BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan - HANDY SUHARDIYANTO BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan 1. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan sebuah pelajaran yang

  memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Depdiknas, 2006 : 2). Melihat definisi di atas, PKn mempunyai peranan yang penting dalam membentuk karakter warga negara yang cerdas dan berkepribadian Indonesia ditengah-tengah keanekaragaman suku bangsa, agama dan budaya yang ada.

  Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 4), mengemukakan bahwa Citizenship education or

  civics education didefinisikan sebagai berikut:

  “Citizenship or civics education is construed broadly to encompass

  the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process”.

  Berdasarkan definisi tersebut, dapat dijelaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut.

  10 Sedangkan menurut Zamroni dalam Tukiran Taniredja, dkk. (2009 : 3), Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat yang berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktifitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu

  

learning process yang tidak begitu saja meniru dan mentransformasikan

  nilai-nilai demokrasi. Selain itu Pendidikan Kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehinggan yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political

  

efficacy dan political participation, serta kemampuan mengambil

  keputusan politik secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya juga bagi masyarakat dan bangsa.

  Sejalan dengan pendapat di atas, Somantri (2001 : 154) mengemukakan bahwa PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

  Oleh karena itu, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan sebuah pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 yang mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat yang berpikir kritis dan bertindak demokratis serta merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.

  PKn merupakan mata pelajaran yang dinamis, selalu berkembang mengkuti perubahan zaman. Dengan demikian, substansi dari PKn itu sendiri dipengaruhi dari berbagai unsur. Berikut ini adalah beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn menurut Somantri (2001 : 158) antara lain: a.

  Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.

  b.

  Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.

  c.

  Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.

  d.

  Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya “ide fundamental” Ilmu Kewarganegaraan.

  e.

  Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.

  f.

  Kegiatan dasar manusia.

  g.

  Pengertian pendidikan IPS. Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan PKn akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS. Sehubungan dengan itu, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001 : 159):

  “Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaran, humaniora dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS”. Secara lebih terperinci, berikut ini beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai Pendidikan Kewarganegaraan menurut Somantri

  (2001 : 161) antara lain: a.

  PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu (integrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, dokumen negara, terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.

  b.

  PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan.

  c.

  PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusan PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.

  d.

  Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD 1945, GBHN, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi. e.

  PKn menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good

  citizen ) dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).

  f.

  Dalam kepustakaan asing, PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi. Pendapat di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya PKn untuk siswa sebagai generasi penerus, karena PKn menggiring untuk menjadikan siswa sadar akan politik, sikap demokratis dan sebagai mata pelajaran yang wajib dibelajarkan di sekolah. PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa dalam memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya.

  Oleh karena itu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelajaran PKn dalam rangka “nation and character building” menurut Sholeh (2011) yaitu: a.

  PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang ditopang berbagai disiplin ilmu yang releven, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, antropologi, psokoliogi dan disiplin ilmu lainnya yang digunakan sebagai landasan untuk melakukan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, nilai dan perilaku demokrasi warganegara.

  b.

  PKn mengembangkan daya nalar (state of mind) bagi para peserta didik. Pengembangan karakter bangsa merupakan proses pengembangan warganegara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. PKn memusatkan perhatiannya pada pengembangan kecerdasan warga negara (civic intelegence) sebagai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi.

  c.

  PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan partisipatif dengan menekankan pelatihan penggunaan logika dan pealaran. Untuk memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan bahan pembelajaran yang interaktif yang dikemas dalam berbagai paket seperti bahan belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang digali dari ligkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung (hand of experience).

  d.

  Kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pemahaman sikap dan perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ‘mengajar demokrasi” (teaching

  democracy ), tetapi melalui model pembelajaran yang secara

  langsung menerapkan cara hidup secara demokrasi (doing

  democracy ). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai

  alat kedali mutu tetapi juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar bagi siswa sehingga lebih dapat berhasil dimasa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri yang lebih berbasis kelas.

2. Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

  Istilah Pendidikan Kewargenegaraan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic

Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu.

  Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut (Somantri, 1975 : 31): a.

  Civics (1790) b.

