KOTABARU 1942 1946 DARI MARKAS MILITER K

KOTABARU 1942-1946 :
DARI MARKAS MILITER KE PEMUKIMAN ELIT PRIBUMI
Achmad Sofyan
Sarjana Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
E-mail : Achmadsofyan819@yahoo.com

Abstrak
Kotabaru adalah sebuah kawasan yang menarik untuk dikaji. Bagaimana sebuah kota yang sengaja dibangun
untuk masyarakat Eropa ini berubah fungsi menjadi markas militer tentara Jepang di Yogyakarta dan kemudian
berubah menjadi pemukiman elit pribumi di Yogyakarta. Perubahan fungsi tersebut diikuti pula dengan dampak
yang signifikan antara penguni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya. Melalui metode penelitian
sejarah (Heuristik-Kritik-Intrepetasi-Historiografi) kajian ini akan membahas perubahan fungsi tersebut.
Kotabaru dibangun sebagai sebuah pemukiman khusus orang Eropa di Yogyakarta. Kedatangan bala tentara
militer Jepang ke Yogyakarta menjadikan Kotabaru sebagai markas militer, gudang amunisi dan penjara
interniran. Pada masa Revolusi Indonesia Kotabaru berubah fungsi menjadi pemukiman elit pribumi yang
mampu membayar hak sewa atas tanah kraton Yogyakarta. Perubahan tersebut membawa dampak hubungan
antara penghuni Kotabaru dengan penduduk kampung sekitarnya berubah. Selain hal tersebut kriminalitas dan
kejahatan banyak terjadi di Kotabaru akibat dari perubahan tersebut.

KOTABARU 1942-1946 :
From Japanese Army Military To Elite Residental Indigenous

Abstract
Kotabaru is an interesting area to be studied. How does a town that was purposely built for the European society
is changing functions to be military bases japanese army in Yogyakarta and then changed into the native elite
settlement in Yogyakarta. The function changes in the follow also with a significant impact between the
occupant Kotabaru surrounding villagers. Through the method of writing history (Heuristics - Criticism Interpretation - Historiography) This study will discuss the changes in the function. Kotabaru built as a special
settlement of Europeans in Yogyakarta. The arrival of the Japanese military troops to Yogyakarta makes
Kotabaru as military bases, prisons and internment. During the Indonesian revolution, Kotabaru changed into
residential indigenous elite who can afford the rent on land rights Kraton Yogyakarta. The changes take effect
the relationship between the occupants Kotabaru surrounding villagers changed. Besides it is a lot of crime and
crime occurs in Kotabaru result of the changes.
Keywords : Kotabaru, Changes, Effect, Settlement, Military

1. Pendahuluan
Ketika sebuah kota mulai padat baik itu kota
industri maupun kota metropolitan. Maka

kebutuhan akan sebuah kawasan baru yang
akan digunakan untuk aktivitas masyarakat

kota. Hal ini terkait dengan kebutuhan untuk

mengurangi kepadatan lalu lintas, mengurangi
kepadatan penduduk atau kebutuhan akan
sebuah pemukiman yang baru (Hariyono , 2010
: 126). Permasalahan tersbut juga terjadi di
masa kolonialisme Belanda di Indonesia.
Kotabaru (Nieuwe Wijk) adalah sebuah kawasan
yang sengaja dibangun untuk menanggapi
masalah pemukiman masyarakat Eropa di
Yogyakarta. Pada tahun 1917 perluasan kota ke
Utara kota Yogyakarta semakin luas. Termasuk
kawasan Kotabaru. Kotabaru adalah sebuah
kawasan yang dibangun oleh pemerintah
kolonial Belanda yang menganut politik segresi
dalam hal pemukiman. Dalam hal ini
pemerintah kolonial Belanda membuat wilayah
atau kawasan tersendiri untuk warganya serta
terpisah dengan penduduk pribumi dan etnis
lainnya (Nurhajarini, 2012 : 52). Kota
Yogyakarta dibangun dengan beberapa kawasan
tertentu untuk etnis tertentu. Didaerah Kauman

terdapat etnis Arab yang ada di Yogyakarta.
Etnis Cina berada di wilayah perekonomian
didaerah Malioboro. Sedangkan untuk pribumi
tersebar di beberapa penjuru kota Yogyakarta.
Kotabaru dibangun secara khusus untuk
pemukiman orang Eropa. Setelah adanya RUU
Agraria yang memperbolehkan pihak swasta
menanamkan modalnya di Indonesia. Sebelum
Kotabaru dikembangkan, penduduk Belanda
yang ada di Yogyakarta berjumlah 400 orang
dan bermukim di sekitar Kraton dan benteng
Vradeburg. Selain kedua tempat tersebut ada
juga yang bermukim di sebelah Timur benteng
yang dikenal sebagai Loji Kecil (Surjomihardjo,
2008 : 21). Selanjutnya pemukiman untuk orang
Eropa bergerak ke arah Utara Kraton. Kawasan
Bintaran dijadikan sebagai pemukiman orang
Eropa di Yogyakarta. Ketika Bintaran semakin
sesak dengan kehadiran orang Eropa. Residen
Belanda yang ada di Yogyakarta Cornelis

Canne meminta ijin kepada Sultan untuk
mengijinkan menggunakan lahan yang ada di
sebelah Timur Sungai Code.
Permohonan ijin tersebut diatur dalam
Rijksblaad van Sultanaat Djogjakarta No. 12
tahun 1917. Peraturan ini membahas tentang
pemberian lahan dan wewenang membuat
bangunan, jalan, taman, dan perawatannya.
Sedangkan untuk penggunaan tanah tersebut
diatur oleh Commisie van Sultanaat Werken.
Pembangunan Kotabaru diketuai oleh Ir. L. VR.
Bijleveld (Hudiyanto ,1997 : 71). Pembangunan
Kotabaru dilakukan dari tahun 1917 sampai
dengan 1924 dan menghabiskan biaya yang
cukup besar untuk menambah fasilitas
penunjang yang ada seperti bangunan, jalan,
drainase, taman kota dan lainnya.

Perluasan kota (Bowplan) di Indonesia sudah
dilakukan sejak dua dekade awal abad 20. Salah

satu alasan perluasan kota tersebut adalah
membangun pemukiman khusus yang dihuni
oleh penduduk Eropa. Selain Kotabaru
setidaknya terdapat dua kota yang dibangun
sebagai usaha untuk pemukiman elit tersebut
yakni Malang yang dibangun didaerah Tjelaket
dan Rampai pada tahun 1917 dan Menteng
Jakarta yang dibangun tahun 1919. Daerah
Malang dipergunakan sebagai pemukiman
pemilik perkebunan yang banyak terdapat di
Malang. Menteng dijadikan sebagai pemukiman
para pejabat Belanda yang menjalankan
pemerintahannya di Batavia. Sedangkan
Kotabaru dibuat dalam kedua hal tersebut.
Hunian untuk pelaku bisnis perkebunan serta
hunian bagi pejabat yang menjalankan
pemerintahan Hindia Belanda di Yogyakarta.
Kotabaru berkembang tidak hanya sebagai
kawasan pemukiman, tetapi merupakan sebuah
perkotaan baru yang memiliki sarana penunjang

yang lengkap seperti sekolah, tempat ibadah,
sarana olahraga, fasilitas keamanan, sarana
kebersihan lingkungan dan kenyamanan lainnya
(Hudiyanto, 1997 : 79). Kotabaru atau yang
sering disebut dengan Nieuwe Wijk merupakan
sebuah produk dari perencanaan kota yang
matang. Mulai dari kawasan dengan pola radial
yang sangat rapi. Ditambah dengan jalan
boulevard yang besar dan ditumbuhi oleh
pepohonan yang rindang sepanjang jalan.
Hingga infrastruktur yang terbaik di kota
Yogyakarta.
Nieuwe Wijk berkembang sebagai sebuah
pemukiman yang dapat berdiri sendiri tanpa
perlu adanya hubungan dengan bagian kota
Yogyakarta lama (Kartodirdjo, 1978 :
CCLXVI). Pembangunan Kotabaru mengikuti
konsep garden city nya Howard. Konsep ini
dibuat sebagai imbas dari berbagai masalah
yang ditimbulkan oleh revolusi Industri di

