Kajian Kekuatan Daya Dukung Pondasi Tian

LAPORAN AKHIR TAHAP I PENELITIAN PASCASARJANA

Kajian Kekuatan Daya Dukung Pondasi Tiang Berulir (Helical Piles) Sebagai Metode Peningkatan Daya Dukung Pondasi Tiang Pada Lapisan Tanah Lunak di

Pesisir Provinsi Riau

Tim Pengusul: Ketua: Dr. Ir. Ferry Fatnanta, MT (NIDN: 0010076402) Anggota: Dr. Ing. Syawal Satibi, ST. (NIDN: 0008107603) Dr. Muhardi, ST., M.Sc. (NIDN: 009037204)

UNIVERSITAS RIAU NOPEMBER 2015

Daftar Tabel

Tabel 2 1 Klasifikasi tanah gambut menurut tingkat dekomposisi (Von Post, 1924, dalam Wust dkk, 2003)...................................................................................................... 6

Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah Gambut Menurut ASTM D-2607 ............................................ 7 Tabel 2.3

Klasifikasi didasarkan prosentase organik ............................................................ 7

Tabel 4.1. Parameter pondasi tiang helical ........................................................................... 23 Tabel 4.2.

Nomenklatur uji pondasi tiang berulir ................................................................ 24

Tabel 5.1. Rangkuman data sifat fisik tanah kolam pengujian ............................................ 30 Tabel 5.2

Hasil interpretasi data pengujian ......................................................................... 34 Tabel 5.3

Hasil interpretasi data pengujian axial tarik........................................................ 36

Abstrak

Judul: Kajian Kekuatan Daya Dukung Pondasi Tiang Berulir (Helical Piles) Sebagai Metode

Peningkatan Daya Dukung Pondasi Tiang Pada Lapisan Tanah Lunak di Pesisir Provinsi Riau

Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di Wilayah Provinsi Riau antara 2 – 91 m diatas permukaan laut. Daerah tersebut didominasi oleh lapisan tanah lunak. Oleh sebab itu untuk mendukung beban bangunan diperlukan . Kebanyakan tipe yang digunakan adalah cerocok. Namun pada saat ini penggunaan cerocok mengalami kesulitan disebabkan kayu yang digunakan untuk bahan cerocok melanggar peraturan lingkungan hidup. Supaya lebih ekonomis, pondasi tiang direncanakan tidak harus mencapai tanah keras. Jadi kekuatan daya dukung mengandalkan kekuatan geser antara permukaan pondasi dengan tanah. Pada pondasi tiang konvensional, permukaan pondasi relatif halus, sehingga kekuatan gesek antara permukaan pondasi dengan tanah tidak signifikan. Salah satu cara untuk meningkatkan kekuatan geser tersebut adalah dipasang plat helik (plat ulir). Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan kajian mengenai daya dukung Berulir (Helical Pondasi tiang) pada tanah lunak daerah pesisir Propinsi Riau. Kajian tersebut meliputi kinerja berulir secara tunggal (single pondasi tiang) maupun secara kelompok (group pondasi tiangs).

Pada penerapan berulir pada tanah lunak masih meninggalkan beberapa gap informasi yang belum terjawab, yaitu seberapa besar konstribusi peningkatan kekuatan daya dukung berulir apabila dibandingkan biasa (tak berulir) pada lapisan tanah lunak di daerah Provinsi Riau; apakah penempatan dan jumlah helical bearing plate yang telah dilaksanakan selama ini sudah optimal, dan bagaimana pengaruh perbedaan dimensi helical pada satu pondasi tiang terhadap kekuatan daya dukung helical pondasi tiang axial tekan pada tanah lunak.

Kontribusi penelitian tersebut adalah memberikan alternatif pemilihan pada tanah lunak kepada para konsultan atau kontraktor; memberikan solusi pengganti cerocok kayu dan sebagai rujukan untuk pemanfaatan tiang pancang, dalam pengembangan serta penggunaannya sebagai salah satu solusi permasalahan yang terjadi pada tanah lunak.

Untuk menjawab tujuan penelitian tersebut di atas, maka pada studi ini disusun suatu metodologi penelitian sebagai berikut. Pertama dibuat kolam pengujian yang diisi dengan material lapisan tanah lunak yang diambil dari kawasan pesisir Provinsi Riau. Kedua, dibuat pondasi tiang helical dengan 1, 2 dan 3 helix. Jarak helix dibuat variasi 1,5D dan 2D, dimana D diameter helix terbesar. Diameter helix dibuat bervariasi, pondasi tiang dipasang helix diameter sama, diameter terkecil dan diameter terbesar serta pondasi tiang dipasang diameter diameter bervariasi. Pemasangan helix, diletakkan pada bagian atas pondasi tiang dan bagian bawah pondasi tiang secara bergantian. Tahap 1 dilakukan uji tekan dan tarik untuk menentukan kapasitas daya dukung pondasi tiang helical tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemberian plat ulir dapat meningkaatkan daya dukung tiang mencapai 2,90 – 5,65 kali lebih besar dibandingkan tanpa plat ulir. Pemberian plat ulir memberikan peningkatan daya dukung, namun masih dipengaruhi oleh penempatan jarak plat ulir. Jarak makin rapat, 20cm memberikan daya dukung lebih besar dibandingkan oleh jarak 50cm atau 30cm. Secara umum, diamater plat lebih besar diharapkan memberikan daya dukung lebih besar. Kondisi sama juga terjadi pada pondasi tiang tipe LLL-30cm memberikan daya dukung lebih besar dibandingkan tipe LMS-30cm. Karena luas plat LLL lebih besar dibandingkan tipe LMS

Kata kunci:

daya dukung, helical, tanah lunak, pesisir Riau,

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Riau memiliki topografi dengan kemiringan lahan 0 – 2 persen (datar) seluas 1.157.006 hektar, kemiringan lahan 15 – 40 persen (curam) seluas 737.966 hektar dan daerah dengan topografi yang memiliki kemiringan sangat curam (> 40 persen) seluas 550.928 (termasuk Provinsi Kepulauan Riau) hektar dengan ketinggian rata-rata 10 meter di atas permukaan laut. Secara umum topografi Provinsi Riau merupakan daerah dataran rendah dan agak bergelombang dengan ketinggian pada beberapa kota yang terdapat di Wilayah Provinsi Riau antara 2 – 91 m diatas permukaan laut.

Sesuai paparan diatas dan hasil penyelidikan tanah yang dilakukan diperoleh lapisan tanah lunak relatif dalam, sehingga untuk mentransfer beban bagian atas struktur (upper structures) ke lapisan tanah untuk mencapai daya dukung yang diinginkan, diperlukan . Kebanyakan tipe yang digunakan adalah cerocok. Namun pada saat ini penggunaan cerocok mengalami kesulitan disebabkan kayu yang digunakan untuk bahan cerocok sulit diperoleh dan pelanggaran peraturan lingkungan hidup.