  Community Civics (1970, A. W. Dunn) c. Civic Education (1901, Harold Wilson) d.

  Civic-Citizenship Education (1945, John Mahoney) e. Civic-Citizenship Education (1971, NCSS)

  Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan atau disingkat dengan PKn atau dengan istilah yang lainnya (Civics) mulai diperkenalkan di negara Amerika Serikat pada tahun 1790 dalam rangka “mengamerikakan bangsa Amerika” atau yang terkenal dengan “Theory of Americanization”.

  Penerbitan majalah “The Citizen” dan “Civics”, pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan “the science of citizenship – the

  

relation of man, the individual, to man in organied collections – the

individual in his relation to the state, Creshore, Education ” (Somantri,

  1975 : 31). Penjelasan mengenai Civics mempunyai kesamaan yang sama yaitu “government”, hak dan kewajiban sebagai warga negara. Akan tetapi, arti Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi “government” saja, kemudian dikenal dengan istilah Community Civics, Ekonomic Civics, dan Vocational Civics.

  Gerakan “Community Civics” pada tahun 1970 dipelopori oleh W. A. Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan “Community Civics” disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial. Selain gerakan “Community Civics”, timbul gerakan civic education atau banyak disebut sebagai Citizenship Education. Ruang lingkup Civics

  Education (Somantri, 1975 : 33), antara lain: a.

  Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah.

  b.

  Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yan lebih baik dalam masyarakat demokratis.

  c.

  Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara. NCSS (Somantri, 1975 : 33) merumuskan mengenai Citizenship

  Education sebagai berikut: “Citizenship Education is a process comprising all the positive influences which are intented to shape a citizens view to his role in

  society. It comes partly from formal schoolng, partly from parental influences and partly from learning outside the classroom and the home. Trough Citizenship Education, our youth are helped to gain and understanding of your national ideas, the common good and the process of self government”.

  Berdasarkan definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa cakupan PKn lebih luas, karena bahannya selain mencakup program sekolah juga meliputi pengaruh belajar di luar kelas dan pendidikan di rumah. Selanjutnya, PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional atau tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pribadi masyarakat dan negara. Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007 : 71) mengemukakan bahwa perkembangan istilah Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun: a.

  Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara.

  b.

  Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik.

  c.

  Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial.

  d.

  Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS.

  e.

  Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS.

  f.

  Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.

  g.

  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.

  Sejalan dengan hal tersebut di atas, Malian (2003 : 10) juga mengemukakan perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan. Di Indonesia pelajaran Civics telah dikenal sejak jaman Hindia Belanda dengan nama “Burgerkunde”. Pada zaman ini ada dua buku yang digunakan sebagai sumber pelajaran, yaitu: Indische Burgerschapokunde dan Recht en Plicht (Indische Burgerschapkunde voor Iedereen). Pada tahun 1950 dalam suasana Indonesia telah merdeka kedua buku ini menjadi pegangan guru Civics di Sekolah Menengah Atas. Perjalanan mata pelajaran Civics setelah Indonesia merdeka mengalami beberapa kali perubahan istilah yang digunakan. Perubahan-perubahan tersebut sangat berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah pada waktu itu dan kurikulum sekolah yang digunakan. Pada kurikulum 1957 istilah yang digunakan yaitu Pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian pada kurikulum 1961 berubah menjadi Civics lagi, kemudian pada kurikulum 1968 menjadi Pendidikan Kewargaan Negara (PKN). Selanjutnya kurikulum 1975 menjadi PMP. Pada kuriukulim 1994 berubah lagi menjadi PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan).

  Perubahan-perubahan istilah mata pelajaran PKn atau Civics di kalangan sekolah dasar dan menengah tersebut di atas, juga terjadi di kalangan Perguruan Tinggi di Indonesia. Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan) sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, beberapa bentuk pendidikan kewarganegaraan di Pergurtuan Tinggi telah lama dilakukan seperti: penataran P-4 dan mata kuliah Kewiraan yang kemudian berganti dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Kenyataannya memang demikian, Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan) yang dilakukan tersebut lebih banyak didistorsi oleh kepentingan kekuasaan semata. Sehingga pada era reformasi ini paradigma Pendidikan Kewarganegaraan seharusnya bergeser ke arah yang lebih civilized .

3. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

  Tujuan pembelajaran PKn pada umumnya berisi berbagai tingkah laku yang diharapkan terjadi setelah proses pembelajaran berlangsung.

  Menurut Branson (1999 : 7), tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional. Sedangkan tujuan pembelajaran PKn dalam Depdiknas (2006 : 49), adalah untuk memberikan kompetensi sebagai berikut: a.

  Berfikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu Kewarganegaraan.

  b.

  Berpartisipasi secara cerdas dan bertanggungjawab, serta bertindak secara sadar dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

  c.

  Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan karakter-karakter masyarakat di Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.

  d.

  Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan pembelajaran PKn secara umum adalah untuk mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan sosial, regional maupun global. Agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka tujuan PKn tersebut harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri, 1975 : 30) yang meliputi: a.

  Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.

  b.

  Keterampilan intelektual: 1)

  Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;

  2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahui masalah, (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan mneganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan merumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

  c.

  Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan.

  d.

  Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari. Dufty (Numan Somantri, 1975:30) mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

  Berdasarkan pendapat di atas, dapat penulis simpulkan bahwa PKn sebagai program pengajaran tidak hanya menampilkan sosok program dan pola Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) yang hanya mengacu pada aspek kognitif saja, melainkan secara utuh dan menyeluruh yakni mencakup aspek afektif dan psikomotor. Sementara itu, trifungsi peran PKn seperti yang diungkapkan oleh Djahiri (1996 : 19) adalah sebagai berikut: a.

  Membina dan membentuk kepribadian atau jati diri manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila dan berkepribadian Indonesia. b.

  Membina bangsa Indonesia melek politik, melek hukum dan melek pembangunan serta melek permasalahan diri, masyarakat, bangsa dan negara.

  c.

  Membina pembekalan siswa (substansial dan potensi dirinya untuk belajar lebih lanjut). Hal tersebut di atas, sejalan dengan fungsi Pendidikan

  Kewarganegaraan menurut Badan Standar Nasional Pendidikan 2006 adalah: a.

  Mengembangkan dan melestarikan nilai moral Pancasila secara dinamis dan terbuka.

  b.

  Mengembangkan dan membina manusia Indonesia seutuhnya sadar politik dan konstitusi NKRI dan UUD 1945. Berdasarkan tujuan dan fungsi PKn di atas, terlihat bahwa PKn ingin menanamkan pemahaman yang mendalam dan komitmen yang kuat terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pada Pancasila dan konstitusi negara Indonesia serta membina dan mengembangkan sikap semangat nasionalisme dalam rangka mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, substansi materi Pendidikan Kewarganegaraan juga tidak lepas dari tujuan dan fungsi tersebut. Print dalam Sunarso (2006 : 11) mengemukakan bahwa isi Pendidikan Kewarganegaraan yang prinsip adalah: 1) hak dan tanggung jawab warga negara, 2) pemerintah dan lembaga-lembaga, 3) sejarah dan konstitusi, 4) identitas nasional, 5) sistem hukum dan rule of law, 6) hak asasi manusia, hak-hak politik, ekonomi dan sosial, 7) proses dan prinsip-prinsip demokrasi, 8) wawasan internasional, 9) nilai-nilai kewarganegaran demokrasi.

4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

  Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi Pendidikan Kewarganegaraan harus mencakup tiga komponen seperti yang dikemukakan Branson (1999 : 4 : 27) yaitu pengetahuan kewarganegaraan atau Civic Knowledge, keterampilan kewarganegaraan atau Civic Skills, dan watak atau karakter kewarganegaraan (Civic Dispositions ).

  Komponen pertama, Civic Knowledge “berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara” (Branson, 1999 : 8). Aspek kompetensi pengetahuan kewarganegaraan atau Civic

  Knowledge ini menyangkut kemampuan akademik keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral.

  Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (Rule of

  

Law ), dan peradilan yang bebas dan tidak memihak serta nilai-nilai dan

norma-norma dalam masyarakat.

