Bank Syariah Di Indonesia Seni

A. Pendahuluan
Secara umum sistem perekonomian didunia dikenal dengan tiga
sistem ekonomi, yaitu (1) Kapitalis,(2) Sosialis, dan (3) sistem campuran
antara Kapitalis dan Sosialis. Selain ketiga sistem ekonomi tersebut,
belakangan hadir sebuah sistem ekonomi baru, yaitu sistem Ekonomi
Islam1 atau sering juga disebut Ekonomi Syariah 2 yang diawali dengan
konsep

ekonomi

dan

bisnis

non

ribawi.

70-an

perjuangan


untuk

menegakkan sistem Ekonomi Syariah di Tanah Air sudah berlangsung,
namun terdapat halangan yaitu faktor politik, bahwa penegakan konsep
Ekonomi Syariah dengan mendirikan Bank Syariah dianggap sebagian dari
cita-cita mendirikan Negara Islam.
Perbankan Syariah merupakan salah satu tolak ukur penerapan
konsep

Ekonomi

merupakan

salah

Syariah
satu

di


Indonesia,

solusi

karena

perekonomian

Perbankan
bangsa,

Syariah

mengingat

perekonomian merupakan tulang punggung penggerak stabilitas Nasional.
Perkembangan dan pertumbuhan perbankan dan lembaga keuangan
berbasis Syariah di Indonesia dari tahun ke tahun memperlihatkan kinerja
yang membaik. Demikian pula kontribusinya terhadap perekonomian

Nasional beranjak naik signifkan. Hal ini merupakan fakta diterimanya
konsep syariah bagi masyarakat Indonesia.3

1

Mohammed Nejatullah Shiddiq menandaskan, Pemikiran Ekonomi Islam berusia
setua Islam. Sepanjang 14 abad sejarah Islam kita menemukan studi yang berkelanjutan
tentang isu ekonomi dan pandangan syariah. (Lihat, Mohammed Nejatullah Shiddiq,
Studi Terkini Sejarah Pemikiran Islam: Suatu Survei Dalam Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Adi Warman Karim)
2

Maksud Syariah bukanlah identik dengan syariat (wahyu Tuhan dan Sunnah
Rasul yang artinya adalah jalan), melainkan ilmu syariat yang telah mengalami
rasionalisasi menurut metode ilmiah. Hasilnya adalah konsep Bank Syariah. Istilah Bank
Syariah sendiri sebenarnya adalah khas Indonesia yang tidak dijumpai di Negara-negara
lain (biasa disebut Bank Islam). Nama itu muncul berkaitan dengan tradisi menegakkan
syariat yang sudah muncul di sekitar berdirinya Republik Indonesia, khususnya disekitar
naskah Piagam Jakarta.
3


Dewi. Nurul Musjtari, Penyelasain Sengketa dalam Praktik Perbankan Syariah,
(Yogyakarta: Parama Publishing, 2012), Cet. I, Hal. 1.

1

Sebagaimana kita ketahui, bank Syariah yang pertama kali berdiri di
Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1992 dan ini
beriringan dengan diterbitkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 yang
memungkinkan pembentukan bank dengan bunga 0% (zero interest).
Setelah sekian lama berdirinya Bank Muamalah Indonesia, sekitar 16
tahun kemudian barulah ada Undang-undang yang secara jelas dan tegas
menaungi perbankan yang menggunakan sistem Syariah ini.
Dalam tenggang waktu selama itu, bagaimana sistem Ekonomi
Islam khususnya perbankan Islam berjalan pada masa itu?, dan usaha
konkrit apa yang dilakukan oleh para pegiat, pakar dan para cendikiawan
muslim untuk

memperjuangankan sistem ekonomi


Islam ?. untuk

menjawab pertanyaan itu, maka dalam makalah ini akan sedikit
digambarkan bagaimana perjalanan Bank Syariah Pra terbentunkya UU
No. 20 tahun 2008.
B. Perbankan Syariah di Masa Rasulullah SAW dan Dunia
Pada masa perang di zaman Rasulullah saw, beliau dan kaum
muslim mendapatkan ghanimah4

dan fai5. Pada masa itu para sahabat

Nabi berselisih faham tentang aturan pembagian harta tersebut, sehingga
turun frman Allah SWT dalam surah Al-Anfal ayat 1yang berbunyi :
       
mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan
perang. Katakanlah: "Harta rampasan perang kepunyaan Allah dan Rasul6
Surah Al-Anfal Ayat 41:
           
   


4

adalah harta yang diperoleh dari orang-orang kafr dengan melalui pertempuran

5

harta rampasan dari negeri (orang kafr) yang ditaklukan tanpa melalui
pertempuran
6

Maksudnya: pembagian harta rampasan itu menurut ketentuan Allah dan
RasulNya.

