Implementasi Jual Beli Istisna .docx

IMPLEMENTASI JUAL BELI ISTISNA’ PADA
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (LKS)
Makalah ini disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Fiqih Muamalah
Dosen Pengampu : Imam Mustofa, S.H.I., M.SI.

Disusun Oleh :
NAMA / NPM : ANTO GILLAS
NPM

: 1502100012

JURUSAN

: SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM

PRODI

: S1 PERBANKAN SYARIAH

KELAS / SEMESTER : D / III


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2015/2016
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jual beli merupakan salah satu aktivitas bisnis yang sudah berlangsung
cukup lama dalam masyarakat. Namun demikian, tidak ada catatan yang
pasti kapan awal mulanya aktivitas bisnis secara formal. Ketentuan yang
jelas ada dalam masyarakat adalah jual beli telah mengalami perkembangan
dari pola tradisional sampai pada pola modern. Dahulu, masyarakat
melakukan aktivitas jual beli dalam bentuk tukar menukar barang dengan
barang lain. Misalnya, padi ditukar dengan jagung, atau ditukar dengan
garam, bawang dan lain-lain. Di daerah-daerah suku terasing atau
pedalaman, praktek akvititas bisnis seperti ini masih berlaku. Dalam Islam,
ada beberapa jenis jual beli yang dibolehkan. Di antaranya adalah Bay’ asSalam (jual beli salam), Bay’ al-Muqayyadah (barter), Bay’ al-Mutlaq, Bay’

al-Musawah, Bay’ Bisamail ajil, Bay’ Samsarah, dan bay’ Is”ishna’.
Makalah ini akan membahas aktivitas bisnis dalam bentuk bay’ Istisna’
yaitu akad jual barang pesanan diantara dua belah pihak dengan spesifikasi
dan pembayaran tertentu. Barang yang dipesan belum diproduksi atau tidak
tersedia di pasaran. Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan
cicilan tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
B. Rumusan Masalah
1. Definisi Jual Beli Istisna’ ?
2. Apa Dasar Hukum Jual Beli Istisna’ ?
3. Apa saja Rukun dan Syarat Jual Beli Istisna’ ?
4. Bagaimana Penerapan Jual Beli Istisna’ dalam LKS ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui tentang Jual Beli Istisna’
2. Mengetahui Dasar Hukum Jual Beli Istisna’
3. Mengetahui Rukun dan Syarat Jual Beli Istisna’
4. Mengetahui Penerapan Jual Beli Istisna’ dalam LKS

1

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Jual Beli Istisna’
Jual beli dalam bahasa Arabnya disebut dengan al-bay’. Artinya,tukar
menukar atau saling menukar. Menurut terminologi adalah “ tukar menukar
harta atas dasar suka sama suka”. Sedangkan Istisna’ adalah akad yang
berasal dari bahasa Arab artinya buatan. Menurut para ulama bay’ Istisna’
(jual beli dengan pesanan) merupakan suatu jenis khusus dari akad bay’ assalam (jual beli salam). Jenis jual beli ini dipergunakan dalam bidang
manufaktur. Pengertian bay’ Istisna’ adalah akad jual barang pesanan di
antara dua belah pihak dengan spesifikasi dan pembayaran tertentu. Barang
yang

dipesan

belum

diproduksi

atau


tidak

tersedia

di

pasaran.

Pembayarannya dapat secara kontan atau dengan cicilan tergantung
kesepakatan kedua belah pihak. Jual beli alistisna’ dapat dilakukan dengan
cara membuat kontrak baru dengan pihak lain. Kontrak baru tersebut dengan
konsep istisna’ pararel.1
Istisna’ secara etimologi berarti meminta dibuatkan suatu barang, yaitu
meminta seorang pengrajin untuk membuat suatu barang. Secara leksikal
dikatakan bahwa ‘al-sana’ah’ berarti kerajinan tulisan seorang pengrajin dan
pekerjaannya adalah pengrajin. Lafaz’san’ah’ berarti pekerjaan seseorang
pembuat barang atau kerajinan.2
Secara terminologi istisna’ beararti meminta kepada seseorang untuk
dibuatkan suatu barang tertentu dengan spesifikasi tertentu. Istisna’ juga
diartikan sebagai akad untuk membeli barang yang akan dibuat oleh

seseorang. Jadi, dalam akad istisna’ barang yang menjadi objek adalah
barang-barang buatan atau hasil karya. Bahan dasar yang digunakan untuk
membuat barang tersebut berasal dari orang yang membuatnya, apabila

