Pengaruh Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun Oleh:

Lina Marlina

NIM. 109017000039

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Problem Solving Terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa.

Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, April 2014.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran Collaborative Problem Solving terhadap kemampuan representasi matematis siswa. Penelitian ini dilaksanakan di MTsN Tangerang II Pamulang pada siswa kelas VII tahun ajaran 2013/2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi experiment dengan desain penelitian two group randomized subject posttest only-design. Penelitian ini melibatkan sampel sebanyak 58 siswa yang terbagi kedalam dua kelas, yaitu kelas eksperimen yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative Problem Solving dan kelas kontrol yang diajar dengan model pembelajaran konvensional. Pengambilan sampel dilakukan melalui teknik Cluster Random Sampling. Dari 11 kelas yang ada terpilihlah kelas VII-9 sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-10 sebagai kelas kontrol, dengan jumlah siswa di dua kelas sama yaitu 29 siswa. Berdasarkan hasil perhitungan uji hipotesis dengan Uji Mann-Whitney (Uji “U”) pada taraf signifikansi 5% diperoleh Zhitung -3,149 kurang dari Ztabel (-3,149 < -1,64), berarti

Zhitung berada di daerah penolakan H0. Dapat disimpulkan bahwa rata-rata

kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative Problem Solving lebih tinggi dibandingkan rata-rata kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek representasi paling menonjol yang dapat dikembangkan melalui model pembelajaran Collaborative Problem Solving adalah aspek representasi visual, baik pada siswa yang berkemampuan tinggi maupun rendah. Jadi dapat dikatakan bahwa model pembelajaran Collaborative Problem Solving efektif dalam mengembangkan kemampuan representasi visual untuk semua tingkatan kemampuan siswa. Sementara pada dua aspek lainnya yaitu ekspresi matematika dan teks tertulis, keduanya hampir seimbang dan tidak terlalu besar selisihnya dengan aspek representasi visual. Dengan demikian, model pembelajaran Collaborative Problem Solving dapat mewadahi perkembangan kemampuan representasi matematis secara menyeluruh.

Kata kunci : Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving, Kemampuan Representasi Matematis.


(6)

ii

Lina Marlina (109017000039). The Effects of Collaborative Problem Solving

Learning Model on the Students Mathematical Representation Skills. Paper of

Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta. April 2014.

The purpose of this research is to find out the effect of collaborative problem solving model on the students’ mathematical representation skills. This research was conducted in MTsN Tangerang II Pamulang on grade VII, academic year 2013/2014. The method used was quasi-experimental method with two group randomized subject posttest only-design. It was as many as 58 students were involved in this research. They were divided into two groups: experimental group which was taught with collaborative problem solving instruction model and control group which was taught with conventional instruction model. Sampling technique that was used in this research was cluster random sampling. From eleven existing classes, VII-9 was selected as the experimental class and VII-10 as the control class. The number of students in each class was 29. Based on result of hypothesis testing with the Mann-Whitney test (“U” test) at a significance level of 5%, it was obtained that Zcount =-3.149 is less than Ztable (-3,149<-1.64), it means that Zcount was in the rejection region of H0. It can be concluded that the average of students’ mathematical representation skills who were taught by collaborative problem solving was higher than the average of students’ mathematical representation skills of those who were taught by conventional model.

Result of this research showed that the most prominent aspect of representation that could be developed through a collaborative problem solving model was visual representation. So, it can be said that learning model of collaborative problem solving was effective to develop students’ visual representation for all levels of students’ ability. Meanwhile, the other two aspects, which were mathematical expressions and written text, were mostly balanced. Also the different between the two aspects and visual representation aspect was not too big. Thus, collaborative problem solving model can facilitate development of mathematical representation skills thoroughly.

Keyword: Collaborative Problem Solving Model, Mathematical representation skills.


(7)

iii

Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji serta syukur senantiasa penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberi karunia kenikmatan yang luar biasa, baik nikmat iman, nikmat islam, maupun nikmat kesehatan, dan juga telah memberikan kelancaran dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada sang penerang umat di seluruh zaman, Nabi Muhammad SAW, kepada keluarga, sahabat, dan umatnya hingga akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyaknya keterbatasan

kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Namun berkat kerja keras, do’a

dan dukungan dari berbagai pihak untuk penyelesaian skripsi ini, semuanya dapat teratasi dan berjalan lancar. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Nurlena, MA, Ph. D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. Kadir, Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Abdul Muin, S. Si, M. Pd, Sekertaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan selaku pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan, arahan-arahan positif, nasihat, dan semangat dengan penuh kesabaran selama penulisan skripsi ini.

4. Ibu Khairunnisa M. Si, selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan, arahan-arahan positif, nasihat, dan semangat dengan penuh kesabaran selama penulisan skripsi ini.

5. Bapak Otong Suhyanto, M. Si, selaku Dosen Penasehat Akademik yang senantiasa memberikan bimbingan, nasihat, dan motivasi kepada penulis selama mengikuti proses perkuliahan.


(8)

6. Seluruh Dosen Jurusan Pendidikan Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan berbagai ilmu pengetahuan dan bimbingan selama penulis mengikuti perkuliahan, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan mendapat keberkahan dari Allah SWT.

7. Bapak Drs. Suhardi, M. Ag, selaku kepala MTsN Tangerang II Pamulang, yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

8. Ibu Enung Sutaesih, selaku guru pamong tempat penulis mengadakan penelitian yang telah banyak membantu penulis selama penelitian berlangsung.

9. Siswa-siswi MTsN Tangerang II Pamulang, khususnya kelas VII-9 dan VII-10 yang telah bersedia bekerja sama dengan penulis selama penelitian berlangsung.

10.Keluarga tercinta Ayahanda Abas Basyari, Ibunda Imas Masrikoh yang tak

pernah terhenti untuk mendo’akan, mencurahkan kasih sayang, memberikan dukungan moril dan materil. Kakak tercinta, Asep Mukhlas yang selalu

memberikan kasih sayang, do’a, inspirasi dan motivasi kepada penulis untuk

dapat mencapai cita-cita yang diharapkan. Serta untuk kakek tercinta Abah H. Fathoni (Alm) yang menantikan dan selalu menanyakan kelulusan ini,

“Alhamdulillah Abah, ‘na sudah lulus sekarang.”

11.Keluarga Paman Maman Syahman dan Bibi Etty Rohaety, yang telah memberikan perhatian dan bimbingan selama peneliti jauh dari orang tua. Serta untuk seluruh keluarga besar lainnya yang tidak dapat disebutkan satu

per satu, terima kasih atas do’a dan dukungan yang telah diberikan selama ini.

12.Sahabat-sahabat tercinta, Putri ‘Janul’, Nurma, Muth, Via, Erna, dan Yenni, tempat penulis berbagi cerita, dan selalu memberikan dukungan serta semangat untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

13.Teman-teman seperjuangan jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’09 kelas A, C, dan khususnya teman-teman di kelas B, Erdy, Yusuf, Ayik, Arif, Angga, Ilham, Hajroni, Benni, Rifan, Bunga, Ummu, Nda, Rina, Dilla, Ria, Anis, Indah, Syifa, Zia, Ega, Evinka, Ayu, Cici, Puji, Thoy, dan Sisi. Terima


(9)

kasih atas kerja sama dan kebersamaannya selama duduk di bangku perkuliahan.

14.Kakak dan adik kelas Jurusan Pendidikan Matematika yang sudah membantu dan mempermudah penulis dalam menyusun skripsi.

Ucapan terima kasih juga ditunjukkan kepada semua pihak yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga bantuan, bimbingan, dukungan,

masukan dan do’a yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima sebagai

amalan kebaikan yang menjadi pintu pembuka bagi keridhoan Allah SWT.

Aamiin yaa robbal’alamin.

Penulis menyadari bahwa meskipun telah berusaha untuk memberikan yang terbaik, namun skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan demi perbaikan penulis di masa yang akan datang. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat, khususnya bagi penulis dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, Juni 2014


(10)

vi

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 8

F. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II LANDASAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 9

A. Landasan Teoritis ... 9

1. Kemampuan Representasi Matematis Siswa ... 9

a. Pengertian Kemampuan Representasi Matematis ... 9

b. Indikator Kemampuan Representasi Matematis ... 14

2. Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving... 15

a. Collaborative Learning ... 15

b. Pengertian Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving ... 16

c. Tahapan Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving ... 25

3. Model Pembelajaran Konvensional ... 26


(11)

C. Kerangka Berpikir ... 29

D. Hipotesis Penelitian ... 30

BAB III METODE PENELITIAN ... 31

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 31

B. Metode dan Desain Penelitian ... 31

C. Populasi dan Sampel ... 32

D. Teknik Pengumpulan Data ... 33

E. Instrumen Penelitian... 33

F. Teknik Analisis Data ... 38

G. Hipotesis Statistik ... 42

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Deskripsi Data ... 43

1. Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 44

2. Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 45

3. Perbandingan Kemampuan Representasi Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 46

B. Analisis Data ... 48

1. Uji Prasyarat Analisis ... 48

Uji Normalitas Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa ... 48

1) Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 49

2) Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 49

2. Uji Hipotesis Statistik ... 49

C. Pembahasan ... 51

D. Keterbatasan Penelitian ... 68

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(12)

viii

Tabel 2.1 Bentuk-bentuk Operasional Representasi Matematis Menurut

Mudzakkir ... 12

Tabel 2.2 Indikator Kemampuan Representasi Matematis Siswa ... 14

Tabel 2.3 Tahapan Pembelajaran Konvensional ... 27

Tabel 3.1 Desain Penelitian ... 32

Tabel 3.2 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Validitas Instrumen ... 34

