1. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan - SKRIPSI MARLIANA RAHAYU BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.5. Pendidikan Kewarganegaraan

2.1.1. Landasan tentang Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pengertian dan Hakikat Pendidikan Kewarganegaraan

  Secara bahasa., istilah "Civic Education" oleh sebagian pakar diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah "Pendidikan Kewargaan" diwakili oleh Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, sebagai pengembang Civic Education pertama di perguruan tinggi. Penggunaan istilah "Pendidikan Kewarganegaraan" diwakili oleh Winataputra dkk dari Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Tim ICCE (2005: 6)

  Menurut Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2007:4), mengemukakan bahwa Citizenship education or civics education didefinisikan sebagai berikut:

  Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (trough schooling, teaching, and learning) in that preparatory process. Dari definisi tersebut dapat dijelaskan bahwa Pendidikan

  Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses

  9 penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran dan belajar, dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Cogan (1999:4) mengartikan civic education sebagai "...the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their aduh lives", maksudnya adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warganegara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.

  Menurut Zamroni (Tim ICCE, 2005:7) mengemukakan bahwa pengertian Pendidikan Kewarganegaraan adalah: Pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru, bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat. Demokrasi adalah suatu learning proses yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Sementara itu, PKn di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen yang kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di bawah satu negara yang sama, walaupun warga masyarakat tersebut berbeda- beda agama, ras, etnik, atau golongannya. (Risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia/PPKI).

  Somantri (2001:154) mengemukakan bahwa : PKn merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar yang berkenaan dengan hubungan antar warga negara dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara agar dapat diandalkan oleh bangsa dan negara. Menurut Branson (1999:4) civic education dalam demokrasi adalah pendidikan - untuk mengembangkan dan memperkuat - dalam atau tentang pemerintahan otonom (self government). Pemerintahan otonom demokratis berarti bahwa warga negara aktif terlibat dalam pemerintahannya sendiri, mereka tidak hanya menerima didikte orang lain atau memenuhi tuntutan orang lain.

  Beberapa unsur yang terkait dengan pengembangan PKn, antara lain (Somantri, 2001:158): a. Hubungan pengetahuan intraseptif (intraceptive knowledge) dengan pengetahuan ekstraseptif (extraceptive knowledge) atau antara agama dan ilmu.

  b. Kebudayaan Indonesia dan tujuan pendidikan nasional.

  c. Disiplin ilmu pendidikan, terutama psikologi pendidikan.

  d. Disiplin ilmu-ilmu sosial, khususnya ide fundamental Ilmu Kewarganegaraan. e. Dokumen negara, khususnya Pancasila, UUD 1945 dan perundangan negara serta sejarah perjuangan bangsa.

  f. Kegiatan dasar manusia.

  g. Pengertian pendidikan IPS Ketujuh unsur inilah yang akan mempengaruhi pengembangan PKn. Karena pengembangan pendidikan kewarganegaraan akan mempengaruhi pengertian PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS.

  Sehubungan dengan itu, PKn sebagai salah satu tujuan pendidikan IPS yang menekankan pada nilai-nilai untuk menumbuhkan warga negara yang baik dan patriotik, maka batasan pengertian PKn dapat dirumuskan sebagai berikut (Somantri, 2001:159):

  Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia, yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS. Beberapa faktor yang lebih menjelaskan mengenai pendidikan kewarganegaraan antara lain (Somantri, 2001:161): a. PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu bahan pendidikannya diorganisasikan secara terpadu

  (intergrated) dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora,

  dokumen negara, terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN, dan perundangan negara, dengan tekanan bahan pendidikan pada hubungan warga negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.

  b. PKn adalah seleksi dan adaptasi dari berbagai disiplin ilmu sosial, humaniora, Pancasila, UUD 1945 dan dokumen negara lainnya yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. c. PKn dikembangkan secara ilmiah dan psikologis baik untuk tingkat jurusa PMPKN FPIPS maupun dikembangkan untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah serta perguruan tinggi.

  d. Dalam mengembangkan dan melaksanakan PKn, kita harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara hubungan pengetahuan intraseptif (agamaf, nilai-nilai) dengan pengetahuan ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD 1945, GBHN, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas unsur: (i) tujuan pendidikan, (ii) bahan pendidikan, (iii) metode pendidikan, (iv) evaluasi.

  e. PKn menitikberatkan pada kemampuan dan ketrampilan berpikir aktif warga negara, terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang baik (good

  citizen ) dalam suasana demokratis dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs).

  f. Dalam kepustakaan asing PKn sering disebut civic education, yang salah satu batasannya ialah seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat menumbuhkan demokrasi.