2

Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul,
Kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil7
Surah Al-Hasyr ayat 7:
           

   
apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah
untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan.
Melalui ayat-ayat di atas, Allah menjelaskan hukum pembagian
harta yang diperoleh pada masa peperangan dan menetapkannya sebagai
hak bagi seluruh kaum muslim. Selain itu, Allah memberikan kewenangan
kepada Rasulullah untuk membagikannya sesuai dengan pertimbangan
beliau untuk kemaslahatan kaum muslimin. Hal tersebut sesuai dengan
hadis

yang

diriwayatkan

dari

Abu


Hurairah

ra,

Rasulullah

saw

bersabda:”setiap negeri yang engkau taklukan tanpa pertempuran, maka
engkau mendapat bagian atas harta rampasannya, dan setiap negeri
yang engkau taklukan dengan pertempuran, maka seperlima harta
rampasannya untuk Allah dan Rasul-Nya, kemudian sisanya untuk kamu
sekalian”.8
Dengan demikian harta yang didapat pada masa perang tersebut
menjadi hak bagi baitul maal yang pengelolaannya dilakukan oleh
Rasulullah. Harta yang didapat pada masa perang oleh kaum muslimin
pada zaman Rasulullah, selesai pertempuran dibagikan sampai habis oleh
Rasulullah, begitu juga pada zaman khalifah Abu Bakar dan pada
permulaan kekhalifahan Umar bin Khattab. Dengan bertambahnya
7


Maksudnya: seperlima dari ghanimah itu dibagikan kepada: a. Allah dan
RasulNya. b. Kerabat Rasul (Banu Hasyim dan Muthalib). c. anak yatim. d. fakir miskin. e.
Ibnussabil. sedang empat-perlima dari ghanimah itu dibagikan kepada yang ikut
bertempur.
8

Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2012), hal. 4.

3

kawasan yang ditaklukan, kekayaan yang didapat pada masa perang pun
semakin banyak, belum lagi pendapatan dari pajak tanah (kharaj) yang
dibayarkan oleh petani dan pajak yang dibayarkan oleh penduduk non
muslim (jizyah). Pada zaman Umar, kekayaan dan pendapatan yang
terkumpul sebagai baitul maal tersebut dicatat dan disalurkan untuk
keperluan dakwah dan syiar Islam serta kemaslahatan rakyat. Sumber
pendapatan keuangan Negara pada zaman Nabi selain ghanimah, juga
khums, zakat, jizyah, dan kharaj. Pada masa itu orang-orang yang

menyebarkan agama dan pejabat Negara mendapatkan gaji dari dana
tersebut, baitul maal yang dibentuk pada awal pemerintahan masih
berbentuk pusat pengumpulan dana dan pembagian kekayaan public
yang belum melembaga. Baitul maal dalam arti kantor perbendaharaan
Negara baru dibentuk pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Khattab (634-644 M).9
Fungsi baitul maal sebagai lembaga yang mengumpulkan harta dan
menyalurkannya

untu

kemaslahatan

rakyat

tersebut,

menurut

Wangsawidjaja identik dengan fungsi bank sebagai lembaga intermediary,

yaitu sebagai penyimpan dan penyalur daba masyarakat. Karena itu
berdasarkan sejarahnya, dapat dikatakan bahwa baitul maal merupakan
cikal bakal dari lahirnya perbankan Syariah.10
Dalam literatur lain disebutkan, bahwa Rasulullah saw yang dikenal
dengan julukan al-amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima
simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum hijrah ke Madinah,
ia meminta Ali bin Abi Thalib r.a untuk mengembalikan semua titipan itu
kepada miliknya. Dalam konsep ini, pihak yang dititipi tidak dapat
memanfaatkan harta titipan.11
Seorang sahabat Rasulullah., Zubair bin Al-Awwam r.a., memilih
tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk
9

Ibid, hal. 4-5.