Pada pelaksanaan di lapangan, merupakan pondasi yang umum digunakan untuk mengatasi kondisi lapisan tanah lunak. Penggunaan diharapkan pondasi tersebut mampu meneruskan beban struktur bangunan ke lapisan tanah keras. Namun apabila ditemukan lapisan tanah lunak sangat tebal, maka diperlukan relatif panjang untuk mencapai lapisan tanah keras tersebut. Supaya lebih ekonomis, direncanakan tidak harus mencapai tanah keras. Kekuatan daya dukung mengandalkan kekuatan geser antara permukaan pondasi dengan tanah, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah jenis permukaan pondasi. Pada konvensional, permukaan pondasi relatif halus, sehingga kekuatan geser antara permukaan pondasi dengan tanah menjadi tidak signifikan.

Salah satu cara untuk meningkatkan kekuatan geser tersebut adalah melakukan modifikasi permukaan. Modifikasi ini bertujuan meningkatkan daya dukung. Modifikasi tersebut adalah menggunakan berulir (helical pondasi tiang), seperti tampak pada Gambar

1.1. Pondasi berulir sudah banyak digunakan pada struktur bangunan sipil, khususnya sebagai yang dibebani gaya axial tarik (gaya cabut). Oleh sebab itu, pada penelitian ini dilakukan kajian mengenai penerapan pondasi tiang berulir (Helical Piles) pada tanah lunak yang terkena beban axial tekan. Kajian tersebut meliputi kinerja berulir secara tunggal maupun secara kelompok.

Gambar 1.1Tipikal pondasi tiang helical

1.2 Perumusan Masalah

Pada penerapan pondasi tiang berulir pada tanah lunak masih meninggalkan beberapa pertanyaan yang mungkin belum terjawab. Beberapa pertanyaan itu antara lain:

1. Seberapa besar konstribusi peningkatan kekuatan daya dukung berulir apabila dibandingkan pondasi tiang konvensional (pondasi tiang tak berulir).

2. Apakah penempatan dan jumlah helical plate yang telah dilaksanakan selama ini sudah efisien apabila diterapkan pada tanah lunak di daerah pesisir Provinsi Riau?.

3. Sejauh mana pengaruh perbedaan dimensi helical plate pada satu pondasi tiang terhadap kekuatan daya dukung helical pondasi tiang axial tekan pada tanah lunak.

4. Apabila pada point 2, dianggap belum efisien, maka pada penelitian ini diharapkan mampu merumuskan ulang mengenai penempatan dan jumlah helical plate pada tanah lunak.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai penerapan berulir pada tanah lunak mempunyai beberapa tujuan, antara lain:

1. Mengetahui seberapa besar efisiensi hasil modifikasi tersebut dipandang dari segi daya dukung apabila diterapkan pada tanah lunak.

2. Menentukan posisi dan jumlah helical plate yang memberikan peningkatan daya dukung pondasi paling optimal.

3. Mencari alternatif pengganti cerocok sebagai pondasi bangunan untuk perkuatan tanah lunak

1.4 Kontribusi/Kegunaan Penelitian

Terdapat beberapa kegunaan/kontribusi penelitian, baik untuk masyarakat luas maupun untuk perkembangan ilmu Teknik Sipil. Kontribusi tersebut adalah:

1. Memberikan alternatif pemilihan pondasi pada tanah lunak kepada para konsultan atau kontraktor.

2. Memberikan solusi pengganti cerocok kayu sebagai pada lokasi tanah lunak. Karena kayu cerocok tidak direkomendasikan sebagai bahan pondasi dengan pertimbangan lingkungan.

3. Sebagai bahan rujukan pemanfaatan pondasi tiang dalam pengembangan serta penggunaannya sebagai salah satu solusi permasalahan daya dukung pondasi pada tanah lunak.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanah Gambut

Tanah gambut adalah sisa-sisa tumbuhan mati yang terdapat di rawa-rawa membentuk lumpur coklat hitam, mengalami proses anaerobik terjadi pembusukan (dekomposisi) (Ruslan, 1981). Tanah gambut adalah campuran heterogen zat organik yang tertimbun dalam kondisi jenuh air, warnanya dari kuning sampai coklat tua, tergantung tingkat pembusukannya. Tanah Gambut adalah tanah yang mempunyai kandungan organik yang cukup tinggi dan pada umumnya terjadi dari campuran fragmen-fragmen material organik yang berasal dari tumbuh- tumbahan yang telah menjadi fossil.

Sesuai literatur menunjukkan bahwa tanah gambut telah terkumpul secara komulatif sejak 20.000 tahun yang lalu (Hobbs, 1986). Tanah gambut merupakan tipe tanah yang terdiri sebagian besar material organik, hal ini yang menyebabkan tanah gambut tersebar hampir di seluruh dunia, dengan bermacam-macam variasi jenis gambut. Perbedaan jenis gambut disebabkan oleh perbedaan iklim, jenis tanah dan tumbuh-tumbuhan.

Tanah gambut terbentuk karena terdapat ketidakseimbangan accumulasi dan decomposition material organik. Pada suatu daerah, dimana kecepatan pengendapan melebihi kecepatan pembusukan, maka daerah tersebut kelebihan material organik. Kekurangan proses pembusukan disebabkan tidak cukup atau rendahnya aktifitas biologi, sebagai akibat faktor lingkungan yang tidak sesuai. Lingkungan yang tidak sesuai adalah kondisi terlalu asam (excessive acidity) dan/atau genangan air menciptakan kondisi anaerob.

2.2 Komponen tanah gambut

Pada kondisi alami, tanah terdiri dari cairan (liquid), gas/udara, butiran (solid), seperti tampak pada Gambar 2.1. Kadar air tanah gambut sangat tinggi, biasanya mempunyai rentang antara 50 – 70% terhadap berat, namun terkadang mencapai 90%.

Komponen butiran gambut terdiri dari bahan organik dan mineral. Bahan organik merupakan komponen utama fase butiran gambut. Bahan organik tersebut termasuk humus dan sisa tumbuhan yang mengalami pembusukan tidak sempurna. Sisa tumbuhan bagian yang terbesar dari bahan organik tanah gambut, sisa tumbuhan berupa akar, batang, daun dan lain sebagainya. Sedangkan humus merupakan kimia organik struktur komplek yang dihasilkan selama proses pembentukan gambut.

Sedangkan bahan mineral gambut terdiri dari dua jenis, yaitu bahan mineral yang terbawa oleh aliran air atau angin dan bahan mineral yang terbentuk pada proses pembusukan sisa tumbuhan, mineral ini disebut abu sekunder (secondary ash). Penjumlahan kedua jenis bahan mineral disebut total abu (total ash).