1

Siti Mujiatun, Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna’, Jurnal Riset
Akuntansi Dan Bisnis, Vol 13 No . 2, September 2013, h.212
2
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Jakarta : Rajawali Pers, 2016), h.94

2

barang tersebut dari orang yang memesan atau meminta dibuatkan, maka
akad tersebut adalah akad ijarah, bukan akad istisna’.3
Sebagai contoh, si Andi meminta kepada Ahmad yang berprofesi sebagai
pembuat Furnitur untuk membuat satu set kursi. Semua bahan yang akan
dibuat kursi berasal dari Ahmad sebagai penerima pesanan. Andi hanya
menjelaskan tentang spesifikasi kursi yang di pesan tersebut tanpa
memberikan uang muka dan juga tidak melunasinya saat terjadi akad.

Istisna’ ini bisa terjadi dengan adanya ijab dari pemesan dan kabul dari si
penerima pesanan. Dalam hal ini, pemesan adalah sebagai pembeli dan
penerima pesanan sebagai penjual. Hanya saja, dalam akad istisna’ tidak
disyaratkan memberikan modal atau uang muka kepada penerima pesanan
atau penjual. Selain itu, dalam istisna’ tidak ditentukan masa penyerahan
barang.4
Tujuan

istisna’

umumnya

diterapkan

pada

pembiayaan

untuk


pembangunan proyek seperti pembangunan proyek perumahan, komunikasi,
listrik, gedung sekolah, pertambangan, dan sarana jalan. Pembiayaan yang
sesuai adalah pembiyaan investasi.5
B. Dasar Hukum Jual Beli Istisna’
Sebagai dasar hukum jual beli istisna’ adalah sama dengan jual beli
salam, karena ia merupakan bagian pada jual beli salam. Pada jual beli
salam barang-barang yang akan dibeli sudah ada, tetapi belum berada di
tempat. Pada jual beli istisna’ barangnya belum ada dan masih akan dibuat
atau diproduksi.6 Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qiyas dan kaidahkaidah umum tidak memperbolehkan istisna’. Karena istisna’ merupakan jual
beli barang yang belum ada. Sementara jual beli semacam ini dialarang oleh
Rasulullah, karena barang yang menjadi objek jual beli tidak ada atau belum
ada pada waktu akad. Selain itu, juga tidak bias dinamakan ijarah, karena
3

Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqih al-Islami wa Adillatuh, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2005), V/302.
dikutip oleh Imam Mustofa
4
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah ..., h.95
5
Ismail, Perbankan syariah, (Jakarta: Kencana, 2011), h.149

6
Siti Mujiatun, Jual Beli Dalam Perspektif Islam…, h.214

3

bahan yang akan digunakan untuk membuat barang adalah milik si penjual.
Hanya

saja,

bila

berlandaskan

pada

istihsan,

ulama


Hanafiyah

memperbolehkan. Karena, akad semacam ini sudah menjadi budaya yang
dilaksanakan oleh hamper seluruh masyarakat. Bahkan telah disepakati
ijma’ tanpa ada yang mengingkari. Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad
berpendapat bahwa istisna diperbolehkan berdasarkan diperbolehkannya
akad salam, dimana barang yang menjadi objek transaksi atau akad belum
ada. Rasulullah juga pernah memesan sebuah cincin dan mimbar.
Berdasarkan akad pada jual beli istisna’, maka pembeli menugaskan
penjual untuk menyediakan pesanan sesuai spesifikasi yang disyaratkan.
Tahap selanjutnya, tentu diserahkan kepada pembeli dengan cara
pembayaran dimuka atau tangguh. Spesifikasi dan harga barang pesanan
disepakadi oleh pembeli dan penjual di awal akad. Ketentuan harga barang
pesanan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad.7
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam akad istisna’, yaitu
pertama, kepemilikan barang objek akad adalah pada pemesan, hanya saja
barang tersebut masih dalam tanggungan penerima pesanan, atau pembuat
barang.

Sementara


penerima

pesanan

atas

penjual

mendapatkan

kompensasi materi sesuai dengan kesepakatan, bias uang atau barang.
Kedua, sebelum barang yang dipesan jadi, maka akad istisna’ bukanlah
akad yang mengikat. Setelah barang tersebut selesai dikerjakan, maka
kedua belah pihak mempunyai hak pilih (khiyar) untuk melanjutkan akad
atau mengurungkannya. Dalam hal ini, apabila si penerima pesanan menjual
barang yang dipesan dating dengan membawa sebuah barang kepada
pemesan, maka penerima pesanan tersebut tidak mempunyai hak khiyar,
karena secara otomatis ia memang merelakan barang tersebut bagi
pemesan.8


C. Rukun dan Syarat Istisna’
7
8

Siti Mujiatun, Jual Beli Dalam Perspektif Islam…, h.214
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah ..., h.96

4

1. Adapun Rukun istisna’`adalah :
a.

Produsen/pembuat (shani`)

b.