Tabel 3.3 Kriteria Koefisien Reliabilitas... 35

Tabel 3.4 Kategori Tingkat Kesukaran ... 35

Tabel 3.5 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran ... 36

Tabel 3.6 Klasifikasi Daya Pembeda ... 37

Tabel 3.7 Rekapitulasi Hasil Perhitungan Daya Pembeda ... 37

Tabel 3.8 Butir Instrumen yang Digunakan ... 37

Tabel 4.1 Statistik Deskripsi Hasil Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 43

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen ... 44

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Kontrol ... 45

Tabel 4.4 Perbandingan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 47

Tabel 4.5 Rekapitulasi Hasil Uji Normalitas Kemampuan Representasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 49

Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Uji Mann Whitney ... 50

Tabel 4.7 Persentase Skor Kemampuan Representasi Matematis Siswa yang Memperoleh Nilai di Bawah Rata-rata Gabungan Kedua Kelas ... 68


(13)

ix

Eksternal dalam Mengembangkan Pemahaman Siswa Mengenai Konsep Bilangan ... 11 Gambar 2.2 Representasi Menurut Lesh, Post, dan Bohr ... 13 Gambar 2.3 Pedoman Penerapan Collaborative Problem Solving ... 21 Gambar 2.4 Garis Besar Proses Pembelajaran Collaborative Problem

Solving ... 23 Gambar 4.1 Grafik Skor Kemampuan Representasi Matematis Siswa Kelas

Kontrol dan Kelas Eksperimen ... 46 Gambar 4.2 Persentase Skor Kemampuan Representasi Matematis Siswa

Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol ... 48 Gambar 4.3 Kurva Uji Perbedaan Data Kelas Eksperimen dan Kelas

Kontrol ... 50 Gambar 4.4 Contoh Hasil Representasi Siswa Berupa Teks Tertulis ... 53 Gambar 4.5 Contoh Hasil Representasi Siswa Berupa Gambar (Visual) ... 53 Gambar 4.6 Contoh Hasil Representasi Siswa Berupa Ekspresi Matematis .... 54 Gambar 4.7 Contoh Permasalahan pada LKI 2... 56 Gambar 4.8 Contoh Hasil Pengerjaan LKI dari Siswa-Siswa yang

Tergabung dalam Kelompok yang Sama ... 57 Gambar 4.9 Contoh Hasil Diskusi LKK Salah Satu Kelompok Siswa Kelas

Eksperimen ... 58 Gambar 4.10 Hasil Konstruksi Pengetahuan Salah Satu Siswa Kelas

Eksperimen ... 60 Gambar 4.11 Contoh Jawaban Siswa Indikator Representasi Visual Kelas

Kontrol ... 61 Gambar 4.12 Contoh Jawaban Siswa Indikator Representasi Visual Kelas

Eksperimen ... 62 Gambar 4.13 Contoh Jawaban Siswa Indikator Ekspresi Matematis Kelas


(14)

Gambar 4.14 Contoh Jawaban Siswa Indikator Ekspresi Matematis Kelas Eksperimen ... 63 Gambar 4.15 Contoh Jawaban Siswa Indikator Teks Tertulis Kelas Kontrol .... 65 Gambar 4.16 Contoh Jawaban Siswa Indikator Teks Tertulis Kelas


(15)

(16)

xii

Lampiran 1 Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa

Tahap Prapenelitian ... 76

Lampiran 2 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa Tahap Prapenelitian ... 77

Lampiran 3 Hasil Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa Tahap Prapenelitian ... 79

Lampiran 4 RPP Kelas Eksperimen ... 80

Lampiran 5 RPP Kelas Kontrol ... 97

Lampiran 6 Bahan Ajar Siswa Kelas Eksperimen ... 112

Lampiran 7 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa Tahap Uji Coba Instrumen ... 173

Lampiran 8 Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa Tahap Uji Coba Instrumen ... 175

Lampiran 9 Hasil Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis Siswa ... 177

Lampiran 10 Perhitungan Uji Validitas Instrumen ... 178

Lampiran 11 Hasil Uji Validitas Instrumen... 180

Lampiran 12 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen ... 181

Lampiran 13 Hasil Uji Tingkat Kesukaran Instrumen ... 183

Lampiran 14 Hasil Uji Daya Pembeda Instrumen ... 185

Lampiran 15 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembeda dan Tingkat Kesukaran Instrumen ... 187

Lampiran 16 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis .. 188

Lampiran 17 Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis ... 189

Lampiran 18 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Representasi Matematis ... 191

Lampiran 19 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Representasi... 196


(17)

Lampiran 21 Data Hasil Postest Kelas Kontrol ... 198

Lampiran 22 Tabel Distribusi Frekuensi, Perhitungan Kemiringan dan Ketajaman Kelas Eksperimen ... 199

Lampiran 23 Tabel Distribusi Frekuensi, Perhitungan Kemiringan dan Ketajaman Kelas Kontrol ... 202

Lampiran 24 Persentase Kemampuan Representasi Matematis Perindikator .. 204

Lampiran 25 Uji Normalitas Kelas Eksperimen ... 205

Lampiran 26 Uji Normalitas Kelas Kontrol ... 207

Lampiran 27 Perhitungan Pengujian Hipotesis ... 208

Lampiran 28 Tabel r Product Moment ... 210

Lampiran 29 Tabel Nilai Kritis Distribusi Chi-Square ... 211

Lampiran 30 Tabel Nilai Kritis Distribusi Z ... 213

Lampiran 31 Lembar Uji Referensi ... 215


(18)

1

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Bidang pendidikan menjadi fondasi bagi perkembangan suatu bangsa. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan hal yang paling strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) agar memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap yang berorientasi pada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan kualitas pendidikan ini dapat berlangsung dengan baik jika pelaksanaan proses pembelajaran berlangsung dengan lancar dan semua sarana serta prasarana yang dibutuhkan tersedia.

Sebenarnya upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tidak pernah berhenti dilakukan. Pemerintah terus-menerus melakukan berbagai upaya untuk mengadakan reformasi dalam dunia pendidikan ke arah yang lebih baik. Reformasi pendidikan yang dimaksud adalah upaya perubahan melalui perbaikan berbagai kebijakan terkait pendidikan, perbaikan pola pengembangan kurikulum, peningkatan kompetensi guru, serta restrukturisasi model-model pembelajaran.

Keberhasilan berbagai upaya ini sangat bergantung pada SDM yang menjalankannya. Termasuk juga keberhasilan dalam proses pembelajaran di sekolah dipengaruhi kompetensi guru yang secara langsung berinteraksi dengan siswa. Kompetensi utama yaitu berkaitan dengan pengetahuan dan keterampilannya dalam menyajikan materi ajar. Kerangka konseptual pembelajaran dan cara penyajian materi ajar yang dipersiapkan oleh seorang guru untuk pembelajaran di kelas, haruslah berorientasi pada tujuan pembelajaran yang sudah ditetapkan.

Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) pada tahun 2006 telah menyatakan bahwa proses pembelajaran matematika yang diselenggarakan di


(19)

sekolah bertujuan agar siswa setidaknya memiliki 5 (lima) kemampuan sebagai berikut:

(1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.1

Tujuan ketiga dan keempat dari pembelajaran matematika sekolah di Indonesia adalah siswa harus memiliki kemampuan dalam menyajikan suatu ide-ide matematika dalam berbagai bentuk, baik berupa simbol, grafik, tabel ataupun dalam bentuk lainnya untuk memperjelas masalah dan pada akhirnya digunakan untuk dapat memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalah, siswa dituntut untuk mampu membuat model matematika dari masalah yang diberikan, menyelesaikan model tersebut dan menafsirkan penyelesaian yang diperoleh. Kemampuan dalam menyajikan kembali berbagai ide untuk memperjelas masalah dan kemampuan merancang model penyelesaian serta menafsirkan penyelesaian dari masalah itulah yang tercakup dalam kemampuan representasi matematis.

Ini menunjukkan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia telah menyatakan secara tersirat bahwa kemampuan representasi matematis siswa sangat perlu untuk dimiliki oleh siswa. Bahkan dalam KTSP juga disebutkan bahwa yang menjadi fokus pembelajaran yang sedang diterapkan dalam pembelajaran matematika adalah pendekatan pembelajaran berbasis pemecahan masalah. Hal tersebut

1

Badan Standar Nasional Pendidikan, Standar Isi Untuk Satuan Dasar dan Menengah, (Jakarta: BSNP, 2006), h. 140, Tersedia online: http://matematika.upi.edu/wp-content/uploads/2013/02/Buku-Standar-Isi-SMP.pdf, diakses pada 1 Oktober 2013, jam 03.02 WIB


(20)

semakin menguatkan bahwa kemampuan representasi matematis perlu ditingkatkan dan harus dikuasai oleh setiap siswa sehingga proses pembelajaran matematika berbasis pemecahan masalah dapat berjalan dengan lancar.

Pendekatan pemecahan masalah mendorong siswa untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan. Setiap siswa memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengkonstruksi pengetahuannya. Hal ini memungkinkan siswa untuk mencoba berbagai macam representasi untuk dapat memahami suatu konsep ataupun untuk memecahkan permasalahan yang dihadapinya. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) bahkan memasukkan representasi sebagai salah satu dari lima kompetensi yang harus dimiliki oleh siswa dan diprogramkan untuk siswa mulai dari pra taman kanak-kanak sampai kelas 12.2 Lima standar kemampuan matematis siswa yang ditetapkan oleh NCTM meliputi kemampuan pemecahan masalah (problem solving), penalaran dan pembuktian (reasoning and proof), komunikasi (communication), koneksi (connections), dan representasi (representation).3 NCTM mengungkapkan pentingnya kemampuan representasi untuk dapat mengkomunikasikan ide-ide matematis, argumen, dan pemahaman matematis.

