BAB II KAJIAN PUSTAKA E. Deskripsi Teori 7. Model Pembelajaran Creative Problem Solving a. Pengertian Model Pembelajaran Creative Problem Solving - PENGARUH MODEL PEMBELAJARAN CPS (CREATIVE PROBLEM SOLVING) TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI MENGHIT

BAB II KAJIAN PUSTAKA E. Deskripsi Teori 7. Model Pembelajaran Creative Problem Solving a. Pengertian Model Pembelajaran Creative Problem Solving Model pembelajaran Creative Problem Solving merupakan

  variasi dari pembelajaran dengan pemecahan masalah melalui teknik sistematikdalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan (Suyatno, 2009:66).

  Model Pembelajaran Creative Problem Solving dalam penyelesaian masalah problematik maksudnya segala cara yang dikerahkan oleh seseorang dalam berpikir kreatif (Suryosubroto, 2009:199).

  Menurut Noller dalam Ibrahim Muhammad Al Maghazi (Suryosubroto, 2009:199) solusi kreatif sebagai upaya pemecahan masalah yang dilakukan melalui sikap dan pola kreatif, memiliki banyak alternatif pemecahan masalah, terbuka dalam perbaikan, menumbuhkan kepercayaan diri, keberanian menyampaikan pendapat, berpikir devergen, dan fleksibel dalam upaya pemecahan masalah.

  Creative Problem Solving dibangun atas tiga macam

  komponen, yaitu : ketekunan, masalah dan tantangan. Ketiga

  8 komponen tersebut dapat diimplementasikan secara sistematik dengan berbagai komponen pembelajaran. Model pembelajaran

  Creative Problem Solving berusaha mengembangkan pemikiran

  divergen, berusaha mencapai berbagai alternatif dalam memecahkan suatu masalah (Suryosubroto, 2009:200).

b. Karakteristik model Pembelajaran Creative Problem Solving

  Menurut Suryosubroto (2009:200) Pembelajaran Creative

  Problem Solving memiliki karakteristik sebagai berikut :

  1) Melatih siswa untuk berpikir divergen dalam memecahkan masalah dengan berbagai cara, mampu memberikan berbagai alternatif pemecahan atas sebuah masalah dan kemampuan mengemukakan berbagai gagasan baru, dengan cara-cara baru yang jarang dilakukan oleh orang lain. 2) Peran pendidik lebih banyak menempatkan diri sebagai fasilitator, motivator dandinamisatorbelajar bagi peserta didik.

  c.

  

Langkah-Langkah Pelaksanaan Model Pembelajaran Creative

Problem Solving

  Menurut Munandar (2009:206) proses CPS (Creative

  

Problem Solving ) atau Pemecahan Masalah secara Kreatif (PMK)

  dikembangkan oleh Parnes, presiden dari Creative Problem Solving

  Foundation (CPSF). Proses ini meliputi lima langkah, yaitu :

  1) Menemukan fakta Tahap menemukan fakta ialah tahap mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang ingin dipecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan. 2) Menemukan masalah

  Pada tahap menemukan masalah diupayakan merumuskan masalah dengan menanyakan: “Dengan cara-cara apa saya...”, pernyataan ini mengundang memberikan banyak gagasan. Pemikir diharapkan dapat mengembangkan masalahnya dengan menemukenali sub-masalah; masalah dapat dirumuskan kembali (redefinition) atau disempitkan.

  3) Menemukan gagasan Pada tahap menemukan gagasan diupayakan mengembangkan gagasan pemecahan masalah sebanyak mungkin. Dalam hal ini dapat digunakan teknik yang sudah diajarkan pada tingkat I dan tingkat II, seperti sumbang saran dan daftar periksa untuk membantu menemukan ide-ide dengan memberi kebebasan pada imajinasi dan menangguhkan kritik.

  Yang penting ialah memperoleh banyak gagasan. 4) Penemuan sosial

  Pada tahap penemuan sosial gagasan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya diseleksi berdasarkan kriteria evaluasi yang bersangkut-paut dengan masalahnya, misalnya berdasarkan waktu, biaya, dan tenaga yangr diperlukan untuk melaksanakan gagasan tersebut.

  5) Menemukan penerimaan atau tahap pelaksanaan Pada tahap terakhir menemukan penerimaan atau tahap pelaksanaan disusun rencana tindakan agar mereka yang mengambil keputusan (kepala sekolah, orang tua, majikan, dan lainnya) dapat menerima gagasan tersebut dan melaksanakannya.

  d.

  

Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Creative

Problem Solving

1) Kelebihan

  Menurut Higgins (1994:116) Model Pembelajaran

  Creative Problem Solving mempunyai kelebihan sebagai berikut:

  a) “The group can provide a better solution to that an individual.

  Collectively the members of a group have more knowledge than an individual…” . Maksudnya adalah dengan adanya

  kerja kelompok dalam model pembelajaran ini, siswa mampu mendapatkan solusi yang lebih baik dari pada satu individu, karena siswa mencari berbagai jalan keluar dari suatu permasalahan yang dihadapi dengan cara menggabungkan berbagai pengetahuan masing-masing individu.

  b)

  “Group participation leads to a better understanding of the decision”. Maksudnya adalah bahwa partisipasi kelompok memberikan pemahaman yang lebih baik dalam mengambil keputusan.

  c)

  “Group help ensure a broader search effort”. Maksudnya

  adalah bahwa dalam belajar menggunakan model ini membantu memastikan pencarian secara luas dari berbagai aspek.

  d)

  “The propensity to take risks is balanced. Individuals who are highly likely to take risks oft en fail”.Maksudnya adalah dengan

  adanya kerja kelompok tersebut dapat meminimalisir resiko kesalahan dalam pengambilan keputusan, karena individu dalam mengambil keputusan sering mengalami kegagalan.

