tahun 2012 sebesar 30 pasien dan pada tahun 2013 sebesar
56 pasien. Dan didapatkan pula angka kejadian asma bronkhial yang menjalani rawat jalan pada tahun 2013 sebanyak 270 pasien yang terdiri dari 101 pasien baru dan 169 pasien lama. Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan mengambil 20 data kejadian asma bronkhial yang menjalani rawat jalan didapatkan data sebagian besar responden mengalami kekambuhan sebesar 70%. Pasien asma yang datang berobat ke RSU St. Elisabeth seluruhnya masuk dan lewat satu pintu mulai dari pasien anak sampai lansia dari yang menjalani rawat inap maupun pasien rawat jalan.
Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa dalam dua tahun terakhir peningkatan kejadian asma bronkhial mengalami peningkatan hampir 100% sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis kekambuhan pada pasien asma bronkhial dalam 1 tahun di RSU. St. Elisabeth Purwokerto.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka dapat di rumuskan permasalahan penelitian tentang “Analisis kekambuhan pada pasien asma bronkhial dalam 1 tahun di RSU. St. Elisabeth Purwokerto Tahun 2013 ?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kekambuhan pada pasien asma bronkhial dalam 1 tahun di RSU. St. Elisabeth Purwokerto.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui faktor
- – faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kekambuhan pada pasien asma bronkhial dalam 1 tahun meliputi faktor umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, dan riwayat alergi di RSU. St. Elisabeth Purwokerto.
b. Mengetahui kejadian kekambuhan pada pasien asma bronkhial dalam 1 tahun di RSU. St. Elisabeth Purwokerto.
c. Menganalisis faktor apa yang paling berpengaruh terhadap kekambuhan pada pasien asma bronkhial dalam 1 tahun di RSU. St.
Elisabeth Purwokerto D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai tambahan teori dalam pengembangan ilmu keperawatan terutama tentang kekambuhan pada pasien asma bronkhial sehingga aplikasi tindakan mandiri keperawatan untuk pencegahan kekambuhan asma dapat diterapkan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi Rumah Sakit
Dapat di terapkan sebagai asuhan keperawatan pada pasien asma bronkhial sehingga dapat ditetapkan sebagai SOP baku rawat jalan dan rawat inap pada pasien asma bronkhial di RSU. St. Elisabeth berstandar. b. Pendidikan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu literatur keperawatan dan menjadi tambahan informasi yang berguna bagi para pembaca untuk meningkatkan mutu pendidikan keperawatan, khususnya dalam pencegahan kekambuhan pada pasien asma bronkhial.
c. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini bermanfaat sebagai informasi tentang faktor- faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma bronkial, sehingga mampu memberikan asuhan keperawatan untuk menurunkan kejadian kekambuhan.
d. Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan baru tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan asma sehingga dapat memberikan sumbangan pemikiran pada program bagi pencegahan dan pengendalian untuk mengurangi kejadian asma.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian terkait dengan penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Purnomo (2010 ) tentang “Faktor-Faktor Risiko Yang Berpengaruh
Terhadap Kejadian Asma di RS Umum Kabupaten Kudus, Semarang, Jawa Tengah ”. Penelitian menggunakan metode case control study.
Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dengan chi square test serta analisis multivariat dengan metode regresi logistik berganda. Hasil penelitian didapatkan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma adalah jenis kelamin (p=0,028), kepemilikan binatang piaraan (p=0,025), perubahan cuaca (p= 0,008), riwayat penyakit keluarga (p=0,015), asap rokok (p=<0,001). Probabilitas individu untuk terkena asma bronkiale dengan semua faktor risiko adalah sebesar 46,51%. Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh adalah perabot rumah tangga sumber alergen, jenis makanan, debu rumah. Ketiga faktor tersebut berpengaruh akan tetapi besar risiko yang diakibatkan lebih kecil, dan secara statistik tidak bermakna.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian pada penelitian sebelumnya adalah case control study sedangkan pada penelitian ini menggunakan jenis kohort restrospektif dan analisa data yang digunakan adalah chi square test dan metode regresi logistik berganda. Sedangkan untuk persamaannya adalah sama-sama meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan asma.
2. Nurullistawan (2011) tentang “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kekambuhan Asma Bronkhiale Pada Pasien Rawat Jalan Di Poli Paru Instalasi Rawat Jalan RSUD RAA Soewondo Pati
”. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskripif korelasi dengan rancangan belah lintang, yang dilakukan pada 20 responden dengan accidental sampling. Data penelitian dianalisis dengan uji Rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa separuh dari jumlah responden memiliki pengetahuan baik; responden yang memiliki sikap mendukung sebanyak 9 responden; responden yang mengalami kecemasan sedang sebanyak 8 responden; responden yang memiliki penghasilan kurang dari UMR sebanyak 9 responden Berdasarkan uji statistik diketahui ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kekambuhan asma (p = 0,027); antara sikap dengan kekambuhan asma (p = 0,009); antara kecemasan dengan kekambuhan asma (p = 0,015); dan antara sosial ekonomi dengan kekambuhan asma (p = 0,003). Perbedaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian pada penelitian sebelumnya adalah deskripif korelasi sedangkan pada penelitian ini menggunakan jenis kohort restrospektif, sampel penelitian menggunakan
accidental sampling dan analisa data yang digunakan adalah uji Rank
Spearman . Sedangkan untuk persamaannya adalah sama-sama meneliti
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kekambuhan asma.
3. Sakdiyah (2013) tentang “Hubungan Pemakaian Alat Pelindung Diri
(Masker) dan Frekuensi Kekambuhan Asma pada Pekerja Industri Batik Tradisional di Kecamatan Buaran Kabupaten Pekalongan
”. Penelitian ini adalah penelitain kuantitatif dengan desain deskriptif korelatif menggunakana metode cross sectional. Untuk mengumpulkan data digunakan kuesioner. Jumlah sampel sebanyak 54 responden. Data diperoleh dengan uji chi square. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara pemakaian alat pelindung diri (masker) dengan frekuensi kekambuhan asma pada pekerja industri batik tradisional.
Perbedaan dengan penelitian ini adalah jenis penelitian pada penelitian sebelumnya adalah deskripif korelasi sedangkan pada penelitian ini menggunakan jenis kohort restrospektif dan analisa data yang digunakan adalah uji chi square. Sedangkan untuk persamaannya adalah variabel dependent yaitu kekambuhan asma