  Kedua, aspek kompetensi keterampilan kewarganegaraan atau Civic

  

Skills yang meliputi keterampilan intelektual (Intelectual Skill) seperti

  dialog dengan wakil rakyat dan keterampilan berpartisipasi (Partisipatory

  Skills ) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti aktif dalam menjaga keamanan lingkungan.

  Ketiga, aspek kompetensi watak atau karakter kewarganegaraan (Civic Dispositions) yang merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan karena dipandang sebagi “muara” dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif.

  Oleh karena itu, PKn termasuk mata pelajaran yang menekankan pada sikap afektif. Berdasarkan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum pada jenjang pendidikan menengah, terdiri atas lima kelompok mata pelajaran dan PKn merupakan salah satu dari lima kelompok mata pelajaran tersebut yang termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.

  Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.

  Dalam penjelasan pasal 37 ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa Pendidikan

  Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

5. Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan.

  Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian sekolah atau daerah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar dan penilaian hasil pembelajaran.

  Oleh karena itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah karena sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan: a.

  Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal 6 ayat 6). b.

  Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab terhadap pendidikan untuk TK, SMP, SMA, dan SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 ayat 2).

  c.

  Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20).

  Oleh karena itu, masing-masing satuan pendidikan harus menyusun KTSP atau silabusnya dengan cara melakukan penjabaran yang disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tersebut. Salah satu unsur penting dalam pembelajaran adalah substansi atau materi/isi pembelajaran, termasuk dalam pembelajaran PKn. Dengan memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan tersebut, maka ruang lingkup materi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a.

  Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.

  b.

  Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.

  c.

  Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

  d.

  Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara.

  e.

  Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.

  f.

  Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.

  g.

  Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari- hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

  h.

  Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

B. Hakikat Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan 1. Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Prinsip dasar pembelajaran PKn mengacu pada sejumlah prinsip dasar pembelajaran. Menurut pendapat Budimansyah (2002 : 8) prinsip- prinsip pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student

  active learning ), kelompok belajar kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (reactive learning).

  Selanjutnya keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah, 2002 : 8 – 13): a.

  Prinsip Belajar Siswa Aktif Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktifitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

  Dalam fase kegiatan lapangan, aktifitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuisioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping, bahkan ada kalanya mengabadikan peristiwa penting dalam video.

  b.

  Kelompok Belajar Kooperatif Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama.

  Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama.

  Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga sering kali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam lingkup kecil dan sederhana. Hal serupa juga sering terjadi dengan pihak keluarga. Orang tua perlu juga diberi pemahaman, ketika anaknya pulang terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Dari peristiwa seperti ini terlihat betapa perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

  Kerjasama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima, mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya. Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggungjawab kegiatan sekolah. c.

  Pembelajaran Partisipatorik Selain prinsip pembelajaran di atas, PKn juga menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakoni (learning be doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Sebab, dalam tiap langkah model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi.

  Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik dengan kepala dingin. Proses ini mendukung adagium yang menyatakan bahwa “democracy is not in heredity but learning” (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami).

  Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

  d.

  Mengajar yang Reaktif Prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru menciptakan strategi agar murid mempunyai motivasi belajar. Guru harus mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan, dan jika hal ini terjadi guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang raktif itu. Berikut ini adalah ciri-ciri guru yang reaktif yaitu:

1) Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

  2) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.

  3) Selalu berusaha membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.

  4) Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.

2. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Strategi merupakan kumpulan sejumlah metoda/cara/pola dalam mencapai/melaksanakan sesuatu atau dalam mengerjakan sesuatu.

  Sedangkan metoda merupakan kumpulan sejumlah teknik, dan teknik adalah taktik atau cara kerja. Pendekatan (approach) adalah pola/dasar berfikir atau kerangka berfikir dalam menghadapi/menyelesaikan/ mengerjakan sesuatu. Tentu saja pendekatan seseorang akan menentukan strateginya, dan metoda serta teknik kerja akan ditentukan oleh pilihan strategi orang tersebut (Djahiri, 1985 : 28).