10

Ibid, hal. 5.

11

Adiwarman, A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT
RajaGrafndo Persada, 2008), hal. 18.

4

pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni
pertama, dengan mengambil uang sebagai pinjaman, ia mempunyai hak
untuk

memanfaatkannya,

kedua,

karena

bentuk

pinjaman,

ia

berkewajiban untuk mengembalikan secara utuh. Dalam riwayat lain
disebutkan, Ibnu Abbas r.a juga pernah melakukan pengiriman uang ke
Kufah dan Abdullah bin Zubair r.a melakukan pengiriman uang dari
Makkah ke adiknya Ms’ab bin Zubair r.a yang tinggal di Irak.12
Penggunaan

cek

juga

telah

dikenal

luas

sejalan

dengan

meningkatnya perdagangan antara Syam dan Yaman, yang paling tidak
berlangsung

dua

kali

dalam

setahun.

Bahkan,

pada

masa

pemerintahannya, Khalifah Umar bin Khattab r.a menggunakan cek untuk
membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan menggunakan
cek ini, mereka mengambil gandum di baitul maal yang ketika diimpor
dari Mesir. Di samping itu, pemberian modal untuk modal kerja berbasis
bagi hasil, seperti mudharabah, muzara’ah, musaqah, telah dikenal sejak
awal di antara kaum muhajirin kaum anshar.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat individu-individu yang telah
melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah saw, meskipun
individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada
sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat
yang

melaksanakan

fungsi

pinjam-meminjam

uang,

ada

yang

melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan
modal kerja.13
Oleh karena bunga uang secara fqih dikategorikan sebagai riba
yang berarti haram, di sejumlah negara Islam dan berpenduduk mayoritas
Muslim mulai timbul usaha-usaha untuk mendirikan lembaga bank
alternatif non-ribawi. Hal ini terjadi terutama setelah bangsa-bangsa
Muslim memperoleh kemerdekaannya dari para penjajah bangsa Eropa.
Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali
dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an tetapi usaha ini
12

Ibid, hal. 19.

13

Ibid,.

5

tidak sukses. Eksperimen lain dilakukan di Pakistan pada akhir tahun
1950-an, di mana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan di
pedesaan negara itu.14
Kemudian sejarah lainnya bagi perkembangan bank Islam yaitu
dengan didirikannya Islamic Development Bank (IDB). Pendiriannya
diawali dengan sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi
Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan pada bulan Desember 1970,
dimana Mesir mengajukan proposal untuk mendirikan bank syariah
Internasional. Setelah melalui persetujuan negara-negara OKI lainnya dan
tahapan-tahapan tertentu, maka pada tahun 1975 berdirilah Islamic
Development Bank (IDB) yang beranggotakan 22 negara Islam pendiri. 15
Lembaga

ini

kemudian

berperan

penting

dalam

memenuhi

kebutuhan dana negara-negara Islam untuk pembangunan dan secara
aktif memberi jaminan bebas bunga berdasarkan partisipasi modal negara
tersebut. Di samping itu, berdirinya IDB juga memotivasi banyak negara
lain untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada akhir periode
1970-an

dan

awal

dekade

1980-an,

lembaga

keuangan

syariah

bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran,
Malaysia, dan Turki.16
C. Perbankan Syariah di Indonesia
Setelah Indonesia merdeka, serangkaian keputusan dan undangundang yang dikeluarkan telah memberikan landasan bagi kebijakan
nasional tentang pengaturan perbankan. Landasan pokok penting bagi
perbankan tencantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1967
tentang Pokok-Pokok perbankan.17
14

Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi ,

Hal 19
15

Adiwarman A. Karim, Praktik Pengembangan Perbankan Syariah di Negaranegara Islam, FHUI, Depok, 2003 hal 1
16

Heri Sudarsono, Op.cit., Hal 20

17

Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi
(Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam), (Yogyakarta: UII Press, 2010), Cet. I, Hal.