  Pendapat di atas menjelaskan bahwa betapa pentingnya PKn untuk siswa sebagai generasi penerus, karena PKn menggiring untuk menjadikan siswa sadar akan politik, sikap demokratis dan sebagai mata pelajaran yang wajib di belajarkan di sekolah.

  PKn sebagai pendidikan nilai dapat membantu para siswa membantu siswa memilih sistem nilai yang dipilihnya dan mengembangkan aspek afektif yang akan ditampilkan dalam perilakunya. Seperti yang diungkapkan Suwarma Al-Muchtar dalam Hand Out Strategi Belajar Mengajar (2001:33), mengemukakan bahwa:

  Pendidikan nilai bertujuan untuk membantu perilaku peserta didik menumbuhkan dan memperkuat sistem nilai dipilihnya untuk dijadikan dasar bagi penampilan perilakunya. Pendidikan nilai bertumpu pada pengembangan sikap

  (afektif) oleh karena itu berbeda dengan belajar mengajar dengan pendidikan kognitif atau psikomotor. Pendidikan nilai secara formal di Indonesia diberikan pada mata pelajaran PPKn yang merupakan pendidikan nilai Pancasila agar dapat menjadi kepribadian yang fungsional.

2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Kewarganegaraan

  Menurut Branson (1999:7) tujuan civic education adalah partisipasi yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik tingkat lokal, negara bagian, dan nasional.

  Tujuan pembelajaran PKn secara umum mempersiapkan generasi bangsa yang unggul dan berkepribadian, baik dalam lingkungan lokal, regional maupun global Sedangkan Tujuan PKn menurut oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut: a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu :

  "Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan".

  b. Secara khusus. Tujuan PKn yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.

  Berdasarkan tujuan PKn yang telah dikemukakan di atas, dapat diasumsikan pada hakekatnya dalam setiap tujuan membekali kemampuan-kemampuan kepada peserta didik dalam hal tanggung jawabnya sebagai warga negara, yaitu warga negara yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berpikir kritis, rasional dan kreatif, berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat, berbangsa dan bernegara membentuk diri berdasarkan karakter- karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa lain.

  Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah: Upaya agar tujuan PKn tersebut tidak hanya bertahan sebagai slogan saja, maka harus dirinci menjadi tujuan kurikuler (Somantri,

  1975:30), yang meliputi:

  a. Ilmu pengetahuan, meliputi hierarki: fakta, konsep dan generalisasi teori.

  b. Keterampilan intelektual: 1) Dari keterampilan yang sederhana sampai keterampilan yang kompleks seperti mengingat, menafsirkan, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesiskan, dan menilai;

  2) Dari penyelidikan sampai kesimpulan yang sahih: (a) keterampilan bertanya dan mengetahui masalah; (b) keterampilan merumuskan hipotesis, (c) keterampilan mengumpulkan data, (d) keterampilan menafsirkan dan menganalisis data, (e) keterampilan menguji hipotesis, (f) keterampilan merumuskan generalisasi, (g) keterampilan mengkomunikasikan kesimpulan.

  c. Sikap: nilai, kepekaan dan perasaan. Tujuan PKn banyak mengandung soal-soal afektif, karena itu tujuan PKn yang seperti slogan harus dapat dijabarkan. d. Keterampilan sosial: tujuan umum PKn harus bisa dijabarkan dalam keterampilan sosial yaitu keterampilan yang memberikan kemungkinan kepada siswa untuk secara terampil dapat melakukan dan bersikap cerdas serta bersahabat dalam pergaulan kehidupan sehari-hari, Dufty (Numan Somantri, 1975:30). Mengkerangkakan tujuan PKn dalam tujuan yang sudah agak terperinci dimaksudkan agar kita memperoleh bimbingan dalam merumuskan: (a) konsep dasar, generalisasi, konsep atau topik PKn; (b) tujuan intruksional, (c) konstruksi tes beserta penilaiannya.

  Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui PKn siswa diharapkan : a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma

  Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.

  b. Melek konstitusi (UUD 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.

  c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir di atas.

  d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal di atas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

3. Konteks Kelahiran dan Landasan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

  Istilah Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia mengalami perkembangan dan perubahan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan Pendidikan Kewarganegaraan yang lebih dikenal dengan nama Civic Education di USA menunjukkan adanya perluasan dari waktu ke waktu.

  Secara historis pertumbuhan Civic Education dapat digambarkan sebagai berikut (Sumantri, 1975:31): a. Civics (1790) b. Community Civics (1970, A.W.Dunn) c Civic Education (1901, Harold Wiison)

  c. Civic-Citizenship Education (1945, John Mahoney)

  d. Civic-Citizenship Education (1971, NCSS) Pelajaran Civics mulai diperkenalkan pada tahun 1790 di

  Amerika Serikat dalam rangka meng-Amerikakan bangsa Amerika atau terkenal dengan theory of Americanization. Penerbitan majalah "The Citizen" dan "Civics", pada tahun 1886, Henry Randall Waite merumuskan Civics dengan "the science of citizenship - the

  relation of man, the individual, to man in organized collections - the individual in his relation to the state, Creshore, Education "

  (Somantri, 1975:31).

  Penjelasan mengenai Civics mempunyai kesamaan yang sama yaitu membahas mengenai government, hak dan kewajiban sebagi warga negara. Akan tetapi, arti Civics dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya meliputi goverment saja, kemudian dikenal istilah Community Civics, Economic Civics, dan Vocational Civics.

  Gerakan Community Civics pada tahun 1970 dipelopori oleh W.A. Dunn adalah untuk menghadapkan pelajar pada lingkungan atau kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan ruang lingkup lokal, nasional maupun internasional. Gerakan community civics disebabkan pula karena pelajaran civics pada waktu itu hanya mempelajari konstitusi dan pemerintah saja, akan tetapi kurang memperhatikan lingkungan sosial.

  Selain gerakan community civics, timbul pula gerakan civic

  education atau banyak disebut sebagai Citizenship Education. Ruang

  lingkup Civics Education (Somantri, 1975:33), antara lain: a. Civic Education meliputi seluruh program dari sekolah.

  b. Civic Education meliputi berbagai macam kegiatan belajar mengajar, yang dapat menumbuhkan hidup dan tingkah laku yang lebih baik dalam masyarakat demokratis.

  c. Dalam Civic Education termasuk pula hal-hal yang menyangkut, pengalaman, kepentingan masyarakat, pribadi dan syarat-syarat obyektif hidup bernegara.

  NCSS (Somantri, 1975:33) merumuskan mengenai Citizenship Education sebagai berikut:

  Citizenship Education is a proses comprising all the positive influences which are intended to shape a citizens view to his role in society. It comes partly from formal schooling, partly from parental influences and partly from learning outside the classroom and the home. Trough Citizenship Education, ouryouth are helped to gain an understanding of our national ideas, the common goodt and the process of self goverment. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan cakupan PKn lebih luas, karena bahannya selain mencakup program sekolah juga meliputi pengaruh belajar di luar kelas, dan pendidikan di rumah. Selanjutnya PKn digunakan untuk membantu generasi muda memperoleh pemahaman cita-cita nasional /tujuan negara dan dapat mengambil keputusan-keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pribadi, masyarakat dan negara. Unsur-unsur Civic Education yang dapat menjadi acuan bagi para pelajar, antara lain: Mengetahui, memahami dan mengapresiasikan cita-cita nasional; dan dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas.

  Kuhn (Winataputra dan Budimansyah, 2007:71) mengemukakan bahwa, perkembangan istilah Civics dan Civic Education di Indonesia terjadi pada tahun :

  1. Kewarganegaraan (1957), membahas cara memperoleh dan kehilangan kewargaan negara.

  2. Civics (1962), tampil dalam bentuk indoktrinasi politik.

  3. Pendidikan Kewargaan Negara (1968) sebagai unsur dari pendidikan kewargaan Negara yang bernuansa pendidikan ilmu pengetahuan sosial

  4. Pendidikan Kewargaan Negara (1969) tampil dalam bentuk pengajaran konstitusi dan ketetapan MPRS.

  5. Pendidikan Kewargaan Negara (1973) yang diidentikkan dengan pengajaran IPS.

  6. Pendidikan Moral Pancasila (1975 dan 1984) tampil menggantikan PKN dengan isi pembahasan P4.

  7. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994) sebagai penggabungan bahan kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang tampil dalam bentuk pengajaran konsep nilai yang disaripatikan dari Pancasila dan P4.

