Makalah Psikologi Pendidikan 1 LUPA TRAN

PRESTASI, LUPA, KEJENUHAN, TRANSFER DAN KESULITAN BELAJAR
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah Psikologi Pendidikan
Makalah ini dibuat pada tanggal 30 November 2014
dan dipresentasikan tanggal 5 November 2014
Mata Kuliah Psikologi Pendidikan
Dosen : Dra.Hj.Ulfiah,M.Si
Di susun oleh :
Deden Rumdani (1136000027 )
Desi Sumanti (1136000031)
Gania Khoerunnisa Kosasih (1136000054)
Irma Maesaroh (1136000065)
Yetti Alfiyani (1136000164)
Kelas D

Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
2014 M / 1436 H

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut Atkinson, psikologi adalah ilmu yang mempelajari proses mental dan
tingkah laku manusia. Psikologi didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang memahami
perilaku manusia, alasan dan cara melakukan sesuatu, dan memahami cara makhluk berpikir
dan berperasaan (Gleitman, 1986). Sementara pendidikan menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia ialah pengubahan sikap dan tata laku seseorang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Maka, psikologi pendidikan adalah
subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan seperti
prinsip-prinsip belajar, pengembangan dan pembaruan kurikulum, ujian dan evaluasi bakat
dan kemampuan, sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut.
Dalam proses pembelajaran yang dilakukan oleh siswa mengalami suatu hambatan
seperti lupa materi pelajaran, mengalami kejenuhan dalam belajar dan sebagainya. Kesulitan
belajar yang dialami karena hambatan tersebut membuat resah para guru dan orang tua. Guru
senantiasa memberikan metode pembelajaran yang baik agar dapat dipahami namun, masih
saja kurang bisa memahami kesulitan siswa lebih lanjut. Maka, terdapat suatu teori yang
menjelaskan semua itu lebih rinci. Oleh karena itu, makalah ini berjudul “Prestasi, Lupa,
Kejenuhan, Transfer, dan Kesulitan Belajar”.
Adapun rumusan masalah makalah ini adalah :
1. Apakah yang dimaksud dengan evaluasi prestasi belajar siswa?
2. Bagaimanakah lupa dan kejenuhan belajar itu terjadi?
3. Bagaimanakah transfer dalam belajar?

4. Apa saja pemecahan masalah terhadap kesulitan belajar?

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Evaluasi Prestasi Belajar
Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang
telah ditetapkan dalam sebuah program. Padanan kata evaluasi adalah assessnment yang
menurut Tardif (1989) berarti proses penilaian untuk menggambarkan prestasi yang dicapai
seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Selain kata evaluasi dan
assessnment ada pula kata lain yang searti dan relatif lebih masyhur dalam dunia pendidikan
kita yakni tes, ujian, dan ulangan.
Assessnment menurut Petty (2004) mengukur keluasan dan kedalam belajar,
sedangkan evaluasi yang berarti mengungkapkan dan pengukuran hasil belajar yang pada
dasarnya merupakan proses penyusunan deskripsi siswa, baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
Berikut tujuan evaluasi adalah :
a) Untuk mengetahui tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu
kurun waktu proses belajar tertentu. Hal ini berarti dengan evaluasi guru dapat mengetahui
kemajuan perubahan tingkah laku siswa sebagai hasil proses belajar dan mengajar yang
melibatkan dirinya selaku pembimbing dan pembantu kegiatan belajar siswanya itu.

b) Untuk mengetahui posisi atau kedudukan seorang siswa dalam kelompok kelasnya.
Dengan demikian, hasil evaluasi itu dapat dijadikan guru sebagai penetap apakah siswa
tersebut termasuk kategori cepat, sedang, atau lambat dalam arti mutu kemampuan
belajarnya.
c) Untuk mengetahui tingkat usaha yang dilakukan siswa dalam belajar. Hal ini berart
dengan evaluasi, guru akan dapat mengetahui gambaran tingkat usaha siswa. Hasil yang baik

pada umumnya menunjukan tingkat usaha yang efisien, sedangkan hasil yang buruk adalah
cermin usaha yang tidak efisien.
d) Untuk mengetahui segala upaya siswa dalam mendayagunakan kapasitas kognitifnya
(kemampuan kecerdasan yang dimilikinya) untuk keperluan belajar. Jadi, hasil evaluasi itu
dapat dijadikan guru sebagai gambaran realisasi pemanfaatan kecerdasan siswa.
e) Untuk mengetahui tingkat daya guna dan hasil guna metode mengajar yang telah
digunakan guru dalam proses mengajar-belajar. Dengan demikian, apabila sebuah metode
yang digunakan guru tidak mendorong munculnya prestasi belajar siswa yang memuaskan,
guru sangat dianjurkan mengganti metode tersebut atau mengkombinasikannya dengan
metode lain yang serasi.
Berdasarkan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Pasal 58 (1) evaluasi hasil belajar peserta
didik dilakukan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik
secara berkesinambungan.