Inggris pada akhir abad 19 (Marsitawati, 2007 :
45). Di Indonesia sendiri konsep garden city
(kota taman) mulai berkembang sejak tahun
1870. Pada tahun inilah titik awal
perkembangan kota-kota besar di Jawa. Thomas
Karsten, Maclaine Pont, Tillema dan lainnya
adalah beberapa nama yang mengenalkan
konsep tersebut di Indonesia.
Pembangunan Kotabaru yang cukup pesat pada
masa kolonial Belanda terhenti ketika bala
tentara militer Jepang menduduki Yogyakarta.
Pada tahun 1942 Jepang menguasai Hindia
Belanda. Kotabaru yang memiliki bangunan
besar dijadikan sebagai markas militer tentara

Jepang, penjara interniran Belanda dan gudang
amunisi tentara Jepang di Kotabaru. Salah satu
tempat yang dijadikan sebagai gudang amunisi
dan penjara interniran Belanda adalah Gereja
San Antonius yang tidak lagi berfungsi sebagai

gereja. Pada masa pendudukan bala tentara
militer Jepang Kotabaru terjadi pertempuran
antara Tentara Keamanan Republik dan bala
tentara Jepang di stadion Kridosono Kotabaru.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia
Kotabaru sekali lagi mengalami perubahan
fungsi. Kotabaru berubah menjadi pemukiman
elit pribumi yang mampu membayar sewa atas
hak tanah Kraton. Penduduk pribumi mulai
masuk ke daerah Kotabaru untuk melihat-lihat
rumah yang kosong dan memilik yang cocok
untuk ditinggali keluarganya (Fakih, 2008 : 1).
Selain menjadi pemukiman elit, Kotabaru juga
digunakan sebagai tempat tinggal pejabat
pemerintahan
dan kantor
pemerintahan
Republik Indonesia ketika Ibu kota Republik
Indonesia berpindah ke Yogyakarta.
Dari uraian diatas sangat jelas bahwa Kotabaru

merupakan sebuah wilayah yang mengalami
tiga masa. Masa kolonialisme Belanda, masa
pendudukan bala tentara militer Jepang dan
masa kemerdekaan Indonesia. Kotabaru juga
mengalami perubahan yang signifikan dalam
tiga masa tersebut. Tentu saja perubahanperubahan fungsi yang terjadi membuat dampak
yang tidak kecil terhadap kampung sekitarnya.
Kotabaru yang pada awalnya sebuah daerah
tertutup dan memiliki penjagaan yang ketat.
Berubah menjadi sebuah pemukiman yang
terbuka dan memiliki tingkat keamanan yang
tidak ketat.
Karena itu saya ingin menjelaskan bagaimana
perubahan fungsi tersebut terjadi dan apa
dampak dari perubahan fungsi Kotabaru
tersebut. Selain hal tersebut saya juga akan
menjelaskan bagaimana Kotabaru pada masa
pendudukan bala tentara Jepang di Yogyakarta
dan bagaimana pemanfaatan Kotabaru oleh bala
tentara militer Jepang.


2. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah perlu didukung
oleh suatu metode penelitian. Fungsi dari
metode penelitian tersebut sangatlah penting
karena merupakan faktor penentu dari proses
pengumpulan informasi dan berperan penting
dalam berhasil tidaknya suatu penelitian.
Menurut Nugroho Notosusanto, metode sejarah
adalah kumpulan-kumpulan prinsip-prinsip atau
aturan yang sistematis, dimaksudkan untuk
memberikan bantuan secara efektif didalam
usaha mengumpulkan bahan-bahan bagi

sejarah, menilai secara kritis, dan kemudian
menyajikan suatu sistem dari pada hasilhasilnya dalam bentuk tertulis (Notosusanto,
1978 : 11)
Proses pertama adalah Heuristik, atau proses
pencarian dan menemukan sumber-sumber atau
data-data. Koleksi buku Perpustakaan Pusat UI,

Universitas Gadjah Mada, Universitas Sanata
Dharma,
Jogjakarta
Library
Center,
Perpustakaan Kolese Santo Ignatius, Arsip
Nasional, dan koleksi pribadi. Pada tahap ini
peneliti mengumpulkan bahan atau sumbersumber yang menurut peneliti terkait dengan
topik penelitian. Sumber tersebut bisa
didapatkan baik secara primer ataupun sekunder
yang berhubungan dengan sejarah Yogyakarta,
kota kolonial dan Kotabaru Yogyakarta periode
1920-1950.
Setelah beberapa sumber didapatkan kemudian
penulis melakukan kritik. tahapan ini bertujuan
untuk mencari otentitas atau keaslian data-data
yang diperoleh. Dalam tahap ini penulis
melakukan pemilihan sumber-sumber yang
layak atau tidak untuk dijadikan sumber
referensi penelitian.
Proses selanjutnya adalah Interpretasi, yaitu
pembeberan dan permaknaan dari semua datadata yang telah teruji itu. Pada bagian ini
penulis berusaha untuk menganalisa masalah
yang menjadi fokus penelitian. Pendekatan
yang dilakukan penulis dalam menganalisa atau
mengintrepetasikan sebuah fakta dalam
penelitian ini adalah pendekatan ilmu Sejarah
dan ilmu Sosiologi. Pada tahapan ini penulis
akan melakukan analisis, yaitu mengurai
beberapa fakta dari sumber-sumber yang ada.
Dalam hal ini penulis menempatkan buku-buku
dan Arsip Perpustakaan Museum Sono Budoyo
Yogyakarta sebagai sumber analisis. Penulis
melakukan analisis Arsip tersebut karena Arsip
Perpustakaan
Museum
Sono
Budoyo
menggambarkan laporan yang dilakukan oleh
pemerintah residen Belanda kepada pemerintah
pusat Belanda.
Selanjutnya yang terakhir adalah Historiografi,
Pada tahapan ini penulis merangkai fakta-fakta
yang telah diinterpretasi, dari berbagai sumber
baik sumber primer maupun sumber sekunder
menjadi sebuah tulisan. Sistem penulisan yang
penulis pakai dalam penelitian ini adalah
sinstem penulisan deskriptif-analisis yang
mencoba menggambarkan dan menganalisis
setiap rangakaian peristiwa-peristiwa dalam
hubungannya terhadap topik penelitian penulis
(Gottschalk, 1975 : 14).

Objek Penelitian dikumpulkan dari sumbersumber otentik yaitu buku-buku yang
membahas tentang Kota Yogyakarta periode
1942-1950 untuk menggambarkan bagaimana
keadaan Kota Yogyakarta pada periode
tersebut. Analisis terhadap Arsip Rijksblaad van
Sultanaat Djogjakarta No. 12 tahun 1917 dan
1918
dilakukan
untuk
menambah
penggambaran perkembangan Kotabaru sebagai
pemukiman awal yang secara sengaja dibangun
untuk kepentingan penduduk Eropa di
Yogyakarta.