Gambar 2.1 Komposisi tanah gambut (Xuehui dan Jinming,)

2.2 Klasifikasi tanah gambut

Terdapat 3 (tiga) macam klasifikasi untuk tanah gambut, yaitu:

1. Klasifikasi tanah gambut yang didasarkan pada derajad dekomposisi (pembusukan material organik) Van Post (1924, dalam Wust, dkk, 2003) mengelompokkan tanah ke dalam 10 (sepuluh) kategori, seperti terlihat pada Tabel 1.1. Von Post mengelompokkan konsistensi dan warna slurry campuran gambut dan air. Skala H 1 apabila tanah gambut yang sama sekali tidak/belum terdekomposisi. Skala H 10 apabila tanah gambut yang telah mengalami terdekomposisi seluruhnya (derajad dekomposisi 100%).

2. Klasifikasi tanah gambut yang didasarkan pada jenis tumbuhan organiknya Pada klasifikasi ini, tanah gambut dapat dikelompokkan menurut jenis tanaman pembentuk serat dan kandungan seratnya. Sistem klasifikasi ini mengelompookan tanah gambut ke dalam 5 (lima) kelompok, seperti ditampilkan pada Tabel 2.2. Sistem klasifikasi menurut jenis ini tanaman pembentuk serat ini memerlukan pengetahuan tentang jenis flora. Oleh sebab itu ahli Teknik Sipil menghindari penggunaan jenis sistem klasifikasi ini.

Tabel 2 1 Klasifikasi tanah gambut menurut tingkat dekomposisi (Von Post, 1924, dalam

Wust dkk, 2003)

Tabel 2.2 Klasifikasi Tanah Gambut Menurut ASTM D-2607

No. Nama

Keterangan

1. Sphagnum Moss Peat (Peat Moss) Apabila dikeringkan pada 105oC,

kandungan serat dari sphagnum moss: 66,66%

2. Hypnum Moss Peat Apabila dikeringkan pada 105oC, kandungan seratnya 33,3% dimana 50% dari serat tersebut berasal dari bermacam macamjenis hypnum moss

3. Reed Sedge Peat Apabila dikeringkan pada 105oC, kandungan seratnya 33,3% dimana 50% dari reed-sedge dan dari non-moss yang lain

4. Peat Humus Apabila dikeringkan pada 105oC, kandungan seratnya kurang dari 33,3%

5. Peat-peat yang lain Gambut yang dikelompokkan disini adalah semua tanah gambut yang tidak termasuk dalam 4 kelompok di atas.

3. Klasifikasi tanah gambut yang didasarkan pada prosentase kandungan bahan organiknya

Pada sistem klasifikasi ini, batasan kandungan organik tanah gambut sedikit bervariasi, seperti ditampilkan pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Klasifikasi didasarkan prosentase organik

University Of South Carolina > 75 %

LGS (1982)

Lousiana Geological Survey

4. MacFarlane dan Radforth (1965)

MacFarlane dan Radforth membagi tanah gambut menjadi 2 kelompok besar, yaitu:

 Fibrous peat (tanah gambut berserat) Merupakan bagian macroscopic tanah gambut yang mana berbentuk woody atau non woody dan mempunyai diameter kurang dari 1 mm. Tanah gambut dengan kandungan serat ≥ 20%

 Amorphous granular peat (gambut amorphous granular) Merupakan bagian macroscopic tanah gambut yang mana berbentuk woody atau non woody dan mempunyai diameter lebih besar dari 1mm. Tanah gambut dengan kandungan serat < 20% dan terdapat butiran tanah kecil berukuran coloid (2m) dan

sebagaian air terserap di sekeliling butiran tanah. Tanah gambut amorphous granular peat mempunyai sifat seperti tanah lempung/lanau.

2.3 Pondasi Tiang

Pondasi tiang merupakan struktur yang berfungsi untuk mentransfer beban di atas permukaan tanah ke lapisan bawah di dalam massa tanah. Bentuk transfer beban ke lapisan tanah berupa, pertama, penyebaran beban pada seluruh permukaan pondasi tiang dan kedua, melalui titik ujung pondasi tiang. Penyebaran beban menggunakan cara lekatan (friction) pada permukaan kulit pondasi disebut pondasi tiang tipe floating, sedangkan transfer beban melalui titik ujung tiang disebut pondasi tiang tipe end-bearing. Pada kondisi umum, kekuatan daya dukung pondasi tiang merupakan gabungan dua kekuatan, yaitu kekuatan lekatan (friction) dan kekuatan ujung tiang (end-bearing). Tipe pondasi tiang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(a) (b)

Gambar 2.2 Pondasi Tiang (a) tipe end-bearing dan (b) tipe floating

Pada umumnya pondasi tiang konvensional mempunyai luas penampang yang sama sepanjang pondasi. Kondisi ini membuat pondasi tiang konvensional mempunyai keterbatasan Pada umumnya pondasi tiang konvensional mempunyai luas penampang yang sama sepanjang pondasi. Kondisi ini membuat pondasi tiang konvensional mempunyai keterbatasan

Di daerah pesisir Provinsi Riau, banyak dijumpai daerah yang mempunyai lapisan tanah lunak relatif tebal, dimana ketebalan tanah lunak bisa mencapai lebih dari 30 meter. Lapisan tanah tersebut mempunyai daya dukung relatif rendah, sehingga diperlukan pondasi tiang yang relatif panjang untuk mentransfer beban struktur ke lapisan tanah keras. Kondisi ini menjadi tidak ekonomis. Agar panjang pondasi berkurang, pondasi tiang direncanakan tipe floating, dimana beban struktur didistribusikan menjadi lekatan antara permukaan pondasi dengan tanah. Sistem lekatan antara tanah dengan permukaan pondasi dipengaruhi oleh permukaan dan berat pondasi.

Permukaan pondasi tiang yang umum digunakan relatif halus. Hal ini sangat berpengaruh terhadap daya dukung lekatan. Kekuatan daya dukung tipe floating menjadi terbatas. Sampai saat ini juga belum dikembangkan tipe pondasi yang mempunyai permukaan kasar untuk meningkatkan daya dukung lekatan. Pondasi tiang yang mempunyai permukaan cenderung kasar adalah pondasi cerocok kayu, kelebihan lain pondasi cerocok kayu adalah lebih ringan. Hal ini menyebabkan pondasi cerocok lebih efisien digunakan pada tanah lunak dibandingkan pondasi tiang beton atau baja. Namun penggunaan pondasi cerocok tidak direkomendasikan dengan alasan lingkungan. Atas dasar pemikiran tersebut di atas, maka dibuat pondasi tiang berulir yang mempunyai luas penampang relatif besar dan plat ulir bisa dipasang secara paralel/ bertingkat, selain itu pondasi terbuat dari pipa baja berdiameter kecil sehingga lebih ringan.

2.4 Pondasi Tiang Helical

Sesuai pada sub bab 2.3 telah dijelaskan bahwa ketebalan tanah lunak relatif tebal, agar ekonomis dilakukan perencanaan pondasi tiang tipe floating. Pada tipe floating beban struktur ditransfer menjadi gaya gesekan antara permukaan pondasi tiang dengan lapisan tanah, dimana kondisi ini sangat riskan. Oleh sebab itu pada studi ini dilakukan modifikasi pondasi tiang dengan cara memperlebar telapak pondasi. Perlebaran telapak pondasi ini menggunakan plat ulir yang dipasang pada pondasi tiang.