6

Sejak awal 70-an, gerakan islam di tingkat nasional telah memasuki
bidang ekonomi dengan diperkenalkannya sistem ekonomi Islam, sebagai
alternatif terhadap sistem kapitalis dan sosialis. Wacana sistem ekonomi
islam itu mencakup semua aspek ekonomi sebagaimana telah dirumuskan
secara komprehensif oleh Umer Chappra dalam bukunya, The Future of
Economics. Namun, dewasa ini terkesan bahwa ekonomi islam itu identik
dengan konsep tentang sistem keuangan dan perbankan.kecenderungan
ini dipengaruhi oleh dua factor. Pertama, petunjuk Tuhan dalam Al-Qur’a n
dan Sunnah yang paling menonjol – paling tidak sebagaimana yang dilihat
dan menjadi perhatian para ulama dan cendikiawan muslim adalah,
doktrin transaksi nonribawi (larangan praktik riba). Kedua, peristiwa
ditahun 1974 dan 1979, yang menimbulkan kekuatan fnancial, berupa
petro dolar pada kawasan Negara-negara dikawasan Timur Tengah dan
Afrika Utara, termasuk Indonesia, Malaysia dan Brunei di Asia Tenggara.
Melihat gejala itu timbul pemikiran untuk “memutar” dana petro dolar
tersebut melalui lembaga keuangan syariah.18
Sebenarnya di Indonesia maupun di Dunia Islam terdapat dua aliran
pemikiran sehubungan dengan sistem keuangan dan perbankan. Aliran
pertama berpendapat bahwa bunga bank itu tidak tergolong riba, karena
yang disebut riba adalah pembugaan uang oleh mindering yang bunganya
sanggat tinggi sehingga disebut ”lintah darat”. Seorang ulama terkemuka
dari PERSIS (Persatuan Islam), A. Hasan, bahkan berpendapat bahwa yang
disebut riba itu adalah bunga dengan suku bunga tinggi (ad’afan
mudhoafan).

Muhammad

Hatta,

ahli

ekonomi

terkemuka,

juga

berpendapat bahwa riba adalah bunga pada kredit konsumtif, sedangkan
bunga pada kredit produktif tidak tergolong riba, karena, uangnya
bermanfaat untuk mendapatkan keuntungan. Mereka yang menghalalkan

8-9.
18

M. Dawam Raharjo, “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”, dalam kata
pengantar, Adiwarman A. karim, BANK ISLAM ANALISIS FIQIH DAN KEUANGAN, Ed. 4, Cet.
7, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. XII.

7

bunga bank termasuk tokoh Muhammadiyah, Kasman Singomedjo dan
Syarifuddin Prawiranegara.19
Namun aliran yang melahirkan

ide bank Islam berpendapat bahwa

bunga itu tetap riba. Kendatipun demikian, bank sebagai lembaga
keuangan tidaklah dilarang, bahkan diperlukan. Karena itu yang harus
diciptakan adalah sebuah bank yang tidak bekerja atas dasar bunga,
melainkan atas sistem bagi hasil yang dikenal dalam fqh muamalah
sebagai transaksi qirad atau muradharabah.20aliran kedua ini

dapat

dikategorikan

aliran

sebagai

pemikiran

fundamentalis,

sedangkan

pertama bisa disebut sebagai aliran liberal.
Kedua aliran tersebut di Indonesia maupun di dunia Islam masih tetap
hidup bersama. Pada umumnya di dunia Islam yang berlaku adalah dual
system yang berkoeksistensi dan bersaing. Sebagian besar umat Islam
masih menganut pada sitem perbankan konvensional. Mereka menyimpan
uangnya dan meminta kredit dari bank konvensional dengan sistem
bunga.
Namun

kelompok

fundamentalis

di

bidang

ekonomi

ini

memperjuangkan berlakunya syariat di bidang perbankan. Diantara
tokoh-tokoh yang memperjuangkannya seperti, A. M. Saefuddin, Karnaen
Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syaf’I Antonio, Adiwarman
Karim, Zainal Arifn, Mulya Siregar, Suroso Jajuli, Zaenal Baharnoer, Iwan
Poncowinoto dan Riawan Amin.21
Pada dasarnya entitas bank Syariah di Indonesia sudah dimulai
sejak tahun 1983 dengan keluarnya Paket Desember 1983 (Pakdes 83)
yang berisi sejumlah regulasi di bidang perbankan, dimana salah satunya
ada peraturan yang memperbolehkan bank memberikan kredit dengan
19