4. Karakteristik Pendidikan Kewarganegaraan

  Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi Pendidikan Kewarganegaraan menurut Branson (1999:4) harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), Civic Skills (keterampilan kewarganegaraan), dan Civic Disposition (watak-watak kewarganegaraan). Komponen pertama, civic knowledge "berkaitan dengan kandungan atau nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara" (Branson, 1999:8). Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara lebih terperinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan nonpemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law) dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

  Kedua, Civic Skills meliputi keterampilan intelektual

  (intelectual skills ) dan keterampilan berpartisipasi (participatoty

  skills) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Contoh keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

  Ketiga, Civic Disposition (Watak-watak kewarganegaraan), komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai "muara" dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif. Berdasarkan rumusan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan antara lain menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, pada jenjang pendidikan menengah, terdiri atas lima kelompok mata pelajaran.

  PKn termasuk dalam kelompok mata pelajaran Kewarganegaraan dan Kepribadian. Kelompok mata pelajaran ini dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia. Di dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan wajib dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Dalam penjelasan pasal 37 Ayat (1) UU Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, menyatakan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

5. Kurikulum dan Bahan Ajar Pendidikan Kewarganegaraan Persekolahan

  Kurikulum sebagai salah satu substansi pendidikan perlu didesentralisasikan terutama dalam pengembangan silabus dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan tuntutan kebutuhan siswa, keadaan sekolah, dan kondisi sekolah atau daerah. Dengan demikian, sekolah atau daerah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan materi ajar, pengalaman belajar, dan penilaian hasil pembelajaran.

  Untuk itu, banyak hal yang perlu dipersiapkan oleh daerah karena sebagian besar kebijakan yang berkaitan dengan implementasi Standar Nasional Pendidikan dilaksanakan oleh sekolah atau daerah. Sekolah harus menyusun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) atau silabusnya dengan cara melakukan penjabaran dan penyesuaian Standar Isi dan Standar Kompentensi Lulusan.

  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing- masing satuan pendidikan. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dijelaskan:

   Kurikulum dan silabus SD/MI/SDLB/Paket A, atau bentuk lain yang sederajat menekankan pentingnya kemampuan dan kegemaran membaca dan menulis, kecakapan berhitung serta kemampuan berkomunikasi (Pasal 6 Ayat 6)

   Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan di bawah supervisi Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota yang bertangungjawab terhadap pendidikan untuk TK, SMP, SMA, da SMK, serta Departemen yang menangani urusan pemerintahan d bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK (Pasal 17 Ayat 2)

   Perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pembelajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar (Pasal 20).

  Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran PKn. Ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan meliputi aspek-aspek sebagai berikut (Winataputra, 2007:103): a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa

  Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, Keterbukaan dan Jaminan keadilan

  b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturan-peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional

  c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, Penghormatan dan perlindungan H AM d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi,

  Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama, konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara dengan konstitusi f. Kekuasaan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers dalam masyarakat demokrasi

  g. Pancasila meliputi: Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesiadi era globalisasi, Dampak globalisasi,

  Hubungan internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi globalisasi.

2.1.2. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

1. Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Prinsip dasar pembelajaran PKn mengacu pada sejumlah prisip dasar pembelajaran. Menurut pendapat Budimansyah (2002:8) prinsip-prinsip pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperaitive learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (reaktive learning). Selanjutnya keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut (Budimansyah, 2002 : 8- 13).

  a. Prinsip Belajar Siswa Aktif Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktifitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brain storming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas.

  Dalam fase kegiatan lapangan, aktifitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuesioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping, bahkan adakalanya mengabadikan peristiwa penting dalam video.

  b. Kelompok Belajar Kooperatif Proses pembelajaran PKn juga menerapkan prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerjasama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen-komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerjasama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama.

  Dengan komponen-komponen sekolah lainnya juga seringkali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olah raga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan kerjasama, walaupun dalam lingkup kecil dan sederhana. Hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihak keluarga. Orang tua perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman.

  Kerjasama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas perparkiran. Mengunjungi kantor bupati atau wali kota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya.

  Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggungjawab kegiatan sekolah.

  c. Pembelajaran Partisipatorik Selain prinsip pembelajaran di atas PKn juga menganut prinsip dasar pembelajaran partisipatorik, sebab melalui model ini siswa belajar sambil melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi.

  Sebab dalam tiap langkah model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi.

  Sebagai contoh pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung adagium yang menyatakan bahwa democracy is not in heredity but learning (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for

  democracy ). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar

  sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatorik.

d. Reactive Teaching

  Dalam prinsip ini lebih menekankan bagaimana guru menciptakan strategi agar murid mempunyai motivasi belajar.

  Oleh karena itu guru harus situasi sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan, Guru harus mempunyai sensitivitas yang tinggi untuk segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang reaktif itu. Ciri guru yang reaktif itu diantaranya adalah sebagai berikut: a) Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

  b) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.

  c) Selalu berupaya membangkitkan motivasi belajar siswa dengan membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.

  d) Segera mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan. Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya.

  Samana (1994:30) menjelaskan menjelaskan bahwa guru profesional dituntut memiliki 10 hal, yaitu:

  1. Menguasai bahan ajar.

  2. Mampu mengelola program belajar mengajar.

  3. Mampu mengelola kelas.

  4. Mampu menggunakan media dan sumber pengajaran.

  5. Menguasai landasan-landasan kependidikan.

  6. Mampu mengelola interaksi belajar mengajar.

  7. Mampu menilai prestasi belajar siswa untuk kepentingan pengajaran.

  8. Mengenal fungsi dan dan program pelayanan bimbingan dan penyuluhan.

  9. Mengenal dan mampu ikut menyelenggarakan administrasi sekolah.

  10. Memahami prinsip-prinsip penelitian pendidikan dan mampu menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan untuk kepentingan pengajaran.

  2. Materi Pembelajaran

  Materi pembelajaran merupakan substansi yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran (Djamarah dan Zain, 2002:50).

  Guru mempunyai tugas yang penting dalam mengembangkan dan memperkaya materi pembelajaran, karena hal tersebut merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan pembelajaran. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menetapkan materi pembelajaran, yaitu: 1) Materi pembelajaran hendaknya sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai. 2) Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa pada umumnya. 3) Materi pembelajaran hendaknya terorganisasi secara sistematik dan berkesinambungan. 4) Meteri pembelajaran hendaknya mencakup hal-hal yang bersifat tekstual maupun kontekstual (Djamarah dan Zain,

  2002:51).

  Berdasarkan hal tersebut, maka materi pembelajaran PKn harus mengacu pada kompetensi yang ingin dicapai. Materi yang dibelajarkan harus bermakna bagi siswa dan merupakan bahan- bahan yang benar-benar penting, baik dilihat dari kompetensi yang ingin dicapai maupun fungsinya untuk menentukan materi pada proses pembelajaran berikutnya.

  3. Strategi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia yang dalam konteks internasional (Kerr, 1999) dikategorikan ke dalam kelompok citizenship education Asia-Afrika yang masih berada pada titik Minimal yakni education about citizenship sudah seharusnya menggunakan strategi progresif menuju titik Maksimal, yakni education for citizenship melalui titik median education

  through citizenship.

  Menurut Paino (2007:35) mengemukakan bahwa: Sebagian besar guru dalam proses pembelajarannya hanya menggunakan buku teks. belajar hanya di dalam kelas, guru bertindak sebagai pemberi informasi tunggal, dan peserta didik sebagai objek atau pendengar yang baik. Akibatnya mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dianggap sebagai mata pelajaran hafalan, yang penting peserta didik dapat dalil politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan setia tanpa logika terhadap penguasa, tanpa mengkaitkan materi/konsep dengan kehidupan masyarakat secara nyata.

  Kondisi semacam ini bukanlah menjadi kesalahan guru semata, karena mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang pada prinsipnya dipengaruhi atau tidak terlepas dari pengaruh rezim yang berkuasa. Target pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan selama ini dititikberatkan pada pembekalan/pembinaan yang bersifat hafalan, materinya terdiri atas doktrin negara, sistem politik, norma yuridis formal, tugas- kewajiban, dan tanggung jawab warganegara yang akhirnya menjadi suatu tatanan dari sejumlah kewajiban/ keharusan.

