Pedagang kaki lima potensi yang terpingg
PEDAGANG KAKI LIMA, POTENSI YANG TERPINGGIRKAN:
Optimalisasi potensi kota melalui pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima secara
kolaboratif
Astri Anindya Sari
Mahasiswa Magister Arsitektur, SAPPK - Institut Teknologi Bandung
e-mail: [email protected]
ABSTRAK
Permasalahan khas yang dihadapi oleh kota-kota besar di negara berkembang adalah tingginya arus
urbanisasi dan pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi dengan peningkatan lapangan kerja yang
signifikan. Sebagai akibatnya masyarakat urban informal harus berupaya pibadi secara kreatif mencari
sumber penghidupan bagi diri dan keluarganya. Salah satu upaya tersebut terlihat dari menjamurnya
pedagang kaki lima dengan berbagai barang daganganya pada lokasi-lokasi strategis di ruang publik
kota seperti trotoar, ruas jalan, maupun ruang terbuka kota.
Aktivitas pedagang kaki lima di ruang publik kota secara tidak langsung mengkonstruksi ruang sosio
temporal yang mampu memberikan warna tersendiri bagi aktivitas di kota. Aktivitas mereka menyediakan
ruang sosial bagi masyarakat yang tak tersegmentasi, sehingga kehadirannya selalu dibutuhkan. Disisi
lain, keberadaan pedagang kaki lima dengan kesemrawutan tampilannya dinilai membawa masalah dan
merusak citra keindahan serta kebersihan kota. Akibat negatif inilah yang menyebabkan pemangku
kebijakan tertentu cenderung menganggap keberadaan pedagang kaki lima sebagai masalah yang harus
disingkirkan daripada memandangnya sebagai potensi yang dapat dikembangkan.
Melalui studi komparasi terhadap pengelolaan pedagang kaki lima pada ruang publik di berbagai kota,
tulisan ini ingin menunjukkan bahwa dengan pengelolaan aktivitas dalam ruang terbuka secara kreatif
dan terpadu melalui kolaborasi pihak-pihak yang terlibat didalamnya, permasalahan yang timbul akibat
aktivitas pedagang kaki lima pada ruang publik kota dapat diminimalisir. Pengelolaan secara kolaboratif
tersebut mampu memaksimalkan potensi yang ada sehingga aktivitas yang terjadi akan mampu
memberikan berbagai manfaat baik terhadap kota yang bersangkutan, masyarakat, maupun pemerintah
kota.
Kata kunci: pedagang kaki lima, ruang publik kota, pemangku kebijakan, pengelolaan kolaboratif
URBANISASI, AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DAN DILEMATISASI
PENGELOLAANNYA
Tingginya arus urbanisasi dan pertumbuhan penduduk tanpa diimbangi peningkatan lapangan kerja yang
signifikan pada kota-kota besar negara berkembang termasuk Indonesia memaksa masyarakat urban
informal dengan modal dan tingkat pendidikan yang rendah berupaya pribadi secara kreatif menciptakan
lapangan pekerjaan dan penghidupan bagi diri dan keluarganya. Salah satu upaya kreatif tersebut terlihat
pada wajah kota kita yang kini telah memiliki penghuni baru, pedagang kaki lima. Pedagang kaki lima
dengan aktivitasnya yang melakukan privatisasi dan merubah fungsi ruang-ruang publik kota kerap kali
dianggap sebagai cacat bagi ruang kota. Menurut Pernia (1994) dalam Alisjahbana (2005), urbanisasi
juga dipicu oleh sesuatu yang sifatnya struktural, seperti kesenjangan kota-desa, kemiskinan, maupun
pembangunan wilayah yang kurang berpihak pada masyarakat. Maka dari itu, persoalan pedagang kaki
lima sebagai dampak ikutan dari urbanisasi tak dapat dinyatakan sebagai murni kesalahan masyarakat,
namun juga dari sistem pembangunan yang menaunginya, sehingga upaya-upaya penanggulanganyapun
harus diupayakan memberi keuntungan bagi semua pihak.
Pedagang kaki lima merupakan bagian dari sektor ekonomi informal yang keberadaannya sudah tak asing
lagi, bahkan telah dianggap menjadi bagian perekonomian kota-kota besar di negara berkembang
termasuk Indonesia. Sektor informal merupakan sektor ekonomi yang terdiri dari unit-unit usaha berskala
kecil dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam
usahanya itu dihadapkan dalam berbagai kendala seperti faktor modal fisik, pengetahuan, dan ketrampilan
(Alisjahbana, 2005).
Dilihat dari segi sosial dan ekonomi, keberadaan pedagang kaki lima secara tak langsung membantu
pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Pedagang kaki lima
tumbuh secara mandiri dan menciptakan lapangan pekerjaan tanpa mengandalkan kredit dari pemerintah.