  Sedangkan menurut Sudjana (1989 : 147), strategi mengajar adalah “tindakan guru melaksanakan rencana mengajar, artinya usaha guru dalam menggunakan beberapa variabel pengajaran (tujuan, bahan, metode dan alat, serta evaluasi) agar dapat mempengaruhi para siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan”. Dengan demikian, strategi mengajar pada dasarnya adalah tindakan nyata dari guru atau praktek guru melaksanakan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan lebih efisien.

  Sejalan dengan pendapat di atas, Hamzah (2009 : 2), menyebutkan bahwa “strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang akan dipilih dan digunakan oleh seorang pengajar untuk menyampaikan materi pembelajaran sehingga akan memudahkan peserta didik menerima dan memahami materi pembelajaran, yang pada akhirnya tujuan pembelajaran dapat dikuasainya di akhir kegiatan belajar”.

  Berdasarkan beberapa pendapat di atas, secara umum dapat disimpulkan bahwa strategi pembelajaran merupakan cara-cara, ilmu, maupun rencana pembelajaran yang akan digunakan oleh pengajar dalam proses belajar mengajar dengan memperhatikan tujuan, bahan, metode dan alat, serta evaluasi, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik dan maksimal.

  Dalam strategi pembelajaran juga terdapat komponen-komponen yang menurut Dick dan Carey (Hamzah, 2009 : 3) yaitu (1) kegiatan pembelajaran pendahuluan, (2) penyampaian informasi, (3) partisipasi peserta didik, (4) tes, dan (5) kegiatan lanjutan. Kemudian, dalam pemilihan strategi pembelajaran hendaknya ditentukan berdasarkan kriteria berikut (Hamzah, 2009 : 9): (1) orientasi strategi pada tugas pembelajaran, (2) relevan dengan isi/materi pembelajaran, (3) metode dan teknik yang digunakan difokuskan pada tujuan yang ingin dicapai, dan (4) media pembelajaran yang digunakan dapat merangsang indera peserta didik secara simultan. Selain itu, dalam belajar mengajar juga terdapat empat strategi dasar seperti yang dikemukakan Djamarah dan Zain (2010 : 5) yaitu: a.

  Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah laku dan kepribadian anak didik sebagaimana yang diharapkan.

  b.

  Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat.

  c.

  Memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang paling tepat dan efektif sehingga dapat dijadikan pegangan oleh guru dalam menunaikan kegiatan mengajarnya.

  d.

  Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta strandar keberhasilan sehinggan dapat dijadikan pedoman oleh guru dalam melakukan evaluasi hasil kegiatan belajar mengajar yang selanjutnya akan dijadikan umpan balik buat penyempurnaan sistem instruksional yang bersangkutan secara keseluruhan.

  Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seorang guru khususnya guru PKn harus mampu merencanakan atau mempersiapkan strategi pembelajaran secara cermat sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai sesuai dengan hasil yang diharapkan.

3. Sumber Belajar

  Yang dimaksud dengan sumber-sumber bahan dan belajar menurut Winataputra dan Ardiwinata (Djamarah dan Zain, 2010 : 48) adalah sebagai “sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai tempat dimana bahan pengajaran terdapat atau asal untuk belajar seseorang. Dengan demikian, sumber belajar itu merupakan bahan/materi untuk menambah ilmu pengetahuan yang mengandung hal-hal baru bagi si pelajar. Sebab pada hakikatnya belajar adalah untuk mendapatkan hal-hal baru (perubahan)”.

  Sedangkan sumber belajar (learning resources) menurut Akhmad Sudrajat (2008) adalah “semua sumber baik berupa data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu”.

  Manusia.

  Alam lingkungan manusia e. Media pendidikan.

  Alam lingkungan sejarah atau peninggalan sejarah 3)

  Alam lingkungan terbuka 2)

  Alam lingkungan: 1)

  d.

  Media massa.

  c.

  Buku/perpustakaan.

  b.

  Museum (tempat penyimpanan benda-benda kuno). Selain itu, Winataputra dan Ardiwinata (Djamarah dan Zain, 2010 : 49 – 50) berpendapat bahwa terdapat sekurang-kurangnya lima macam sumber belajar yaitu: a.