2) Kelemahan

  Menurut Higgins (1994:117) Model Pembelajaran Creative

  Problem Solving mempunyai kelemahan sebagai berikut:

  a)

  “… typically require more time to come to decisions that individuals do”.Maksudnya adalah model pembelajaran ini

  memerlukan waktu yang cukup lama dalam memperoleh keputusan.

  b)

  “One individual may dominate the interactive group so that his or her opinions prevail over those of the group. Nominal groups are designed to overcome the problem”.Maksudnya

  adalah jika model pembelajaran ini diterapkan pada diskusi kelompok yang kemampuannya heterogen maka yang pandai akan mendominasi dalam diskusi sehingga siswa yang kurang pandai menjadi pasif sebagai pendengar saja.

  c)

  “Although groups ussully make better decision than the average individual, they seldom make better ones than the superior individual. In fact, superior performance by a group may result from the effors of one superior group member”.

  Maksudnya adalah meskipun dalam diskusi kelompok dapat memperoleh pengambilan keputusan yang baik, tetapi kadang- kadang dalam diskusi kelompok jarang membuat keputusan yang lebih baik dari pada individu yang menonjol.

8. Model Pembelajaran Langsung a. Pengertian Model Pembelajaran Langsung

  Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2010:23) pembelajaran langsung (Direct Instruction) digunakan oleh para peneliti untuk merujuk pada pola-pola pembelajaran di mana guru banyak menjelaskan konsep atau keterampilan kepada sejumlah kelompok peserta didik dan menguji keterampilan peserta didik melalui latihan-latihan di bawah bimbingan dan arahan guru. Dengan demikian, tujuan pembelajaran distrukturkan oleh guru. Sementara itu, menurut Roy Killen (dalam Departemen Pendidikan Nasional, 2010:23) Direct Instruction merujuk pada berbagai teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan pengetahuan dari guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui ceramah, demonstrasi, dan tanya jawab.

b. Karakteristik Pembelajaran Langsung

  Model pembelajaran langsung memiliki karakteristik sebagai berikut : 1) Transformasi dan keterampilan secara langsung 2) Pembelajaran beroientasi pada pembelajaran tertentu 3) Materi pembelajaran yang terstruktur 4) Lingkungan belajar yang telah tersruktur 5) Distruktur oleh guru. (Departemen Pendidikan Nasional,

  2010:24 ) c.

   Tahapan Model Pembelajaran Langsung

  Sintaks model pembelajaran langsung menurut Brusce dan Well (dalam Departemen Pendidikan Nasional, 2010:25) sebagai berikut : 1) Peserta didik melakukan kegiatan latihan secara mandiri, fase ini dapat dilalui peserta Orientasi

  Bentuk-bentuk orientasi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut : a) kegiatan pendahuuan untuk mengetahui pengetahuan yang relevan dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik; b) mendiskusikan atau menginformasikan tujuan pelajaran; c) memberikan atau menginformasikan tujuan pembelajaran; d) memberikan penjelasan arahan mengenai kegiatan yang akan dilakukan;

  e) menginformasikan materi/konsep yang akan digunakan dan kegiatan yang akan dilakukan selama pembelajaran; f) menginformasikan kerangka pelajaran.

  2) Presentasi Pada fase ini guru dapat menyajikan materi pelajaran baik berupa konsep-konsep maupun keterampilan. Penyajian materi berupa : a) penyajian materi dalan langkah-langkah kecil sehingga materi dapat dikuasai peserta didik dalam waktu relatif pendek; b) pemberian contoh-contoh konsep pendek; c) pemodelan atau peragaan keterampilan dengan cara demonstrasi atau penjelasan langkah-langkah kerja terhadap tugas; d) menjelaskan ulang hal-hal yang sulit.

  3) Latihan Terstruktur Pada fase ini guru memandu peserta didik untuk melakukan latihan-latihan. Peran guru yang penting dalam fase ini adalah memberikan umpan balik terhadap respon peserta didik dan memberikan penguatan terhadap respon peserta didik yang benar dan mengoreksi tangganapan peserta didik yang salah.

  4) Latihan Terbimbing Pada fase ini guru memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berlatih konsep atau keterampilan. Latihan terbimbing ini baik juga digunakan oleh guru untuk menilai kemampuann peserta didik untuk melakukan tugasnya. Pada fase ini peran guru adalah memonitor dan memberikan bimbingan jika diperlukan.

  5) Latihan Mandiri Pada fase ini didik jika telah menguasai tahap-tahap pengerjaan tugas 85-90% dalam fase bimbingan latihan.

d. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Langsung

  Menurut Widdiharto (2004:34) model pembelajaran langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihannya adalah sebagai berikut: 1) Relatif lebih banyak materi yang disampaikan 2) Untuk hal-hal yang sifatnya prosedural, model ini akan relatif mudah untuk diikuti.

  Adapun kekurangan atau kelemahannya adalah apabila terlaludominan pada ceramah siswa akan cepat bosan.

9. Hasil Belajar

  Dimyati dan Mujiono (2006:3) berpendapat bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.

  Selanjutnya, Jihad dan Haris (2010:15) juga berpendapat bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran.

  Benyamin Bloom dalam sudjana (2010:22) berpendapat bahwa hasil belajar mencakup tiga ranah (domain) yaitu kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotor (keterampilan). Hasil belajar merupakan pencapaian bentuk perubahan perilaku yang cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif dan psikomotor dari proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu.