Pentingnya kemampuan representasi matematis dalam pembelajaran matematika juga diungkapkan oleh Kartini. Ia menyatakan bahwa representasi berperan dalam membantu memahami konsep, mengkomunikasikan dan memecahkan permasalahan.4 Sejalan dengan pendapat tersebut, Hwang, et al., dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa kemampuan representasi merupakan kunci bagi siswa untuk dapat memecahkan permasalahan dengan baik. Lebih lanjut ia menjelaskan, kemampuan representasi, khususnya pada aspek text or voice representation dan aspek graph or symbol representation, memegang peranan yang paling penting dalam mengubungkan proses pembelajaran antara proses mengingat (remembering), memahami (understanding), dan

2

Hatfield, et al., Mathematics Method For Elementary and Middle School Teachers SIXTH EDITION, (Hoboken: John Wiley and Sons Inc., 2008), p. 9

3

Ibid., p. 7

4Kartini, “Peranan Representasi Dalam Pembelajaran Matematika”,

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika (Yogyakarta: FMIPA UNY, 5 Desember 2009), h. 361-362


(21)

mengaplikasikan (applying).5 Dari pendapat tersebut, untuk dapat memecahkan masalah siswa harus memiliki kemampuan representasi yang baik, sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan representasi merupakan alat untuk mencapai kemampuan pemecahan masalah yang baik.

Uraian di atas menunjukkan bahwa kemampuan representasi memiliki peranan penting dalam pembelajaran matematika. Namun dalam kenyataannya, pembelajaran konvensional yang masih diterapkan oleh beberapa sekolah di Indonesia belum dapat mengembangkan kemampuan representasinya.Seperti apa yang diungkapkan oleh Hudiono dalam penelitiannya, ia menyimpulkan bahwa pembelajaran konvensional belum cukup efektif untuk mengembangkan kemampuan representasi secara optimal.6 Tahapan pembelajaran konvensional seperti: menjelaskan materi secara menyeluruh, memberikan contoh soal, dan kemudian memberikan latihan soal kepada siswa yang harus dikerjakan sesuai dengan contoh yang telah diberikan, kurang mengeksplor kemampuan siswa. Dari setiap tahapan pembelajaran konvensional terlihat bahwa siswa hanya menerima pengetahuan yang disampaikan oleh guru. Siswa kurang terlibat dalam proses mengkonstruk pengetahuan, mereka juga tidak dibiasakan untuk mengungkapkan ide-ide matematikanya secara terbuka. Seperti yang peneliti temukan ketika melakukan pengamatan terhadap proses pembelajaran matematika di kelas pada salah satu sekolah menengah di Tangerang Selatan, siswa mengalami kesulitan dalam mengungkapkan atau menyajikan kembali ide-ide dalam berbagai bentuk yang berkaitan dengan permasalahan ataupun konsep matematika tertentu.

Kesulitan siswa dalam mengungkapkan dan menyajikan ide-ide ini sering kali hanya dianggap berkaitan dengan masalah kemampuan komunikasi matematis yang rendah. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, ada hal yang lebih mendasar daripada kemampuan komunikasi matematis, yaitu kemampuan

5

Wu-Yuin Hwang, et. al., “Multiple Representation Skills and Creativity Effects on

Mathematical Problem Solving using a Multimedia Whiteboard System”, Educational Technology & Society, Vol. 10 No. 2, International Forum of Educational Technology & Society (IFETS), 2007, p. 209

6

Bambang Hudiono, “Peran Pembelajaran Diskursus Multi Representasi Terhadap

Pengembangan Kemampuan Matematik dan Daya Representasi pada Siswa SLTP”, Disertasi pada Sekolah Pascasarjana UPI, Bandung: 2005, h. 191-192, Tersedia Online: (d_mat_019847_bambang_hudiono_chapter5(1).pdf), diakses pada 20 April 2014, jam 12.28 WIB


(22)

representasi matematis. Kemampuan representasi matematis adalah kemampuan dalam menyajikan ide-ide matematika dalam bentuk gambar, model matematika, serta teks tertulis dari suatu konsep atau permasalahan yang diberikan, sehingga kemudian dapat digunakan untuk mengkomunikasikannya dengan yang lain. Jadi, siswa harus dapat merepresentasikan suatu konsep atau permasalahan tertentu terlebih dahulu, baru setelah itu ia dapat mengkomunikasikannya dengan baik kepada yang lain.

Lebih lanjut peneliti melakukan observasi prapenelitian dengan memberikan tes untuk mengetahui tingkat kemampuan representasi matematis siswa di sekolah tempat peneliti melakukan penelitian, yaitu MTsN Tangerang II Pamulang. Berdasarkan hasil observasi di salah satu kelas pada tingkatan kelas VII, persentase skor kemampuan representasi matematis siswa pada indikator representasi visual mencapai 38,39%, representasi berupa ekspresi matematis 24,11%, dan representasi berupa teks tertulis 50%. Keseluruhan persentase skor kemampuan representasi matematis siswa hanya mencapai 37,5%. Secara umum terlihat bahwa kemampuan representasi matematis siswa memang masih rendah.

Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Devi, Zubaedah, dan Asep di salah satu SMP Negeri juga menunjukkan bahwa hasil tes kemampuan representasi matematis siswa pada tingkat kemampuan atas, menengah dan bawah secara umum masih tergolong rendah. Dari ketiga aspek kemampuan representasi matematis yang diteliti yaitu aspek enaktif, ikonik dan simbolik, hanya pada aspek representasi enaktif saja kemampuan representasi siswa tergolong cukup baik.7 Mengingat pentingnya kemampuan representasi matematis dan masih jarangnya penerapan pembelajaran yang dapat mewadahi perkembangan kemampuan tersebut, maka diperlukan suatu alternatif pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan representasi matematisnya tersebut.

7Devi Ariyanti, Zubaedah, dan Asep Nursangaji, “

Kemampuan Representasi Matematis

Menurut Tingkat Kemampuan Siswa pada Materi Segi Empat di SMP”, Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran, Vol. 2 No.1, Portal Garuda, 2013, h. 4, Tersedia Online: http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/download/812/pdf, diakses pada 20 April 2014, jam 00.42 WIB


(23)

Dalam penelitian ini akan diterapkan model pembelajaran Collaborative Problem Solving. Pada model pembelajaran ini, siswa dihadapkan pada permasalahan yang harus diselesaikan secara individu dan kelompok. Permasalahan yang diberikan akan menstimulus siswa untuk merepresentasikan ide-idenya terkait masalah itu sedemikian sehingga mereka dapat menemukan penyelesaiannya. Jadi, pembelajaran yang diawali dengan pemberian permasalahan memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat mengasah kemampuan representasi matematisnya. Selain itu, yang menjadi komponen utama dalam pembelajaran ini adalah proses interaksi antaranggota dalam kelompok. Sejalan dengan pandangan Vygotsky yang menyatakan bahwa yang menjadi fokus perhatian dalam pengembangan pengetahuan adalah proses interaksi sosial antarindividu.8 Menurut Dillenbourg, Collaborative Problem Solving adalah suatu kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.9 Pembelajaran ini menjadikan proses kerja sama antarsiswa dalam menyelesaikan permasalahan sebagai hal utama untuk dapat mengkonstruk pengetahuannya sendiri, berbekal pengetahuan awal yang dimiliki oleh masing-masing siswa.

Aktivitas-aktivitas pembelajaran yang terdapat dalam model Collaborative Problem Solving ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide-ide matematikanya secara terbuka. Kemampuan siswa dalam menyajikan ide-ide matematika berdasarkan apa yang mereka konstruk sendiri ataupun hasil diskusi dalam kelompok inilah yang disebut kemampuan representasi matematis.

Atas dasar tersebut, penulis akan melakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh Model Collaborative Problem Solving Terhadap Kemampuan

Representasi Matematis Siswa”.

8

John A. Van De Walle, Matematika Sekolah Dasar dan Menengah, (Jakarta: Erlangga, 2007), Edisi ke-6, h. 31

9P. Dillenbourg, “What Do You Mean by ‘Collaborative Learning’?”, dalam P. Dillenbourg (ed), Collaborative-learning: Cognitive and Computational Approaches, (Oxford: Elsevier, 1999), p. 7


(24)

B.

Identifikasi Masalah

Dari apa yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah, muncul berbagai macam permasalahan yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:

1. Kemampuan representasi matematis siswa masih rendah.

2. Siswa hanya meniru langkah-langkah penyelesaian dari suatu masalah berdasarkan contoh soal yang diberikan.

3. Guru tidak mengikutsertakan siswa dalam mengkonstruksi suatu pengetahuan, siswa cenderung pasif.

4. Pembelajaran yang diterapkan belum cukup efektif untuk dapat mengembangkan kemampuan representasi matematis siswa.

C.

Pembatasan Masalah

Untuk memperjelas variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini, maka peneliti membatasi permasalahan yang ada yaitu:

1. Penelitian ini terbatas pada peningkatan kemampuan representasi matematis siswa meliputi indikator-indikator: representasi visual, ekspresi matematis, dan teks tertulis.

2. Penelitian ini dilaksanakan di MTsN Tangerang II Pamulang pada siswa kelas VII tahun ajaran 2013-2014.

3. Materi ajar pada penelitian ini adalah Garis dan Sudut.

D.

Perumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah di atas, maka permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative Problem Solving?

2. Bagaimana kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional?


(25)

3. Apakah kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative Problem Solving lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional?

E.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative Problem Solving.

2. Mengetahui kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional.

3. Mengetahui apakah kemampuan representasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran Collaborative Problem Solving lebih tinggi dari pada siswa yang diajar dengan model pembelajaran konvensional.

F.

Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, antara lain: 1. Bagi Guru

Penelitian ini dapat menambah alternatif model pembelajaran, khususnya pada mata pelajaran matematika sehingga dapat dimanfaatkan dalam upaya memperbaiki proses belajar mengajar serta meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa.