Beliau adalah tokoh Masyumi yang pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan
dan Gubernur Bank Sentral, Bank Indonesia yang pertama.
20

Adalah sebuah sistem yang digunakan bank Syariah, yaitu pembagian
keuntungan dengan proporsional yang telah ditentukan antara pemodal dan
pekerja/pengelola modal.
21

Ibid, Hal. XXI-XXII.

8

bunga 0% (zero interest).22 Deregulasi ini tidak berdampak langsung atas
pelaksanaan sistem perbankan tanpa bunga yang dibicarakan pada
pertengahan tahun 1970-an,23 ada beberapa alasan yang menghambat
terealisasinya ide ini, yaitu operasi bank Islam yang menerapkan perinsip
bagi hasil belum diatur, oleh karena hal itu tidak sejalan dengan UndangUndang No. 14 tahun 1967. Konsep bank Islam dari segi poltis juga
dianggap berkonotasi ideologis, merupakan bagian atau berkaitan dengan
konsep Negara Islam. Dan pada saat itu masih dipertanyakan, siapa yang
bersedia menaruh modal dalam ventura semacam itu, sementara
pendirian bank baru dari Negara-negara Timur Tengahmasi dicegah,
antara lain oleh kebijakan pembatasan bank asing yang ingin membuka
kantor cabang di Indonesia, sedangkan pendirian bank baru oleh orang
Indonesi sendiri masih belum memungkinkan. 24 Dalam perkembangannya
diikuti oleh serangkaian kebijakan di bidang perbankan oleh Menteri
Keuangan Radius Prawiro yang tertuang dalam Paket Oktober 1988 (Pakto
88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi perbankan yang memberikan
kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, sehingga industri perbankan
pada waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.25
Seminar lokakarya bertema Bunga Bank dan Perbankan yang
diadakan pada tanggal 18-20 agustus 1990, menimbulkan ide berdirinya
bank Islam. Ide tersebut ditindak lanjuti dalam Munas IV Majelis Ulama
Indonesia (MUI) di Hotel Sahid pada tanggal 22-23 agustus 1990. Akhirnya
dengan

izin

prinsip

Surat

Keputusan

Menteri

Keuangan

RI

No.

22

Abdul Ghofur Anshori, Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional, (La-Riba Jurnal Ekonomi
Islam, 2008), Vol. II, No. 2, Hal. 161.
23

Wacana ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia dengan
Timur Tengah pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang dilaksanakan
oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika.
(Lihat, Duddy Yustiady, Penjelasan Perbankan Syariah Secara Umum).
24

Wirdyaningsil. Dkk, Bank dan Suransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2007), Cet. III, Hal. 49
25

Abdul Ghofur Anshori, Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah di
Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional, (La-Riba Jurnal Ekonomi
Islam, 2008), Vol. II, No. 2, Hal. 161.

9

1223/MK.013/1991 tanggal 5 November 1991 dan Izin usaha Keputusan
Menteri Keuangan RI No. 430/KMK: 013/1992 tanggal 24 April 1992 bahwa
pada tanggal 1 Mei 1991 Bank Muamalat Indonesia dapat memenuhi
operasi melayani kebutuhan masyarakat melalui jasa-jasanya. 26
Industri perbankan yang pertama menggunakan sistem Syariah
adalah PT. Bank Muamalat Indonesia Tbk yang didirikan pada tahun 1991
dan memulai kegiatan oprasionalnya pada bulan Mei 1992. Perbankan
bank

dimaksud,

diprakarsai

oleh

Majelis

Ulama

Indonesia

(MUI),

Pemerintah Indonesia, serta mendapat dukungan nyata dari eksponen
Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha
muslim. Selain itu, pendirian Bank Muamalat juga mendapat dukungan
dari masyarakat. Pada tanggal 27 Oktober 1994, hanya dua tahun setelah
didirikan, Bank Muamalat berhasil menyandang predikat sebagai Bank
Devisa. Pengakuan ini semakin memperkokoh posisi perseroan sebagai
bank Syariah pertama dan terkemuka di Indonesia.27
Lahirnya