Beberapa penelitian mengenai pondasi tiang ulir telah banyak dilakukan. Namun umumnya studi mengenai pondasi tiang ulir dilakukan pada tanah lempung atau berpasir.

(Rao dkk,. 1991) menyelidiki pengaruh jumlah plat helical pada pondasi tiang helical untuk mencapai daya dukung maksimal pada tanah lempung, menggunakan model helical screw pile, yang ditanam pada tanah lempung yang di padatkan. Jumlah plat helical memberikan pengaruh yang signifikan pada kapasitas dukung dan kekakuan pondasi dalam merespon beban, kesimpulan dari penelitian tersebut adalah kapasitas dukung maksimum akan di capai pada jumlah helical yang terbanyak, seperti yang ditunjukan Gambar 2.3. Narasimha Rao (1991) menyatakan bahwa rasio jarak (spacing ratio) berpengaruh terhadap mekanisme kegagalan. Narasimha Rao (1991) terbukti bahwa estimasi kapasitas mencapai nilai 2 pada beberapa kasus. Rasio jarak memiliki dampak tidak langsung pada kapasitas, untuk total jarak

plat helix (L h ) konstan, rasio jarak menentukan jumlah plat ulir.

Gambar 2.3 Pengaruh jumlah plat terhadap daya dukung dan penurunan (Rao dkk,

(L. & Jong, 1995) menyelidiki Pengaruh Posisi "Helical Plate" pada Dinding Tiang Pondasi Terhadap Peningkatan Daya Dukungnya. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah dengan adanya plat helical pada pondasi tiang, maka daya dukung pondasi tiang helical meningkat. Secara umum pondasi tiang helical mempunyai daya dukung tekan 180% - 300% lebih besar di bandingkan pondasi tiang tampa helical. Seperti yang di tunjukan Gambar 2.4, (L. & Jong, 1995) menyelidiki Pengaruh Posisi "Helical Plate" pada Dinding Tiang Pondasi Terhadap Peningkatan Daya Dukungnya. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah dengan adanya plat helical pada pondasi tiang, maka daya dukung pondasi tiang helical meningkat. Secara umum pondasi tiang helical mempunyai daya dukung tekan 180% - 300% lebih besar di bandingkan pondasi tiang tampa helical. Seperti yang di tunjukan Gambar 2.4,

1 dan 2 plat helical yang menggunakan jarak yang sama.

Gambar 2.4 Hubungan beban - penurunan dengan plat helical bervariasi (L. & Jong

Weech dan Howie (2010) melakukan studi mengenai tekanan pori (pore pressure) pada saat pembebanan dan setelah pemasangan helical pondasi tiang dan interpretasi hasil tes beban pondasi tiang ini pada lapisan tanah lempung lunak. Hasil studi menunjukkan bahwa helical pondasi tiang dengan S/D = 1,5 memiliki kapasitas daya dukung lebih besar dibandingkan pondasi tiang S/D = 3,0. Pada studi kasus ini, terlihat bahwa mekanisme kegagalan untuk pondasi tiang S/D = 3 disebabkan oleh kegagalan individual bearing pada setiap helix. Sedangkan untuk pondasi tiang S/D=1.5, disebabkan oleh kegagalan individual bearing pada helix bawah dan oleh tegangan sepanjang permukaan kegagalan silindris pada diameter yang sama dengan bagian helix pada bagian atas. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa tegangan geser yang digerakkan oleh helical pondasi tiang dalam tanah bertekstur tidak akan sama dengan tegangan geser pada tanah saat mulai instalasi pondasi tiang kecuali jika jenis tanah normal konsolidasi sebelum instalasi pondasi tiang. Instalasi helical pondasi tiang yang digunakan pada studi ini menyebabkan kerusakan yang berarti pada lapisan tanah. Bagaimanapun, tanah dibawah ujung pondasi tiang, yang dibebani oleh helix bawah, secara fundamental tidak rusak setelah instalasi pondasi tiang. Kapasitas yang digerakkan oleh helic S/D=1.5 secara substansial meningkat seiring waktu tegangan geser tanah disekitar pondasi tiang recover setelah instalasi pondasi tiang.

(Sprince & Pakrastinsh 2010) melakukan penelitian pondasi tiang helical pada tanah yang berbeda dengan memvariasikan jumlah plat helical. Variasi yang di gunakan adalah pondasi tiang dengan 1 helical sampai dengan pondasi tiang dengan 6 helical, dengan diameter helical semakin mengecil. Kesimpulannya dapat dilihat pada Gambar 2.5, dimana seiring banyaknya jumlah helical maka akan terjadi penambahan kapasitas dukung pondasi tiang helical

Gambar 2.5 Kapasitas dukung pondasi tiang helical dengan penambahan jumlah plat

helix (Sprince & Pakrastinsh, 2010)

Woodcock (2012) melakukan studi mengenai pondasi helical menggunakan kriteria kegagalan Tresca. Pada penelitian ini digunakan parameter geometry pondasi tiang yang sama dan tekanan fisik (strain) dimana tanah lunak mulai tidak berubah. Tujuan utama mempelajari s karena terbatasnya instruksi resmi design dan penggunaannya. Proyek ini bertujuan untuk memberikan jawaban definitive untuk riset yang kontradiksi, dengan menilai metodologi desain yang tepat untuk tension dan compression pondasi tiangs pada ideally plastic soil dilanjutkan menilai perilaku s pada strain softening soil. Kesimpulan untuk ideally plastic soil Mekanisme kegagalan pondasi tiang dikendalikan oleh mekanisme kegagalan pondasi tiang Woodcock (2012) melakukan studi mengenai pondasi helical menggunakan kriteria kegagalan Tresca. Pada penelitian ini digunakan parameter geometry pondasi tiang yang sama dan tekanan fisik (strain) dimana tanah lunak mulai tidak berubah. Tujuan utama mempelajari s karena terbatasnya instruksi resmi design dan penggunaannya. Proyek ini bertujuan untuk memberikan jawaban definitive untuk riset yang kontradiksi, dengan menilai metodologi desain yang tepat untuk tension dan compression pondasi tiangs pada ideally plastic soil dilanjutkan menilai perilaku s pada strain softening soil. Kesimpulan untuk ideally plastic soil Mekanisme kegagalan pondasi tiang dikendalikan oleh mekanisme kegagalan pondasi tiang

Terdapat beragam variable dalam analisis pada tanah lunak (softening soil); softening parameter dari tanah itu sendiri, dan parameter-parameter geometrical. Parameter yang paling berpengaruh pada kapasitas adalah kekakuan pondasi tiang (pondasi tiang shaft stiffness) dan brittleness index (getas). Faktor terbesar pada perubahan pondasi tiang di beban puncak adalah mekanisme kegagalan, kekakuan shaft, dan panjang pondasi tiang. Pondasi tiang yang gagal oleh mekanisme cylinder mencapai puncaknya pada perubahan yang lebih rendah dari pada pondasi tiang yang gagal oleh mekanisme individual bearing, untuk parameter sama. Mechanism Capacity Ratio (MCR) disarankan sebagai ukuran non-dimensi geometry dan mekanisme kegagalan.