2. Bagi Sekolah

Dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan sekolah guna meningkatkan kualitas pendidikan matematika di sekolah.

3. Bagi Peneliti

Dapat dimanfaatkan sebagai gambaran penerapan model pembelajaran Collaborative Problem Solving yang dilakukan penulis, sehingga dapat memperbaiki kekurangan dan keterbatasan yang ada agar kemampuan matematis siswa dapat berkembang lebih optimal.


(26)

9

LANDASAN TEORITIS, KERANGKA BERPIKIR, DAN

PENGAJUAN HIPOTESIS

A.

Landasan Teoritis

1. Kemampuan Representasi Matematis Siswa

a. Pengertian Kemampuan Representasi Matematis

Istilah representasi dalam bahasa Inggris –representation- memiliki arti gambaran atau perwakilan. Secara sederhana Kalathil dan Sherin menyatakan bahwa representasi adalah berbagai bentuk ungkapan siswa yang menunjukkan penalaran dan pemahamannya terhadap ide-ide matematika yang ia peroleh.1 Menurut Goldin, representasi merupakan suatu bentuk yang dapat menggambarkan proses pemikiran internal siswa dalam berbagai cara.2 Dari dua pendapat tersebut, proses berpikir, bernalar dan pemahaman siswa terhadap suatu gagasan dapat dilihat melalui representasi yang ia gunakan.

Representasi ditambahkan sebagai salah satu dari lima standar proses yang tercantum dalam NCTM bersama dengan empat kompetensi lainnya yang harus dimiliki oleh setiap siswa yaitu pemecahan masalah, penalaran dan pembuktian, komunikasi, serta koneksi yang semuanya merupakan bagian dari proses berpikir matematis. Dalam standar kurikulum NCTM dijelaskan bahwa representasi adalah proses memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematika dengan penuh arti untuk meningkatkan pemahaman3. Banyak teori pembelajaran yang menekankan anak-anak belajar matematika pertama kali dengan representasi konkret, kemudian berganti menjadi representasi bergambar, dan akhirnya sampai pada representasi simbolis. Sejumlah penelitian

1Kalathil dan Sherin, “Role of Student’s Representations in the Mathematics Classroom”, dalam B. Fishman dan S. O’Connor-Divelbiss (ed), Proceeding of Fourth International Conference of learning Science, (Mahwah: NJ Erlbaum, 2000), h. 27

2Gerald A. Goldin, “Representation in Mathematical Learning and Problem Solving”, dalam Lyn D. English (ed), Handbook of International Research in Mathematics Education, (New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, 2002), p. 208

3

Hatfield, et al., Mathematics Method For Elementary and Middle School Teachers Sixth Edition, (Hoboken: John Wiley and Sons Inc., 2008), p. 7


(27)

menunjukkan bahwa pembelajaran matematika yang baik melibatkan penggunaan representasi secara berkesinambungan.

Representasi yang dibuat oleh siswa merupakan bentuk ungkapan dari ide-ide yang mereka peroleh untuk menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Ada tiga standar kemampuan representasi matematika yang ditetapkan oleh NCTM untuk pogram pembelajaran dari prataman kanak-kanak hingga kelas 12:

1. Create and use representations to organized, record and communicate mathematical ideas.

2. Select, apply, and translate among mathematical representation to solve problems

3. Use representation to model and interpret physical, social, and mathematical phenomena. 4

Menurut NCTM, standar pertama adalah siswa mampu membuat dan menggunakan representasi untuk mengorganisasikan, mencatat dan mengkomunikasikan ide-ide matematika. Kemudian standar kedua, siswa mampu memilih, menerapkan, dan menterjemahkan antar representasi matematis untuk memecahkan masalah. Standar ketiga adalah siswa mampu menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematika.

Menurut Janvier, Girardon, dan Morand dalam Pape dan Tchoshanov mengemukakan gagasannya mengenai representasi internal dan representasi eksternal. Representasi internal adalah proses abstraksi dari berbagai ide matematis atau suatu skema kognitif yang dikembangkan oleh siswa melalui pengalamannya. Sedangkan representasi berupa bilangan, persamaan aljabar, grafik, tabel, dan diagram adalah manifestasi eksternal dari berbagai konsep matematis yang menstimulus dan membantu memahami konsep-konsep tersebut.5 Dengan kata lain, suatu representasi diawali dengan proses abstraksi ide-ide matematis dalam pikiran siswa sehingga terbentuk suatu skema kognitif,

4

Ibid, p. 9

5Stephen J. Pape, dan Mourat A. Tchoshanov, “The Role of Representation(s) in

Developing Mathematical Understanding”, dalam Theory into Practice, Vol. 40, No. 2, (London: Taylor & Francis, Ltd., 2001), p. 119, Tersedia online: http://www.jstor.org/stable/1477273, diakses pada 19 Agustus 2013, jam 03.15 WIB


(28)

kemudian ide-ide tersebut diungkapkan baik berupa grafik, tabel, diagram, dan lain-lain. Dalam memahami konsep bilangan, hubungan kedua representasi tersebut dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.6 Gambar tersebut menunjukkan contoh seorang anak dalam memahami konsep bilangan yaitu angka 5.

Gambar 2.1

Hubungan antara Representasi Internal dan Representasi Eksternal dalam Mengembangkan Pemahaman Siswa Mengenai Konsep Bilangan

Sementara Gagatsis dan Elia membedakan representasi dalam konsep bilangan pada siswa tingkat sekolah dasar kelas 1, 2 dan 3 kedalam empat model, yaitu: representasi verbal, gambaran informational, gambaran decorative dan garis bilangan.7 Mudzakkir membedakan representasi matematika kedalam tiga bentuk, yaitu representasi visual (berupa diagram, grafik, tabel, dan gambar), persamaan atau ekspresi matematika, dan kata-kata atau teks tertulis. Secara rinci bentuk-bentuk operasional representasi matematis menurut Mudzakkir disajikan pada tabel berikut:8

6

Stephen J. Pape, dan Mourat A. Tchoshanov, loc. cit. 7

Athanasios Gagatsis and Iliada Elia, “The Effects Of Different Modes Of Representation

On Mathematical Problem Solving”, Proceedings of the 28th Conference of the International Group for the Psychology of Mathematics Education, (Nicosia: Department of Education, University of Cyprus, 2004), p. 448

8Ahmad Yazid, “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Model Kooperatif dengan Strategi TTW (Think-Talk-Write) Pada Materi Volume Bangun Ruang Sisi Datar”,


(29)

Tabel 2.1

Bentuk-bentuk Operasional Representasi Matematis Menurut Mudzakkir

No. Representasi Bentuk-bentuk Operasional

1 Representasi visual: a) Diagram, tabel, atau

grafik

 Menyajikan kembali data atau informasi dari suatu representasi ke representasi diagram, grafik atau tabel

 Menggunakan representasi visual untuk menyelesaikan masalah

b)Gambar  Membuat gambar pola-pola geometri

 Membuat gambar untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaiannya

2 Persamaan atau

ekspresi matematis

 Membuat persamaan atau model

matematika dari representasi lain yang diberikan

 Membuat konjektur dari suatu pola bilangan

 Menyelesaikan masalah dengan melibatkan ekspresi matematis

3 Kata-kata atau teks tertulis

 Menuliskan interpretasi dari suatu representasi

 Menuliskan langkah-langkah penyelesaian masalah matematika dengan kata-kata  Menyusun cerita yang sesuai dengan suatu

representasi yang disajikan

 Menjawab soal dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis

 Dapat menyatakan ide matematika dengan menggunakan kata-kata atau teks tertulis

Menurut Lesh, Post dan Bohr ada lima representasi untuk konsep. Awalnya mereka hanya mengemukakan dua bentuk representasi yaitu berupa model dan gambar manipulatif. Kemudian dalam penelitian selanjutnya, mereka menambahkan simbol tulisan, bahasa lisan, dan situasi dunia nyata sebagai representasi atau pemodelan dari suatu konsep. 9 Berikut adalah ilustrasi dari kelima representasi yang mereka ungkapkan.

Tersedia online: http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jpe, diakses pada 9 Desember 2013, jam 02.48 WIB

9

John A. Van De Walle, Matematika Sekolah Dasar dan Menengah, (Jakarta: Erlangga, 2007), Edisi ke-6, h. 34


(30)

Gambar 2.2

Representasi Menurut Lesh, Post, dan Behr

Gambar di atas menunjukkan bahwa kelima representasi tersebut saling berkaitan satu sama lain. Proses menginterpretasikan konsep dari suatu representasi ke representasi lainnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan ide-ide baru yang mereka peroleh dan kemudian menggabungkan ide-ide tersebut untuk mengembangkan konsep-konsep baru. Dalam penelitiannya, Lesh, Post, dan Behr menemukan bahwa siswa yang mengalami kesulitan dalam menerjemahkan suatu konsep dari satu representasi ke representasi lainnya akan mengalami kesulitan pula dalam menyelesaikan permasalahan dan memahami perhitungan10. Representasi membantu siswa dalam memahami suatu konsep. Selain itu juga, membantu meningkatkan keterampilan siswa menyajikan ide kedalam berbagai bentuk representasi akan memperbaiki pertumbuhan konsep siswa.

Kalathil dan Sherin mengemukakan tiga kegunaan representasi siswa. Yang pertama, representasi digunakan untuk memberikan informasi kepada guru dan kelas mengenai proses mereka berpikir berkaitan dengan suatu konteks matematika. Dalam suatu kelas dimungkinkan bahwa siswa memiliki representasi

10


(31)

yang berbeda-beda mengenai suatu masalah. Hal ini memberikan kesempatan kepada guru untuk mengetahui bagaimana proses berpikir dari masing-masing siswa. Kedua, representasi digunakan untuk memberikan informasi mengenai pola dan kecenderungan diantara siswa. Ketiga, representasi digunakan oleh guru dan siswa sebagai alat bantu pembelajaran di kelas.11 Representasi merupakan alat bantu pembelajaran yang berguna tidak hanya bagi siswa, tetapi bagi guru juga. Bagi siswa, representasi dapat membantu mengembangkan berbagai kemampuan matematisnya, dan bagi guru dapat melihat kecenderungan proses berpikir masing-masing siswa.