Bank

Muamalat

Indonesia

(BMI)

ini

diikuti

dengan

kemunculan Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan yang
memperkenalkan sistem Perbankan Bagi Hasil. Dalam undang-undang
tersebut pada pasal 6 (m) dan pasal 13 huruf (c) menyatakan, 28 bahwa
salah satu usaha Bank Umum dan Bank Pengkreditan Rakyat adalah
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia No. 119 tahun 1992. 29 Walaupun
fungsi regulasi pemerintah terhadap sektor bagi hasil ini sudah dimulai,
26

Syaf’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), Hal. 25.
27

Zainuddin. Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafka, 2008), Cet. I,
Hal. 11-12
28

Pada intinya kedua pasal tersebut menerangkan, bahwa bank umum maupun
BPR dapat menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam PP tersebut.
29

Wirdyaningsil. Dkk, Bank dan Suransi Islam di Indonesia, Op. Cit, Hal. 51.

10

namun undang-undang ini belum secara tegas mengatur tentang
keberadaan perbankan syariah. Artinya undang-undang tersebut belum
member landasan hukum yang kuat terhadap pengembangan bank
syariah karena belum tegas mengatur keberadaan bank berdasarkan
prinsip syariah.30 Dalam perjalanannya, perbankan syariah di Indonesia
geraknya tidak secapat bank konvensional. Kondisi ini terjadi akibat dari
sistem dan perangkat hukum yang mendukung perbankan syariah tidak
memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi perbangkan syariah untuk
berkembang.
Kebiasaan

dan

tradisi

hukum

di

Indonesia

dalam

membuat

rancangan undang-undang di zaman Orde Lama dan Orde Baru tidak
pernah terdengar kata “Syariat”. Kata “Syariat”itu baru muncul ketika
rancangan undang-undang perbankan diusulkan menjadi undang-undang
di akhir zaman Orde Baru dan zaman awal Reformasi. Hal ini menujukan
bahwa pihak eksekutif dan legislative memahami aspirasi penduduk
Indonesia yang mayoritas muslim, sehingga menyiapkan perangkat
hukum yang berkaitan dengan persoalan hukum perbankan dan produkproduknya.31
Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter.

Akibat krisis tersebut,

merupakan suatu ujian terhadap para pelaksana sistem peekonomian
Indonesia yang membuat banyak lembaga keuangan dan perbankan saat
itu mengalami negative spread yang berakibat pada likuidasi, tingkat
suku bunga yang mengakibatkan tinggi biaya modal bagi sektor usaha
yang pada akhirnya mengakibatkan merosot kemampuan usaha sektor
produksi, berdampaknya pada kualitas aset perbankan menurun secara
drastis, sementara

sistem perbankan mempunyai kewajiban untuk

membayar bunga kepada para depositor sesuai dengan tingkat suku
bunga pasar. Rendahnya kemampuan daya saing usaha pada sektor
produksi ini menyebabkan berkurangnya persen sistem perbankan secara
30

31

Rozalinda, Politik Ekonomi Islam di Indonesia, Hal. 2.
Zainuddin. Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafka, 2008), Cet. I,

Hal. 3.

11

umum untuk menjalankan fungsi sebagai intermediator dalam kegiatan
investasi.32
Perkembangan perbankan syariah dalam menghadapi berbagai
krisis, cukup memadai. Hal ini dibuktikan dengan hampir tidak ditemukan
permasalahan dalam penyaluran pembiayaan (non performing loan) pada
perbankan syariah dan tidak terjadi negative spread dalam kegiatan
operasionalnya.