3. Isi dan Pembahasan
Perkembangan perkebunan yang terjadi di
Yogyakarta setelah berlakunya UU Agraria
membuat pengusaha swasta yang berasal dari
golongan liberal Belanda berdatangan ke
Yogyakarta untuk mengembangkan usaha
mereka dibidang perkebunan.

hingga lebih dari 1873 orang. Kenaikan
penduduk Eropa dikarenakan perkembangan
perkebunan di Yogyakarta yang mengakibatkan
banyaknya perusahaan swasta asal Belanda di
Yogyakarta.
Kemunculan pabrik gula dibuka dengan cara
menyewa tanah negara atau dengan menyewa
tanah penduduk selama 75 tahun. Tanah
penduduk yang disewa oleh pengusaha
perkebunan pada umumnya berupa lahan
pesawahan. Hal ini dikarenakan tebu
membutuhkan sistem pengairan dan kesuburan
tanah yang hampir sama dengan padi (Sulistyo,
1995 : 16). Setidaknya ada 30 pabrik gula yang
berkembang di Yogyakarta.
Tabel 3. Pabrik Gula di Yogyakarta

Daerah

Perkebunan

Keterangan

Bantul

Tebu

Gesikan

Tebu

Pundung

Tebu

Mengkang Rejo

Nila dan Tebu

Ngemplak

Tebu

Klaci

Tebu

Padokan

Tebu

Cebongan

Tebu

Ganjuran

Tebu

Tegal Weru

Tebu

Rewulo

Tebu

Sonosewu

Nila

Demak Ijo

Nila

Kenaik
an

Kebon Agung

Nila

Mlati

Nila dan Tebu

27.639

Pendulan

Nila

Duku

Nila

Pisangan

Nila

Mringin

Nila

Kenayan

Nila

Ngoto

Nila

Tabel 1. Penduduk Yogyakarta tahun 1845

Penduduk

Jumlah Penduduk

Eropa

664

Cina

1.063

Arab / Melayu

55

Pribumi

43.385

Bantul

Vincent Houben : 1994 : 321

Dari tabel 1 bisa dilihat bahwa penduduk Eropa
hanya berjumlah 664 orang dan mereka pada
awalnya hanya menetap di dalam benteng
Kraton dan Vredeburg. Sedangkan penduduk
lainnya tinggal dan menetap di luar benteng
Kraton dan Vredeburg.
Tabel 2. Penduduk Yogyakarta tahun 1920 dan
tahun 1930

N
o

Pendud
uk

Tahun
1920

1930

Pribum
i

94.254

121.893

2

Eropa

3.730

5.603

1.873

3

Cina

5.643

8.894

3.251

1

Freek Colombijn : 2005 : 37

Dalam tabel 2 pertumbuhan penduduk Eropa
dalam kurun waktu 10 tahun (1920-1930) naik

Sleman

Salakan
Petorono

Nila

Salakan Lor

Nila

Wanujoyo

Nila

Muja-Muju

Nila

Barongan

Tebu

Plered

Tebu

Tanjung Tirto

Tebu

Rejo Sari

Tembakau

Siluk Lanteng

Tembakau

Kalasan

Majalah Prisma : 1983 : 78

Berkembangnya perkebunan-perkebunan di
Yogyakarta membutuhkan transportasi untuk
mendistribusikan hasil-hasil perkebunan. Pada 2
Maret
1872
Nederlandsch
Indische
Spoorwegmaatshapijj
(NIS)
mengajukan
permohonan untuk membuka jalur kereta api.
Realisasi dari permohonan tersebut adalah
dibukanya stasiun Lempuyangan (Gunawan,
1993 : 26)
Kenaikan penduduk karena perkembangan
perkebunan tersebut memaksa residen Cornelis
Canne di Yogyakarta untuk membuat sebuah
pemukiman yang sanggup menampung
penduduk Eropa di Yogyakarta. Kotabaru
Yogyakarta dibangun dengan suasana yang
hampir mirip dengan kota di Belanda. Nieuwe
Wijk yang semula adalah lahan kosong milik
Sultan yang disewa oleh pemerintah kolonial
Belanda. Lahan yang disewa ini memiliki
topografi permukaan tanah yang bergelombang
dan penuh dengan semak belukar (Yose, 2011 :
32).
Pemilihan lahan tersebut dinilai sangat strategis
karena berada di sebelah Timur Sungai Code
(Trisatya, 2011 : 1). Sebelah Selatan nya
terdapat stasiun kereta api lempuyangan yang
sering digunakan untuk transportasi darat
menuju Semarang atau Solo. Kedua hal tersebut
memenuhi kebutuhan air dan transportasi
(Hudiyanto, 1997 : 71).

Gambar 1. Peta Kotabaru Yogyakarta tahun
1925 (Reza Hudiyanto : 1997 : 135)
Dari gambar tersebut Kotabaru memiliki letak
yang strategis dan memiliki fasilitas
didalamnya. Batas Kotabaru (Niuewe Wijk)
sebelah Utara berbatasan dengan daerah
Terban, sebelah Barat berbatasan langsung
dengan Sungai Code, sebelah Timur berbatasan
dengan Klitren dan sebelah Selatan berbatasan
dengan Stasiun Lempuyangan.
Kedatangan bala tentara militer Jepang ke
Indonesia dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan minyak yang akan digunakan
sebagai bahan bakar dalam perang melawan
Cina (Colombijn, 2010 : 36). Kebutuhan akan
minyak bumi tersebut membuat negara-negara
yang berperang melakukan ekspansinya ke
negara-negara penghasil minyak bumi. Bala
tentara militer Jepang dalam tahap ekspansinya
melakukan propaganda awal terlebih dahulu.
Toko-toko didaerah Ketandan, Malioboro dan
Kranggan dibuka dengan harga yang sangat
murah dan memiliki pelayanan yang sangat
ramah. Berbeda dengan toko yang dibuka oleh
orang Belanda dimana harga yang dipatok
sangat mahal dan memiliki pelayanan yang
tidak baik (Lienau, 1976 : 9).
Propaganda yang dilakukan oleh Jepang ini
bermaksud untuk mencari simpati masyarakat
Yogyakarta. Setelah dirasa cukup menarik
simpati masyarakat Yogyakarta. Perlahan-lahan
pengusaha toko Jepang yang ada di Yogyakarta
menghilang dari pandangan masyarakat. Sejak
tanggal 28 Februari sampai dengan tanggal 1
Maret 1942 pasukan tentara ke XVI Angkatan
Darat Jepang mendarat di tiga tempat di Pulau
Jawa yaitu di Banten, Eretan Wetan, dan
Kragan (Mudaryanti, 1979 : 33). Jepang mulai
masuk dan bergerak cepat ke seluruh kota-kota
besar yang ada di Pulau Jawa. Rembang,
Semarang,
Magelang,
Surakarta
dan
Yogyakarta berhasil dikuasai dengan cepat.
Pada tanggal 5 Maret 1942 Jepang masuk ke
Yogyakarta melalui Surakarta dengan tidak

mendapay perlawanan dari pihak Belanda
(Lienau, 1979 : 21).
Pendudukan Jepang di Indonesia dimulai sejak
8 Maret 1942 dengan penyerahan tak bersyarat
Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda
Letnan Jenderal H. Ter Poorten kepada Letjen
Hitoshi Imamura di Kalijati (Setyawati, 1993 ;
20). Penyerahan tersebut diikuti pula dengan
penyerahan daerah-daerah lainnya dari pejabat
Hindia Belanda. Di Yogyakarta penyerahan
dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di ruang
tamu kediaman Gubernur L. Adam yang pada
saat itu menjabat sebagai Gubernur Hindia
Belanda di Yogyakarta (Lienau, 1976 : 22).
Sejak
penyerahan
tersebut
penduduk
Yogyakarta menyaksikan tentara KNIL
(Koninklijk Nederlands Indisch Leger) keluar
dari kota Yogyakarta. Tentara KNIL tersebut
membawa segala macam peralatan perangnya
dan bergerak ke arah Barat keluar Kota
Yogyakarta (Lienau, 1976 : 23).
Ketika penduduk Hindia Belanda meninggalkan
rumahnya di Kotabaru serta kedatangan Jepang
ke Indonesia perumahan Kotabaru diambil alih
oleh pemerintahan Yogyakarta dan disewakan
kepada penduduk pribumi yang bersedia
membayar sewa (Fakih, 2008 : 1). Sejak Jepang
memerintah di Yogyakarta segala sesuatu yang
menyangkut dengan Belanda dihapuskan.
Balatentara Jepang menyuruh penduduk
kampung untuk mencuri isi rumah Belanda
yang telah ditinggalkan (Tashadi, 1991 : 12).
Hal ini menimbulkan kekacauan karena
penduduk kampung memasuki dan mengambil
seluruh isi rumah dan gedung yang telah
ditinggalkan penghuninya. Situasi ini kemudian
dimanfaatkan balatentara militer Jepang untuk
mengeluarkan Undang-undang yang melarang
perampasan. Mereka bahkan memerintahkan
agar semua barang rampasan dikembalikan dan
dikumpulkan di suatu tempat yang ditentukan
oleh balatentara Jepang (Tashadi, 1991 : 13 ).
Bangunan-bangunan yang ditinggalkan oleh
pemerintahan kolonial Belanda mengalami
perubahan fungsi ketika pemerintahan Jepang
memerintah di Indonesia, termasuk kawasan
Nieuwe Wijk (kotabaru) Yogyakarta. Kotabaru
yang pada masa kolonial Belanda dijadikan
sebagai pemukiman khusus orang Eropa di
Yogyakarta, berubah fungsi menjadi salah satu
markas kekuatan militer di Yogyakarta selain
benteng Vredeburg. Hal ini bisa di maklumi
karena pada saat kolonialisme Belanda Niuwe
Wijk adalah salah satu kawasan yang lengkap
karena terdapat rumah sakit Petronella dan
Gereja Santo Antonius. Selain itu Kotabaru
memiliki wilayah strategis di Yogyakarta.