  Pola prosedurnya pun, menurut Djahiri benar-benar terkontrol terkendali menjurus pada proses "penjinakan" (domesticating) potensi dan kehidupan siswa/ masyarakat, jadi bukan kearah memberi kemudahan, kelancaran, berhasilan (fasiliting) proses internalisasi, personalisasi substansi serta pembinaan dan pengembangan potensi diri atau kemampuan belajar (condituining learning skills) CICED (1999: 56).

  Oleh karena itu, diperlukan pergeseran paradigma dari guru-guru dalam menyikapi hal tersebut, seperti guru lebih bersifat terbuka, merubah pandangan terhadap strategi pembelajaran bahwa peserta didik bukan hanya belajar tentang konsep pendidikan kewarganegaraan melainkan juga belajar ber-PKn atau praktik seperti yang telah dikemukakan di atas. Guru hendaknya memusatkan kegiatan belajar pada peserta didik (student center), untuk itu guru berperan sebagai fasilitator, yaitu pemberian kemudahan bukan sebagai sosok yang tahu segalanya (manusia serba bisa/tahu). Pembelajaran bukan hanya berdasarkan pada buku teks dan terkekang dalam kelas saja, namun memanfaatkan berbagai sumber belajar seperti yang telah dipaparkan di bagian depan. Selain itu, yang tak kalah pentingnya guru hendaknya kembali memahami/mengkaji ulang tentang makna dan hakekat mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.

  Djahiri (CICED, 1999:6) mengemukakan strategi pembelajaran yang hendak dilakukan guru adalah sebagai berikut.

  a. Membina dan menciptakan keteladanan, baik fisik dan material (tata dan aksesoris kelas/sekolah), kondisional (suasana proses

  KBM) maupun personal (guru, pimpinan sekolah dan tokoh unggulan) b. Membiasakan/membakukan atau mempraktekkan apa yang diajarkan mulai di kelas-sekolah-rumah- dan lingkungan belajar.

  c. Memotivasi minat, gairah untuk melibatkan dalam proses belajar, untuk kaji lanjutannya dan mencobakan serta membiasakannya.

  Strategi seperti itu dioperasionalkan melalui berbagai metode seperti ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemecahan masalah (problem solving), bermain peran, simulasi, inkuiri, VCT, portofolio, dan sebagainya.

4. Metode Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Djahiri (1995/1996:28) dalam bukunya "Strategi Pengajaran Afektif-Nilai-Moral VCT dan Games dalam VCT", bahwa metoda merupakan kumpulan sejumlah teknik. Terdapat dua moto dalam pembelajaran PKn yang dikemukakan Djahiri (1985:36), antara lain sebagai berikut:

a. Ceramah (lecturing)

  Pada umumnya metode pembelajaran memerlukan ceramah, sehingga tidaklah benar pernyataan bahwa metode ini jelek dan harus dibuang. Akan tetapi, yang harus dihindari adalah penggunaan metode ceramah selama satu jam pelajaran penuh terus menerus dengan memakai pola ceramah murni yang naratif, monoton dan bersifat normatif imperatif.

  Beberapa keunggulan dari metode ceramah, antara lain: 1) Setiap orang memiliki potensi dan kemahiran untuk ceramah

  (lepas dari benar - salah) 2) Merupakan kiprah umum bahkan "membudaya" di kalangan perguruan/sekolah 3) Bersifat praktis, mudah, murah, dan cepat menyampaikan substansi sehingga target waktu bisa dikejar 4) Mampu menyelaraskan ketimpangan waktu dengan banyaknya bahan 5) Tidak dapat membutuhkan persiapan pengembangan media 6) Mampu mengungkap dan mengklarifikasikan isi atau pesan dalam bahasa yang komunikatif dan cepat. Hampir semua hal mampu diungkap secara verbal

  7) Mampu menguasai kelas dalam ukuran bagaimanapun juga 8) Bila ada kekeliruan bisa segera diperbaiki 9) Sejumlah hasil pengiring yang dapat dihasilkan dari metoda ini adalah: a) Melatih daya tangkap dan analitis ucapan orang lain

  b) Latihan sosial untuk tatap muka dan etika dengan dan bicara 10) Mampu mengangkat hal yang tidak ada dalam buku atau belum diungkap sumber atau pihak lain.

  Kelebihan metode ceramah menurut Taniredja dkk (2011:45) adalah: 1. Cepat untuk menyampaikan informasi.