  Hasil belajar juga diartikan sebagai kulminasi dari suatu proses yang telah dilakukan dalam belajar. Kulminasi akan selalu diiringi dengan kegiatan tindak lanjut. Hasil belajar harus menunjukkan suatu perubahan tingkah laku atau perolehan perilaku yang baru dari siswa yang bersifat menetap, fungsional, positif dan disadari (Anitah, 2008: 2.19).

  Jadi, bisa disimpulkan bahwa hasil belajar adalah merupakan hasil atau suatu bentuk perubahan tingkah laku dari proses belajar, bentuk perubahan perilaku ini cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif dan psikomotor dari proses belajar yang dilakukan dalam waktu tertentu.

a. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar

  Menurut Sudjana (2010:39) hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar siswa atau faktor lingkungan. Faktor dari dalam diri peserta didik menyangkut kemampuan yang dimiliki, motivasi belajar, minat belajar dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, serta faktor fisik dan psikis. Selain faktor dari diri peserta didik, faktor dari luar peserta didik atau faktor lingkungan juga mempengaruhi hasil belajar.

  Sejalan dengan itu Slameto (2010:54-72) juga berpendapat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar ada dua yaitu faktor-faktor intern dan faktor-faktor ekstern. Faktor intern meliputi faktor Jasmani (Kesehatan, cacat tubuh), faktor psikologis (Intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan), faktor kelelahan. Sedangkan faktor ektern meliputi faktor keluarga (cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, latar belakang kebudayaan), faktor sekolah(metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, tugas rumah), faktor masyarakat (kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, bentuk kehidupan masyarakat).

b. Penilaian Berbasis Kelas

  Arifin (2011:180) berpendapat bahwa penilaian berbasis kelas adalah suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan data dan informasi tentang hasil belajar pesrta didik untuk menetap tingkat pencapaian dan penguasaan peserta didik terhadap tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Tujuan pendidikan yang dimaksud adalah standar kompetensi, kompetensi dasar dan indikator pencapaian hasil belajar yang terdapat dalam kurikulum.

  Peneliti menggunakan acuan penilaian kelas karena penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah- langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik.

  1) Tujuan Penilaian Berbasis Kelas Tujuan Penilaian ini dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum penilaian berbasis kelas adalah untuk memberikan penghargaan terhadap pencapaian hasil belajar peserta didik dan memperbaiki program dan kegiatan pembelajaran. (Arifin, 2011:182)

  Tujuan khusus dari penilaian berbasis kelas adalah sebagai berikut : a) Informasi tentang hasil belajar peserta didik secara individual dalam mencapai tujuan belajar sesuai dengan kegiatan belajar yang dilakukannya.

  b) Informasi yang dapat digunakan untuk membina kegiatan belajar lebih lanjut, baik secara kelompok maupun perseorangan. c) Informasi yang dapat digunakan oleh guru dan peserta didik untuk mengetahui tingkat kemampuan peserta didik, menetapkan tingkat kesulitan/kemudahan untuk melaksanakan kegiatan remidial , pendalaman atau penghayatan.

  d) Motivasi belajar peserta didik dengan cara memberikan informasi tentang kemajuannya dan merangsangnya untuk melakukan usaha pemantapan atau perbaikan.

  e) Informasi semua aspek kemajuan peserta didik dan pada gilirannya guru dapat membantu pertumbuhannya secara efektif untuk menjadi anggota masyarakat dan pribadi yang utuh.

  f) Bimbingan yang tepat untuk memilih sekolah atau jabatan yang sesuai dengan keterampilan, minat, dan kemampuan.

  2) Fungsi Penilaian Berbasis Kelas Arifin (2011:183) menyebutkan fungsi penilaian berbasis kelas bagi peserta didik dan guru adalah untuk : a) Membantu peserta didik dalam mewujudkan dirinya dengan mengubah atau mengembangkan perilakunya ke arah yang lebih baik dan maju.

  b) Membantu peserta ddik mendapat kepuasan atas apa yang telah dikerjakannya. c) Membantu guru menetapkan apakah strategi, metode, dan media mengajar yang digunakannya telah memadai.

  d) membantu guru dalam membuat pertimbangan dan keputusan administrasi.

  3) Objek Penilaian Berbasis Kelas Sesuai dengan petunjuk pengembangan Kurikiulum

  Berbasis Kompetensi yang dikeuarkan oleh Departemen Pendidikan Nasional, maka objek penilaian berbasis kelas adalah sebagai berikut : a) Penilaian kompetensi dasar mata pelajaran, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak setelah peserta didik menyelesaikan suatu aspek atau subjek mata pelajaran tertentu.

  b) Penilaian Kompetensi Rumpun Pelajaran, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak yang seharusnya dicapai oleh peserta didik setelah menyelesaikan rumpun pelajaran.

  c) Penilaian kompetensi lintas kurikulum, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan kecakapan hidup yang harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar secara berkesinambungan.

  d) Penilaian kompetensi tamatan, yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak setelah peserta didik menyelesaiaan jenjang tertentu.

  e) Penilaian terhadap pencapaian keterampilan hidup. Jenis kecakapan hidup yang perlu dinilai antara lain : keterampilan diri, ketermpilan berfikir rasional, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional (Arifin, 2011:183). 4) Domain dan Alat Penilaian Berbasis Kelas

  Menurut Arifin (2011:184) penilaian autentik perlu dilakukan terhadap keseluruhan kompetensi yang telah dipelajari peserta didik melalui kegiatan pembelajaran. Domain yang perlu dinilai meliputi domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotor.

  a) Domain Kognitif Seperti yang telah disebutkan pada pembahasan di awal bahwa domain kognitif itu memiliki enam tingkatan, yaitu : tingkatan hafalan, pemahaman, aplikasi/penerapan, analisis, sintesis dan evaluasi.