Selain dipergunakan sebagai salah satu markas
militer Jepang di Yogyakarta, kawasan
Kotabaru juga digunakan untuk kepentingan
perkantoran, perumahan, tangsi, dan gudang.
Bangunan-bangunan di kawasan Kotabaru yang
besar dan luas seperti bangunan Gereja Santo
Antonius dipergunakan oleh tentara Jepang
sebagai gudang senjata dan amunisi tentara
Jepang lainnya. Sebagai contoh markas militer
Jepang, Kidobutai (markas tentara inti Jepang)
terletak di sebelah Timur stadion Kridosono.
Gereja Katholik Santo Antonius Kotabaru
(Nieuwe Wijk Katholieke Kerk) yang terletak di
antara Jalan Abu Bakar Ali dan Jalan I Dewa
Nyoman Oka. Gereja tersebut dibangun oleh
Romo F. Strater pada tahun 1922 sampai 1926.
Gereja ini dibuat untuk melayani ibadah Jemaah
katolik di Kotabaru. pada masa pendudukan
Jepang gereja ini berubah fungsi menjadi
tempat penampungan suster-suster dan wanitawanita interniran Belanda. Salah satu bangunan
yang masih masuk dalam Gereja Santo
Antonius yakni Seminari Tinggi dijadikan
sebagai kantor tentara Jepang. Beberapa
bangunan lainnya dijadikan sebagai gudang
untuk menyimpan peluru serta amunisi lainnya
(Trisatya, 2011 : 66). Setelah Jepang
mengalami kekalahan dalam Perang Dunia
tahun 1945 Gereja ini berfungsi kembali
sebagai gereja seperti semula.
Gereja lainnya yang ada di Kotabaru adalah
Gereja Protestan HKBP (Gereformeerde Kerk
Djogja) yang terletak di Jalan I Dewa Nyoman
Oka 1 Kotabaru ini dibangun oleh masyarakat
Protestan berkebangsaan Belanda yang tidak
bisa mengikuti ibadah di Gereja Kristen Jawa
Gondokusuman yang menggunakan bahasa
Jawa sebagai bahasa pengantar. Gereja ini pada
masa pendudukan bala tentara militer Jepang
digunakan sebagai penjara bagi para wanita
interniran Belanda (Trisatya, 2011 : 68).
Setelah bom atom yang dijatuhkan Sekutu di
Hiroshima dan Nagasaki Jepang menyerah
kepada Sekutu dan berjanji akan memberikan
kemerdekaan kepada Indonesia secepatnya.
Setelah melewati beberapa persiapan yang
dilakukan oleh PPKI yang diketuai oleh
Soekarno maka pada tanggal 17 Agustus 1945
dibawah tekanan balatentara militer Jepang,
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya
(Darto, 1990 : 7). Atas nama bangsa Indonesia
teks proklamasi dibacakan dengan lantang oleh
Ir. Soekarno yang didampingi oleh Drs. Moh.
Hatta di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Berita
terkait dengan proklamasi tersebut cepat
menyebar di Jakarta dan sekitarnya.

Berbeda dengan di Jakarta, para pemuda yang
ada di daerah tidak bisa mengetahui berita
proklamasi tersebut secara tepat dikarenakan
kantor Radio Hosonkyuku dijaga dengan ketat
oleh pasukan Jepang. Kemerdekaan yang telah
di proklamirkan dilarang disebarluaskan oleh
Gunseikan Bu. Pemerintah Jepang berusaha
merahasiakan
kemerdekaan
Indonesia
(Nurhajarini, 2012 : 58). Namun tidak lama
kemudian datanglah sekelompok pemuda dan
mahasiswa dari Asrama Prapatan 10 yang
dipelopori oleh Chairul Saleh dengan tujuan
merebut gedung siaran tersebut. setelah berhasil
melucuti penjaga gedung tersebut dengan tanpa
persetujuan dan sepengetahuan pemerintah
Jepang berita proklamasi itu segera disiarkan ke
penjuru tanah air (Darto, 1990 : 7).
Bagi masyarakat daerah Yogyakarta pada
umumnya berita mengenai proklamasi tersebut
baru bisa diketahui sekitar jam 12.00 siang.
Kantor berita Domei cabang Yogyakarta baru
mendapat kabar dari kantor Domei pusat. Berita
proklamasi akhirnya bisa sampai ke desa-desa
walaupun dilakukan hanya dari mulut ke mulut.
Proklamasi yang dibacakan pada hari Jumat pun
sangat mungkin disampaikan oleh para pemuka
agama setelah melakukan sembahyang Jumat,
melaui Masjid Kauman dan Masjid Pakualaman
mereka menyebarkan berita ini. Bahkan Ki
Hadjar Dewantara bersama masyarakat lainnya
menggunakan sepeda untuk berkeliling ke desadesa untuk menyebarkan berita tersebut agar
bisa diketahui oleh semua lapisan masyarakat
yang ada di Yogyakarta (Nurhajarini , 2012 :
59). Pada tanggal 19 Agustus 1945 Sri Sultan
Hamengku Buwono IX mengirimkan telegram
dan ucapan selamat kepada Soekarno dan Hatta
atas berdirinya Republik Indonesia dan
terpilihnya kedua tokoh itu sebagai presiden
dan wakil presiden. Pada tanggal 5 September
1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri
Paduka Paku Alam VIII mengeluarkan
pernyataan yang menyebutkan bahwa negeri
Ngayogyakarta
Hadiningrat
dan
negeri
Pakualaman yang bersifat kerajaan adalah
daaerah istimewa dari negara Republik
Indonesia (Nurhajarini, 2012 : 61). Antara
kedua daerah tersebut dengan pusat negara
Republik Indonesia bersifat langsung dan kedua
penguasanya
bertanggungjawab
secara
langsung kepada presiden Republik Indonesia.
Dukungan yang diberikan oleh kedua pemimpin
Yogyakarta tersebut menyulut semangat yang
besar bagi masyarakat Yogyakarta. Semangat
kemerdekaan digambarkan dengan berkibarnya
bendera Sang Saka Merah Putih di seluruh
wilayah Yogyakarta. Pengibaran bendera di
gedung Cokan Kantai pada tanggal 21