  2. Dapat menyampaikan informasi dalam jumlah banyak dengan waktu singkat kepada sejumlah besar pendengar (Taniredja dkk, 2011:45)

  Kelemahan metode ceramah, antara lain:

  1. Bisa menimbulkan pembelajaran yang tidak sistematis

  2. Karena adanya keterbatasan daya dengar manusia, maka dapat menyebabkan pembelajaran yang melelahkan, membosankan dan mengantuk. 3. "melanggar" kemampuan daya belajar manusia, karena tidak semua siswa mampu menyimak dan menangkap 'pesan lisan' serta menulisnya dengan cepat

  4. Kecepatan dan intonasi suara guru yang tidak teratur menyebabkan hilangnya kesempatan siswa untuk berpikir, bereaksi dan berekspresi.

  5. Ceramah murni yang menyamaratakan semua siswa adalah salah satu penyebab lahirnya ketimpangan daya serap siswa.

b. Ekspositorik

  Ekspositorik berasal dari kata ’ekspose’ yang berarti menunjukkan, memperagakan dan atau memperlihatkan. Metode belajar ekspositori adalah metode belajar yang memperagakan sesuatu untuk menciptakan KBM dan khususnya KBS yang terarah dan terkendali menuju target sasaran guru atau pengajar.

c. Metoda Pengajaran Konsep (Teaching Konsep)

  Sebelum menggunakan metoda pengajaran konsep, seorang pengajar terlebih dahulu harus memahami pengertian data dan fakta. Djahiri (1995/1996:44), bahwa:

  1) Data adalah realita yang ada, kejadian, atau hal baik fisik - non fisik, materiil - immateril, dan personal - kondisional.

  2) Fakta adalah sejumlah data yang memiliki keterkaitan menunjuk kepada suatu konsep.

  3) Konsep adalah label/nama/istilah yang merupakan rangkaian sejumlah fakta menuju suatu pengertian/makna isi - pesan dan atau fungsi peran atau harga/nilai. Jadi, konsep merupakan sesuatu yang memiliki ciri esensil tertentu.

  d. Metoda Tanya Jawab

  Metode tanya jawab ini dianggap memiliki kadar CBSA yang tinggi, karena pertanyaan akan menggugah dan mengundang potensi diri siswa.

  e. Partisipatori

  Partisipatori sebagai metode dalam kegiatan belajar mengajar, membelajarkan siswa mengenai kehidupan atau kegiatan nyata atau kegiatan nyata ataupun yang simulatif. Sarana untuk berpartisipatorik adalah kehidupan keluarga atau masyarakat, instansi kedinasan atau kemasyarakatan, laboratorium, atau pusat Modeling. Jenis partisipatorik antara lain, studi lapangan, kegiatan bakti sosial, magang, modeling atau simulasi, dan studi proyek.

f. Diskusi dan Kelompok Belajar

  Ciri khas dari diskusi sebagai pola kegiatan belajar mengajar, yakni demokratis. Metoda diskusi mengundang dan melibatkan banyak orang serta tidak ada dominasi seseorang, memiliki indikator CBSA yang tinggi karena meminta daya analisis dan evaluatif terhadap masalah yang dilontarkan atau tanggapan dan sanggahan terhadap orang lain, Djahiri (1995/1996:53) mengungkapkan bahwa diskusi adalah kegiatan belajar siswa dialogistik secara intra potensi diri antar potensi orang lain serta potensi dunia keilmuan dan kehidupan.

  Ciri esensial dari diskusi, antara lain: 1) Adanya proses dialogistik, yakni interaksi antara struktur kognitif dengan afektif dan psikomotor, antara potensi diri kita dengan orang lain atau dengan dunia nyata serta keilmuan. 2) Adanya sharing ideas (pertukaran pikiran/pendapat, berargumentasi yang benar dan memiliki landasan), ada proses berproduksi dan berekspresi. 3) Adanya arahan inkuiri/mencari/meneliti dan mendapatkan sesuatu 4) Adanya proses sosialisasi diri.

  Bentuk-bentuk diskusi menurut Djahiri (1995/1996:58), antara lain: 1) Diskusi kelas 2) Diskusi kelompok 3) Diskusi panel 4) Seminar 5) Lokakarya 6) Diskusi penjaring

  Kelompok belajar adalah kelompok sejumlah siswa untuk melakukan kegiatan belajar bersama secara terarah dan teratur.