Sementara Fungsi Evaluasi yaitu : fungsi administratif untuk penyusunan daftar nilai dan
pengisisan buku rapor, fungsi promosi untuk menetapkan kenaikan atau kelulusan, fungsi
diagnostik untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa dan merencanakan program
remedial teaching (pengajaran perbaikan), Sumber data BK untuk memasok data siswa
tertentu yang memerlukan bimbingan dan konseling (BK), Bahan pertimbangan
pengembangan pada masa yang akan datang yang meliputi pengembangan kurikulum,
metode, dan alat-alat proses mengajar-belajar.
Terdapat beberapa ragam evaluasi yaitu :
a)

Pre-test dan Post-test

Kegiatan pretest dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi
baru. Tujuannya ialah untuk mengidentifikasi taraf pengetahuan siswa mengenai bahan yang
akan disajikan. Post test adalah kebalikan dari pretest, yakni kegiatan evaluasi yang dilakukan

guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf
penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan.
b)


Evaluasi Prasyarat

Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pretest. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi
pengusaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan.
c)

Evaluasi Diagnostik

Evaluasi ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan
mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa.
d)

Evaluasi Formatif

Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir
penyajian satuan pelajaran atau modul. Tujuannya ialah untuk memperoleh umpan balik yang
mirip dengan evaluasi diagnistik, yakni untuk mendiagnosis (mengetahui penyakit/kesulitan)
kesulitan belajar siswa.
e)


Evaluasi Sumatif

Ragam penilaian sumatif kurang lebih sama dengan ulangan umum yang dilakukan
untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan
program pengajaran.
f)

UAN/UN

Ujian Akhir Nasional atau Ujian Nasional pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif
dalam arti sebagai alat penentu kenaikan status siswa.
Berikut syarat Alat Evaluasi : langkah pertama yang perlu ditempuh guru dalam menilai
prestasi belajar siswa adalah menyusun alat evaluasi yang sesuai dengan kebutuhan, dalam
arti tidak menyimpang dari indikator dan jenis prestasi yang diharapkan. Prasyarat pokok
penyusunan alat evaluasi yang baik dalam presfektif psikologi belajar meliputi dua macam,
yakni : reliabilitas dan validitas.

Secara sederhana, reliabilitas berarti hal tahan uji atau dapat dipercaya. Sebuah alat
evaluasi dipandang reliabel atau tahan uji, apabila memiliki konsistensi atau keajegan hasil.
Validitas berarti keabsahan atau kebenaran. Sebuah alat evaluasi dipandang valid apabila

dapat mengukur apa yang seharusnya diukur.
Sementara ragam alat evaluasi yaitu :
a) Bentuk Objektif
Bentuk objektif atau tes objektif, yakni tes yang jawabannya dapat diberi skor nilai
secara lugas (seadanya) menurut pedoman yang ditentukan sebelumnya. Ada 5 macam tes
yang termasuk dalam evaluasi ragam objektif ini.
1)

Tes Benar – Salah

Soal-soal dalam tes ini berbentuk pernyataan yang pilihan jawabannya hanya dua
macam, yaitu ‘B’ jika benar, dan ‘S’ jika salah. Dalam dunia pendidikan modern, tes
semacam itu sudah lama ditinggalkan karena dua alasan : tes ‘B-S’ tidak menghargai
kreatifitas akal siswa karena mereka hanya didorong untuk memilih salah satu dari dua
alternatif jawaban, tes ‘B-S’ dalam beberapa segi tertentu dianggap sangat rendah tingkat
reliabilitasnya.
2)

Tes Pilihan Berganda


Item-item dalam tes pilihan berganda biasanya berupa pertanyaan atau pernyataan yang
dapat dijawab dengan memilih salah satu dari empat atau lima alternatif jawaban yang
mengiringi setiap soal. Pada zaman modern sekarang ini, dunia pendidikan khususnya di
Barat sudah mulai meninggalkan tes pilihan berganda kecuali untuk keperluan-keperluan di
luar pengukuran prestasi belajar. Alasan-alasan ditinggalnya jenis tes ini ialah : kurang
mendorong kreatifitas ranah cipta dan karsa siswa, karena ia hanya merasa disuruh
berspekulasi, yakni menebak dan menyilang secara untung-untungan, sering terdapat dua
jawaban (di antara empat atau lima alternatif) yang identik atau sangat mirip, sehingga

terkesan kurang diskriminatif, sering terdapat satu jawaban yang sangat mencolok
kebenarannya, sehingga jawaban-jawaban lainnya terlalu gampang untuk ditinggalkan.
3)

Tes Pencocokan (Menjodohkan)

Tes pencocokan disusun dalam dua daftar yang masing-masing memuat kata, istilah, atau
kalimat yang diletakkan bersebelahan.
4)

Tes Isian


Alat tes isian biasanya berbentuk cerita atau karangan pendek, yang pada bagian-bagian
yang memuat istilah atau nama tertentu dikosongkan.
5)

Tes Perlengkapan

Cara menyelesaikan tes melengkapi pada dasarnya sama dengan cara menyelesaikan tes
isian. Perbedaannya terletak pada kalimat-kalimat yang digunakan sebagai instrumen. Dalam
tes melengkapi kalimat-kalimat yang tersusun dalam bentuk karangan atau cerita pendek,
tetapi dalam bentuk kalimat-kalimat yang berdiri sendiri.
b) Bentuk Subjektif
Alat evaluasi yang berbentuk tes subjektif adalah alat pengukur prestasi belajar yang
jawabannya tidak ternilai dengan skor atau angka pasti, seperti yang digunakan untuk
evaluasi objektif. Hal ini disebabkan banyaknya ragam gaya jawaban yang diberikan oleh
para siswa. Instrumen evaluasi mengambil bentuk essay examination, yakni soal ujian
mengharuskan siswa menjawab setiap pertanyaan dengan cara menguraikan atau dalam
bentuk karangan bebas.
Adapun indikator prestasi belajar menurut Abin Syamsudin Makmur (2000: 26), dengan
mengutip pendapat Benjamin Bloom, indikator prestasi belajar mencakup tiga ranah, yaitu

ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotor. Ranah kognitif seperti pengamatan,
indikatornya adalah menunjukan, membandingkan, dan menghubungkan. Ranah afektif
seperti penerimaan, indikatornya adalah menunjukan sikap menerima dan menunjukan sikap

menolak. Ranah psikomotor seperti keterampilan bergerak dan bertindak indikatornya adalah
mengkoordinasikan gerak mata, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya.
Setelah mengetahui indikator prestasi belajar di atas, guru perlu pula mengetahui
bagaimana kiat menetapkan batas minimal keberhasilan belajar para siswanya. Keberhasilan
dalam arti luas berarti keberhasilan yang meliputi ranah cipta, rasa, dan karsa siswa.
Keberhasilan tidak hanya terikat oleh kiat penilaian yang bersifat kognitif, tetapi juga
memperhatikan kiat penilaian afektif dan psikomotor siswa.
Menetapkan batas minimum keberhasilan belajar siswa selalu berkaitan dengan upaya
pengungkapan hasil belajar. Ada beberapa alternatif norma pengukuran tingkat keberhasilan
siswa setelah mengikuti proses mengajar-belajar. Di antara norma-norma pengukuran
tersebut ialah : norma skala angka dari 0 sampai 10, dan norma skala angka dari 0 sampai
100.
Evaluasi prestasi terdiri dari evaluasi prestasi kognitif, afektif dan psikomotor.
Evaluasi prestasi kognitif yaitu mengukur keberhasilan siswa yang dari segi dimensi
kognitif (ranah cipta) dapat dilakukan dengan berbagai cara, baik dengan tes tertulis maupun
tes lisan dan perbuatan. Afektif (ranah rasa) yaitu jenis-jenis prestasi internalisasi dan

karakterisasi yang setidaknya mendapat perhatian khusus. Alasannya, karena kedua jenis
prestasi ranah rasa itulah yang lebih banyak mengendalikan sikap dan perbuatan siswa.
Sementara psikomotor merupakan cara yang dipandang tepat untuk mengevaluasi
keberhasilan belajar yang berdimensi ranah psikomotor (ranah karsa) adalah observasi.
Observasi, dalam hal ini, dapat diartikan sebagai sejenis tes mengenai peristiwa, tingkah laku,
atau fenomena lain, dengan pengamatan langsung.
2.2 Lupa Dalam Belajar
Lupa adalah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apaapa yang sebelumnya telah dipelajari. Secara sederhana, Gulo (1982) dan Reber (1988)

mendefinisikan lupa sebagai ketidakmampuan mengenal atau mengingat sesuatu yang pernah
dipelajari atau dialami. Dengan demikian, lupa bukanlah peristiwa hilangnya informasi dan
pengetahuan dari akal. Menurut Wittig (1981) peristiwa lupa yang dialami tak mungkin dapat
diukur secara langsung. Misalnya, jika anda meminta penjelasan kepada seorang siswa, Ali
misalnya mengenai materi pelajaran tertentu kemudian Ali menyebutkan hampir seluruh
bagian pelajaran tersebut. Maka, hal yang tak dapat ia katakan adalah hal yang mungkin
terlupakan olehnya.
A. Faktor penyebab lupa
Faktor pertama karena gangguan konflik antara item-item informasi atau materi yang
ada dalam sistem memori siswa. Ganguan konflik terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1) Proactive interference
Seorang siswa gangguan proaktif apabila materi pelajaran lama yang sudah tersimpan
dalam subsistem akal permanennya mengganggu masuknya materi pelajaran baru. .
peristiwa ini bisa terjadi apabila siswa tersebut mempelajari sebuah materi pelajaran
yang sangat mirip dengan materi pelajaran yang telah dikuasainya dalam tenggang
waktu yang pendek. Dalam hal ini, materi baru saja dipelajari akan sangat sulit diingat
atau diproduksi kembali.

2) Retroactive interference
Gangguan retroaktif yaitu apabila materi pelajaran baru membawa konflik dan
gangguan terhadap pemanggilan kembali materi pelajaran lama yang telah lebih dahulu
tersimpan dalam subsistem akan permanen siswa tersebut. Dalam hal ini, materi

pelajaran lama akan sulit diingat atau diproduksi kembali. Dengan kata lain, siswa
tersebut lupa akan materi pelajaran lama itu.
Faktor kedua, terjadi karena adanya tekanan terhadap item yang telah ada, baik sengaja
maupun tidak. Penekanan ini terjadi karena beberapa kemungkinan, yaitu :
a. karena item informasi (berupa pengetahuan, tanggapan, kesan dan sebagainya) yang
diterima siswa kurang menyenangkan, sehingga ia dengan sengaja menekannya
hingga ke alam ketidaksadaran.
b. Karena item informasi yang baru secara otomatis menekan item informasi yang telah
ada, jadi sama dengan informasi retroaktif.
c. Karena item informasi yang akan direproduksi (diingat kembali) itu tertekan ke alam
bawah sadar dengan sendirinya lantaran tidak pernah dipergunakan. Pendapat tersebut
didasarkan pada repression theory yaitu teori represi atau penekanan (Reber, 1998).
Istilah “alam ketidaksadaran dan “alam bawah sadar” merupakan gagasan Sigmund
Freud, bapak psikoanalisis yang banyak mendapat kritikan.
Ketiga, faktornya adalah perubahan situasi lingkungan antara waktu belajar dan waktu
mengingat kembali (Anderson, 1990). Jika seseorang mengenal atau mempelajari hewan
jerapah dari gambar-gambar yang ada di sekolah misalnya, kemungkinan ia lupa menyebut
nama hewan tadi ketika melihatnya di kebun binatang. Keempat, lupa terjadi karena sikap
dan minta siswa terhadap proses dan situasi belajar tertentu. Meskipun seorang siswa
mengikuti proses mengajar-belajar dengan tekun dan serius, tetapi karena suatu hal sikap dan
minat siswa tersebut menjadi sebaliknya (seperti ketidaksenangan kepada guru)maka materi
pelajaran itu akan mudah terlupakan. Kelima, menurut Law of disuse, lupa terjadi karena
materi pelajaran tidak pernah digunakan atau dihafalkan siswa. Menurut asumsi sebagian
ahli, materi yang diperlakukan demikian dengan sendirinya akan masuk ke alam bawah sadar
atau bercampur aduk dengan materi pelajaran baru. Keenam, lupa terjadi karena perubahan