Secara umum representasi matematis adalah ungkapan ide-ide matematika sebagai hasil pemikiran siswa dalam menghadapi suatu konsep atau permasalahan. Berdasarkan uraian di atas, kemampuan representasi matematis siswa adalah kemampuan siswa dalam menyajikan ide-ide matematika dalam bentuk representasi visual berupa gambar, membuat model matematika dari permasalahan yang diberikan, dan menjawab soal dengan menggunakan teks tertulis.

b. Indikator Kemampuan Representasi Matematis

Kemampuan representasi matematis siswa yang hendak dicapai dalam penelitian ini terbagi dalam tiga aspek, sebagai berikut:

Tabel 2.2 Indikator Kemampuan Representasi Matematis Siswa

No Aspek

Representasi

Indikator Kemampuan Representasi Matematis Siswa

1 Visual  Membuat gambar bangun geometri untuk memperjelas masalah dan memfasilitasi penyelesaian

2 Ekspresi matematis  Membuat model matematika terkait dengan permasalahan yang diberikan.

 Menyelesaikan permasalahan yang

melibatkan berbagai ekspresi matematis tersebut.

3 Teks tertulis  Menjawab soal dengan menggunakan teks tertulis

11


(32)

2. Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

a. Collaborative Learning

Collaborative dapat diartikan sebagai kolaborasi atau kerja sama. Marjan dan Mozhgan mengartikan collaborative learning sebagai suatu pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang melibatkan sekelompok siswa untuk bekerja bersama dalam memecahkan masalah, melengkapi tugas, dan menciptakan suatu produk.12 Sementara Smith dan MacGregor dalam Marjan dan Mozhgan mendefinisikan collaborative learning sebagai suatu istilah yang memasukkan berbagai pendekatan pendidikan yang melibatkan hubungan intelektual antarsiswa, atau antara siswa dengan guru secara bersama-sama. Pada umumnya siswa bekerja dalam kelompok yang beranggotakan dua orang atau lebih, satu sama lain saling mencari pemahaman, solusi, pengertian, atau menciptakan suatu produk.13 Kedua pendapat tersebut memfokuskan pembelajaran kolaboratif pada proses kerja sama antarsiswa dalam kelompok ketika pembelajaran berlangsung.

Dalam proses kerja sama, setiap siswa harus menyadari bahwa ia merupakan bagian dari suatu kelompok kecil yang harus saling bekerja sama untuk dapat mencapai tujuan bersama. Dengan kesadaran tersebut, setiap siswa akan memiliki rasa ketergantungan positif satu sama lain untuk dapat mencapai keberhasilan kelompok yang diinginkan bersama.14 Kunci utama untuk mencapai hasil tersebut mereka akan berusaha bekerja sama dengan maksimal salah satunya dengan cara mendiskusikan bersama informasi-informasi yang diberikan dengan sungguh-sungguh. Yang perlu ditekankan adalah pembelajaran kerja sama bukan sekedar menuliskan hasil akhir, tetapi yang menjadi komponen penting adalah bagaimana siswa dapat berproses bersama satu sama lain secara sinergis dalam mengembangkan pengetahuannya.

Secara bahasa collaborative learning memiliki arti yang hampir sama dengan istilah cooperative learning, yaitu bekerja sama. Namun pada dasarnya

12Marjan Laal and Mozhgan Laal, “Collaborative learning: what is it?”,

Proccedia-Sosial and Behavioral Sciences 31, (Oxford: Elsevier, 2012), p. 491

13

Ibid., p. 492 14

Diane Ronis, Pengajaran Matematika Sesuai Cara Kerja Otak, Terj. Herlina, (Jakarta: PT Indeks Permata Puri Media, 2009), h. 108


(33)

keduanya memiliki perbedaan. Menurut Gunawan: “Proses belajar secara kolaborasi atau collaborative learning bukan sekedar bekerja sama dalam suatu kelompok, tetapi penekanannya lebih kepada suatu proses pembelajaran yang

melibatkan proses komunikasi secara utuh dan adil di dalam kelas”.15

Dari pendapat tersebut berarti yang menjadi fokus perhatian pembelajaran kolaboratif adalah proses komunikasi antarsiswa ketika bekerja sama, dan bagaimana mereka berproses bersama dalam mengembangkan pengetahuannya. Jadi pembelajaran kolaboratif bukan bertujuan untuk menyamakan persfektif siswa mengenai suatu konsep tertentu sebagai hasil akhir diskusi kelompok, tetapi bertujuan untuk memperkaya pengetahuan siswa dari berbagai persfektif yang muncul ketika diskusi berlangsung dan kemudian diharapkan siswa dapat menginternalisasi secara individu untuk memperoleh pemahaman mengenai konsep tertentu.

Ada lima unsur penting dalam proses pembelajaran kolaboratif, yaitu: 1) Adanya rasa kebersamaan;

2) Adanya interaksi yang saling mendukung antar anggota kelompok satu sama lain;

3) Adanya rasa tanggung jawab secara individu dan kelompok untuk keberhasilan proses pembelajaran;

4) Kemampuan komunikasi yang baik antarpribadi dalam suatu kelompok kecil; 5) Adanya proses refleksi terhadap fungsi dan kemampuan mereka bekerja sama

sebagai suatu kelompok.16

b. Pengertian Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving Collaborative Problem Solving. Model ini pertama kali diperkenalkan oleh Dr Greene dalam buku “The Explosive Child”. Menurutnya Collaborative Problem Solving menerapkan dua prinsip utama, yang pertama yaitu tantangan sosial, emosional dan perilaku anak-anak hendaknya dipahami sebagai produk sampingan dari perkembangan kemampuan kognitif. Kedua, penyelesaian masalah secara kolaboratif hendaknya dijadikan fokus perhatian dalam

15

Adi W. Gunawan, Genius Learning Strategy, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), Cet. Ke-IV, h. 198

16


(34)

menghadapi suatu tantangan. Greene mengembangkan pendekatan ini dalam hal perkembangan psikologi anak.

Dalam dunia pendidikan, Nelson mengemukakan bahwa Collaborative Problem Solving merupakan kombinasi antara dua pendekatan pembelajaran, yaitu pembelajaran kerja sama dan pembelajaran berbasis masalah. Kedua pembelajaran ini sebenarnya memungkinkan untuk menciptakan lingkungan belajar kolaboratif, namun tidak komprehensif.17 Lingkungan belajar yang mendukung siswa untuk berkolaborasi secara natural dan efektif sangat penting untuk didesain agar mereka dapat mengembangkan pengetahuan melalui pengalamannya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka dibuatlah desain pembelajaran Collaborative Problem Solving yang didukung oleh kegiatan pemecahan masalah siswa dimana siswa dapat melakukan kesepakatan, didasarkan pada proses kolaboratif alami mereka masing-masing.

Menurut Djamilah, langkah pembelajaran kolaboratif berbasis masalah adalah sebagai berikut:

1. Pembelajaran diawali dengan pemberian masalah yang menantang;

2. Siswa diberi kesempatan untuk mengidentifikasi dan merancang penyelesaian permasalahan tersebut secara individu sebelum mereka belajar dalam kelompok;

3. Siswa belajar dalam kelompok kecil yang beranggotakan 4-6 orang untuk mengklarifikasi pemahaman mereka, mengkritisi ide teman dalam kelompoknya, membuat konjektur, memilih strategi penyelesaian, dan menyelesaikan masalah yang diberikan, dengan cara saling beradu argumen. Setelah itu siswa menyelesaikan masalah yang diberikan guru secara individual;

4. Siswa mempresentasikan hasil penyelesaian masalah yang diperoleh.18

17Laurie Miller Nelson, “

Collaborative Problem Solving”, dalam Reigeluth (ed),

Instructional-Design Theories and Models A New Paradigm of Instructional Theory, (New York: Lawrence Erlbaum Associates, Inc., 1999), p. 245

18Djamilah Bondan Widjajanti, “Strategi Pembelajaran Kolaboratif Berbasis Masalah”,

Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, (Yogyakarta: FMIPA UNY, 2008), h. 7, Tersedia online: http://eprints.uny.ac.id/10501/1/P13-Djamilah.pdf, diakses pada 30 Desember, jam 12.59 WIB


(35)

Dillenbourg menyatakan, Collaborative Problem Solving adalah suatu kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang memiliki tujuan yang sama yaitu untuk menyelesaikan suatu permasalahan tertentu.19 Dalam disertasinya Wenyi Ho mengemukakan bahwa ada 4 fase dari proses Collaborative Problem Solving yaitu: 1) Memahami tugas kelompok; 2) Menyusun suatu perencanaan; 3) Melaksanakan riset individu; 4) Menentukan solusi akhir.20