Pemesan/pembeli (mustashni`)

c.

Proyek/Usaha/Barang/Jasa (mashnu`)

d.

Harga (tsaman)

e.

Shigat (Ijab Qabul)9

2. Syarat istisna’
Berkaitan syarat istisna’, kalangan Hanafiyah mensyaratkan tiga hal
agar istisna’ sah. Tiga syarat ini apabila salah satunya tidak terpenuhi,
maka akad istisna’ dianggap rusak atau batal.
a.

Barang yang menjadi objek istisna’ harus jelas, baik jenis, macam,
kadar dan sifatnya. Apabila salah satu unsure ini tidak jelas, maka
akad istisna’ rusak. Karena barang tersebut pada dasarnya adalah
objek jual beli yang harus diketahui. Apabila seseorang memesan
suatu barang, harus dijelaskan spesifikasinya; bahan, jenis, model,
ukuran, bentuk, sifat, kualitasnya serta hal-hal yang terkait dengan
barang tersebut. Jangan sampai ada hal yang tidak jelas, karena hal
tersebut dapat menimbulkan perselisihan di antara para pihak yang
bertransaksi.

b.

Barang yang dipesan merupakan barang yang biasa digunakan untuk
keperluan dan sudah umum digunakan, seperti pakaian, perabotan
rumah, furniture dan sebagainya.

c.

Tidak diperbolehkan menetapkan dan memastikan waktu tertentu
untuk menyerahkan barang pesanan. Apabila waktu penyerahan
telah ditetapkan, maka dikategorikan sebagai akad salam.

Hak dan Kewajiban Kedua Belah Pihak
9

Arcarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
Cet ke-1, h.97

5

Kontrak istisna’ menciptakan kewajiban moral bagi perusahaan untuk
memproduksi barang pesanan pembeli. Sebelum perusahaan memulai
produksinya,

setiap

pihak

dapat

membat

alkan

kontrak

dengan

memberitahukan sebelumnya kepada pihak lain. Namun demikian, apabila
perusahaan sudah memulai produksinya, kontrak istisna’ tidak dapat
diputuskan secara sepihak.10
D. Penerapan Jual Beli Istisna’ Pada Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Bank dapat bertindak sebagai pembeli atau penjual dalam suatu
transaksi istisna’. Jika bank bertindak sebagai penjual kemudian memesan
kepada pihak lain (subkontraktor) untuk menyediakan barang pesanan
dengan cara istisna’ maka hal ini disebut istisna’ pararel. Istisna’ pararel
dapat dilakukan dengan syarat :
1.

Akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama
antara bank dan pembeli akhir.

2.

Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

3.

Berdasarkan

Fatwa

Dewan

Syariah

Nasional

Nomor

22/DSN-MUI/III/2004 tertanggal 28 Maret 2002, tentang jual beli istisna’
pararel khususnya ketetapan pertama mengenai “Ketentuan Umum”,
4.

Jika LKS melakukan transaksi istisna’ untuk memenuhi kewajibannya
kepada nasabah ia dapat melakukan istisna’ lagi dengan pihak lain
dengan objek yang sama, dengan syarat istisna’ pertama tidak
bergantung (mu’allaq) pada istisna’ yang kedua.

5.

Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad istisna’ (Fatwa DSN
No.06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula pada istisna’ pararel.11

Menurut fiqh muamalah mekanisme pembiayaan istisna ini menjadikan
istisna’ sebagai kasus ijma atau konsensus secara umum. Operasional
10
11

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah ....h.97
Erdi Marduwira, Akad Istishnā’ Dalam Pembiayaan Rumah Pada Bank Syariah