urat syaraf otak. Misalnya, seorang siswa terkena penyakit tertentu seperti keracunan,
kecanduan alkohol dan gegar otak akan kehilangan ingatan atas informasi yang ada dalam
memori permanennya.
Penempuan baru menyimpulkan bahwa lupa dapat dialami seorang siswa apabila item
informasi yang ia serap rusak sebelum masuk ke memori permanennya. Item yang rusak
(delay) tidak hilang dan tetap diproses oleh sistem memori siswa tadi, tetapi terlalu lemah
untuk dipanggil kembali. Kerusakan item informasi tersebut mungkin disebabkan karena
tenggang waktu (delay) antara saat diserapnya item informasi dengan saat proses pengkodean
dan transformasi dalam memori jangka pendek siswa tersebut (Best, 1989 ; Anderson, 1990).
Menurut pandangan psikologi kognitif materi pelajaran yang terlupakan masih ada
dalam subsistem akal permanen siswa namun terlalu lemah untuk dipanggil atau diingat
kembali. Banyak siswa yang mengeluhkan “kehilangan ilmu” tetapi setelah relearning atau
mengikuti remedial teaching (pengajaran perbaikan) ternyata dapat menunjukkan kinerja
akademik yang lebih memuaskan daripada kinerja sebelumnya. Hal ini bermakna bahwa
relearning dan remedia teaching berfungsi memperbaiki atau menguatkan item-item
informasi yang rusak atau lemah dalam memori para siswa, sehingga berhasil mencapai
prestasi yang memuaskan.
B. Kiat mengurangi lupa dalam belajar
Menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990) adalah sebagai berikut :

1. Overlearning
Overlearning (belajar lebih) artinya upaya belajar yang melebihi batas penguasaan
dasar atas materi pelajaran tertentu. Overlearning terjadi apabila respons atau reaksi
muncul setelah siswa melakukan pembelajaran dengan cara di luar kebiasaan.

2. Extra study time adalah upaya penambahan waktu belajar atau frekuensi aktivitas
belajar. Misalnya jika penambahan waktu belajar maka siswa belajar dari satu jam
menjadi dua jam, sementara frekuensi aktivitas belajar yaitu siswa belajar dari satu
kali sehari menjadi dua kali sehari.
3. Mnemonic device adalah kiat khusus yang dijadikan “alat pengait” mental untuk
memasukkan informasi ke dalam sistem akal siswa. Misalnya nyanyian yang
berisikan kata-kata yang harus diingat pada anak TK, singkatan berupa huruf awal
misalnya MIMIN (Nabi Musa, Nabi Ibrahim, Nabi Muhammad, Nabi Isa dan Nabi
Nuh), system kata pasak digunakan untuk mengingat kata dan istilah yang memiliki
watak yang sama dan dibentuk berpasangan seperti panas-api, metode Losai yaitu
menggunakan tempat khusus dan terkenal sebagai penempatan kata dan istilah yang
harus diingat. Loci berasal dari kata locus yang artinya tempat. Misalnya : gedung
bundar untuk mengingat nama jaksa agung.
4. Pengelompokkan (clustering) adalah menata ulang item informasi menjadi kelompokkelompok kecil yang lebih logis dalam arti memiliki lafal yang sama. Misalnya
daftar-daftar item materi seperti :
a. Daftar I terdiri atas nama-nama Negara serumpun : Indonesia, Malaysia, Brunei
dan seterusnya
b. Daftar II terdiri atas singkatan-singkatan lembaga Negara : DPR, MPR, DPD,
DPRD.
c. Daftar III terdiri atas singkatan atas nama-nama badan internasional : WHO, ILO
dan sebagainya.
5. Latihan terbagi adalah latihan terkumpul maksudnya siswa membagi latihan dalam
alokasi waktu yang pendek dan dipisah-pisahkan di antara waktu istirahat. Upaya
tersebut menghindari siswa mempelajari terlalu banyak materi secara tergesa-gesa

dalam waktu yang singkat maka disarankan menggunakan metode yang sesuai dengan
hukum jost.
6. Pengaruh letak sambung yaitu siswa menyusun daftar kata-kata yang diawali dan
diakhiri dengan kata-kata yang harus diingat dan ditulis menggunakan huruf dan
warna yang mencolok agar melekat erat dalam subsistem akal permanen siswa.
Terdapat beberapa cara yang bias ditempuh guru agar murid tidak mudah melupakan
materi pelajaran :
a. Memberi motivasi kepada siswa

dengan menyadarkan mereka betapa

pentingnya pelajaran tersebut bagi masa depan.
b. Menunjukkan unsur-unsur pokok sebelum unsur-unsur penunjang dalam materi
pelajaran. Guru dianjurkan mendemonstrasikan dengan alat peraga atau memberi
tanda khusus yang tertulis pada papan tulis dengan warna yang berbeda.
c. Mengaitkan materi yang sebelumnya, materi yang baru dan materi yang
selanjutnya untuk memudahkan proses pengolahan materi bahasan dalam sistem
akal para siswa.
d. Menanyakan sesuatu tentang materi yang telah dibahas.
2.3 Kejenuhan Belajar
Secara harfiah arti kejenuhan ialah padat atau penuh sehingga tidak mampu lagi
memuat apapun. Selain itu, jenuh juga dapat berti jemu atau bosan. Dalam belajar, disamping
siswa sering mengalami kelupaan ia juga terkadang mengalami peristiwa negative lainnya
yang disebut jenuh belajar yang dalam bahasa psikologi lazim disebut learning plateau atau
plateau (baca: Pletou) saja. Peristiwa jenuh ini kalau dialami seorang siswa yang sedang
dalam proses belajar (kejenuhan belajar dapat membuat siswa tersebut merasa telah
memubajirkan usahanya.
Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi
tidak mendatangkan hasil (reber, 1988). Seorang siswa yang mengalami kejenuhan belajar
merasa seakan-akan pengetahuan dan kecakapan yang diperoleh dari belajar tidak ada