  Untuk mengukur penguasaan kognitif dapat digunakan tes tertulis, tes lisan dan portofolio.

  b) Domain Afektif Untuk mengukur domain afektif ini ada dua hal yang harus dinilai, yaitu : pertama, kompetensi afektif yang ingin dicapai dalam pembelajaran meliputi tingkatan pemberian respon, apresiasi, penilaian dan internalisasi (karakterisasi).

  

Kedua sikap dan minat peserta didik terhadap mata

pelajaran dan proses pembelajaran.

  Alat ukur yang bisa digunkan dalam menilai domain afektif ini antara lain skala Likert, skala Thurstone, skala perbedaan semantik, skala Bogardus, dan skala Chapin.

  c) Domain Psikomotor Domain psikomotor meliputi hal-hal berikut ini :

  • Tingkatan penguasaan gerakan awal berisi kemampuan peserta didik dalam menggerakkan sebagian anggota badan.
  • Tingkatan gerakan semirutin meliputi kemampuan melakukan atau menirukan gerakan yag melibatkan seuruh anggota badan.
  • Tingkatan gerakan yang melibatkan secara menyeluruh dengan sempurna dan sampai pada tingkatan otomatis.

  Alat penilaian yang digunakan untuk mengukur domain psikomotor adalah tes penampilan atau kinerja yang telah dikuasai peserta didik, misalnya : tes paper and pencil, tes identifikasi, tes simulasi, tes petik kerja (Arifin, 2011:186). 5) Prinsip Penilaian Berbasis Kelas

  Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (dalam Arifin, 2022:187) menjelaskan bahwa secara umum, penilaian berbasis kelas harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: a) Valid (tepat). Dalam prinsip ini alat ukur yang digunakan dalam penilaian berbasis kelas harus betul-betul mengukur apa yang hendak diukur.

  b) Mendidik. Dalam prinsip ini hasil belajara yang diperoleh harus menjadi feed-back bagi perbaikan kegiatan pembelajaran.

  c) Berorientasi pada kompetensi. Penilaian berbasis kelas dilakukan dalam rangka membantu peserta didik mencapai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator pencapaian hasil belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum berbasis kompetensi.

  d) Adil dan Objektif. Guru harus berbuat adil dan bersikap objektif terhadap semua peserta didik. e) Terbuka. Sistem dan hasil penilaian berbasis kelas tidak boleh disembunyikan oleh guru. Apapun format dan model penilaian yang digunakan harus diketahi oleh semua pihak.

  f) Berkesinambungan. Penilaian berbasis kelas tidak hanya dilakukan pada akhir kegiatan saja, tetapi harus dimulai dari awal sampai akhir pembelajaran, terencana, bertahap, dan berkesinambungan.

  g) Menyeluruh. Penilaian terhadap prosesbdan asil belajar peserta didik harus dilakukan secara menyeluruh, utuh dan tuntas, baik yang berkenaan dengan domain kognitif, afektif maupun psikomotor.

  h) Bermakna. Penilaian berbasis kelas harus memberikan makna kepada berbagai pihak untuk melihat tingkat perkembangan peserta didik. (Arifin, 2011:189)

  6) Manfaat Penilaian Berbasis Kelas Pusat Kurikulum Balitbangg Depdiknas (dalam Arifin,

  2011:190) mengemukakan hasil penilaian berbasis kurikulum berguna untuk : a) Umpan balik bagi peserta didik agar mengetahui kemampuan dan kekurangan, sehingga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil belajarnya;

  b) Memantau kemajuan dan mendiagnosis kemampuan belajar peserta didik sehingga memungkinkan dilakukannya pengayaan dan remediasi untuk memenuhi kebutuhan peserta didik sesuai dengan kemajuan dan kemampuan; c) Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembelajarannya di kelas; d) Memungkinkan peserta didik mencapai kompetensi yang telah ditentukan walaupun dengan kecepatanbelajar yang berbeda-beda;

  e) Memberikan informasi yang lebih komunikatif kepada orang tua dan masyrakat tentang efektivitas oendidikan sehingga mereka dapat meninggalkan peran sertanya di bidang pendidikan.

  7) Jenis-jenis Penilaian Berbasis Kelas Arifin (2011:190-192) Jenis-jenis penilaian berbasis kelas meliputi : a) Tes Tertulis. Tes tertulis merupakan alat penilaian berbasis kelas yang penyajian maupun penggunaannya dalam bentuk tertulis. Peserta didik memberikan jawaban atas pertanyan atu pernyataan maupun tanggapan atas pertanyaan atau pernyataan yang diberikan. Bentuk tes tertulis dapat berupa pilihan ganda, menjodohkan, benar-salah, isian singkat, dan uraian. b) Tes Perbuatan. Tes perbuatan dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung yang memungkinkan terjadinya praktik.

  c) Pemberian Tugas. Pembeian tugas dilakukan untuk semua mata pelajaran mulai dari awal kelas sampai dengan akhir kelas sesuai dengan materi penlaran dan perkembangan peserta didik.

  d) Penilaian Proyek. Penilaian proyek adalah penilaian terhadap tugas yang harus diselesaikan dalam waktu tertentu. Penilaian proyek dilakukan mulai dari pengumpulan, pengorganisasian, penilaian, hingga penyajian data.