Hal

dimaksud

dapat

difahmi

mengingat

tingkat

pengembalian pada bank syariah tidak mengacu pada tingkat suku bunga
dan pada akhirnya dapat menyediakan dana investasi dengan biaya
modal yang relatif lebih rendah kepada warga masyarakat. Selain itu,
fakta hukum menunjukkan bahwa bank syariah relatif lebih dapat
menyalurkan dana kepada sektor produksi dengan LDR berkisar antara
113-117%.33
Pada tahun 1998, dikeluarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang
Perbankan. Pada undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang
memberikan peluang yang besar bagi pengembangan perbankan syariah
di Indonesia. Undang-Undang ini juga memberikan penegasan terhadap
konsep

Perbankan

Islam

dengan

megubah

penyebutan

“bank

Berdasarkan Prinsip Bagi hasil” pada Undang-Undang No. 7 tahun 1992,
menjadi “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Bahkan dalam undangundang tersebut juga dijelaskan tentang pengertian Prinsip Syariah dalam
perbankan pun terdapat penguatan kedudukan Hukum Islam dalam
hukum positif. Sebagai mana disebutkan dalam Pasal 1 ayat (13 ).34
32

Ibid, Hal. 16.

33

Ibid.

34

“Bahwa Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam
antara bank dengan pihak lain untuk menyimpan dana dan/atau pembiayaan kegiatan
usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesusai syariah, antara lain, pembiayaan
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip
penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli-barang dengan memperoleh
keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas
barang yang disewa dari dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina’)

12

Undang-undang inilah yang pertama kali memperkenalkan istilah
perbankan Syariah, yag sebelumnya hanya dikenal dengan bank yang
menggunakan prinsip bagi hasil dan memberikan layanan dengan bunga
0%

(zero

interest).

Dan

undang-undang

tersebut

juga

memberi

kesempatan yang luas untuk pengembangan jaringan perbankan Syariah
antara lain melalui pembukaan Kantor Cabang Syariah (KCS) atau Unit
Usaha Syariah (UUS) oleh bank konvensional. Dengan kata lain, bank
umum

dimungkinkan

menjalankan

usahanya

secara

konvensional

sekaligus dapat melakukannya berdasarkan prinsip syariah. 35 UU No. 10
ini menjadi dasar hukum penerapan Dual Banking System di Indonesia.
Dual Banking System ini membuktikan sektor keuangan berbasis Syariah
diterima dalam industri perbankan nasional. Aturan ini memicu ekspansi
perbankan Syariah nasioal secara signifkan.
Akan tetapi efek keadaan ini, bank Syariah yang menjadi unit bank
konvensional tidak dapat berdiri sendiri, operasionalisasinya masih
menginduk kepada bank konvensional. Bila demikian, adanya perbankan
syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan
bank konvensional. Untuk mencapai tujuan yang di inginkan perbankan
Syariah dibutuhkan kemandirian perbankan syariah dengan pengaturan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan khusus.
Pada periode undang-undang ini, juga dapat dilihat beberapa
permasalahan hukum yang masih belum diatur lebih lanjut. Masalahmasalah tersebut antara lain:36
1. Bank islam tunduk pada dua sistem hukum yang berbeda,
2. Eksistensi Dewan Pengawas Syariah,
3. Pengawasan

bank

Islam

masih

berdasarkan

pendekatan

konvensional,
4. Bank sentral memakai standar interst,
5. Belum memadainya peraturan pelaksanaan bank Islam,
35

Wirdyaningsil. Dkk, Bank dan Suransi Islam di Indonesia, Op. Cit, Hal. 55.

36

Ibid, h. 57.

13

6. Hukum perdata tetap menjadi acuan dalam dokumentasi dan
legitimasi.
Secara evolusi perjalanan perundang-undangan perbankan di
Indoseia dapat digambarkan sebagai berikut :
1. UU No. 14 tahun 1967 (tidak memungkinkan ada bank tanpa
bunga)
2. Deregulasi 1 juni 1983 (dimungkinkan ada bank tanpa bunga,
tapi belum ada izin mendirikan bank baru)
3. Pakto 1988 (dimungkinkan adanya bank tanpa bunga, sudah
ada ijin mendirikan bank baru)
4. UU. No. 7 tahun 1992 (sudah diakomodasi adanya bank tanpa
bunga dengan sistem bagi hasil)
5. UU no. 10 tahun 1998 (penyebutan istilah perbankan Syariah
secara jelas, dan memungkinkan bank konvensional membuka
Kantor Cabang Syariah “KCS” atau Unit Usaha Syariah “UUS)
D. Kesimpulan
Perjalanan perbankan di Indonesia tentunya sudah ada sejak zaman
colonial dahulu, dan dalam kontek pasca kemerdekaan regulasi pertama
yang ada mengenai perbankan di tanah air dimulai dengan UU No. 14
Tahun 1967, dari regulasi tersebut tidak memungkinkan adanya bank
tanpa bunga, namun dengn perkembangan selanjutnya lahir regulasiregulasi yang menaungi adanya bank yang boleh menjalankan usahanya
tanpa bunga / zero inters.
Perjuangan para cendikiawan dalam menegakkan ekonomi Islam di
Indonesia tentunya mendapat banyak tantangan, diantaranya adalah
faktor politik yang ada. Lahirnya ide pendirian bank syariah sendiri
tentunya tidak lepas dari peran para pemikir fundamental, yang mereka
berpendapat