Mandiri, (Jakarta : UIN Syrif Hidayatullah, 2010), h.36

6

Istisna’ dalam penyelenggaraannya memiliki syarat utama sama dengan
pembiayaan salam yakni spesifikasi barang dapat ditentukan dengan jelas.
Umumnya pembiayaan istisna’ dilakukan untuk membiayai pembangunan
konstruksi.
Sebagai Contoh
Pak Badu ingin membangun ruko di atas tanah yang dimilikinya maka
Pak Badu melakukan transaksi jual beli kepada Bank Syariah. Bank Syariah
akan menetapkan harga jual ruko yang akan dibangun tersebut kepada Pak
Badu dan Pak Badu harus mencicil sampai dengan lunas berdasarkan
kesepakatan. Bank Syariah juga akan menunjuk kontraktor yang akan
membangun ruko tersebut dan membayar kontraktor sesuai dengan termin
pembayaran yang disepakati sampai bangunan ruko tersebut selesai
dikerjakan.
Melalui fasilitas istisna’ bank melakukan pemesanan barang dengan
harga yang disepakati kedua belah pihak (biasanya sebesar biaya produksi
ditambah keuntungan bagi produsen, tetapi lebih rendah dari harga jual) dan
dengan pembayaran di muka secara bertahap, sesuai dengan tahap-tahap
proses produksi.12
Jual beli istisna’ dalam praktik LKS adalah istisna’ pararel. Istisna’
pararel merupakan transaksi pembelian atas barang tertentu oleh nasabah
kepada LKS. Pembelian tidak secara langsung dengan melakukan
penyerahan barang, akan tetapi nasabah hanya memberikan spesifikasi
barang, kemudian LKS memesan barang yang diminta nasabah kepada
pihak ketiga atas produsen. Biasanya LKS melakukan pembayaran atas
barang tersebut secara tunai. Barang tersebut kemudian dijual kepada
konsumen atau nasabah, bias secara tunai atau secara angsuran.
Penjelasan lebih lanjut, sebagai berikut :
1.

Nasabah memesan barang kepada bank selaku penjual melalui
negosiasi dan akad istisna’. Dalam pemesanan barang telah dijelaskan

12

M. Denny Jandiar, Jual Beli Murabahah,
http://www.badilag.net, diakses 4 Desember 2016

7

Salam,

Istisna’

dan

Sharf,

spesifikasinya,

LKS

akan

menyediakan

barang

sesuai

dengan

pemesanan nasabah,
2.

Setelah menerima pesanan nasabah, maka LKS segera memesan
barang kepada produsen. Produsen membuat barang sesuai pesanan
bank syariah,

3.

Bank menjual barang kepada pembeli/pemesan dengan harga sesuai
dengan kesepakatan,

4.

Setelah barang selesai dibuat, maka diserahkan oleh produsen kepada
nasabah atas perintah LKS.13
LKS juga dapat mewakilkan pembelian barang kepada nasabah. Praktik

ini hamper sama dengan yang sebelumnya, namun sedikit berbeda. Lebih
jelasnya dapat dilihat sebagai berikut :
1.

Nasabah

mengajukan

pemesanan

barang

dengan

menjelaskan

spesifikasinya kepada LKS,
2.

Kemudian antara pihak nasabah dengan LKS melakukan akad istisna’,

3.

Setelah akad, LKS mewakilkan pemesanan atau pembelian barang
kepada nasabah (mustasni’) dengan memberikan sejumlah uang,

4.

Nasabah memesan dan membeli barang kepda pihak produsen,

5.

Nasabah membayar harga barang kepada pihak LKS, biasanya secara
angsur.14
Dalam aplikasinya bank syariah melakukan istisna paralel, yaitu bank

(sebagai penerima pesanan/shani’) menerima pesanan barang dari nasabah
(pemesan/mustashni’),

kemudian

bank

(sebagaipemesan/mustashni’)

memesankan permintaan barang nasabahkepada produsen penjual (shani’)
dengan pembayaran di muka, cicil,atau di belakang, dengan jangka waktu
penyerahan yang disepakati bersama. Bagan proses pembiayaan istisna
paralel dapat dilihat pada gambar dibwah ini :

13

Ismail, Perbankan Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), h.148, dikutip oleh
Imam Mustofa
14
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah ..., h.100

8

Pembiayaan jual beli yang merupakan turunan dari murabahah, salam,
dan istisna antara lain bai’ mu’ajjal atau bai’ bithaman ajil (murabahah
dengan penangguhan pembayaran), bai’ al-dayn (pembiayaan utang dengan
jual-beli surat berharga perdagangan), bai’ al-istijrar (kontrak untuk
menyuplai barang secara kontinyu), ju’alah (salam untuk industri), salam
paralel, isthisna paralel, dan lain-lain.15
Mekanisme Pembiayaan Istisna` pada PT. Bank Muamalat Indonesia, Tbk
Skema Teknis Perbankan Pembiayaan Istisna`

15

Ascarya Diana Yumanita, Bank Syariah: Gambaran Umum, (Jakarta: Pusat pendidikan
dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BANK INDONESIA, 2005), h.30

9

Dari penjelasan dan gambar diatas, dalam melakukan istisna’ pararel bank
Islam menggunakan 2 (dua) akad. Akad I antara bank dengan nasabah
pemesan, kemudian pada akad II dilakukan antara bank dengan pihak
produsen pembuat (kontraktor).16
Pihak Bank Syari’ah boleh menggunakan jual beli istisna’ paralel, namun
demikian mempunyai konsekuensi sebagai berikut :
1.