  e) Penilaian Produk. Penilaian produk peserta didik adalah penilaian terhadap penguasaan keterampilan peserta didik dalam membuat suatu prduk dan penilaian hasil kerja tertentu. Dalam penilaian produk terdapat dua konsep penilaian berbasis kelas, yaitu penilaian peserta didik tentang pemilihan dan kualitas teknis maupun estetik suatu karya/produk.

  f) Penilaian Sikap. Penilaian sikap dapat dilakukan berkaitan dengan berbagai objek sikap, seperti sikap terhadap atau pelajaran, sikap terhadap guru, sikap terhadap proses pembelajaran, sikap terhadap materi pelajaran, sikap berhubungan dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan dalam diri peserta didik melalui materi tertentu. Untuk pengukuran sikap dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain : observasi perilaku, pertanyaan langsung, laporan pribadi, dan skala sikap.

  g) Penilaian Portopolio. Penilaian portopolio meupakan penilaian berbasis kelas terhadap sekumpulan karya peserta didik yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi yang diambil selama proses pembelajaran dalam kurun waktu tertentu, digunakan oleh guru dan peserta didik untuk memantau perkembangan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap peserta didik dalam mata pelajaran tertentu.

10. Hasil Belajar Matematika

  Dimyati dan Mujiono (2006:3) berpendapat bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar.

  Selanjutnya, Jihad dan Haris (2010:15) juga berpendapat bahwa hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku siswa secara nyata setelah dilakukan proses belajar mengajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran.

  Kata matematika berasal dari perkataan Latin matematika yang mulanya diambil dari perkataan Yunani “mathematike” yang berarti mempelajari. Perkataan itu berasal dari kata mathema yang berarti pengetahuan atau ilmu (knowladge, science). Kata mathematike berhubungan pula dengan kata lainnya yang hampir sama, yaitu mathein atau mathenein yang artinya belajar (berpikir).

  Jadi berdasarkan asal katanya, maka perkataan matematika berarti ilmu pengetahuan yang didapat dengan cara berpikir (bernalar).

  Matematika lebih menekankan kegiatan dalam dunia ratio (penalaran), bukan menekankan dari hasil eksperimen atau hasil observasi matematika terbentuk karena pikiran-pikiran manusia, yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran. (Russeffendi dalam Suwangsih & Tiurlina, 2006:3).

  Sejalan dengan itu Ruseffendi dalam Heruman (2007:2) matematika adalah bahasa simbol; ilmu deduktif; ilmu tentang pola keteraturan danstruktur yangterorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.

  Zevenbergen et al (8:2004) juga berpendapat

  “Mathematics is the study of patterns and relationships. One of the defining characteristics of mathematics is being aware of recurring ideas and relationship between and among mathematical ideas”. Maksudnya adalah matematika adalah

  ilmu untuk mempelajari bentuk atau pola dan hubungan. Salah satu definisi dari karakterisitik matematika adalah mengetahui gagasan- gagasan yang berulang dan hubungan antara gagasan-gagasan matematis.

  Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika adalah merupakan suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar yang menghasilkan suatu perubahan dalam proses belajar mengajar pada ilmu pengetahuan yang didapat dengan cara berpikir (bernalar) yang menekankan kegiatan dalam dunia ratio (penalaran).

  Menurut Benyamin Bloom ada tiga macam tipe hasil belajar, maka hasil belajar matematika juga mempunyai tiga tipe hasil belajar pula, yaitu:

a. Tipe Hasil Belajar Matematika Bidang Kognitif

  Hasil belajar kognitif merupakan hasil belajar yang berkaitan dengan penguasaan intelektual. Ada enam tingkatan dalam tipe belajar kognitif, yaitu : a). tipe hasil belajar pengetahuan hafalan (knowladge) adalah merupakan tipe hasil belajar yang tingkatannya paling rendah jika dibandingkan dengan tipe hasil belajar yang lainnya, namun tipe hasil belajar ini penting sebagai prasarat untuk menguasai dan mempelajari tipe hasil belajar lain yang lebih tinggi; b) tipe hasil belajar pemahaman (comprehention), adalah merupakan kemampuan untuk menangkap makna atau arti sesuatu konsep; c) tipe hasil belajar penerapan (aplikasi), adalah kesanggupan menerapkan, mangabstraksi suatu konsep, ide, rumus, hukum dalam situasi yang baru; d) tipe hasil belajar analisis, adalah kesanngupan memecah, mengurai suatu integritas menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian yang mempunyai arti atau mempunyai tingkatan/hierarki; e) tipe hasil belajar sintesis, adalah kesanggupan menyatukan unsur atau bagian menjadi suatu integritas; f) tipe hasil belajar evaluasi, adalah kesanggupan memberikan keputusan tentang nilai sesuatu berasarkan judgment yang dimilikinya, dan kriteria yang dipakainya. (Sudjana, 2010:50-52).

  Sagala (2010: 157) berpendapat bahwa tujuan-tujuan dalam ranah kognitif ini berkaitan dengan perilaku dalam aspek berpikir atau intelektual. Kaitannya dengan penelitian, aspek ini akan lebih difokuskan pada pengetahuan, pemahaman, penerapan dan menganalisis.