kemajuan. Tidak adanya kemajuan hasil belajar ini pada umumnya tidak berlangsung
selamanya, tetapi dalam rentang waktu tertentu saja, misalnya seminggu. Namun tidak sedikit
siswa yang mengalami rentang waktu yang membawa kejenuhan itu berkali-kali dalam satu
periode belajar tertentu.
Seorang siswa yang sedang dalam keadaan jenuh sistem akalnya tak dapat bekerja
sebagaimana yang diharapkan dalam memproses item-item informasi atau pengalaman baru,
sehingga kemajuan belajarnya seakan-akan “jalan ditempat”.kemajuan belajar seperti ini bila
digambarkan akan membentuk kurva yang tampak seperti ganris mendatar yang lazim
disebut palteau.
Kejenuhan belajar dapat melanda seorang siswa yang kehilangan motivasi dan
konsolidasi salah satu tingkat keterampilan tertentu sebelum sampai pada tingkat
keterampilan berikutnya.
Kejenuhan belajar dapat melanda siswa apabila siswa telah kehilangan motivasi dan
kehilangan konsolidasi salah satu tingkat ketrampilan tertentu sebelum sisswa tertentu sampai
pada keteampilan berikutnya (caplin, 1972). Selain itu, kejenuhan juga dapat terjadi karena
proses belajar siswa telah sampai pada batas kemampuan jasmanisahnya karena bosan
(boring) dan keletihan (fatigue) namun, penyebab kejenuhan yang paling umum adalah
keletihan yang melanda siswa, karena keletihan dapat menjadi penyebab munculnya perasaan
bosan pada siswa yang bersangkutan.
Menurut cross (1974) dalam bukunya the psychology of learning, keletihan siswa
dapat dikategorikan menjadi tiga macam yakni:
1. Keletihan indra siwa
2. Keletihan fisik siswa
3. Keletihan mental siwa.
Keletihan fisik dan keletihan indra dalam hal ini mata dan telinga pada umumnya dapat
dikurangi atau dihilangkan lebih mudah setelah siswa beristirahat cukup terutama tidur
nyenyak dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang cukup bergizi. Sebaliknya,
keletihan mental tak dapat diatasi dengan cara yang sesederhana cara mengatasi keletihan-

keletihan lainnya. Itulah sebabnya keletihan mental dipandang sebagai faktor utama
penyebab munculnya kejenuhan belajar.
Ada empat faktor penyebab keletihan mental siswa :
1. Karena kecemasan siswa terhadap dampak negative yang ditimbulkan oleh keletihan
itu sendiri.
2. Karena kecemasan siswa terhadap standar atau patokan keberhasilan bidang-bidang
studi tertentu yang dianggap terlalu tinggi terutama ketika siswa tersebut sedang
merasa bosan mempelajari bidang-bidang studi tadi.
3. Karena siswa berada ditengah-tengah situasi kompetitif yang ketat dan menuntut lebih
banyak kerja intelek yang berat.
4. Karena siswa mempercayai konsep kinerja akademik iang optimum, sedangkan dia
sendiri menilai belajarnya sendiri hanya berdasarkan ketentuan yang ia buat (selfimposed)
Kiat-kiat untuk mengatasi keletihan mental yang menyebabkan munculnya kejenuhan
belajar antara lain sebagai berikut :
1. Melalakukan istirahat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi
dengan takaran dan cukup banyak
2. Perubahan atau penjadwalan kembali jam-jam dari hari-hari belajar yang dianggap
lebih memungkinkan siswa belajar lebih giat.
3. Pengubahan atau penataan kembali lingkungan belajar siswa yang meliputi
pengubahan posisi meja tulis, lemari rakbuku, alat-alat perlengkapan belajar dan
sebagainya sampai memungkinkan siswa merasa berada disebuah kamar baru yang
lebih menyenangkan untuk belajar.
4. Memberikan motivasi dan stimulasi baru agar siswa merasa terdorong untuk belajar
lebih giat dari pada sebelumnya.
5. Siswa harus berbuat nyata (tidak menyerah atau tinggal diam) dengan cara mencoba
belajar dan belajar lagi.

2.4 Transfer Dalam Belajar
Istilah transfer belajar berasal dari bahasa inggris “transfer of learning” yangberarti :
pemindahan atau pengalihan hasil belajar yang diperoleh dalam bidang studi yang satu ke
bidang studi yang lain atau ke kehidupan sehari-hari diluar lingkup pendidikan sekolah.
Pemindahan atau pengalihan ini menunjuk pada kenyataan, bahwa hasil belajar yang
diperoleh, digunakan di suatu bidang atau situasi diluar lingkup bidang studi dimana hasil itu
mula-mula diperoleh. Misalnya, hasil belajar bidang studi geografi, digunakan dalam
mempelajari bidang studi ekonomi; hasil belajar dicabang olahraga main bola tangan,
digunakan dalam belajar main basket; hasil belajar dibidang fisika dan kimia, digunakan
dalam mengatur kehidupan sehari-hari. Hasil studi yang dipindahkan atau dialihkan itu dapat
berupa pengetahuan (informasi verbal), kemahiran intelektual, pengaturan kegiatan kognitif,
ketrampilan motorik dan sikap. Berkat pemindahan dan pengalihan hasil belajar itu,
seseorang memperoleh keuntungan atau mengalami hambatan dalam mempelajari sesuatu
dibidang studi yang lain.
Istilah Transfer belajar berarti pemindahan atau pengalihan hasil belajar dari
matapelajaran yang satu ke mata pelajaran yang lain atau dari kehidupan sehari-hari diluar
lingkungan sekolah. Adanya pemindahan atau pengalihan ini menunjukkan bahwa ada hasil
belajar yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam memahami materi
pelajaran yang lain. Hasil belajar yang diperoleh dan dapat dipindahkan tersebut, dapat
berupa pengetahuan,kemahiran intelektual, keterampilan motorik atau afektif .Sehubungan
dengan pentingnya transfer belajar maka guru dalam proses pembelajaran harus membekali si
belajar dengan kemampuan-kemampuan yang nantinya akan bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari.