  Djahiri (1995/1996:20) mengemukakan bahwa "kelompok belajar yang sesuai dengan pembelajaran PKn adalah kelompok belajar kooperatif”.

  Kelompok belajar kooperatif merupakan perpaduan antara kelompok belajar dan pola kegiatan kooperatif. Hakekat ini kooperatif ialah kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Kelompok belajar kooperatif merupakan kegiatan belajar yang dapat menciptakan persaingan yang sehat, dalam arti persaingan yang ada, tidak mendidik siswa untuk bersifat individualis.

g. Metoda Inkuiri dan pemecahan Masalah

  Kedua metoda ini pada hakekatnya sama, perbedaannya bahwa dalam metoda pemecahan masalah hanya sampai pada proses penentuan alternatif pemecahan/keputusan, sedangkan dalam inkuiri sampai pada tahapan penetapan keputusan yang terbaik.

  Keunggulan kedua metode ini menurut Djahiri (1995/1996:58), antara lain:

  1) Meningkatkan keterampilan dan kualitas hasil belajar 2) Menuntun siswa akrab dengan kehidupan nyata 3) Membakukan kemahiran analisis dan argumentasi rasional/berlandas 4) Mensosialisasikan siswa 5) Mendayagunakan aneka sumber dan lingkungan belajar Jenis inkuiri adalah inkuiri sederhana. lengkap dan nilai.

  Inkuiri sederhana tidak memerlukan keseluruhan proses dilaksanakan, hanya hakekat dasarnya saja, yakni mengkaji, mencari, dan menentukan pilihan. Inkuiri yang lengkap merupakan metoda khusus yang langkah dan prosesnya telah baku. Sedangkan, inkuiri nilai adalah pola inkuiri sederhana yang fokus substansinya pada nilai moral.

e. Media Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

  Media pengajaran harus dibedakan dengan sumber pengajaran. Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan bahwa sumber pembelajaran merupakan tempat di mana butir mata pelajaran dan media bisa dilihat, diperoleh dan dikaji seperti buku, perpustakaan, media cetak, kehidupan nyata dll. Sedangkan, media pembelajaran lebih diutamakan pada fungsi dan perannya.

  Djahiri (1995/1996:31) mengemukakan, bahwa dengan adanya media pembelajaran diharapkan dapat berperan untuk: a. Menjadi fasilitator proses Kegiatan Belajar Siswa dan peningkatan Hasil Belajar Real b. Meningkatkan kadar proses CBSA atau proses Kegiatan

  Mengajar Guru interaktif - reaktif

  c. Meningkatkan motivasi belajar atau suasana belajar yang baik

  d. Meringankan beban tugas guru tanpa mengurangi kelancaran dan keberhasilan pengajaran e. Meningkatkan proses Kegiatan Belajar Mengajar secara efektif, efisien dan optimal f. Menyegarkan Kegiatan Belajar Mengajar

  Jenis dan bentuk media, antara lain:

  a. Materiil, berupa alat peraga, media cetak (Koran, majalah dll)

  b. Immaterial, seperti iklim, status sosial masyarakat dll

  c. Personal, yaitu tokoh, pahlawan, narasumber dll

  d. Audiovisual

  e. Gerak atau penampilan seperti simulasi, permainan (games) Penggunaan media dalam Kegiatan Belajar Mengajar hendaknya memperhatikan kualifikasi standar kompetensi, kompetensi dasar dan metoda pembelajaran yang akan digunakan.

2.6. Hakikat Nilai Moral

2.2.1. Konsep Nilai

  1. Pengertian Nilai Banyak kita dapati rumusan atau definisi tentang pengertian nilai. Fraenkel, (Djahiri, 1985:20) mendefinisikan nilai sebagai ide atau konsep yang bersifat abstrak tentang apa yang dipikirkan seseorang atau dianggap penting oleh seseorang yang mengacu pada estetika, etika pola laku, dan logika.

  Menurut Allport, (Rohmat, 2004 : 9) mengemukakan bahwa nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya. Nilai terjadi pada wilayah psikologis yang disebut keyakinan. Nilai merupakan das Sollen (keharusan), berupa suatu idee dan idee ini memberi pedoman, ukuran bagi manusia, dalam hubungannya dengan manusia lain, alam dan dengan Tuhan YME (Daroeso, 1989:21).