Tabel 2.1 Hasil Belajar Aspek Kognitif yang berkaitan dengan

  Materi Menghitung Luas Traspesium dan Layang-layang

  Aspek No Indikator Soal Kognitif

  Mengetahui rumus Pengetahuan Menyebutkan luas 1. luas trapesium dan trapesium dan layang-layang layang-layang

  Memahami luas Pemahaman Menuliskan apa yang trapesium dan diketahui, layang-layang dalam ditanyakan dan soal cerita sehingga perencanaan

  2. dapat melakukan penyelesaian merencanakan masalah penyelesaian masalah Melaksanakan Penerapan Menerapkan rumus perencanaan untuk luas trapesium dan menyelesaikan layang-layang yang masalah yang dalam sesuai dalam soal

  3. hal ini berkaitan cerita dengan luas trapesium dan layang-layang Menyelesaikan soal Analisis Soal Cerita cerita berkaitan

  4. dengan luas trapesium dan layang-layang.

b. Tipe Hasil Belajar Matematika Bidang Afektif Tipe hasil belajar afektif berkenaan dengan sikap dan nilai.

  Tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti atensi/perhatian terhadap pelajaran, disiplin, motivasi belajar, mengahargai guru dan teman sekelas, kebiasaan belajar dan lain-lain. (Sudjana, 2010:53).

  Ada beberapa tingkatan bidang afektif sebagai tujuan dan tipe hasil belajar, yaitu : a) Reiceving/attending, yakni semacam kepekaan dala menerima rangsangan dari luar yang datang pada siswa, baik dalam bentuk masalah, situasi maupun gejala; b)

  

Responding atau jawaban, yakni reaksi yang diberikan seseorang

  terhadap stimulasi yang datang dari luar; c) Valuing (penilaian), yakni berkenaan dengan nilai dan kepercayaan terhadap gejala dan stimulus tadi; d) Organisasi, yakni pengembangan nilai ke dalam satu sistem organisasi, termasuk menentukan hubungan satu nilai dengan nilai yang lain dan kemantapan, prioritas nilai yang telah dimilikinya; e) Karakteristik nilai atau internalisasi nilai, yakni keterpaduan dari semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang, yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya.

  Sagala (2011:158) berpendapat tujuan afektif adalah tujuan yang banyak berkaitan dengan aspek perasaan, nilai, sikap, dan minat perilaku peserta didik atau peserta didik. Selain itu hasil belajar afektif sekarang ini juga ditujukan dalam rangka pencapaian generasi bangsa yang berkarakter dan berbudaya, sesuai dengan yang tersirat dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh satuan pendidikan. Oleh sebab itu, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa (Kemendiknas, 2010:2).

  Pelaksanaan pengembangan budaya dan karakter bangsa dalam pendidikan memerlukan berbagai dukungan, diantaranya yaitu dalam penyusunan bahan ajar berkarakter harus sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, seperti: bahan belajar harus konkret dan harus mampu memberikan rangsangan bagi anak untuk mencoba dan bereksperimen. Selain itu motode yang digunakanpun harus sesuai dengan mata pelajaran dan bersifat menarik, menyenangkan serta menimbulkan inisiatif dan kreatifitas siswa dan yang terpenting adalah adanya dukungan dari berbagai pihak sekolah yang akan menerapkan pendidikan berkarakter itu sendiri (Fitri, 2012:27).

  Oleh karena itu, peneliti bermaksudmemasukkan karakter disiplin dalam penelitian ini. Disiplin merupakan tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan (Kemendiknas, 2010:9).

Tabel 2.2. Hasil Belajar Aspek Afektif yang berkaitan dengan

  Materi Menghitung Luas Trapesium dan Layang-layang pada nilai karakter disiplin (Kemendiknas, 2010:9)

  No. Indikator 1. Menyelesaikan tugas pada waktunya.

  Saling menjaga dengan teman agar semua tugas-tugas kelas 2. terlaksana dengan baik.

  3. Selalu mengajak teman menjaga ketertiban kelas.

  4. Berpakaian sopan dan rapi.

  5. Mematuhi aturan sekolah.

c. Tipe Hasil Belajar Matematika Bidang Psikomotorik

  Tipe hasil belajar psikomotor tampak dalam bentuk keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu. Ada enam tingkatan keterampilan yakni : a) Gerakan refleks; b) Keterampilan pada gerakan-gerakan dasar; c) Kemampuan perseptual termasuk di dalamnya membedakan visual, membedakan auditif morotik dan lain-lain; d) Kemampuan di bidang fisik, misalnya kekuatan, keharmonisan, ketepatan; e) Gerakan-gerakan skill, mulai dari keterampilan sederhana sampai pada keterampilan yang kompleks; f) Kemampuan yang berkenaan dengan non decurcive komunikasi seperti gerakan ekspresif, interpretatif (Sudjana, 2010:54).

  Dalam Sagala (2011:160) disebutkan tujuan-tujuan psikomotor adalah tujuan yang banyak berkenaan dengan aspek keterampilan motorik atau gerakan dari peserta didik. Hasil belajar psikomotor merupakan kelanjutandari hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif.

Tabel 2.3 Hasil Belajar Aspek Psikomotor yang berkaitan dengan materi menghitung Luas Trapesium dan Layang-layang

  No Indikator Aspek Psikomotor Kegiatan

  1 Menyiapkanalat dan bahan untuk menggambar dan membuat alat peraga sesuai dengan yang ditentukan.

  Ketepatan Peserta didik menyiapkan peralatan yang dibutuhkan

  2 Mampu menggunakan alat dan bahan sesuai dengan kegunaan dalam menggambar dan membuat alat peraga.

  Ketepatan Peserta didik menggunakan peralatan yang dibawa untuk menggambar dan membuat alat peraga.