Tappenden (2007) adalah pondasi dalam terbuat dari satu atau lebih plat baja heliks ditempelkan ke poros baja sentral, tertanam ke dalam tanah dengan penerapan saat balik ke ujung pondasi tiang. Tesis ini mengevaluasi fektivitas dengan metode LCPC dan dipilih korelasi torsi empiris untuk memprediksi kapasitas dalam beban statis tarik aksial dan kompresi. Hasil dari 29 pondasi tiang full-scale, tes beban aksial dilakukan pada dipasang di Kanada Barat. Metode LCPC diterapkan dalam hubungannya dengan hasil penetrasi kerucut (sondir) untuk 23 dari 29, dan korelasi empiris torsi instalasi dengan kapasitas aksial ultimate diperiksa untuk semua 29 . Dalam penelitian ini parameter tanah dari hasil penyelidikan tanah yang dihasilkan merupakan kategori tanah lunak (softer soil).

Zeyad H. Elsherbiny, dan M. Hesham El Naggar (2013) menyatakan kapasitas aksial pondasi tiang heliks di pasir dan tanah liat diselidiki melalui pengujian lapangan dan pemodelan numerik. Hasil pengujian model numerik dikalibrasi dan diverifikasi menggunakan data skala penuh.. Model ini diverifikasi dengan membandingkan prediksi dengan kurva beban-perpindahan yang diamati diperoleh dari tes beban pondasi tiang skala penuh. Hasil studi membuktikan bahwa prediksi persamaan teoritis untuk lapisan tanah kohesi bervariasi sebagian besar tergantung pada faktor kapasitas dan kriteria kegagalan. Interaksi heliks berdekatan juga dievaluasi. Faktor reduksi daya dukung, R, dan helix faktor efisiensi, EH, diusulkan untuk digunakan sebagai evaluator kapasitas tekan pondasi tiang heliks dalam tanah kohesi. Evaluator tersebut memasukkan pertimbangan kriteria beban ultimate yang dapat diterima sesuai dengan penyelesaian sebesar 5 % dari diameter helix, D.

BAB 3 LANDASAN TEORI

3.1 Mekanisme Pondasi Tiang Konvensional

Pondasi tiang merupakan struktur yang berfungsi untuk mentransfer beban di atas permukaan tanah ke lapisan bawah di dalam massa tanah. Bentuk transfer beban ke lapisan tanah berupa, pertama, penyebaran beban pada seluruh permukaan pondasi tiang dan kedua, melalui titik ujung pondasi tiang. Penyebaran beban menggunakan cara lekatan (friction) pada permukaan kulit pondasi disebut pondasi tiang tipe floating, sedangkan transfer beban melalui titik ujung tiang disebut pondasi tiang tipe end-bearing. Pada kondisi umum, pondasi tiang mempunyai kekuatan merupakan gabungan lekatan (friction) dengan ujung tiang (end- bearing), kecuali apabila pondasi tiang ditanamkan pada lapisan tanah yang mempunyai perbedaan ekstrim, dari lapisan tanah sangat lunak sampai keras.

Secara umum kapasitas pondasi tiang dapat dihitung dengan persamaan berikut ini:

P u  P pu   P si untuk kondisi tekan

3-1a

P u  P p   P si , u untuk kondisi tekan

3-1b

3-2 Keterangan

T u   P si, u  W p untuk kondisi tarik

P u = kapasitas pondasi tiang batas (ultimate) kondisi tekan T u = kapasitas pondasi tiang batas kondisi tarik P pu = kapasitas batas ujung pondasi tiang, jarang terjadi bekerjsa bersama dengan

kekuatan batas gesek permukaan pondasi tiang (skin resistance),  P si, u . Untuk pondasi tiang tipe floating, kekuatan ujung tiang diabaikan.

Pp

= kekuatan ujung tiang yang bekerja secara bersamaan dengan  P si, u  P si = kekuatan gesek yang bekerja bersama dengan kekuatan batas ujung tiang,

Ppu.  P si, u = kekuatan batas gesek pondasi tiang, yang bekerja bersama dengan kapasitas

ujung tiang, Pp. W

= berat sendiri pondasi tiang Sesuai Persamaan 3-1 menunjukkan bahwa kekuatan batas pondasi tiang Pu bukan merupakan penjumlahan kekuatan batas gesekan dan kekuatan batas ujung tiang. Kekuatan = berat sendiri pondasi tiang Sesuai Persamaan 3-1 menunjukkan bahwa kekuatan batas pondasi tiang Pu bukan merupakan penjumlahan kekuatan batas gesekan dan kekuatan batas ujung tiang. Kekuatan

Kekuatan batas gesek dihasilkan oleh slip antara pondasi tiang dengan tanah, dimana slip terjadi pada setiap titik sepanjang pondasi tiang sebagai akumulasi perbedaan regangan permukaan pondasi dengan regangan tanah. Apabila beban diberikan pada pondasi tiang, slip mencapai nilai batas (ultimate) kekuatan gesek. Selanjutnya beban ditransfer ke bagian permukaan pondasi di bawahnya, apabila bagian tersebut telah mencapai nilai batas, beban akan ditransfer ke bagian permukaan pondasi di bawahnya, seperti seterusnya ....sampai mencapai ujung tiang. Seketika itu juga ujung tiang akan menerima beban, seperti tampak pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1. Kurve transfer beban pada pondasi tiang (Bowles, 1999)

Pada tanah gambut, dimana tanah gambut mempunyai kekuatan geser tanah yang relatif kecil. Kondisi ini akan menghasilkan kekuatan gesek dan kekuatan ujung tiang relatif kecil pada pondasi tiang. Kondisi ini membuat daya dukung ujung tiang menjadi kecil. Terdapat dua cara untuk meningkatkan daya dukung pondasi tiang, yaitu meningkatkan luas penampang pondasi tiang dan memperbesar gaya gesek antara permukaan pondasi tiang dengan lapisan tanah. Pada penelitian ini dilakukan studi mengenai perluasan luas penampang Pada tanah gambut, dimana tanah gambut mempunyai kekuatan geser tanah yang relatif kecil. Kondisi ini akan menghasilkan kekuatan gesek dan kekuatan ujung tiang relatif kecil pada pondasi tiang. Kondisi ini membuat daya dukung ujung tiang menjadi kecil. Terdapat dua cara untuk meningkatkan daya dukung pondasi tiang, yaitu meningkatkan luas penampang pondasi tiang dan memperbesar gaya gesek antara permukaan pondasi tiang dengan lapisan tanah. Pada penelitian ini dilakukan studi mengenai perluasan luas penampang

3.2 Mekanisme Pondasi Tiang Helical

Sesuai Perko (2009), terdapat dua metode untuk menentukan daya dukung didasarkan teori mekanika tanah, yaitu individual bearing dan cylindrical shear. Apabila jarak antar plat helix sangat besar, setiap plat helical dapat bertindak secara sendiri sendiri (independently). Jadi daya dukung tumpuan (bearing) pile helical merupakan penjumlahan kapasitas individu plat helix. Mekanisme ini disebut metode individual bearing, seperti yang ditampilkan pada Gambar 3.2a.