Transfer dalam belajar ada yang bersifat positif dan ada yang negatif. Transfer belajar
disebut positif jika pengalaman-pengalaman atau kecakapan-kecakapan yang telah dipelajari
dapat diterapkan untuk mempelajari situasi yang baru, contoh ketampilan mengendarai
sepeda motor, akan mempermudah belajar mengendarai kendaraan bermotor roda empat.
Atau dengan kata lain, respon yang lama dapat memudahkan untuk menerima stimulus yang
baru. Disebut transfer negatif jika pengalaman atau kecakapan yang lama menghambat untuk
menerima pelajaran/kecakapan yang baru.
Menurut Theory of Identical Element yang dikembangkan oleh E.L Thorndike,
transfer positif biasanya terjadi bila ada kesamaan elemen antara materi yang lama dengan
materi yang baru. Contoh: seorang siswa yang telah menguasai matematika akan mudah
mempelajari statistika. Contoh lain yang lebih gambling ialah kepandaian mengendarai
sepeda membuat orang mudah belajar naik sepeda motor.
Muhibbin syah ( 1999 : 14 ) dengan mengutip pendapat Robert M.Gagne
mengemukakan empat macam tansfer belajar yaitu transfer Positif, transfer negatif, transfer
vertikal dan transfer lateral.
1.

Transfer Positif

Yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Misalnya
keterampilan mengendarai sepeda motor, akan mempermudah belajar mengendarai
kendaraan bermotor roda empat.
2.

Transfer Negatif

Transfer atau pemindahan berefek buruk yaitu mempersukar dan mempersulit dalam
kegiatan belajar selanjutnya. Misalnya keterampilan mengemudikan kendaraan bermotor
dalam arus lalu lintas yang bergerak disebelah kiri jalan, yang diperoleh seseorang selama

tinggal di Indonesia, akan menimbulkan kesulitan bagi orang itu bila ia pindah kesalah satu
Negara Eropa Barat, yang arus lalu lintasnya bergerak disebelah kanan jalan.
3.

Transfer Vertikal (tegak lurus)

Yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/keterampilan
yang lebih tinggi.
4.

Transfer Lateral (ke arah samping)

Yaitu transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/ keterampilan
sederajat.
Penjelasan lebih lanjut mengenai aneka ragam transfer baik dari Thorndike maupun
dari Robert M. Gagne tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ragam transfer belajar
a.

Transfer positif
Transfer yang berefek lebih baik terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Transfer

positif yakni belajar dalam situasi yang dapat membantu belajar dalam situasi-situasi lain.
“Memperoleh keuntungan’ berarti bahwa pemindahan atau pengalihan hasil belajar itu
berperanan positif, yaitu mempermudah dan menolong dalam menghadapi tugas belajar yang
lain dalam kurikulum di sekolah atau dalam mengatur kehidupan sehari-hari, transfer belajar
demikian tersebut disebut “transfer positif”.
Transfer positif dapat terjadi daam diri seorang siswa apabila guru membantu untuk
belajar dalam situasi tertentu yang mempermudah siswa tersebut belajar dalam situasi-situasi
lainnya. Dalam hal ini, transfer positif menurut Barlow (1985) adalah learning in one

situation helpful in other situations, yakni belajar dalam suatu situasi yang dapat membantu
dalam situasi-situasi lainnya.
b. Transfer Negatif
Transfer yang berefek buruk terhadap kegiatan belajar selanjutnya. Transfer negatif
dapat dialami seorang siswa apabila ia belajar dalam situasi tertentu yang memiliki pengaruh
merusak atau mengalami hambatan terhadap ketrampilan/pengetahuan yang dipelajari.
“Mengalami hambatan” berarti bahwa pemindahan atau pengalihan hasil belajar itu
berperanan negatif, yautu mempersukar dan mempersulit dalam menghadapi tugas belajar
yang lain dalam rangka kurikulum sekolah, atau dalam mengatur kehidupan sehari-hari,
transfer belajar yang demikian disebut “transfer negatif”.
Transfer negatif dapat dialami seorang siswa apabila ia belajar dalam situasi tertentu
yang memiliki pengaruh merusak terhadap keterampilan/pengetahuan yang dipelajari dalam
situasi-situasi lainnya. Pengertian ini diambil dari Educational Psychology: The TeachingLearning Process oleh Daniel Lenox Barlow (1985) yang menyatakan bahwa transfer negatif
itu berarti, learning in one situation has a damaging effect in other situations.
Individu yang sudah terbiasa mengetik dengan menggunakan dua jari, kalau belajar
mengetik dengan sepuluh jari akan lebih banyak mengalami kesukaran daripada orang yang
baru belajar mengetik. Artinya, ketrampilan yang sebelumnya sudah dimiliki menjadi
penghambat belajar ketrampilan lainnya.
Menghadapi kemungkinan terjadinya tranfer negatif itu, yang penting bagi guru
adalah menyadari dan sekaligus menghindari para siswanya dari situasi-situasi belajar
tertentu yang diduga keras berpengaruh negatif terhadap kegiatan belajar para siswa tersebut
pada masa yang akan datang.
c.