September 1945 mendapat perlawanan dari bala
tentara militer Jepang. Namun rakyat yang
sudah
terbakar
emosinya
melakukan
perlawanan. Gerakan ini dibantu oleh satu
kompi Polisi Istimewa dengan senjata yang
lengkap (90 karabijn, 2 teki danto, 5 leuwis
machine gun, 1 water mantel, dan 3 buah truk)
(Nurhajarini, 2012 :65).
Dua hari berselang setelah peristiwa Cokan
Kantai Polisi Istimewa yang bermarkas di
Gayam dilucuti senjatanya. Pihak Jepang
menganggap bahwa Polisi Istimewa berbahaya
karena memiliki senjata yang lengkap.
Perundingan antara Komandan Polisi Istimewa
R,P Soedarsono dan Komandan tentara Jepang
tidak menghasilkan kesepakatan antara
keduanya. Sekitar pukul 21.00 WIB massa
bergerak mengepung markas Jepang di Gayam
dan merebut kembali senjata yang dilucuti bala
tentara militer Jepang.
Setelah beberapa bentrokan fisik yang terjadi
antara TKR, Masyarakat, Polisi Istimewa
dengan
bala
tentara
militer
Jepang.
Pengambilalihan kekuasaan Jepang di Kotabaru
pun dilakukan. Gerakan yang dimulai dengan
pengambilalihan gedung Kooti Zimu Kyoku di
Kotabaru (bekas gedung Seminari Tinggi) yang
merupakan kantor pusat pemerintahan Jepang di
Yogyakarta
(Suwarno,
1994
:
177).
Pengambilalihan ini pun berlangsung dengan
baik tanpa menimbulkan korban jiwa.
Pengambilalihan kekuasaan ini berakhir sekitar
pukul 20.00 WIB. Mereka berhasil merebut
beberapa pabrik dan kantor yang sudah menjadi
milik Indonesia. Perusahaan-perusahaan yang
telah direbut antara lain adalah pusat Nanyo
Kohatsu, Jawatan Kehutanan, Daiken Sangyo,
Pabrik-pabrik gula di wilayah Bantul seperti
Padokan, Gesikan, Pundong, Gondanglipuro,
Pleret. Pabrik gula yang berhasil direbut di
wilayah Sleman adalah pabrik gula Tanjung
Tirto, Salakan, Beran, Cebongan, Rewulu, dan
Medari. Serta satu pabrik gula yang berada di
Kulon Progo yang berhasil dikuasai yakni
pabrik gula Sewugalur (Darto, 1990 : 17).
Usaha-usaha pelucutan senjata dan perebutan
kembali senjata serta perkantoran yang dimiliki
oleh tentara Jepang di Yogyakarta telah berhasil
dilakukan, tetapi di Yogyakarta masih terdapat
satu pusat markas tentara inti Jepang yaitu Mase
Butai yang berada di Kotabaru (Darto, 1990 :
44). Markas Jepang di Kotabaru ini mendapat
pengawalan yang ekstra ketat dari tentara
Jepang mengingat
pentingnya markas ini
karena menjadi pusat kekuatan tentara Jepang
di Yogyakarta. Dipihak BKR di Yogyakarta,
markas Mase butai ini harus segera dikuasai

dan dilucuti semua persenjataan yang ada di
dalamnya.
Perundingan antara utusan tentara Indonesia
yang terdiri dari Moh. Saleh, R.P Soedarsono,
Bardosono, dan Sunjoto semuanya bertemu
dengan pimpinan tentara Jepang di Kotabaru
yang terdiri dari Budanco (Komandan Regu)
Mayor Otsuka, Kem Pei Taico (Komandan
Kempetai) Sasaki, yang bertempat di rumah
Budanco Mayor Otsuka di Kotabaru. Dalam
perundingan tersebut R.P Soedarsono meminta
agar Mayor Otsuka menyerahkan senjata
pasukannya
kepihak
Indonesia,
namun
perundingan tersebut berakhir dengan jalan
buntu sehingga pimpinan BKR memutuskan
bahwa pelucutan senjata tentara Jepang harus
dilakukan melalui kekerasan (Marsudi, 1985 :
53).
Terhentinya perundingan ini ditandai pula
dengan penghinaan yang dilakukan Jepang
terhadap
tentara
Indonesia.
Jepang
memerintahkan satu regu Polisi Istimewa untuk
masuk ke dalam gudang senjata Jepang dengan
membawa truk yang digunakan sebagai
pengangkut penyerahan senjata Jepang. Ketika
satu regu Polisi Istimewa tersebut memasuki
markas Kido Butai mereka hanya diberikan 5
pucuk senjata jenis karaben dan Mayor Otsuka
ketika itu tidak dapat menerima tuntutan untuk
menyerahkan senjata Jepang pada saat itu. Akan
tetapi ia berjanji akan menyanggupi penyerahan
senjata tentara Jepang pada keesokan harinya
pada pukul 10.00 setelah mendapat ijin dari
Jenderal Nakamura di Magelang (Marsudi,
1985 : 54).
Perundingan yang menemui jalan buntu dan
penghinaan yang dilakukan tentara Jepang
kepada tentara Indonesia mendapat tanggapan
dari semua tentara dan rakyat yang sudah siap
siaga disekitar markas tersebut. Polisi Istimewa,
BKR, dan rakyat sudah siap bertempur di
bawah pimpinan Umar Slamet yang menjabat
sebagai ketua BKR. Kekuatan tentara Jepang
yang ada di Kotabaru berjumlah sekitar 360
orang yang terlatih serta dibekali dengan senjata
yang lengkap. Sekitar pukul 04.00 terdengar
letusan granat yang menandai bahwa aliran
listrik pagar berduri yang berada di sekeliling
markas Jepang sudah dipadamkan. Semua
lapisan rakyat dan tentara yang sudah siap siaga
sejak sore bergerak menuju markas Jepang.
Mereka mendapat perlawanan yang sengit dari
tentara Jepang. Pasukan rakyat yang memiliki
semangat pantang menyerah terus masuk
kedalam markas yang menyebabkan terjadinya
pertempuran jarak dekat dengan tentara Jepang
dan berlangsung sampai siang hari (Suwarno,
1994 : 181).

Budanco tentara Jepang yang bermarkas di
Pingit datang ke Kotabaru dan menyerahkan
senjatanya kepada tentara Jepang dengan syarat
anak buahnya tidak diganggu. Selanjutnya
tentara Indonesia meminta agar Budanco Pingit
menasehati Mayor Otsuka agar mengikuti
jejaknya menyerahkan senjata. Mayor Otsuka
tetap bersikukuh untuk tidak menyerahkan
senjata-senjata tersebut. R.P Soedarsono dan
Moh. Saleh kemudian memasuki markas Jepang
dan menanyakan kepada Mayor Otsuka akan
penyerahan senjata. Akhirnya Mayor Otsuka
menyerahkan
senjata
tersebut
kepada
Yogyakarta Koo. Sekitar pukul 11.00 siang
pasukan Jepang menyerah dan menghentikan
pertempuran (Suwarno, 1994 : 181).
Setelah pertempuran berakhir, tentara dan
rakyat bergerak masuk ke markas Jepang dan
mengambil semua senjata yang ada di dalam
markas tersebut. Satu truk sudah siaga
menunggu serta memberikan pengumuman agar
senjata api diserahkan dan dimasukkan kedalam
truk untuk dikumpulkan oleh BKR. Akan tetapi
ada
saja
yang
tidak
mengindahkan
pengumuman tersebut dan membawa pulang
senjata yang berhasil mereka rampas (Suwarno,
1994 : 182).
Pertempuran di Kotabaru membawa korban di
pihak Jepang 9 orang gugur dan kurang lebih
dua puluh orang luka-luka. Sedangkan di pihak
Indonesia korban jiwa akibat pertempuran
Kotabaru ini berjumlah 21 orang gugur dan 32
orang luka-luka. Mereka yang gugur
disemayamkan di Gedung Nasional (bekas
Cokan Kantai) dan pada pukul 16.00 17 orang
dimakamkan di Semaki (Taman Makam
Pahlawan Yogyakarta), 3 orang di makamkan di
Kauman, dan satu lagi di makamkan di makam
keluarga Glagah Yogyakarta (Suwarno, 1994 :
182).
Semua tawanan tentara Jepang dikumpulkan di
lapangan tangsi Kotabaru tanpa senjata.
Kemudian tentara Jepang dibariskan dan
berjalan melalui Malioboro menuju penjara
Wirogunan. Sebanyak 1300 tentara Jepang
ditawan oleh Polisi Istimewa di penjara
Wirogunan (Nurhajarini, 2012 : 68).
Berakhirnya pertempuran di Kotabaru berarti
berakhirnya kekuasaan Jepang di Yogyakarta.
Pemerintah Jepang menjadi tidak berdaya
menghadapi semangat dan tekad rakyat yang
telah menyerbu markas militer mereka.
Sebaliknya dipihak rakyat Yogyakarta akhir
pertempuran ini menegaskan kalau mereka
mempunyai tugas dan kewajiban untuk menjaga
dan mempertahankan kemerdekaan yang
mereka raih dari ancaman-ancaman musuh.
Mereka juga mengkonsolidasikan diri dan

masing-masing

Paduka Tuan selamat sejahtera seterusnya.”
(Nasution, 1993 : 103).