  3 Terampil membuat alat peraga dalam kerjasama kelompok.

  Peniruan Peserta didik menirukan gambar yang disajikan oleh guru dan membuat alat peraga sesuai yang ditetukan di LKK

  4 Terampil menggunakan alat peraga dalam diskusi kelompok untuk memecahkan permasalahan yang ada di Lembar Kerja Kelompok

  Ketepatan Peserta didik mampu menggunakan alat peraga dalam pemecahan masalah

11. Materi Menghitung Luas Trapesium dan Layang-layang Pada Mata Pelajaran Matematika

  Materi yang akan dilaksanakan dalam penelitian yaitu menghitung luas trapesium dan layang-layang pada kelas V semester I Standar Kompetensi 3 dan Kompetensi Dasar 3.1. SK 3. Menghitung luas bangun datar sederhana dan menggunakannya dalam pemecahan masalah KD 3.1. Menghitung luas trapesium dan layang-layang. (Departemen Pendidikan Nasional, 2006) a.

   Mengenal Trapesium

Gambar 2.1 Trapesium Sembarang

  Bangun ABCD adalah trapesium. Trapesium adalah suatu bangun segi empat yang dua buah sisinya sejajar. Trapesium ABCD, mempunyai sisi sejajar AD dan BC, dan dituliskan AD // BC. AB, BC, CD dan DA merupakan sisi-sisi trapesium. Sisi terpanjang trapesium di atas disebut alas (sisi AD).

  Ada bermacam-macam trapesium, yaitu sebagai berikut : Trapesium sembarang ABCD. AD // BC. Sisi AB _ BC _ CD _ DA AD = alas. Sudut A_ _B _ _C _ _D

  Trapesium samakaki KLMN. KN // LM Sisi KL= MN Sisi KN _ LM KN = alas

  Trapesium siku-siku PQRS. PS // QR. Sisi PQ _ QR _ RS _ SP PS = alas.

Gambar 2.2 Macam-macam Trapesium

b. Luas Trapesium

  Untuk memahami cara menentukan luas trapesium, lakukan kegiatan berikut.

Gambar 2.3 Trapesium

  Trapesium ABCD sama luas dengan segiempat ABEFE dengan ukuran p x l. p = a + b, l = , dimana a = 6 cm, b = 3 cm, t = 4 m. p = 6 cm + 3 cm = 9 cm, dan l = = = 2 cm.

  L = p x l. L = (a + b) x L = (6 cm + 3 cm) x 2 cm = 18 .

c. Luas Layang-layang

  Layang-layang termasuk segi empat. Layang-layang mempunyai dua pasang sisi sama panjang. Layang-layang dibentuk dari dua segitiga sama kaki. Kedua segitiga mempunyai alas sama panjang, tetapi tingginya berbeda.

Gambar 2.4 Layang-Layang

  AO = OC BD diagonal panjang ( ) AC diagonal pendek ( )

  Luas layang-layang juga dapat dicari menggunakan rumus luas segitiga. Caranya dengan menghitung luas kedua segitiga sama kaki yang menyusun layang-layang tersebut. Setelah itu, hasilnya dijumlahkan. Pahamilah cara menentukan rumus luas layang-layang berikut ini. LABCD

  = LΔABC + LΔADC = × AC × OB + AC × OD = × AC × (OB + OD) = × AC × BD Jadi, luas layang-layang (L) dirumuskan: L = × d1 × d2 d1 dan d2 adalah diagonal layang-layang.

  Dari rumus luas layang-layang di atas, dapat ditentukanpanjang diagonal-diagonalnya.

  Panjang diagonal pendek : = Panjang diagonal panjang: =

Gambar 2.5 Layang-layang

  Luas layang-layang ABCDdapat dicari dengan menjumlahkanluas ΔADC dengan ΔABC.

  × AC × OD L Δ ADC =

  = × 4 × 2 = 4 satuan luas

  × AC × OB L Δ ABC =

  = × 4 × 4 = 8 satuan luas L ABCD = L Δ ADC + L Δ ABC = 4 + 8 = 12 satuan luas Jadi, luas trapesium ABCD 12 satuan luas.

  (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:72-74) 12.

   Tujuan Pembelajaran Matematika di SD

  Pembelajaran matematika di SD menurut KTSP merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan memajukan daya pikir manusia. (Permendiknas RI NO 22, 2006:133)

  Siswa Sekolah Dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun.Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan obyek yang bersifat konkret (Heruman, 2007:1)

  Pembelajaran matematika di tingkat SD diharapkan dapat

  reinvention (penemuan kembali). Penemuan kembali adalah menemukan suatu cara penyelesaian secara informal dalam pembelajaran di kelas.

  Walaupun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang telah mengetahui sebelumnya, tetapi bagi siswa SD penemuan tersebut merupakan sesuatu hal yang baru. (Heruman, 2007:4)

  Bruner dalam Heruman (2007:4) menyatakan bahwa dalam metode penemuannya mengungkapkan bahwa dalam pembelajaran matematika, siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang diperlukannya. “Menemukan” di sini terutama adalah menemukan lagi (discovery) atau dapat juga menemukan yang sama sekali baru (invention) . Oleh karena itu, kepada siswa materi disajikan bukan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahuan cara penyelesaiannya. Dalam pembelajaran ini, guru harus lebih banyak berperan sebagai pembimbing dibandingkan sebagai pemberi tahu.