Barron berpendapat, Collaborative Problem Solving merupakan suatu pembelajaran dimana siswa dilibatkan dalam suatu project pemecahan masalah, menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-sama dan saling bertukar pendapat satu sama lain ketika kerja sama berlangsung. Ia membagi prosedur Collaborative Problem Solving kedalam empat fase. 21 Fase pertama, setiap siswa dihadapkan pada suatu permasalahan yang diberikan oleh guru. Fase kedua, siswa mencari penyelesaian dari permasalahan tersebut di dalam kelompoknya masing-masing. Setiap kelompok diberikan workbook yang berisi berbagai pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk dapat menyelesaikan permasalahan. Kemudian pada fase ketiga, semua siswa diminta untuk menyelesaikan permasalahan yang sama secara individu. Pada fase terakhir, siswa mentransfer hasil kerjanya tersebut. Dalam penelitian yang Barron lakukan, ia mengkondisikan lingkungan belajar yang mendukung siswanya untuk menyelesaikan permasalahan secara bersama-sama dan meminta siswa untuk saling mendengarkan pendapat satu sama lain ketika mereka bekerja sama dalam kelompok. Proses komunikasi antarsiswa sangat penting dalam proses pemecahan masalah secara kolaboratif untuk dapat

19Maria Clara Casalini, Tomasz Janowski, and Elsa Estevez, “A Process Model for Collaborative Problem Solving in Virtual Communities of Practice”, dalamCamarinha Matos, L., Afsarmanesh, H., Ollus, M. (eds), IFTP International Federation of Information Processing, Vol. 224, Network-Centric Collaboration and Supporting Fireworks, (Boston: Springer), h. 3, Tersedia online: https://iist.unu.edu/sites/iist.unu.edu/files/biblio/tj-pub-34.pdf, diakses pada 20 Agustus 2013 jam 15.00 WIB

20Wenyi Ho, “

An Exploration of Peer Collaboration and Group Problem Solving Process in A College Problem-Based Learning Classroom”, Dissertation The Pennsylvania State University, 2008, p. 67

21Brigid Barron, “Achieving Coordination in Collaborative Problem

-Solving Groups”,


(36)

memperoleh penyelesaian optimal dari berbagai pilihan penyelesaian yang muncul.

Dalam menyelesaikan permasalahan secara berkelompok, sangat dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dari masing-masing siswa. Oleh karena itu, akan muncul berbagai respon ketika pertukaran pendapat ini berlangsung. Barron menyebutkan setidaknya ada lima respon yang mungkin terjadi.

1) No respon, setelah salah satu anggota kelompok menyampaikan pendapatnya mengenai penyelesaian masalah, anggota lainnya tidak memberikan tanggapan, baik menerima maupun menolak pendapat tersebut.

2) Acceptances (penerimaan), yaitu setelah salah satu anggota mengemukakan pendapat mengenai penyelesaian masalah, anggota lainnya dalam kelompok menyetujui dan menerima pendapat tersebut. Ini ditandai dengan adanya respon positif baik berupa kata-kata ataupun tindakan yang mendukung dari solusi permasalahan yang diajukan.

3) Clarification (klarifikasi), respon ini muncul ketika ada keraguan dari anggota kelompok lain terhadap penyelesain permasalahan yang diajukan oleh salah satu anggota kelompoknya, sehingga diperlukan penjelasan tambahan untuk lebih meyakinkan. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa permintaan untuk menjelaskan proses penyelesaian masalah dari anggota lainnya dalam kelompok.

4) Elaborations (elaborasi), setelah penyelesaian permasalahan diajukan oleh salah satu anggota, anggota lainnya menyetujui dan memberikan informasi tambahan untuk melengkapi penyelesaian tersebut sehingga diperoleh solusi akhir kelompok yang optimal.

5) Rejections (penolakan), respon ini muncul jika penyelesaian permasalahan yang diajukan oleh salah satu anggota kelompok dianggap kurang tepat.22 Ketika proses pembelajaran Collaborative Problem Solving berlangsung, setiap siswa diharapkan ikut terlibat secara aktif dalam setiap tahapannya.

22


(37)

Terutama pada saat siswa belajar dalam kelompok, diharapkan setiap siswa aktif bertukar pendapat, saling share informasi, dan saling melengkapi satu sama lain sehingga diperoleh penyelesaian permasalahan yang maksimal. Jadi dari kelima respon yang telah disebutkan di atas, respon elaborasi diharapkan lebih sering muncul ketika diskusi kelompok.

Seperti yang diungkapkan Windle dan Warren yang berpendapat bahwa proses sharing information, defining issues, sharing more information diperlukan agar pembelajaran Collaborative Problem Solving dapat berjalan efektif. Menurutnya, Collaborative Problem Solving bukanlah suatu proses linier yang berlangsung secara metodis melalui langkah-langkah tertentu.23 Jika diperlukan kita bisa saja melakukan langkah maju mundur, artinya setelah melewati beberapa langkah kita kembali lagi ke langkah awal untuk memastikan bahwa penyelesaian yang diperoleh benar-benar penyelesaian paling efektif dari permasalahan yang ada.

Lebih rinci Windle dan Warren menyusun proses Collaborative Problem Solving dalam enam langkah:

1) Share Perspective

Proses ini dilakukan agar siswa dalam kelompok untuk memahami dengan jelas berbagai perspektif dari masing-masing anggota terhadap masalah yang dihadapi.

2) Define the Issue

Setelah semua siswa menyampaikan persfektifnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan, pada langkah kedua ini siswa mendeskripsikan berbagai topik yang menjadi poin penting dari persfektif yang muncul untuk didiskusikan bersama.

3) Identify the Interest

Dari berbagai persfektif yang muncul kemudian siswa melakukan identifikasi untuk mengetahui kecenderungan berbagai solusi permasalahan yang ada dan mencari kesamaannya.

23

Rod Windle and Suzanne Warren, Collaborative Problem Solving and Dispute Resolution in Special education, (Hood River: Oregon Department of Education, 2001), p. 5-9


(38)

4) Generate Options

Setelah melakukan identifikasi, siswa mendiskusikan tentang berbagai solusi yang mungkin dan menggeneralisasi berbagai pilihan solusi.

5) Develop a Fair Standar or Objective Criteria For Deciding

Pada langkah ini, siswa mengembangkan suatu kriteria objektif untuk memutuskan solusi akhir permasalahan dengan menggunakan indikator-indikator tertentu yang disetujui.

6) Evaluate Options and Reach Agrement

Langkah terakhir, siswa melakukan evaluasi terhadap berbagai pilihan solusi untuk selanjutnya diperoleh persetujuan atas solusi akhir permasalahan.24

Secara menyeluruh, Nelson membagi pedoman penerapan Collaborative Problem Solving kedalam tiga kategori, yaitu pedoman untuk guru, siswa serta pedoman bersama untuk guru dan siswa.25 Pedoman tersebut digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.3 Pedoman Penerapan Collaborative Problem Solving

24

Ibid., p. 5-10 25


(39)

Berdasarkan yang diuraikan oleh Nelson, berikut akan dijelaskan mengenai pedoman penerapan pembelajaran tersebut.

a) Pedoman penerapan Collaborative Problem Solving bagi guru - Guru berperan sebagai fasilitator

Pada pembelajaran ini guru hanya berperan sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi pengetahuan bagi siswa. Tanggung jawab dalam pelaksanaan pembelajaran yang sebelumnya dipegang oleh guru beralih menjadi tanggung jawab siswa. Siswa menentukan informasi dan sumber apa yang dibutuhkan serta bagaimana cara memperolehnya. Guru membimbing, memberikan umpan balik, dan mengembangkan keterampilan yang mereka butuhkan.

- Menciptakan lingkungan belajar yang bersifat kolaboratif

Guru menciptakan lingkungan belajar yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar dalam suatu kelompok kecil dengan beragam kemampuan. Hal ini dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih mendalam bagi siswa.

- Merumuskan fokus permasalahan

Guru merumuskan pertanyaan-pertanyaan untuk memfokuskan siswa pada aspek terpenting dari suatu konten dan proses pembelajaran mereka sendiri. Inilah cara guru memfasilitasi pembelajaran siswa tanpa kontrol yang berlebihan. Guru berperan sebagai pembimbing kognitif siswa, siswa diminta untuk menelaah pertanyaan agar fokus pada aspek terpenting dari suatu konten dan mendukung untuk melakukan investigasi pada aspek tertentu secara lebih mendalam.

- Memberikan penjelasan ketika diminta siswa

Ketika ada beberapa informasi dan pengetahuan yang tidak dapat ditemukan sendiri, disinilah saatnya guru memberikan penjelasan, ataupun melakukan demonstrasi agar siswa memperoleh pengetahuan atau keterampilan yang dibutuhkan.


(40)

b) Pedoman penerapan Collaborative Problem Solving bagi siswa

- Menentukan bagaimana cara menggunakan informasi dan berbagai sumber yang diperoleh untuk memecahkan masalah

- Menentukan dan memperhitungkan alokasi waktu untuk individu dan kelompok

c) Pedoman penerapan Collaborative Problem Solving bagi guru dan siswa - Guru dan siswa berkolaborasi untuk menentukan isu-isu dan objek

pembelajaran

- Mengumpulkan sumber-sumber belajar yang diperlukan

- Guru melakukan penilaian terhadap siswa, baik secara individu maupun berkelompok

Garis besar penerapan pembelajaran Collaborative Problem Solving menurut Nelson terdiri dari 9 tahapan, yaitu :26

Gambar 2.4 Garis Besar Proses Pembelajaran Collaborative Problem Solving

26


(41)

Dari tahapan-tahapan pembelajaran yang telah diuraikan oleh beberapa ahli, terlihat bahwa pembelajaran Collaborative Problem Solving memberikan kesempatan kepada siswa untuk berkolaborasi dengan guru dan teman sekelompoknya dalam memecahkan suatu permasalahan serta memperoleh pemahaman terhadap suatu konsep. Permasalahan atau tugas yang cocok untuk pembelajaran ini adalah tugas yang bersifat heuristik (heuristic tasks). Reigeluth berpendapat, “heuristic tasks are made up of a complex system of knowledge and skills which can be combined in a variety of ways to complete the task successfully”.27 Ia menjelaskan bahwa tugas heuristik menuntut siswa untuk memiliki serangkaian keterampilan dan pengetahuan kompleks yang dapat dikombinasikan dalam berbagai cara untuk melengkapi tugas dengan baik. Jadi pada tugas heuristik, siswa tidak dapat menyelesaikannya dengan prosedur yang rutin.