Pertempuran Kotabaru membuat Jepang tidak
lagi memiliki kuasa di Yogyakarta. Pada
tanggal 10 Oktober 1945 tentara Sekutu yang
membawa pasukan Belanda yang terdiri dari
KNIL ( Koninklijk Nederlands Indisch Leger)
dan NICA (Nederlands Indies Civiel
Administration)
mendarat
di
Jakarta.
Kedatangan pasukan Belanda yang masuk
kedalam tentara Sekutu tersebut didasarkan
karena keinginan Belanda untuk kembali
menguasai Indonesia. Keinginan tersebut
tercermin dalam Perdana Menteri Belanda
Willem Schermerhorn sebagai berikut :

Insiden-insiden yang terjadi di Jakarta
menyebabkan satu pemikiran Ibukota harus
segera di pindahkan ke Yogyakarta. Hal
tersebut dibahas dalam rapat antara Presiden
dan Menteri di Jakarta. Yogyakarta dipilih
menjadi Ibukota RI sementara karena beberapa
pertimbangan-pertimbangan
yang
telah
dipikirkan. Paling tidak ada tujuh alasan yang
menjadi pertimbangan tersebut, antara lain
adalah :

mempergiat
penjagaan
(Suratmin, 1983 : 231).

“Kalau tali yang mengikat Belanda dengan
Indonesia diputuskan akan ada pengurangan
secara permanen dalam penghasilan nasional
negeri Belanda, yang akan mengakibatkan
bahwa negeri Belanda akan jatuh miskin”
(Reid, 1999 : 69).

1.

2.

3.
Keinginan untuk menguasai Indonesia segera
dilakukan. Kedatangan tentara KNIL di Jakarta
menimbulkan kekacauan bahkan mengancam
pemimpin-pemimpin Indonesia di Jakarta.
Dengan mengendarai Jeep dan trucknya tentara
KNIL menembaki mobil pemimpin-pemimpin
Indonesia pada saat berpapasan di jalan
(Pramoedya Ananta Toer : 1999 : 69). Salah
satu contoh ancaman pasukan KNIL adalah
pada tanggal 19 Desember 1945 pukul 12.30.
Satu truk KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch
Leger) yang berisi 5 serdadu Belanda
menembaki mobil Perdana Menteri Sutan
Syahrir yang sedang melaju di daerah Menteng.
Dalam insiden ini Perdana Menteri Sutan
Syahrir berhasil menyelamatkan diri. Insiden
berikutnya terjadi ketika mobil Menteri
Penerangan dan Keamanan Amir Sjarifudin
yang berniat mengunjungi Presiden Soekarno di
Pegangsaan Timur No. 17 (Nasution, 1993 :
180).
Berita mengenai insiden yang dilakukan
terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan
Menteri Penerangan dan Keamanan Amir
Sjarifudin sampai juga ke Yogyakarta. Sultan
Hamengku Buwono IX sangat prihatin akan
insiden tersebut dan Sultan mengirimkan
ucapan selamat dan ikut senang dengan
lolosnya kedua pemimpin negara tersebut dari
maut sebagai berikut.
“Paduka Perdana Menteri Sutan Syahrir Jakarta.
Berhubung dengan terhindarnya Paduka Tuan
dari
bahaya
yang mengancam,
kami
menghaturkan turut bersenang dan mendoakan

4.

5.

6.

7.

Tawaran dari Sri Sultan Hamengku
Buwono IX yang diketahui memiliki
wibawa yang besar dan kesetiaan yang
tinggi terhadap RI.
Yogyakarta merupakan daerah yang
secara organisasi dan proses demokratisasi
pemerintahan paling maju dibandingkan
dengan daerah-daerah lain di seluruh
wilayah RI.
Stabilitas sosialnya dan letaknya yang
berada di tengah-tengah Pulau Jawa.
Yogyakarta terletak di Jawa Tengah
bagian Selatan yang jauh dari jangkauan
musuh.
Letaknya sangat strategis, sehingga
hubungan Yogyakarta ke segala penjuru
cukup mudah, baik lewat transportasi
darat maupun udara. Disamping itu juga
sarana komunikasi memadai (radio dan
telegram).
Keberadaan markas besar Tentara
Keamanan Rakyat dengan Jenderal
Soedirman sebagai panglimanya dan
Jenderal Oerip Soemohardjo sebagai
Kepala Staff Umum TKR. Selain kedua
hal tersebut di Yogyakarta juga terdapat
markas berbagai kesatuan bersenjata.
Diantaranya Laskar Rakyat Mataram
pimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX.
Suasana Yogyakarta yang revolusioner
dan Republiken (Wijayanto, 2011 : 44).

Setelah semua dirasa siap untuk memindahkan
Ibu Kota Republik Indonesia ke Yogyakarta
proses keberangkatan dimulai ketika sederetan
gerbong kereta yang kosong perlahan-lahan
bergerak tanpa menimbulkan perhartian dari
patroli pasukan Belanda. Kereta tersebut
ditarik oleh lokomotif dari stasiun Manggarai
menuju rel Pegangsaaan Timur. Sebuah
gerbong dipisah secara sengaja untuk membuat
pengalihan. Gerbong tersebut ditempati oleh
Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarga
selain itu pemimpin-pemimpin pemerintah
yang ada di Jakarta pun ikut di dalam
rombongan (Wijayanto, 2011 : 46).

Pada tanggal 4 Juni 1946 sekitar pukul 19.00
rombongan yang terdiri dari Soekarno, Hatta,
Mr. Amir Sjarifuddin (Menteri Penerangan dan
Kemanan Rakyat), I Wangsa Widjaja
(Sekertaris
Wakil
Presiden),
Gaffar
Pringgodigdo SH (Sekertaris Negara). Dikawal
tiga belas orang polisi pilihan yang terdiri dari
Sukasah, Winarso, Supandi, Mangil, Rasmad,
Didi Kardi, Ramelan, Oding Suhendar,
Suhardjo, Sukanda, Sudio, Karnadi, dan
Muhammad
Toha
berangkat
menuju
Yogyakarta dengan menggunakan kereta KLB
(Kereta Luar Biasa). Sekitar pukul 10.00 pagi
rombongan sampai stasiun Tugu dengan
selamat dan sudah ditunggu oleh Sultan
Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam
VII.
Pemindahan Ibu Kota Republik Indonesia
untuk pertama kalinya disampaikan oleh
Presiden Soekarno di Yogyakarta pada
tanggal 6 Januari 1946 yang dimuat dalam
harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta sebagai
berikut.
“Saudara-saudara pendengar sekalian lebih
dulu saya menyampaikan kepada saudarasaudara sekalian di seluruh Indonesia – dari
ujung Utara Aceh sampai ke ujung Timur
kepulauan kita. Salam nasional yang keluar
dari hati yang cinta merdeka. Saudara-saudara
sejak kemarin saya dan saudara Hatta berada
di Kota Yogyakarta, sebabnya saudara telah
mengetahui
dari
saudara
Mr.
Ali
Sastroamidjoyo dari Kementrian Penerangan
telah memberitahukan hal itu kepada saudara”
(Kedaulatan Rakyat, 6/6/1946)
Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia ke
Yogyakarta pada tanggal 4 Januari 1946
membawa permasalahan tempat tinggal bagi
para pemimpin dan keluarganya. Perpindahan
tersebut diikuti sekitar 50.000 orang ke
Yogyakarta. Berbagai golongan penduduk
datang dan menetap di Yogyakarta. Pusat kota
Republik di Yogyakarta membuat Sultan
memaksimalkan gedung-gedung yang ada
untuk dijadikan kantor-kantor pemerintahan
RI dan rumah pejabat pemerintah. Untuk
memaksimalkan
jalannya
pemerintahan
Republik Indonesia di Yogyakarta. Sultan
menjadikan
Kotabaru
dan
bangunanbangunan sepanjang Jalan Malioboro sebagai
kantor pemerintahan dan pemukiman.
Beberapa gedung di Kotabaru yang dijadikan
tempat tinggal dan kantor pemerintahan
adalah gedung kantor Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota yang berada di Jalan Suroto