Transfer vertikal

Transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar/pengetahuan yang lebih tinggi.
Transfer vertikal (tegak lurus) dapat terjadi dalam diri seorang siswa apabila pelajaran yang
telah dipelajari dalam situasi tertentu membantu siswa tersebut dalam menguasai
pengetahuan/ketrampilan yang lebih tinggi atau rumit.
Misalnya, seorang ssiwa SD yang telah menguasai psrinsip penjumlahan dan
pengurangan pada waktu duduk di kelas II akan mudah mempelajari perkalian pada waktu
dia duduk di kelas III.
d.

Transfer lateral
Transfer yang berefek baik terhadap kegiatan belajar pengetahuan/ketrampilan

yang sederajat. Tranfer lateral (ke arah samping) dapat terjadi dalam diri seorang siswa
apabila ia mampu menggunakan materi yang telah dipelajarinya untuk mempelajari materi
yang sama kerumitannya dalam situasi-situasi yang lain. Dalam hal ini, perubahan waktu dan
tempat tidak mengurangi mutu hasil belajar siswa tersebut.

Misalnya, seorang lulusan STM yang telah menguasai tehknologi “X” dari
sekolahnya dapat menjalankan mesin tersebut di tempat kerjanya. Di samping itu juga
mampu

mengikuti

pelatihan

menggunakan

tekhnologi

mesin-mesin

lainnya

yang

mengandung elemen dan kerumitan kurang lebih sama dengan mesin “X” tadi.
2. Terjadinya transfer positif dalam belajar
Transfer positif, seperti yang telah diutarakan di muka, akan mudah mudah terjadi
pada diri seorang siswa apabila situasi beajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi
sehari-hari yang akan ditempati siswa tersebut kelak dalam mengapilkasikan pengetahuan
dan keterampilan yang telah ia peajari di sekolah. Transfer positif dalam pengertian seperti
inilah sebenarnya yang perlu diperhatikan guru, mengingat tujuan pendidikan secara umum

adalah terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas. Kualitas inilah yang didapat dari
lingkungan pendidikan untuk digunakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, menurut teori yang dikembangkan Thorndike, transfer positif hanya
akan terjadi apabila dua materi pelajaran memiliki kesamaan unsure. Teori kesamaan unsur
ini telah memberi pengaruh besar terhadap pola pengembangan kurikuum di Amerika Serikat
beberapa puluh tahun yang lalu (Cross,1974)
Transfer positif, akan mudah terjadi pada diri seorang siswa apabila situasi
belajarnya dibuat sama atau mirip dengan situasi sehari-sehari yang akan ditempati siswa
tersebut kelak dalam mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan yang telah dipelajari di
sekolah. Misalnya, siswa yang telah pandai membaca Al-Qur’an akan secara otomatis mudah
belajar Bahasa Arab, karena ada kesamaan elemen (sama-sama bertulisan arab). Pengetahuan
tentang letak geografis suatu daerah, akan sangat membantu dalam memahami masalah
perekonomian yang dihadapi oleh penghuni daerah itu, ketrampilan mengendarai sepeda
motor akan mempermudah belajar mengendarai kendaraan roda empat.
Berdasarkan hasil-hasil riset kognitif antara lain seperti di atas, Anderson (1990)
yakin bahwa transfer positif hanya akan terjadi pada diri seorang siswa apabila dua wilayah
pengetahuan atau keterampilan yang dipelajari siswa tersebut menggunakan dua fakta dan
pola yang sama, dan membuahkan hasil yang sama pula. Dengan kata ain, dua domain
pengetahuan tersebut merupakan sebuah pengetahuan yang sama.
2.5 Kesulitan Belajar dan Alternatif Pemecahannya
Kesulitan belajar tidak hanya dirasakan siswa yang berkemampuan rata-rata dan
rendah tetapi juga bagi siswa yang kemampuan tinggi. Hal ini disebabkan banyak faktor yang
menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai harapan. Namun kesulitan belajar
dapat dilihat juga dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti berkelahi,
sering tidak masuk sekolah, kabur dari sekolah dan sebagainya.

1. Faktor penyebab kesulitan belajar yaitu :
a.

Faktor intern meliputi gangguan atau kekurangmampuan psikofisik siswa yaitu

yang bersifat kognitif seperti intelegensi siswa, bersifat afektif seperti labilnya emosi
dan sikap, bersifat psikomotor seperti terganggunya indera penglihat dan pendengar.
b.

Faktor ekstern meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan yang tidak

mendukung aktivitas belajar siswa. Faktor ini terbagi ada tiga macam : lingkungan
keluarga (contohnya ketidakharmonisan hubungan ayah dan ibu), lingkungan
masyarakat (contohnya teman sepermainan yang nakal), lingkungan sekolah
(contohnya letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar).
Selain itu, terdapat faktor khusus yaitu sindrom psikologis berupan ketidakmampuan
belajar misalnya disleksia adalah ketidakmampuan belajar membaca, disgrafia adalah
ketidakmampuan belajar menulis, dan diskalkulia adalah ketidakmampuan belajar
matematika khusunya dalam perhitungan. Kesulitan belajar Karena sindrom-sindrom ini
dikarenakan gangguan ringan pada otak.
Sebelum pemecahan masalah, diharuskan untuk diagnosis yang bertujuan menetapkan
jenis kesulitan belajar. Diagnosis terdiri dari beberapa langkah atau prosedur seperti prosedur
dari Weener dan Senf (1982) sebagai berikut :
1. Melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku yang menyimpang
2. Memeriksa penglihatan dan pendengaran yang diduga mengalami kesulitan
3. Mewawancarai orang tua atau wali siswa untuk mengetahui yang dapat
menimbulkan kesulitan belajar
4. Memberikan tes diagnostik untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang
dialami