Ronis mengemukakan ada tiga hal penting yang harus diperhatikan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif untuk memecahkan masalah dalam kelompok kecil:

1) Siswa bekerja sama dalam menyelesaikan permasalahan dan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap anggota kelompok berpartisipasi dalam penyelesaian tersebut.

2) Siswa dalam kelompok berbagi informasi dan mengembangkan idenya satu sama lain.

3) Setiap anggota kelompok harus dapat mempertanggungjawabkan penyelesaian kelompok yangmerupakan hasil kesepakatan semua anggota kelompok tersebut.28

Berdasarkan uraian di atas, Collaborative Problem Solving adalah suatu pembelajaran yang diawali dengan penyajian masalah kepada siswa untuk diselesaikan secara individu dan berkelompok. Pembelajaran ini sekurang-kurangnya harus mencakup unsur-unsur sebagai berikut: 1) Adanya

27

Ibid., p. 247 28


(42)

permasalahan; 2) permasalahan coba diselesaikan secara individu; 3) permasalahan diselesaikan secara bersama dalam kelompok melalui proses sharing antar individu; dan 4) proses transfer hasil kerja sebagai solusi akhir permasalahan sebagai hasil kesepakatan dalam kelompoknya masing-masing.

c. Tahapan Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving

Pembelajaran Collaborative Problem Solving yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu pembelajaran dimana siswa yang terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil dihadapkan pada suatu permasalahan yang harus diselesaikan secara individu dan berkelompok, untuk memperoleh solusi permasalahan dan pemahaman yang mendalam melalui aktivitas diskusi dalam kelompoknya masing-masing. Tahapan pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

 Fase 1: Adanya permasalahan

Guru menyajikan permasalahan dengan memberikan lembar kerja individu kepada masing-masing siswa.

 Fase 2: Membuat rancangan penyelesaian secara individu

- Masing-masing siswa secara individu mengidentifikasi permasalahan dan berusaha mencari solusi permasalahan tersebut.

- Siswa mengumpulkan informasi dari berbagai sumber yang berkaitan dengan materi ajar. Selain itu siswa juga mendaftar hal-hal yang belum dimengerti untuk nanti ditanyakan kepada anggota lainnya dalam kelompok.

 Fase 3: Penyelesaian kelompok

- Setelah waktu penyelesaian tugas individu habis, guru menginformasikan pembagian kelompok diskusi. masing-masing kelompok terdiri dari 4-5 siswa.

- Setiap kelompok diberi bahan diskusi berupa lembar kerja kelompok (LKK) untuk diselesaikan secara bersama-sama. LKK berisi permasalahan individu dan permasalahan tambahan yang lebih kompleks untuk memperdalam pemahaman siswa mengenai materi yang sedang dipelajari.


(43)

- Di dalam kelompok, setiap siswa saling bertukar informasi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut secara bersama-sama dengan dasar pengetahuan yang dimiliki oleh setiap siswa dari permasalahan individu. - Antarsiswa dalam tiap-tiap kelompok saling berkolaborasi untuk mencapai

kesepakatan mengenai solusi akhir kelompoknya dari permasalahan yang diberikan.

- Guru memberikan informasi tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi ajar jika diminta oleh siswa. Terjadi kolaborasi antara guru dan siswa selama pembelajaran.

 Fase 4: Transfer hasil kerja

- Salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya dan kelompok lain memberikan tanggapan. Terjadi kolaborasi antarkelompok untuk mencapai solusi optimal dari permasalahan.

- Guru membimbing jalannya diskusi dan memberikan penjelasan tambahan kepada siswa jika diperlukan. Guru dan siswa berkolaborasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.

3. Model Pembelajaran Konvensional

Model pembelajaran konvensional adalah model pembelajaran yang biasa diterapkan guru di kelas. Pembelajaran ini masih berpusat pada guru. Pembelajaran konvensional yang diterapkan pada penelitian ini adalah pembelajaran ekspositori. Pembelajaran ekspositori adalah suatu strategi pembelajaran yang berpusat pada kegiatan guru dalam menyampaikan materi secara verbal dengan tujuan agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal. Ada juga yang menamakan strategi ekspositori dengan istilah pembelajaran langsung (direct instruction) atau strategi “chalk and talk”, karena strategi ini menekankan pada proses bertutur secara langsung.29 Jadi pembelajaran ini masih bersifat “teacher centered”, dimana siswa berperan sebagai objek pembelajaran yang hanya menerima materi dari penjelasan gurunya.

29

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2010), Cet. 7, h. 179


(44)

Berikut adalah uraian dari beberapa tahapan penerapan strategi ekspositori.30

Tabel 2.3

Tahapan Pembelajaran Konvensional

Tahapan Kegiatan

1. Persiapan (Preparation)  Memberikan sugesti yang positif dan menghindari sugesti negatif

 Mengemukakan tujuan pembelajaran  Melakukan review

2. Penyajian (Presentation)  Menyampaikan materi pelajaran yang sudah dipersiapkan

3. Menghubungkan (Correlation)

 Menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal lain yang

memungkinkan siswa dapat memahami

keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya

4. Menyimpulkan (Generalization)

 Mengulang kembali inti-inti materi yang menjadi pokok persoalan

 Memberikan beberapa pertanyaan yang relevan dengan materi yang disajikan

 Membuat mapping keterkaitan antarmateri pokok-pokok materi

5. Penerapan (Aplication)  Membuat tugas yang relevan dengan materi yang telah disajikan

 Memberikan tes yang sesuai dengan materi pelajaran yang disajikan

B.

Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan didukung oleh penelitian sebelumnya, yaitu relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh:

1. Supaporn Jaisook, Somyot Chitmongkol, Sumle Thongthew, dengan judul

A Mathematics Instructional Model by Integrating Problem-Based Learning and Collaborative Learning Approaches”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran ini memiliki pengetahuan dan kemampuan pemecahan masalah, kemampuan komunikasi serta kemampuan koneksi matematik yang baik. Selain itu juga dapat meningkatkan pengetahuan dan

30


(45)

pemahaman siswa terkait suatu konsep atau proses matematika tertentu, menciptakan interaksi sosial, serta meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam mengungkapkan ide-ide dan pendapatnya.31

2. Leo Adhar Effendi (Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika Sekolah

Pascasarjana UPI) dengan judul “Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi dan pemecahan masalah matematis yang pembelajarannya menggunakan metode penemuan terbimbing lebih baik daripada siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.32

3. Kartini Hutagaol dengan judul “Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hasil belajar siswa yang mendapat pembelajaran dengan menggunakan pembelajaran kontekstual, kemampuan representasinya lebih baik daripada hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional. Temuan dari penelitian ini, siswa yang belajar dengan pembelajaran kontekstual kemampuan mengkaji, menduga, hingga membuat kesimpulan berkembang dengan baik, dibanding siswa yang menggunakan pembelajaran biasa.33

31

Supaporn Jaisook, Somyot Chitmongkol, and Sumle Thongthew, “A Mathematics Instructional Model by Integrating Problem-Based Learning and Collaborative Learning

Approaches”, Silpakorn University Journal of Social Sciences, Humanities, and Arts, Vol. 13 No. 2, p. 271-294, Tersediaonline: (http://www.journal.su.ac.th/index.php/suij/article/view/363/388) diakses pada 3 Juli 2014 jam 13.25 WIB

32Leo Adhar Effendi, “Pembelajaran Matematika Dengan Metode Penemuan Terbimbing

Untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Siswa”, Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 12 No. 2, Portal Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, 2011, Tersedia online: (http://jurnal.upi.edu/file/Leo_Adhar.pdf) diakses pada 31 Juli 2013, jam 10.20 WIB

33 Kartini Hutagaol, “

Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Matematis Siswa Sekolah Menengah Pertama”, Infinity, Vol. 2 No. 1, Jurnal Ilmiah Program Studi Matematika STKIP Siliwangi Bandung, Februari 2013, Tersedia online: (http://e-journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/infinity/article/view/27/26) diakses pada 3 Juli 2014, jam 11.58 WIB


(46)

C.

Kerangka Berpikir

Collaborative Problem Solving adalah suatu pembelajaran dimana siswa harus memecahkan permasalahan secara individu dan kelompok. Pembelajaran ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan ide-ide matematikanya secara terbuka.

Ada empat tahapan inti dalam pembelajaran ini. Tahap pertama, siswa dihadapkan pada suatu masalah. Ketika dihadapkan pada suatu permasalahan, siswa cenderung terdorong untuk berpikir mengenai berbagai kemungkinan langkah yang harus dilakukan untuk menemukan solusi dari masalah itu. Permasalahan menstimulus siswa untuk melakukan abstraksi ide-ide matematis dalam pikiran siswa secara internal. Siswa mungkin akan mengubah informasi dalam berbagai bentuk yang diperoleh dari permasalahan kedalam bentuk gambar, grafik, tabel, simbol-simbol aljabar ataupun kata-kata, selama proses abstraksi ide-ide matematis ini berlangsung. Tahap kedua, membuat rancangan penyelesaian masalah secara individu. Setelah melalui proses abstraksi ide atau gagasan secara internal, kemudian pada tahap ini siswa mengemukakan ide-ide tersebut kedalam bentuk gambar, grafik, tabel, simbol-simbol aljabar ataupun kata-kata sebagai hasil dari pikirannya secara individu.