bahwa

bunga

bank

itu

adalah

riba,

namun

pada

perkembangan zaman ini tetunya jasa perbankan sangatlah diperlukan,
karena itu para fundamentalis melahirkan ide adanya bank Islam yang
tentunya bank dengan menggunakan prinsip dasar Islam. Diantara tokoh14

tokoh yang memperjuangkannya seperti, A. M. Saefuddin, Karnaen
Perwataatmaja, M. Amin Aziz, Mohammad Syaf’I Antonio, Adiwarman
Karim, Zainal Arifn, Mulya Siregar, Suroso Jajuli, Zaenal Baharnoer, Iwan
Poncowinoto dan Riawan Amin.
Salah satu faktor dapat berdirinya bank Islam pada waktu itu adalah
keberpihakan politik pada masa itu mampu mendoron berdirinya Bank
Islam, salah satunya dengan pembentuan Ikatan Cendikiawan Muslim
Indonesia (ICMI) yang diketuai BJ. Habibiy pada saat itu.
Sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang disebut
sebagai bank syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia, barulah lahir
regulasi yang menaunginya, seperti lahirnya UU No. 7 tahun 1992 yang
memungkinkan adanya bank tanpa bunga, lalu sekitar 6 tahun kemudian
lahir pula UU No. 10 tahun 1998 yang menyebutkan istilah perbankan
syariah dengan jelas didalamnya serta penjelasannya sendiri. Dengan
lahirnya

Uundang-undang

tersebut

berkembangnya perbankan syariah.

15

memberikan

angin

segar

bagi

DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. karim, Bank Islam Analisis Fiqih Dan KeuangaN, Ed. 4, Cet.
7, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Adiwarman A. Karim, Praktik Pengembangan Perbankan Syariah di
Negara-negara Islam, FHUI, Depok, 2003.
Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan
Konversi

(Pendekatan

Hukum

Positif

dan

Hukum

Islam),

(Yogyakarta: UII Press, 2010), Cet. I.
Abdul Ghofur Anshori, Sejarah Perkembangan Hukum Perbankan Syariah
di Indonesia dan Implikasinya bagi Praktik Perbankan Nasional, (LaRiba Jurnal Ekonomi Islam, 2008), Vol. II, No. 2.
Dewi. Nurul Musjtari, Penyelasain Sengketa dalam Praktik Perbankan
Syariah, (Yogyakarta: Parama Publishing, 2012).
Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi
M. Dawam Raharjo, “Menegakkan Syariat Islam di Bidang Ekonomi”,
dalam kata pengantar.
Rozalinda, Politik Ekonomi Islam di Indonesia.
Syaf’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2001)

16

Wangsawidjaja, Pembiayaan Bank Syariah, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2012).
Wirdyaningsil. Dkk, Bank dan Suransi Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana Prenada Media, 2007), Cet. III.

17

Dokumen yang terkait

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL AGRIBISNIS PERBENIHAN KENTANG (Solanum tuberosum, L) Di KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR

27 309 21

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Analisis Komposisi Struktur Modal Pada PT Bank Syariah Mandiri (The Analysis of Capital Structure Composition at PT Bank Syariah Mandiri)

23 288 6

STUDI PENGGUNAAN SPIRONOLAKTON PADA PASIEN SIROSIS DENGAN ASITES (Penelitian Di Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang)

13 140 24

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5