  Untuk mendapatkan gambaran apa-apa saja yang termasuk kategori sumber-sumber belajar, Roestiyah (Djamarah dan Zain, 2010 : 48 – 49) mengatakan bahwa sumber-sumber belajar itu adalah: a.

  Alat pengajaran (buku pelajaran, peta, gambar, kaset, tape, papan tuls, kapur, spidol, dan lain-lain) f.

  e.

  Dalam lingkungan.

  d.

  Mass media (majalah, surat kabar, radio, tv, dan lain-lain).

  c.

  Buku/perpustakaan.

  b.

  Manusia (dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat).

  Sejalan dengan beberapa pendapat tersebut di atas, bentuk-bentuk sumber belajar menurut Akhmad Sudrajat (2008) yaitu: (1) pesan: informasi, bahan ajar; cerita rakyat, dongeng, hikayat, dan sebagainya (2) orang: guru, instruktur, siswa, ahli, nara sumber, tokoh masyarakat, pimpinan lembaga, tokoh karier dan sebagainya; (3) bahan: buku, transparansi, film, slides, gambar, grafik yang dirancang untuk pembelajaran, relief, candi, arca, komik, dan sebagainya; (4) alat/ perlengkapan: perangkat keras, komputer, radio, televisi, VCD/DVD, kamera, papan tulis, generator, mesin, mobil, motor, alat listrik, obeng dan sebagainya; (5) pendekatan/metode/teknik: disikusi, seminar, pemecahan masalah, simulasi, permainan, sarasehan, percakapan biasa, diskusi, debat,

  

talk show dan sejenisnya; dan (6) lingkungan: ruang kelas, studio,

  perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum, kantor dan sebagainya.

4. Materi Pembelajaran

  Materi pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2002 : 50). Guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Menurut Djamarah dan Zain (2002 : 51) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran yaitu: a.

  Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.

  b.

  Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya.

  c.

  Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan. d.

  Materi pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual maupun konstektual. Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus mengacu pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang diajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan bahan-bahan yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran berikutnya. Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, Print dalam Sunarso (2006 : 11) berpendapat bahwa isi Pendidikan Kewarganegaraan yang prinsip adalah: 1) hak dan tanggung jawab warga negara, 2) pemerintah dan lembaga- lembaga, 3) sejarah dan konstitusi, 4) identitas nasional, 5) sistem hukum dan rule of law, 6) hak asasi manusia, hak-hak politik, ekonomi dan sosial, 7) proses dan prinsip-prinsip demokrasi, 8) wawasan internasional, 9) nilai-nilai kewarganegaran demokrasi. Hal tersebut sejalan dan dipertegas dengan ruang lingkup materi mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Satuan Pendidikan yang meliputi aspek-aspek sebagai berikut: a.

  Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan jaminan keadilan.

  b.

  Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistim hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.

  c.

  Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM.

  d.

  Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara.

  e.

  Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi.

  f.

  Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi.

  g.

  Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari- hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

  h.

  Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

5. Metode Pembelajaran

  Metode pembelajaran menurut Riyanto (Tukiran Taniredja, dkk. 2011 : 1) adalah “seperangkat komponen yang telah dikombinasikan secara optimal untuk kualitas pembelajaran”. Sedangkan Djahiri (1985 : 28) mengungkapkan bahwa metode “adalah sejumlah teknik, dan teknik adalah taktik atau cara kerja”. Akhmad Sudrajat (2008) juga memberikan pengertian bahwa “metode pembelajaran sebagai cara yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran”.

  Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, metode mengajar menurut Sudjana (1989 : 76) ialah “cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Oleh karena itu, peranan metode mengajar sebagai alat untuk menciptakan proses mengajar dan belajar. Dengan metode ini diharapkan tumbuh berbagai kegiatan belajar siswa sehubungan dengan kegiatan mengajar guru. Dengan kata lain terciptalah interaksi edukatif. Dalam interaksi ini guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan baik kalau siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru. Oleh karenanya, metode belajar yang baik adalah metode yang dapat menumbuhkan kegiatan belajar siswa.