Namun apabila jarak antar plat helix relatif kecil, seperti tampak pada Gambar 3.2b, maka mekanisme akan berbeda, yaitu semua plat bearing helix akan bekerja bersama-sama. Jadi, pada kasus kapasitas daya dukung pondasi tiang helical merupakan gabungan antara bearing pada dasar plat helix dan gaya gesek sepanjang silinder tanah antar plat helix. Mekanisme ini disebut metode cylindrical shear.

Gambar 3. 2 Metode Individual Bearing (a) dan Metode Cylindrical Shear (b) (Berko, 2009)

3.2.1 Metode Individual Bearing

Mekanisme keruntuhan metode individual bearing diasumsikan bahwa pada setiap plat helical bearing mengalami penurunan seperti karakter mode keruntuhan daya dukung pondasi tiang. Distribusi tegangan seragam terjadi di bawah setiap plat helical bearing. Sedangkan tegangan gesek antara pondasi dengan tanah terjadi di sepanjang pondasi tiang. Daya dukung batas, Pu, pondasi tiang helical adalah penjumlahan kapasitas dukung setiap plat helix ditambah dengan gaya adhesi pada permukaan pondasi tiang, dirumuskan sebagai berikut:

P u   q ult A n  α H  πd 3-3

Keterangan: q ult = daya dukung batas tanah di bawah plat helix

A n = luas plat helical ke n  = adhesi antara tanah dengan permukaan tiang. Nilai  diambil dari sudut

geser antara material pondasi tiang dengan material lapisan tanah. Pada pengujian ini diambil dari Navfac 7.1 (1971).

H = panjang pondasi tiang, dihitung dari plat helix teratas sampai ke permukaan tanah

d = diameter lingkaran di sekeliling shaft (diameter pondasi tiang tanpa helical) Daya dukung batas tanah dapat ditentukan menggunakan perumusan Meyerhof (1951), yaitu: q ult  N c c s c d c  q N q s q d q  0,5 γ B N γ s γ d γ 3-4

Keterangan

C = kohesi q’

= tegangan efektif overburden pada kedalaman plat helical  = berat volume tanah

B = lebar pondasi Nc, N, Nq = faktor daya dukung s c ,s q dan s  = faktor bentuk

d c ,d q dan d  = faktor kedalaman Persamaan 3-4 dapat digunakan untuk plat bearing pondasi helical dengan mengambil lebar pondasi B menjadi lebar plat helical, D. Persamaan dapat disederhanakan menjadi:

q ult  N' c c  q (N' q -1)  0,5 γ D N' γ 3-5

Pada tanah berbutir halus, dimana sudut geser internal,  = 0, maka N’c  10. Skempton (1951) membuktikan bahwa N’c = 9 untuk pondasi dalam, sedangkan N’q = 1 dan N’ = 0.

Untuk pondasi helical, nilai kohesi tanah bisa diambil sebagai kuat geser undrained, c u . Jadi, daya dukung batas untuk tanah berbutir halus sesuai Skempton adalah:

q ult 9 c u 3-6

3.2.2 Metode Cylindrical Shear

Kapasitas daya dukung batas pondasi tiang helical didasarkan pada teori cylindrical shear merupakan penjumlahan tegangan geser sepanjang silinder, gaya adhesi sepanjang shaft. Jadi dapat dirumuskan sebagai:

P u  q ult A 1  T  n  1  s π D avg  α H  πD 3-7

Keterangan:

A 1 = luas plat helix terbawah T

= Kuat geser tanah

H = panjang shaft pondasi, dihitung dari plat helix teratas sampai ke permukaan tanah.

d = diameter pondasi tiang (diameter of the pile shaft)

D avg = diameter rata-rata plat helix (n-1) s

= panjang tanah diantara plat helical n

= jumlah plat helical s

= jarak antar plat helical Untuk tanah berbutir halus, kuat geser tanah, T, diambil sebagai kuat geser undrained, c u .

3.3 Interpretasi Hasil Pengujian

Terdapat bebarapa metode yang dapat di gunakan untuk menginterpretasikan daya dukung tekan pondasi dengan menggunakan hasil pengujian pembebanan secara langsung. Dalam penelitian ini, di gunakan metode Chin dan metode Mazurkiewicz.

3.3.1 Metode Chin F.k (1971)

Metode Chin didasari anggapan bahwa bentuk grafik hubungan pembebanan dengan penurunan adalah hyperbola. Meskipun uji beban belum dilakukan hingga batas beban kegagalan, dengan anggapan grafik tersebut, maka beban kegagalan dapat di perkirakan.

Grafik hubungan pembebanan dengan penurunan di gambarkan dengan bentuk S/Q (penetrasi/beban) sebagai sumbu tegak dan S (penetrasi atau penurunan) sebagai sumbu datar, sehingga grafik kurva berbentuk hyperbola menjadi garis lurus seperti pada Gambar 3.3.

Setelah melakukan pengujian daya dukung pondasi dengan metode beban statis prosedur CRP, maka akan didapatkan grafik berupa beban vs penurunan. Lalu diadakan analisis dalam menentukan daya dukung ultimate. Prosedur untuk mencari daya dukung ultimate dengan metode Chin adalah sebagai berikut:

1. Diperlukan data berupa penurunan tiang pondasi terhadap beban

2. Membuat grafik dengan memplot penurunan / beban pada sumbu Y terhadap penurunan

pada sumbu X.

3. Menarik garis regresi terhadap data yang ada sehingga terbentuk persamaan

4. Daya dukung ultimate dari pondasi adalah

Gambar 3.3 Hubungan beban terhadap penurunan menurut Metode Chin

Teori ini menghasilkan persamaan sebagai berikut : Kurva load – settlement di gambarkan dalam kaitannya dengan S/Q: 3-8

Daya dukung ultimit (Qult) di peroleh dengan rumusan sebagai berikut: Qult =

3-9

Keterangan : S

= settlement Q

= Beban C1 = Kemiringan Garis C2 = Konstanta Persamaan Garis

Qult = Daya Dukung Ultimit

3.3.2.Metode Mazurkiewicz (1972)