Bank Syari’ah sebagai kontrak pertama, tetap bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan kewajibannya. Artinya, pihak Bank Syariah tetap
bertanggung jawab atas kesalahan, kelalaian atau pelanggaran yang
berasal dari sub kontrak yang disetujui.

2.

Pihak yang menjadi sub kontrak hanya bertanggung jawab kepada pihak
Bank Syariah sebagai pemesan barang. Dia tidak mempunyai hubungan
hukum dengan nasabah atau pengusaha yang memesan barang
kepada pihak Bank Syariah.

3.

Pihak Bank Syariah dan sub kontraktor bertanggung jawab terhadap
nasabah atau pengusaha atas kesalahan atau kelalaian yang terjadi.

Contoh Jual Beli Istisna’
Sebuah CV Utama yang menangani bisnis mebel mengajukan pembiayaan
10 set perabot rumah tangga kepada Bank Syariah seharga Rp
200.000.000. Produksi tersebut akan dibayar oleh pihak CV Utama 3 bulan
yang akan datang. Harga satu set perabot di pasaran Rp 20.000.000. Dalam
kaitan ini, pihak Bank dapat memesan barang tersebut kepada pihak lain
dengan harga Rp 18.000.000 satu set. Kedua belah pihak yaitu pihak Bank
Syariah dan Produsen wajib bertanggung jawab kepada CV Utama. Antara
Produsen dengan CV Utama tidak ada hubungan hukum dan tidak boleh
campur tangan dengan soal harga dari pihak Bank Syariah. Pihak Produsen
juga tidak perlu memberitahu kepada pihak lain tentang modal yang
dikeluarkan untuk satu set perabot.17

16

Abdul Mujir, Analisis Perlakuan Akuntansi Istisna’ Pada PT. Bank Muamalat
Indonesia, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah 2008), h.95
17
Siti Mujiatun, Jual Beli Dalam Perspektif Islam…, h.215
10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
istisna’ beararti meminta kepada seseorang untuk dibuatkan suatu
barang tertentu dengan spesifikasi tertentu. Istisna’ juga diartikan sebagai
akad untuk membeli barang yang akan dibuat oleh seseorang. Jadi, dalam
akad istisna’ barang yang menjadi objek adalah barang-barang buatan atau
hasil karya. Bahan dasar yang digunakan untuk membuat barang tersebut
berasal dari orang yang membuatnya, apabila barang tersebut dari orang
yang memesan atau meminta dibuatkan, maka akad tersebut adalah akad
ijarah, bukan akad istisna’.
Akad istisna’ yang digunakan dalam bank syariah adalah istisna’
pararel, aplikasinya dipergunakan pada pembiayaan manufaktur dan
konstruksi yang pembayarannya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif
lama. Sehingga pembayaran dapat dilakukan sekaligus atau bertahap.

11

DAFTAR PUSTAKA
Siti Mujiatun, 2013, Jual Beli Dalam Perspektif Islam : Salam Dan Istisna’, Jurnal
Riset Akuntansi Dan Bisnis, Vol 13 No. 2
Imam Mustofa, 2016, Fiqih Muamalah Kontemporer, Jakarta : Rajawali Pers
Arcarya, 2007, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, Cet ke-1
Erdi Marduwira, 2010, Akad Istishnā’ Dalam Pembiayaan Rumah Pada Bank
Syariah Mandiri, Jakarta : UIN Syrif Hidayatullah
Abdul Mujir, 2008, Analisis Perlakuan Akuntansi Istisna’ Pada PT. Bank
Muamalat Indonesia, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah
M. Denny Jandiar, 2016, Jual Beli Murabahah, Salam, Istisna’ dan Sharf,
http://www.badilag.net
Ismail, 2011, Perbankan syariah, Jakarta: Kencana
Ascarya Diana Yumanita, 2005, Bank Syariah: Gambaran Umum, Jakarta: Pusat
pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) BANK INDONESIA

12