11 dimanfaatkan sebagai tempat tinggal
Letjen Urip Sumoharjo. Kemudian bangunan
SMA 3 di Jalan Yos Sudarso No.7
dimanfaatkan sebagai tempat berkumpulnya
atau markas para pelajar pejuang yang
tergabung dalam Tentara Pelajar (TP).
Selanjutnya bangunan SMA BOPKRI I di
Jalan Wardani No.2 yang
dimanfaatkan
sebagai tempat mendidik para kadet Militer
Akademi yang pertama. Bangunan SMP
Negeri 5 di Jalan Wardani 1 sebagai asrama
Militer Akademi.
Gedung Arsip dan Perpustakaan Daerah
Propinsi DIY di Jalan Faridan M Noto 21
dimanfaatkan sebagai Kantor Kementrian
Luar Negeri (Trisatya, 2011 : 130). Selain itu
ada juga gedung Jiwasraya di Jalan Faridan M
Noto
dipergunakan
sebagai
tempat
perundingan antara para petinggi tentara
Jepang dengan pimpinan pejuang Indonesia
sebelum pecahnya Pertempuran Kotabaru.
Bangunan Seminari Tinggi di Jalan Achmad
Jazuli dan bangunan Kolese Santo Ignatius di
Jalan Abu Bakar Ali No.1 dimanfaatkan
sebagai kantor Kementrian Pertahanan
(Trisatya, 2011 : 131).
Dalam hal pemukiman Kotabaru berubah
menjadi perumahan yang berbeda. Kehadiran
pejabat-pejabat
pemerintahan
Republik,
petinggi-petinggi TNI, mantan Bupati, dokterdokter yang pindah dari luar Yogyakarta dan
guru-guru menjadikan Kotabaru sebagai
sebuah perumahan elit baru. Kotabaru
mengalami perubahan yang sangat signifikan.
Dari sebuah tempat tinggal yang dikhususkan
untuk penduduk Eropa di Yogyakarta menjadi
sebuah perumahan elit pribumi di Yogyakarta.
Dengan beberapa kali perubahan fungsi
Kotabaru
memberikan
dampak
yang
signifikan terhadap penduduk kampung
sekitarnya. Kotabaru awalnya adalah sebuah
permukiman penduduk Eropa yang pada masa
kini biasa disebut dengan Gated Communities,
sebuah hunian yang mampu berdiri sendiri
tanpa perlu hubungan dengan bagian kota
lainnya.
Kotabaru
dibangun
sebagai
pemisahan diri warga kulit putih dengan
penduduk pribumi. Pemisahan diri tersebut
terjadi setelah van Gorkom dan Tielma
menyuarakan tentang bahaya penyakit tropis
yang disebabkan oleh penduduk pribumi
terhadap kesehatan warga kulit putih. Untuk
itu Kotabaru merupakan kota yang ekslusif.
Permukiman Kotabaru yang ditempati oleh
pejabat pemerintahan Belanda dan pemilik
perkebunan secara tidak langsung dijaga oleh
polisi
dan
serdadu
militer
untuk

keamanannya. Sebagai sebuah huniah ekslusif
kulit putih yang dilengkapi fasilitas sangat
baik dan lengkap wajar saja Kotabaru menjadi
sebuah kota yang terpisah dan tidak
membutuhkan bantuan dari wilayah lain
diluar Kotabaru. Ketergantungan dengan
kampung sekitar Kotabaru hanya sebatas
kebutuhan akan buruh rumah tangga, jongos,
babu, supir dan tukang kebun. Hal itu pun
sangat dibatasi dan diseleksi mengingat
mereka menganggap pribumi yang berada
diluar kawasan Kotabaru membawa penyakit
karena pemukiman mereka yang tidak steril.
Disekitar Kotabaru Yogyakarta terdapat
beberapa kampung yang berkembang
mengikuti perkembangan Kotabaru itu
sendiri. Kampung-kampung yang ada
disekitar
Kotabaru
diakibatkan
oleh
pertambahan penduduk alamiah Yogyakarta.
Selain itu kehadiran Kotabaru itu sendiri dapat
dilihat juga sebagai hadirnya kampungkampung yang ada disekitarnya (Faqih :2008 :
15). Ada dua kampung yang berdekatan
dengan Kotabaru. Kampung ini berada
disebelah Barat Kotabaru yang bersebrangan
langsung dengan kali Code.
Gondolayu dan kampung Code adalah dua
kampung yang secara langsung berbatasan
dengan Kotabaru di Sebelah baratnya.
Berbeda dengan Gondolayu yang merupakan
kampung sejak jaman kolonial. Kampung
Code baru muncul setelah pasca kolonial. Di
seberang kampung Gondolayu terdapat
kampung Terban yang sudah ada sejak jaman
kolonial. Di bagian Selatan pemukiman
Kotabaru
terdapat
kampung
Krasak
disekitarnya (Faqih, 2008 : 15).
Tertutupnya kawasan Kotabaru dari kawasan
sekitarnya membuat penduduk kampung di
sekitar Kotabaru takut untuk memasuki
kawasan ini. Penduduk kampung takut karena
kawasan Kotabaru hampir semua ditempati
oleh orang Belanda dengan peliharaan anjinganjingnya yang galak (Faqih, 2008 : 16).
Hanya beberapa penduduk saja yang berani
masuk ke dalam Kotabaru. Mereka biasanya
sengaja dipanggil oleh penduduk Belanda di
Kotabaru untuk menjadi pembantu, tukang
kebun, supir dan lainnya. Selain itu beberapa
penduduk kampung yang biasa disebut
dengan opas. Tugas dari opas tersebut adalah
mengantarkan barang-barang pesanan dari
luar Kotabaru. Barang-barang yang diantarkan
biasanya untuk keperluan sehari-hari seperti
roti, sayur mayur dan kebutuhan lainnya
(Faqih, 2008 : 17).