Metode Mazurkiewicz beranggapan bahwa bentuk grafik hubungan pembebanan terhadap penurunan sedemikian rupa sehingga jika dilakukan manipulasi gambar dapat digunakan untuk mengestimasi kekuatan daya dukung ultimit. Metode ini menganggap bahwa kapasitas tahanan ultimit diperoleh dari beban yang berpotongan, di antaranya beban yang searah sumbu tiang untuk di hubungkan beban dengan titik – titik dari posisi garis terhadap sudut 45º pada sumbu beban yang berbatasan dengan beban. Penjelasan ini dapat dilihat pada Gambar 3.4. Daya dukung ultimate tiang metode Mazurkiewicz di tentukan dengan langkah – langkah berikut :

a. Memplot penurunan pada sumbu Y terhadap beban pada sumbu X sehingga terbentuk suatu kurva.

b. Membuat beberapa garis horizontal, sejajar dan mempunyai spasi yang sama dimulai pada sumbu Y (penurunan). Garis – garis tersebut akan memotong kurva penurunan vs beban yang telah dibuat sebelumnya.

c. Pada titik perpotongan tersebut, lalu menarik garis vertikal tegak lurus, sehingga memotong sumbu X (beban). Selanjutnya menggambarkan suatu garis dengan sudut 450 sampai memotong garis vertikal tegak lurus di sebelahnya, seperti yang terlihat pada Gambar 3.4.

d. Menghubungkan titik – titik perpotongan pada nomor 4, sehingga terbentuk suatu garis lurus. Garis lurus tersebut akan memotong sumbu X (beban), titik perpotongan tersebut merupakan nilai daya dukung ultimate..

Gambar 3.4 Menentukan Q ult menurut Metode Mazurkiewicz

3.3.3.Metode Sharma (1983)

Metode ini digunakan untuk menentukan kekuatan ultimit daya dukung axial tarik. Hasil hubungan antara kekuatan tarik terhadap deformasi belum memberikan gambaran secara jelas berapa nilai daya dukung axial tarik pondasi tiang ulir. Menurut Sharma dkk (1984), metode interpretasi yang berlaku umum untuk memperkirakan kekuatan batas tarik adalah:

1. Kekuatan runtuh didasarkan pada deformasi kepala tiang mencapai 0,25 in (6,25 mm).

2. Kekuatan runtuh didasarkan pada titik potong garis singgung,

3. Kekuatan runtuh didasrkan pada titik lengkung yang memberikan jari-jari paling kecil.

Sesuai ketiga kriteria interpretasi tersebut di atas, point 1 menghasilkan kekuatan runtuh yang sangat kecil, hasil interpretasi data menjadi tidak realistis. Untuk point 3, hubungan kekuatan tarik terhadap deformasi relatif landai, sehingga sulit untuk menentukan lengkung dengan jari-jari terkecil. Oleh sebab itu, untuk interpretasi data digunakan point ke 2, yaitu titik potong dari dua garis singgung

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini bersifat pemodelan semi full-scale. Pengujian dilakukan di lingkungan Fakultas Teknik Universitas Riau.

4.2 Bahan Pengujian

Jenis pengujian pada studi ini merupakan model semi full-scale. Supaya material tanah bisa divariasikan diperlukan kolam pengujian sebagai tempat untuk material tanah. Kolam pengujian mempunyai ukuran, panjang 5,0 m, lebar 2,5 m dan kedalaman 1,8 m. Kolam pengujian diisi dengan tanah gambut. Tanah gambut tersebut diambil dari daerah Rimbo Panjang, Kec.Tambang, Kab. Kampar. Bentuk kolam pengujian dapat dilihat pada Gambar

Gambar 4.1. Kolam pengujian

4.3. Bentuk Pondasi Tiang Berulir dan Penamaannya

Pondasi tiang berulir merupakan pondasi tiang yang diberi tambahan plat berulir. Fungsi plat berulir adalah untuk memperbesar daya dukung pondasi, namun diharapkan tidak menambah beban sendiri pondasi tiang secara signifikan. Pondasi tiang berulir dibuat dari pipa diameter 6 cm, panjang 2,00 meter, dilengkapi dengan plat ulir dengan diameter bervariasi. Plat ulir dipasang pada jarak tertentu. Secara umum bentuk pondasi tiang berulir seperti tampak pada Gambar 4.2.

Parameter yang diharapkan berpengaruh terhadap daya dukung pondasi tiang berulir, Parameter yang diharapkan berpengaruh terhadap daya dukung pondasi tiang berulir,

Gambar 4.2. Pondasi tiang berulir dan detail plat berulir, panjang pile bandingkan dengan

mahasiswa di sebelahnya

Tabel 4.1. Parameter pondasi tiang helical

Plat helical Jarak pemasangan Jumlah plat helical dalam satu tiang diameter

1 buah plat

25 cm M

30 cm

2 buah plat

35 cm L

50 cm

3 buah plat

Untuk menentukan parameter apa yang berperan terhadap daya dukung, maka dibuat beberapa variasi jumlah, jarak dan diamater plat berulir dalam satu pondasi tiang. Sesuai ketiga parameter tersebut dibuat kombinasi ke tiga parameter tersebut, yaitu lebar plat berulir; jarak plat berulir; dan jumlah plat berulir. Supaya memudahkan dalam analisa, maka dilakukan penamaan dalam benda uji (nomenklatur), dalam hal ini pondasi tiang berulir tersebut. Penamaan pondasi tiang berulir disajikan pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Nomenklatur uji pondasi tiang berulir

Posisi & Diameter plat berulir

Penamaan Atas

Jarak pemasangan (cm)

4.4. Peralatan Uji Beban

Supaya daya dukung pondasi tiang berulir dapat diketahui, maka dilakukan uji beban terhadap pondasi tersebut. Pengujian dilakukan dengan cara menekan pondasi untuk uji axial tekan atau menarik pondasi untuk uji axial tarik. Peralatan yang digunakan adalah portal yang telah diperkuat oleh angker. Portal dipasang sepanjang kolam pengujian, masing-masing sisi kolam sebanyak 5 buah. Pada setiap tiang portal diperkuat oleh angker, sepanjang 1,2 meter yang ditanam ke dalam tanah. Fungsi angker untuk menahan tarik akibat beban axial tekan, Supaya daya dukung pondasi tiang berulir dapat diketahui, maka dilakukan uji beban terhadap pondasi tersebut. Pengujian dilakukan dengan cara menekan pondasi untuk uji axial tekan atau menarik pondasi untuk uji axial tarik. Peralatan yang digunakan adalah portal yang telah diperkuat oleh angker. Portal dipasang sepanjang kolam pengujian, masing-masing sisi kolam sebanyak 5 buah. Pada setiap tiang portal diperkuat oleh angker, sepanjang 1,2 meter yang ditanam ke dalam tanah. Fungsi angker untuk menahan tarik akibat beban axial tekan,

Gambar 4.3 Setiap tiang portal diperkuat oleh angker

Pada bentang portal, tepat di atas kolam penguji, diberi jacking yang digunakan untuk menekan pondasi. Jacking diberi alat pengukur gaya tekan, yaitu proving ring, sehingga setiap putaran jacking dapat diketahui besar gaya tekan pada pondasi. Penurunan pondasi diukur dengan dial gauge, kapasitas 5cm, dimana setiap satu kali putaran dial gauge mengukur penurunan sebesar 1 mm, seperti tampak pada Gambar 4.4.