5. Memberikan tes intelegensi (IQ) kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan
belajar. Akan tetapi untuk langkah ini guru bias bekerja sama dengan biro konsultasi
psikologi.
2. Alternatif Pemecahan Kesulitan Belajar
Guru diharapkan melakukan beberapa langkah sebelum pilihan diambil yaitu :
1. Menganalisis hasil diagnosis yaitu menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan
antarbagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan
belajar yang dihadapi siswa. Contohnya : Badu mengalami kesulitan menghafal kata
benda dalam bahasa jepang. kata benda terdiri dari benda-benda yang ada pada tempat
yang berbeda-beda seperti sekolah, pasar dan sebagainya yang digunakan sebagai
dasar untuk memahami teks.
2. Mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan
perbaikan. Bidang kecakapan yang bermasalah dapat dikategorikan menjadi tiga
macam :
a. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri.
b. Bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan
dari orang tua.
c. Bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani oleh guru maupun orang
tua. Contohnya bidang kecakapan yang terlalu sulit untuk ditangani yang
bersumber dari kasus-kasus seperti kecanduan narkotika dan sebagainya. Kasus
itu memerlukan pendidikan khusus dan perawatan khusus agar kecakapan yang
bermasalah dapat diatasi dengan baik.
3. Menyusun program perbaikan, khususnya program remedial teaching (pengajaran
perbaikan). Guru perlu menetapkan hal-hal sebagai berikut :
a. Tujuan pengajaran remedial

b. Materi pengajaran remedial
c. Alokasi waktu pengajaran remedial
d. Evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial.
Berikut contoh program pengajaran remedial yang dikaitkan dengan masalah yang
dihadapi :
Program Pengajaran Remedial
Nama siswa

: Badu

Kelas

: I A2, SMA “XY” Bandung

Jenis kesulitan

: Mengalami kesulitan menghafal kata benda dalam bahasa

jepang.
Tujuan remedial

: Badu dapat menghafal kata benda yang ada pada tempat yang

berbeda-beda seperti sekolah, pasar dan sebagainya yang digunakan sebagai dasar
untuk memahami teks.
Materi remedial

: a. Beragam kartu seri yang bergambar dan dibawah gambar
terdapat bahasa jepang serta artinya dalam bahasa Indonesia.
b. Kartu seri tersebut diperlihatkan dan diucapkan bersamasama dengan murid.
c. Berbagai kata benda yang ada dalam kartu seri tersebut
dinyanyikan dalam sebuah lagu.

Alokasi waktu remedial: 45 menit

Evaluasi remedial

: menggunakan instrument tes isian yang terdiri atas kata-kata

benda baik berupa gambar yang dimunculkan maupun berupa kata benda yang harus
diartikan dalam bahasa Indonesia.
4. Melaksanakan program perbaikan. Dalam melaksanakan program perbaikan jika
dilaksanakan lebih cepat maka tentu saja lebih baik. Kemudian, dilakukan pada
tempat yang memadai agar siswa bisa memusatkan perhatiannya terhadap proses
pengajaran perbaikan tersebut.

BAB III
SIMPULAN
Setelah materi disajikan di dalam Bab II Pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang
telah

ditetapkan

dalam

sebuah

program. Padanan

kata

evaluasi

adalah assessnment yang menurut Tardif (1989) berarti proses penilaian untuk
menggambarkan prestasi yang dicapai seorang siswa sesuai dengan kriteria yang telah
ditetapkan.
2. Terdapat beberapa ragam evaluasi yaitu : pre-test dan post-test, evaluasi prasyarat,
evaluasi diagnostik, evaluasi formatif, evaluasi sumatif, uan/un. Sementara Ragam alat
evaluasi yaitu : bentuk objektif dan bentuk subjektif.

3. Lupa adalah hilangnya kemampuan untuk menyebut atau memproduksi kembali apaapa yang sebelumnya telah dipelajari.

4. Faktor-faktor penyebab lupa yaitu faktor pertama karena gangguan konflik antara
item-item informasi atau materi yang ada dalam sistem memori siswa. Ganguan
konflik terbagi menjadi dua macam, yaitu : proactive interference dan retroative
interference.
5. Menurut Barlow (1985), Reber (1988), dan Anderson (1990) kiat mengurangi lupa
dalam

belajar.

adalah

overlearning,

extra

study time,

mnemonic

device,

pengelompokan, latihan terbagi, pengaruh letak bersambung.
4. Kejenuhan belajar ialah rentang waktu tertentu yang digunakan untuk belajar, tetapi
tidak mendatangkan hasil (reber, 1988). Adapun menurut cross (1974) dalam bukunya
the psychology of learning, keletihan siswa dapat dikategorikan menjadi tiga macam
yakni: keletihan indra siwa, keletihan fisik siswa, keletihan mental siwa.
5. Istilah transfer belajar berasal dari bahasa inggris “transfer of learning” yang berarti :
pemindahan atau pengalihan hasil belajar yang diperoleh dalam bidang studi yang
satu ke bidang studi yang lain atau ke kehidupan sehari-hari diluar lingkup pendidikan
sekolah.
6. Muhibbin syah ( 1999 : 14 ) dengan mengutip pendapat Robert M.Gagne
mengemukakan empat macam tansfer belajar yaitu : transfer positif, transfer negatif,
transfer vertikal dan transfer lateral.
7. Kesulitan belajar tidak hanya dirasakan siswa yang berkemampuan rata-rata dan
rendah tetapi juga bagi siswa yang kemampuan tinggi. Hal ini disebabkan banyak
faktor yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai harapan. Faktor
penyebab kesulitan belajar yaitu : faktor intern, dan faktor ekstern. Selain itu, terdapat
faktor khusus yaitu sindrom psikologis berupan ketidakmampuan belajar.

DAFTAR PUSTAKA
Syah,Muhibbin.2010.Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru.Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.