  Permendiknas RI NO 22 (2006:133-134) Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :

  a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

  b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi metematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.

  c. Memecahkan masalah meliputi kemampuan memehami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperolah.

  d. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

F. Hasil Penelitian yang Relevan

  Peneliti tidak menemukan hasil penelitian yang sama persis dengan yang penulis teliti, tetapi ada yang dilakukan oleh :

  1. Widiantoro (2010) mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiah Purwokerto dengan judul skripsi“Pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap hasil belajar matematika ditinjau dari motivasi belajar siswa kelas VIII SMP N

  5 Purwokerto ” dengan kesimpulan tidak ada pengaruh antara model pembelajaran Creative Problem Solving dengan model pembelajaran kovensional terhadap hasil belajar matematika. Dengan kata lain model pembelajaran Creative Problem Solving dan model pembelajaran konvensional memberikan efek yang sama terhadap hasil belajar. Tidak ada pengaruh pula antara tingkat motivasi siswa terhadap hasil belajar matematika, dengan kata lain siswa memiliki hasil belajar yang sama.

  Terdapat interaksi antara model pembelajaran dengan motivasi siswa terhadap hasil belajar matematika. Dengan kata lain interaksi antara model pembelajaran dengan motivasi memberikan efek terhadap hasil belajar matematika.

  2. Ayuningsih (2011) Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto dengan judul skripsi“Peningkatan kreativitas dan kemampuan pemecahan masalah matematika melalui pembelajaran

  Creative Problem Solving (CPS) pada siswa kelas VIII D SMP Negeri 1

  Wangon ” dengan kesimpulan bahwa pembelajaran matematika dengan

  Creative Problem Solving (CPS) dapat meningkatkan kreativitas dan

  kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP Negeri 1 Wangon.

  3. Ismiyanto, dkk (2010) Dosen Seni Rupa SBF Unnes, dengan judulpenelitian “Implementasi Creative Problem Solving dalam

  Pembelajaran Menggambar : Upaya Meningkatkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar

  ” dengan kesimpulan bahwaCreative Problem Solving yang digunakan dengan penuh dan benar dapat berdayaguna (efektif) bagi peningkatan kreativitas peserta didik melalui pembelajaran menggambar.

G. Kerangka Berpikir

  Keberhasilan kegiatan belajar mengajar dibutuhkan adanya sebuah inovasi dalam pembelajaran. Model belajar merupakan salah satu bentuk inovasi yang dibutuhkan dalam kegiatan belajar mengajar agar hasil belajar dapat mencapai hasil yang baik. Hasil belajar yang diharapkan bukan saja aspek kognitif saja melainkan aspek afektif dan aspek psikomotor juga harus diperhatikan.

  Model belajar yang akan diterapkan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran Creative Problem Solving. Model pembelajaran Creative

  Problem Solving merupakan variasi dari pembelajaran dengan pemecahan

  masalah melalui teknik sistematikdalam mengorganisasikan gagasan kreatif untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Model pembelajaran Creative

  Problem Solving menekankan pada solusi kreatif sebagai upaya pemecahan

  masalah yang dilakukan melalui sikap dan pola kreatif, memiliki banyak alternatif pemecahan masalah, terbuka dalam perbaikan, menumbuhkan kepercayaan diri, keberanian menyampaikan pendapat, berpikir devergen, dan fleksibel dalam upaya pemecahan masalah.Sehingga diharapkan bahwa model pembelajaran Creative Problem Solvingdapat memberikan pengaruh hasil belajar pada aspek kognitif, aspek afektif dan aspek psikomotor.

  Bila dirumuskan dalam skema dapat digambarkan pada skema berikut:

  Kondisi Awal: Penerapan Model Pembelajaran

Hasil Belajar Matematika Creative Problem Solving

Masih Rendah (X)

  Kondisi Akhir: Memberikan Hasil Belajar Matematika Pengaruh terhadap hasil (Kognitif, Afektif dan belajar matematika Psikomotor) <Y>

Gambar 2.6 Kerangka Berpikir

H. Hipotesis Penelitian

  Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

  1. Ada pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving terhadap hasil belajar aspek kognitif peserta didik pada materi menghitung luas trapesium dan layang-layang di kelas V SD Negeri 4 Teluk.

  2. Ada pengaruh model pembelajaran Creative Problem Solving terhadap hasil belajar aspek afektif peserta didik pada materi menghitung luas trapesium dan layang-layang di kelas V SD Negeri 4 Teluk.

Dokumen yang terkait

Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa Pada Konsep Virus

1 11 254

Pengaruh Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) Menggunakan Masalah Kontekstual Terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa

1 43 0

Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa

6 49 0

Problem Solving Skill Algebraic Structure of Mathematics Education Students in Creative Problem Solving Learning

0 0 15

BAB II Landasan Teori A. Penelitian yang Relevan - Perbedaan kreativitas dan hasil belajar siswa pokok bahasan tegangan permukaan dan viskositas dalam pembelajaran Fisika dengan menggunakan Model Guided Inquiry Learning dan Model Creative Problem Solving

0 0 52

Efektivitas Penerapan Model Pembelajaran Creative Problem Solving (CPS) terhadap Peningkatan Kemampuan Pemecahan

0 2 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori 2.1.1. Model Problem Based Learning (PBL) 2.1.1.1. Pengertian Model Problem Based Learning - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning untuk Me

0 0 18

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran a. Pengertian Model Pembelajaran - BAB II RANI

0 3 21

Peningkatan Keterampilan Menyusun Hipotesis Melalui Model Pembelajaran Creative Problem Solving Dalam Pembelajaran IPA Pada Siswa Sekolah Dasar - UNS Institutional Repository

0 0 18

Pengembangan Panduan Keterampilan Berpikir Kreatif Dengan Model Creative Problem Solving - UNS Institutional Repository

0 0 17