4.5 Tahap Pengujian

Pengujian pondasi tiang berulir dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama adalah pengujian karakteristik tanah gambut di kolam pengujian. Tahap kedua adalah pengujian pondasi tiang tiang berulir.

4.5.1. Pengujian Tanah Gambut

Tanah gambut yang berada di dalam kolam harus dilakukan pengujian sifat fisik dan sifat teknisnya.  Sifat Fisik

Sifat fisik tanah kolam pengujian perlu dilakukan untuk mengetahui karakter tanah tersebut. Sifat fisik yang diperlukan adalah kadar air, kadar serat, kadar organic, berat Sifat fisik tanah kolam pengujian perlu dilakukan untuk mengetahui karakter tanah tersebut. Sifat fisik yang diperlukan adalah kadar air, kadar serat, kadar organic, berat

Gambar 4.4. Untuk uji tekan dipasang jacking yang dilengkapi proving ring dan dial gauge

Pengujian sifat fisik dilakukan pada awal penelitian.  Sifat Teknis

Sifat teknis yang diperlukan untuk mengukur kekuatan geser tanah. Kekuatan geser tanah digunakan untuk menghitung daya dukung pondasi tiang berulir secara analitis. Uji kuat geser yang digunakan untuk mengukur lapisan tanah di kolam pegujian adalah vane shear. Alat ini lebih mudah digunakan untuk mengukur kuat geser sampai kedalaman 3,00 meter. Pengujian sifat teknis dilakukan berulang-ulang untuk kontrol untuk mengetahui apakah ada perubahan dalam kuat geser tanah.

4.5.2. Pengujian Pondasi Tiang Berulir

Untuk mengetahui daya dukung pondasi tiang berulir setiap tipe pondasi tiang berulir, seperti yang tertulis dalam Tabel 4.2, diuji sebanyak masing-masing 1 – 3 kali. Bentuk pengujian pondasi tiang berulir dengan memberi beban axial tekan pada pondasi.

Pemasangan pondasi tiang berulir dan pengujian diberi waktu sela satu hari. Hal ini bertujuan agar tanah pada kolam uji telah melakukan recovery setelah dipasang pondasi tiang berulir.

4.5 Pengujian Kuat Geser Tanah Gambut

Salah satu tujuan penelitian ini adalah membandingkan antara hasil pengujian dengan hasil perhitungan. Oleh sebab itu kekuatan geser tanah selalu dilakukan kontrol kekuatan tanah. Kontrol kekuatan dilakukan dengan pengujian baling-baling (vane shear test) setiap akan melakukan pengujian pondasi.

Namun masih terdapat beberapa permasalahan dalam penggunaan vane shear test pada tanah gambut (Quinn, 1967; Helenelund, 1967). Quinn (1967) menyatakan bahwa mekanisme keruntuhan gambut cenderung bersifat menyobek bukan geser. Pernyataan yang sama dikeluarkan oleh Helenelund (1967) bahwa hasil test vane shear pada tanah gambut tidak bisa diandalkan. Mangan (1993) menyarankan bahwa deformasi gambut bersifat keruntuhan menekan/ melobangi (punching failure), sehingga penggunaan uji vane shear harus hati-hati. Atas dasar penjelasan tersebut di atas maka hasil uji vane shear harus dikoreksi. Faktor reduksi terhadap kuat geser undrained, dirumuskan:

s u  μ FV  C s u  FV 4-1 Golebiewska (1983) mengusulkan faktor koreksi μ FV-C sebesar 0,5 – 0,55. Landva dan

Rochelle (1983) memberikan nilai koreksi μ FV-C sebesar 42% - 57% terhadap nilai s u-FV .

4.6 Tahap Penelitian Secara Keseluruhan

Tahapan penelitian meliputi beberapa tahapan penelitian. Kajian berulir sebagai tiang tunggal (single pondasi tiang) maupun sebagai kelompok tiang (group pondasi tiangs). Kajian mengenai tiang tunggal adalah studi menentukan mekanisme transfer beban kepada pondasi termasuk kondisi ragam keruntuhan (failure mode). Sedangkan studi mengenai kelompok tiang adalah studi mengenai mekanisme kerja dalam bentuk kelompok. Jarak antar Tahapan penelitian meliputi beberapa tahapan penelitian. Kajian berulir sebagai tiang tunggal (single pondasi tiang) maupun sebagai kelompok tiang (group pondasi tiangs). Kajian mengenai tiang tunggal adalah studi menentukan mekanisme transfer beban kepada pondasi termasuk kondisi ragam keruntuhan (failure mode). Sedangkan studi mengenai kelompok tiang adalah studi mengenai mekanisme kerja dalam bentuk kelompok. Jarak antar

Penelitian masih perlu dikembangkan untuk melakukan kajian mengenai perilaku pondasi menerima gaya/beban lateral dan kajian mengenai pengaruh waktu terhadap peningkatan kekuatan daya dukung berulir. Studi secara keseluruhan untuk berulir dapat dilihat pada Gambar 4.5. Proposal ini hanya mencakup Tahap 1, sedangkan untuk tahap berikutnya, yaitu Tahap 2, dan Tahap 3 dilakukan untuk tahun anggaran berikutnya.

Penelitian yang dilakukan ini merupakan penelitian tahap 1, yaitu kajian mengenai karakteristik kekuatan daya dukung berulir untuk beban axial tekan, secara tunggal (single pondasi tiang) maupun kelompok (group pondasi tiang).

Mulai

Persiapan peralatan dan

Tahap 1

pembuatan kolam

Studi mengen ai daya dukung S tudi m enge na i da ya d ukung kondisi tunggal (single pile)

kondis i kelompok (gro up pile) untuk beban axial tekan

u ntuk b eba n axial te kan

Studi daya dukung

S tu di d aya dukung

kondisi tunggal (single pile) kondis i kelompok (gro up pile) untuk beban axial tarik

untuk be ban a xia l tarik

Studi mengen ai daya dukung S tudi m enge na i da ya d ukung

Tahap 2

kondisi tunggal (single pile) kondis i kelompok (gro up pile) untuk beban lateral

un tuk be ba n la teral

Studi daya dukung

S tu di d aya dukung

kondisi tunggal (single pile) kondis i kelompok (gro up pile) sebagai fungsi waktu

s ebag ai fu ngs i wa ktu

Tahap 3

Analisa secara keseluruhan, diperoleh: 1.lebar optimal plate helical, 2. jarak optimal plate helical

3. jarak antara pondasi tiang yan g optimal 4. waktu peningkatan kekuatan daya dukung

dihitung dari akhir pemancangan

Gambar 4.5 Alur penelitian pondasi tiang ulir secara keseluruhan

BAB 5 HASIL PENGUJIAN DAN ANALISA

5.1 Sifat Fisik dan Teknis Tanah Material Tanah