Tahap ketiga, penyelesaian kelompok. Berbekal pengetahuan dari permasalahan individu, dalam kelompok kecil siswa melakukan sharing. Setiap siswa mungkin memiliki sudut pandang yang berbeda mengenai permasalahan yang ada. Disini akan diperoleh berbagai representasi untuk didiskusikan. Tahap keempat adalah proses transfer hasil kerja. Pada tahap ini siswa dilatih untuk mengemukakan pendapat di depan kelas. Siswa juga dilatih untuk mempertimbangkan penyelesaian mana yang paling sesuai dengan permasalahan.

Dari tahapan pembelajaran Collaborative Problem Solving yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa pembelajaran ini memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan kemampuan representasinya, baik dalam bentuk gambar, ekspresi matematis, maupun teks tertulis. Sehingga diharapkan dengan menerapkan model Collaborative Problem Solving dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan atau berpengaruh terhadap kemampuan


(47)

representasi sesuai dengan strandar representasi menurut NCTM yaitu siswa dapat: membuat dan menggunakan representasi untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika; memilih, menerapkan dan menterjemahkan antar representasi matematika untuk menyelesaikan masalah; menggunakan representasi untuk memodelkan dan menginterpretasikan fenomena fisik, sosial, dan matematika.

Secara visual, kerangka berpikir penelitian dapat disajikan pada bagan 2.1 sebagai berikut.

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir

D.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoritik dan kerangka berpikir yang telah diuraikan

sebelumnya, dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: “Kemampuan

representasi matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran model Collaborative Problem Solving lebih tinggi daripada kemampuan representasi

matematis siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional”.

Collaborative Problem Solving

Adanya Permasalahan

Merancang penyelesaian secara individu

Penyelesaian Kelompok

Transfer hasil kerja

Kemampuan Representasi Matematis

Visual

Ekspresi Matematis

Teks Tertulis


(48)

31

METODE PENELITIAN

A.

Tempat dan Waktu Penelitian

a. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di MTs Negeri Tangerang II Pamulang yang beralamat di Jl. Pajajaran No.31, Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas VII tahun ajaran 2013/2014.

b. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada semester genap tahun ajaran 2013/2014 selama satu bulan, yaitu pada bulan Februari sampai dengan Maret 2014.

B.

Metode dan Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen semu (quasi experiments), karena adanya keterbatasan dalam mengontrol seluruh variabel relevan seperti intelegensi, minat, motivasi, lingkungan belajar dan lain-lain yang juga mempengaruhi pelaksanaan eksperimen. Pengontrolan hanya dapat dilakukan pada beberapa variabel saja.1 Peneliti terlibat langsung dalam penelitian dengan menerapkan pembelajaran model Collaborative Problem Solving.

Peneliti akan melakukan uji coba pembelajaran model Collaborative Problem Solving untuk meningkatkan kemampuan representasi matematika siswa, kemudian membandingkan hasil tes representasi matematika siswa yang diajar menggunakan pembelajaran model Collaborative Problem Solving (kelas eksperimen) dengan siswa yang diajar dengan pembelajaran konvensional (kelas

1

Zainal Arifin, Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. 1, h. 74-75


(49)

kontrol). Desain penelitian yang digunakan pada pembelajaran ini two group randomized subject posttest only-design. Berikut gambarannya:2

Tabel 3.1 Desain Penelitian

Kelompok Perlakuan Posttest

Eksperimen X T

Kontrol - T

Keterangan :

X : Penerapan pembelajaran model Collaborative Problem Solving T : Tes kemampuan representasi matematis

C.

Populasi dan Sampel

a. Populasi

Populasi adalah semua kumpulan objek dengan karakteristik tertentu yang lengkap dan jelas. Populasi target dalam penelitian ini adalah siswa-siswa MTs Negeri Tangerang II Pamulang. Adapun populasi terjangkau adalah seluruh siswa kelas VII di sekolah tersebut.

b. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil dengan teknik tertentu. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Cluster Random Sampling (pengambilan acak kelompok). Dari sebelas kelas pada tingkatan yang sama yaitu kelas VII, diambil dua kelas secara acak untuk dijadikan sampel penelitian. Kemudian dari dua kelas ini, salah satu kelas akan menjadi kelas eksperimen dan kelas lainnya dijadikan sebagai kelas kontrol. Setelah dilakukan pengundian terhadap dua kelas tersebut, maka terpilih kelas VII-9 dengan jumlah siswa 29 orang sebagai kelas eksperimen dan kelas VII-10 dengan jumlah siswa 29 orang sebagai kelas kontrol.

2

John W. Creswell, Educational Research Planning, Conducting, And Evaluating Quantitative And Qualitative Research, (Boston: Pearson Education, Inc., 2012), Fourth Edition, p. 310


(50)

D.

Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan merupakan hasil tes dari kedua kelompok yang menjadi sampel penelitian. Pemberian tes dilaksanakan pada akhir pokok bahasan materi yang telah dipelajari. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan dalam proses pengumpulan data.

1. Variabel yang diteliti

Variabel bebas : Model Pembelajaran Collaborative Problem Solving Variabel terikat : Kemampuan Representasi Matematis Siswa

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa yang menjadi sampel penelitian, guru mata pelajaran matematika dan peneliti.

E.

Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan representasi matematis. Soal tes disusun dalam bentuk uraian (essay) untuk mengukur tingkat kemampuan representasi matematis siswa. Sebelum digunakan, soal tes tersebut diuji cobakan terlebih dahulu untuk mengetahui ketepatan dan keandalan instrumen dalam mengukur aspek yang diinginkan.

1. Validitas

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui ketepatan instrumen yang digunakan. Yang dimaksud adalah apakah instrumen yang digunakan ini dapat mengukur yang sebenarnya akan diukur.3 Dalam penelitian ini yang diukur adalah tingkat kemampuan representasi matematis siswa.

Untuk menghitung validitas suatu instrumen berupa soal-soal uraian dapat dilakukan dengan menggunakan rumus product moment correlation sebagai berikut: 4

3

Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip Dan Teknik Evaluasi Pengajaran, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), cet. 12, h. 137

4

Sumarna Surapranata, Analisis, Validitas, Reliabilitas, dan Interpretasi Hasil tes Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), h. 58


(51)

Keterangan :

rxy : koefisien korelasi antara X dan Y

N : Jumlah responden X : Skor item

Y : Skor total

Dari sembilan item soal yang diujicobakan dan dilakukan perhitungan validitasnya, terdapat tiga soal yang tidak valid. Hasil perhitungan tersebut, disajikan pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.2

Rekapitulasi Hasil Perhitungan Uji Validitas Instrumen No.

Butir

Indikator Representasi

Validitas

Keputusan r hit. Kriteria

1 Teks tertulis 0,57 Valid Digunakan

2 Teks tertulis 0,56 Valid Digunakan

3 Visual -0,06 Invalid Tidak Digunakan

4a Visual -0,22 Invalid Tidak Digunakan

4b Teks tertulis 0,63 Valid Digunakan

5 Ekspresi matematis 0,36 Valid Digunakan

6a Visual 0,51 Valid Digunakan

6b Ekspresi matematis 0,30 Invalid Tidak Digunakan

7 Ekspresi matematis 0,84 Valid Digunakan

2. Reliabilitas

Setelah dilakukan uji validitas kemudian dilakukan uji reliabilitas untuk mengetahui keandalan instrumen. Dalam penelitian ini uji reliabilitas dilakukan dengan menggunakan rumus Alpha:5

Keterangan :

r11 : reliabilitas instrumen

k : banyaknya butir pernyataan valid

: jumlah varians skor tiap-tiap item : varians total

5

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 109


(52)

Tabel 3.3 Kriteria Koefisien Reliabilitas6

Koefisien Reliabilitas Kriteria

Sangat rendah

Rendah

Sedang

Tinggi

Sangat Tinggi

Berdasarkan kriteria koefisien reliabilitas tersebut, nilai berada pada interval , maka dari 6 soal yang valid, memiliki derajat reliabilitas sedang.

3. Tingkat Kesukaran

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu sukar dan juga tidak terlalu mudah, sehingga akan menghasilkan skor yang berdistribusi normal.

Rumus untuk menghitung tingkat kesukaran butir soal yaitu:7

Keterangan :

p : tingkat kesukaran

: jumlah skor siswa pada tiap butir soal : skor maksimum

N : jumlah peserta tes

Tabel 3.4 Kategori Tingkat Kesukaran

Nilai p Kategori

Soal Sukar

Soal sedang

Soal mudah

Rekapitulasi perhitungan tingkat kesukaran instrumen tes disajikan pada tabel 3.5 berikut ini.

6

Erman S., Evaluasi Pembelajaran Matematika, (Bandung: JICA UPI, 2003), h. 139 7


(53)

Tabel 3.5

Rekapitulasi Hasil Perhitungan Tingkat Kesukaran No.

Butir

Indikator Representasi

Tingkat Kesukaran Kriteria P

1 Teks tertulis Mudah 0,72

2 Teks tertulis Sedang 0,58

3 Visual Sedang 0,46

4a Visual Sedang 0,52

4b Teks tertulis Mudah 0,74

5 Ekspresi matematis Sedang 0,53

6a Visual Mudah 0,74

6b Ekspresi matematis Mudah 0,82

7 Ekspresi matematis Sedang 0,63

4. Daya Pembeda

Daya pembeda suatu soal adalah kemampuan soal untuk mengklasifikasikan siswa ke dalam kelompok atas (kelompok siswa berkemampuan tinggi) dan kelompok bawah (kelompok siswa berkemampuan rendah). 8

Rumus untuk menghitung daya pembeda adalah:9

Keterangan :

D : daya pembeda

: tingkat kesukaran kelompok atas : tingkat kesukaran kelompok bawah

: jumlah skor siswa kelompok atas pada tiap butir soal

: jumlah skor siswa kelompok bawah pada tiap butir soal : skor maksimum

: jumlah peserta tes kelompok atas : jumlah peserta tes kelompok bawah

8

Ibid., h. 23 9


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 32