Keterikatan hubungan yang terjadi antara
penduduk kampung dengan penghuni
Kotabaru pada masa kolonialisme Belanda
tersebut hanya sebatas hubungan kebutuhan
akan jasa bagi keberlangsungan hidup
penghuni Kotabaru sebagai daerah mandiri
yang terpisah dengan kampung sekitarnya.
Banyak keluarga di Kotabaru mengirim
pakaian suami mereka untuk dicuci oleh
penduduk kampung. Mendapatkan jasa
pembantu dan kebun dari kampung
sekitarnya. Menggunakan supir-supir dari
orang kampung dan mendapatkan kebutuhan
sehari-hari mereka dari opas-opas yang
berasal dari kampung sekitarnya (Faqih, 2008
: 21).
Pada
tahun
1942
ketika
Belanda
meninggalkan Kotabaru. Penduduk disekitar
wilayah Kotabaru banyak yang masuk ke
dalam Kotabaru. Mereka melihat-lihat rumahrumah yang ditinggalkan oleh penghuni
Belanda. Perubahan komposisi penghuni
Kotabaru pun berubah. Tidak ada lagi
penghuni kulit putih yang mendominasi
Kotabaru. Tentara Militer Jepang dan
penduduk sekitar Kotabaru yang mampu
membayar sewa kepada kesultanan menjadi
penghuni baru Kotabaru menggantikan orang
Belanda.
Perpindahan Ibukota Republik Indonesia ke
Yogyakarta pada tahun 1946 membuat
Kotabaru menjadi perumahan elit pribumi.
Kotabaru dihuni oleh pejabat penting
pemerintahan, petinggi-petinggi TNI, mantan
Bupati,
dokter-dokter
dan
guru-guru
menempati rumah-rumah di Kotabaru.
Kotabaru mengalami perubahan yang besar.
Perubahan dari sebuah tempat tinggal yang
mayoritas “kulit putih” ciptaan kolonial
Belanda menjadi perumahan yang dihuni oleh
masyarakat Indonesia.
Perpindahan orang-orang Belanda dari
Kotabaru
secara
tidak
langsung
mengakibatkan
terjadinya
perubahan
hubungan-hubungan
yang
selama
ini
dibangun antara penghuni Belanda dengan
penduduk kampung. Banyak penduduk
kampung yang berpindah pekerjaan dari
penyedia jasa untuk penghuni Kotabaru
menjadi pekerjaan di bidang informal.
Pekerjaan yang tersedia adalah pedagang dan
tentara. Kebutuhan akan tentara didasarkan
terjadinya peralihan dari proklamasi ke agresi
militer Belanda. Memburuknya perekonomian
Indonesia karena negara yang belum stabil
dalam membangun sebuah perekonomian.
Menjadi penyebab utama berpindahnya

pekerjaan penduduk kampung (Faqih, 2008 :
33).
Masyarakat Yogyakarta yang menjadi
penghuni Kotabaru pada umumnya berasal
dari golongan menengah ke atas. Seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya kehadiran pejabat
pemerintahan
dan
orang-orang
yang
mempunyai keahlian dalam bidang tertentu
sengaja memilih Kotabaru untuk dijadikan
tempat tinggalnya. Dalam kehidupan seharihari, mereka juga membutuhkan penduduk
kampung untuk membantu mereka dalam
pekerjaan rumah. Tidak sedikit juga penduduk
kampung sekitar Kotabaru yang menjadi
pembantu dan tinggal di rumah majikannya.
Hubungan antara penduduk kampung dan
penghuni Kotabaru mengalami perubahan
yang sangat signifikan. Hubungan antara
penduduk kampung dan penghuni Belanda di
Kotabaru merupakan sebuah hubungan yang
formal. Sedangkan hubungan yang terjadi
antara penduduk kampung dengan penguni
pribumi bersifat tradisional (Faqih, 2008 : 34).
Hubungan formal yang terjadi disini adalah
penempatan penduduk kampung dalam
pekerjaan dibidang jasa. Selain bekerja
penduduk kampung tidak terlibat komunikasi
ataupun hubungan lainnya. Sedangkan
hubungan yang terjadi antara penduduk
kampung dengan penduduk pribumi di
Kotabaru bergeser menjadi hubungan
tradisional. Mereka tidak hanya berbaur
sebagai sebuah majikan dan pembantu. Tetapi
berbaur dan memiliki hubungan sosial
masyarakat seperti halnya masyarakat lainnya
di Indonesia.
Pekerjaan yang tersedia untuk penduduk
kampung tidak hanya sebagai tukang kebun,
pembantu, supir dan pemasok kebutuhan
sehari-hari.
Pekerjaan
mereka
adalah
pekerjaan yang susah dilakukan oleh
penghuni pribumi yang merupakan kelas
menengah ke atas. Seperti guru ngaji, dan
pekerjaan tradisional lainnya seperti ronda
dan gotong royong.
Kesibukan penduduk pribumi kelas menengah
Kotabaru menyebabkan adanya kesulitan
dalam menemukan orang-orang yang dapat
memenuhi fungsi tradisional tersebut.
Penduduk kampung di sekitar Kotabaru lah
yang dapat memenuhi peran tradisional
tersebut. Sehingga hubungan yang terjadi
antara penduduk kampung dan penghuni
Kotabaru tetap terjaga dengan baik.

Selain dampak hubungan yang berubah antara
penghuni Kotabaru dengan penduduk
kampung sekitarnya tindak kriminalitas sering
terjadi di wilayah Kotabaru. Perpindahan
penduduk yang terjadi di Yogyakarta berasal
dari stratifikasi sosial yang bermacam-macam.
Statifikasi sosial yang terdiri dari pejabat,
pegawai pemerintah, orang kaya, rakyat.
Selain itu Yogyakarta kedatangan orang-orang
yang tidak mampu seperti gelandangan,
pengemis dan lainnya yang berasal dari
penduduk setempat dan pendatang (Dito
Wijayanto : 2011 : 86).
Semakin banyaknya pendatang dari daerah
lain ke Yogyakarta, dan ditambah lagi dengan
keadaan negara yang tidak stabil dalam
perekonomian
menjadikan
kriminalitas
berkembang di Yogyakarta. Harapan untuk
mendapatkan hidup yang lebih baik ternyata
semakin sulit yang menyebabkan mereka
mengambil jalan pintas untuk bisa
mempertahankan hidupnya.
Kriminalitas berkembang di Yogyakarta. Aksi
pencopetan, pencurian, perampokan dan
kriminalitas lainnya semakin sering terjadi di
Yogyakarta.
Contohnya
adalah
aksi
pencopetan yang berisi uang dan surat-surat
penting lainnya. Pencopetan pada tanggal 17
Februari 1946 ini terjadi di sekitar daerah
stasiun Lempuyangan.
Kriminalitas pun tejadi di wilayah Kotabaru.
Praktek prostitusi, pencopetan, perampokan
dan lainnya banyak terjadi di Kotabaru.
Prostitusi banyak berkembang di sekitar Jalan
Code dekat Kotabaru. Jalan-jalan sekitar
Kotabaru yang gelap menjadikannya tempat
yang rawan kejahatan. Pada tanggal 17
Februari 1946 telah terjadi pencurian sepeda
perempuan dengan merek Raleigh yang
memiliki nomor seri AC 68654. Sebuah
sepeda yang lengkap dengan verseneling
tersebut hilang di Gereja Katholik Kotabaru.
Kriminalitas yang terjadi di sekitar wilayah
Kotabaru ini disebabkan tidak adanya
pengamanan yang ketat. Pengamanan yang
sering dilakukan oleh penjaga-penjaga rumah
yang dihuni oleh penduduk Belanda di
Kotabaru. Penjaga-penjaga yang setiap malam
berputar mengelilingi setiap sudut wilayah
Kotabaru. Anjing-anjing milik penduduk
Belanda yang biasanya ikut menjaga
keamanan di Kotabaru sudah tidak ada yang
berakibat semakin merajalelanya kriminalitas
di Kotabaru.

4. Kesimpulan
Kotabaru adalah sebuah pemukiman yang
dibangun berdasarkan politik segregasi
kolonial Belanda. Thomas Karsten arsitektur
asal Belanda menjadikan kawasan kotabaru
terbebas dari pengaruh luar. Hal ini bisa
dipahami mengingat ketakutan akan penduduk
Eropa akan bahaya penyakit tropis yang
banyak diderita oleh penduduk pribumi.
Kedatangan
Jepang
sedikit
banyak
memberikan pengaruh terhadap keadaan
Kotabaru Yogyakarta. Jepang menjadikan
Kotabaru sebagai sebuah kawasan yang
memiliki tiga fungsi sekaligus, yakni markas
militer, pemukiman penduduk pribumi dan
sebagai tempat tinggal pejabat militer Jepang.
Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia ke
Yogyakarta pada tahun 1946 membawa
pengaruh yang cukup besar. Kotabaru dan
bebera