Selain itu pedagang kaki lima dengan karakteristiknya yang selalu mendekati keramaian aktivitas
manusia menyediakan alternatif makanan dan barang kebutuhan dengan harga yang terjangkau. Hal
tersebutlah yang membuat aktivitas pedagang kaki lima pada ruang-ruang publik di kota secara tak
langsung mengkonstruksi ruang sosio-temporal bagi masyarakat yang tak tersegmentasi. Dewasa ini
ditengah derasnya arus budaya konsumerisme dan penataan fungsi komersial kota yang semakin
berorientasi pada mall dan pusat perbelanjaan mewah, keberadaan pedagang kaki lima justru
mengakomodir kebutuhan masyarakat kelas menengah dan kebawah yang notabene di Indonesia
jumlahnya jauh melebihi masyarakat kelas atas sebagai target pasar dari mall dan pusat perbelanjaan yang
dibangun. Bahkan bagi pihak swastapun, pedagang kaki lima memiliki andil sebagai perpanjangan
tangan pendistribusian barang-barang yang mereka produksi.
Terlepas dari segala nilai positif yang dimilikinya, dari segi arsitektur dan perancangan kota kehadiran
pedagang kaki lima dengan kekumuhan dan kesemrawutan tampilannya merupakan cacat tersendiri bagi
wajah kota. Kehadirannya yang melakukan privatisasi pada ruang-ruang publik kota seperti trotoar, taman
kota, dan badan jalan dinilai mengganggu kenyamanan aktivitas masyarakat dan merubah fungsi ruang
kota. Belum lagi dengan dampak-dampak ikutan yang ditimbulkannya seperti kemacetan, semakin
membuat para pemangku kebijakan pada kota-kota tertentu cenderung memandang pedagang kaki lima
sebagai masalah yang harus ditangani dengan cara-cara represif daripada melihatnya sebagai potensi
untuk dikembangkan.
Salah satu kota di Indonesia yang masih menyelesaikan persoalan pedagang kaki lima dengan melihatnya
sebagai masalah adalah Bandung. Sebagai kota dengan pertumbuhan ekonomi pesat yang melebihi
daerah sekitarnya, Bandung merupakan tujuan urbanisasi yang dampaknya adalah jumlah sektor informal
yang besar dan menempati daerah daerah strategis di kota Bandung, diantaranya ruang terbuka, ruas-ruas
jalan yang ramai, dan disekitar institusi pendidikan. Dalam menangani masalah PKL ini, pemerintah kota
Bandung cenderung mengambil langkah represif yakni dengan penggusuran dan relokasi. Tindakan
represif pemerintah Bandung ini tercermin dari peraturan daerah Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun
2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan terutama pasal 37 ayat d dan k
yang berisi tentang larangan berjualan dan mendirikan kios pada trotoar dan tempat umum lainnya (Setia,
2008).
Pada kenyataanya tindakan represif dalam penggusuran dan relokasi ini tak pernah efektif karena
tindakan pedagang kaki lima yang cenderung lebih memilih kucing-kucingan dengan petugas saat
dilakukannya operasi penertiban, maupun adanya oknum petugas yang membuka kesempatan
“penyelesaian masalah” ditempat (Setia, 2008). Ketika hari ini diadakan operasi penertiban, tak jarang
keesokan harinya para pedagang kaki lima telah kembali berdagang di tempat semula. Hal ini setali tiga
uang dengan upaya relokasi. Sejauh ini hanya beberapa upaya pemerintah Bandung untuk merelokasi
pedagang kaki lima yang dinilai berhasil. Selebihnya banyak pedagang yang kembali lagi ke tempat
semula ataupun jika tidak, tempat asal akan ditempati oleh pedagang yang lain. Relokasi cenderung
dianggap sebagai upaya menjauhkan para pedagang kaki lima daei konsumen karena lokasi baru
cenderung lebih jauh dan sepi sehingga mengurangi penghasilan mereka. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian Donovan (2008) bahwa dengan upaya relokasi, kondisi kerja pedagang kaki lima akan semakin
baik, namun disisi lain penghasilannya menurun. Namun diatas semua itu, keberadaan pedagang kaki
lima juga dipicu oleh adanya permintaan. Selama masih adanya permintaan masyarakat atas makanan
dan barang-barang dengan harga murah maka selama itu pulalah pedagang kaki lima akan terus ada untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
Wacana tentang pedagang kaki lima merupakan wacana tak kunjung usai dan seolah telah dimaklumi
sebagai permasalahan khas negara berkembang. Dilematisasi antara keuntungan dan kerugian yang
ditimbulkannya serta kompleksitas persoalan ini membuat pedagang kaki lima harus ditangani secara
seksama dan memperhatikan seluruh kepentingan unsur yang terkait didalamnya.
AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA DI RUANG TERBUKA PUBLIK - POTENSI DAN
MASALAH
Sebagai pelaku ekonomi dengan modal rendah, pedagang kaki lima cenderung memanfaatkan lokasilokasi strategis pada ruang publik kota sebagai tempat usahanya. Walaupun untuk berdagang pada lokasi
tersebut tidaklah gratis, karena pedagang kaki lima kerapkali harus membayar sejumlah uang pada
“penguasa setempat” namun harga yang harus dibayarkan jauh dibawah sewa sebuah kios formal
sehingga masih dapat dijangkau. Selain itu berjualan pada tempat-tempat publik yang strategis dan dekat
dengan aktivitas manusia dipandang lebih menguntungkan karena posisi yang secara langsung mendekati
calon pembeli.
Whyte (1980) menyatakan bahwa selain adanya tempat duduk, makanan merupakan faktor yang dapat
menarik lebih banyak masyarakat untuk mendatangi sebuah ruang terbuka. Menurut Whyte keberadaan
penjaja makanan akan selalu mengundang lebih banyak orang untuk mengunjungi sebuah ruang terbuka
publik, dengan demikian aktivitas di ruang terbuka publik menjadi lebih hidup sehingga fungsi sosial
ruang terbuka publik sebagai sarana interaksi serta aktivitas masyarakatpun tercapai. Namun kondisinya
akan berbeda ketika jumlah pedagang kaki lima yang melakukan privatisasi pada ruang publik sudah
semakin banyak terlebih lagi dengan kesemrawutan tampilan serta kekumuhan yang ditimbulkan. Apabila
kondisi tersebut terjadi, maka pandangan negatiflah yang akan muncul. Pedagang kaki lima dianggap
sebagai pengganggu kenyamanan aktivitas di ruang terbuka, dan sebagai penyebab timbulnya masalah
lain seperti sampah.
Di kota Bandung, transformasi fungsi ruang publik akibat aktivitas pedagang kaki lima terlihat secara
signifikan pada ruang terbuka dari Monumen Perjuangan Rakyat Bandung hingga lapangan Gasibu.
Terletak pada lokasi strategis yang mudah dijangkau dari segala arah, dan keintegrasiannya dengan
simbol kota Bandung Gedung Sate, menjadikan lapangan Gasibu sebagai salah satu ruang terbuka paling
penting di Bandung dengan sense of place yang tak dapat dirasakan pada ruang terbuka lain di kota ini.
Direncanakan di awal sebagai sarana olahraga pagi masyarakat, ruang terbuka ini kini bertransformasi
menjadi pasar dadakan yang ramai dikunjungi setiap hari Minggu.
Ratusan pedagang yang menggelar lapaknya menggunakan berbagai bentuk alat dagang serta aneka
ragam jenis barang dagangan dengan harga terjangkau menarik minat masyarakat dari seantero Bandung
dan kota-kota disekitarnya untuk datang mengunjungi tempat ini setiap hari Minggu. Keanekaragaman
masyarakat baik pengunjung maupun pedagang yang beraktivitas di Gasibu, dari tingkat ekonomi, sosial,
dan pendidikan membuktikan kemampuan aktivitas pedagang kaki lima di Gasibu dalam mengakomodir
kebutuhan masyarakat akan ruang sosial yang tak tersegmentasi. Selain itu banyaknya jumlah
pengunjung setiap minggunya merupakan bukti bahwa aktivitas pedagang kaki lima pada ruang terbuka
memiliki sebuah potensi wisata. Namun sayangnya potensi ini hanya dikelola dengan sistem
‘premanisme’ tanpa perencanaan dengan baik, sehingga potensi yang ada tertutup dengan masalah ikutan
yang muncul seperti kesemrawutan tatanan, kesumpekan akibat pengunjung yang berjubel, kemacetan
ruas-ruas jalan disekitar Gasibu, kekumuhan, dan terlebih lagi pemandangan tak sedap pasar Gasibu
merusak kesan monumental Gedung Sate sebagai simbol kota Bandung.
Gb 1. Kesemrawutan Tampilan PKL di
Gasibu Merusak Image Gedung Sate
sumber: Sari, 2010
Gb 2. Suasana Belanja dan Kemacetan yang Terjadi
Karena Aktivitas PKL Meluas Sampai Badan Jalan
sumber: Sari, 2010
Dari ulasan mengenai aktivitas pedagang informal di ruang terbuka dengan Gasibu Bandung sebagai
kasus, terlihat bahwa aktivitas pedagang kaki lima tidak hanya memberikan nilai tambah di bidang
ekonomi dan sosial saja, namun juga memiliki potensi wisata. Potensi tersebut harus dikembangkan
melalui pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima dengan pendekatan yang tepat sehingga permasalahan
yang timbul akibat aktivitas pedagang kaki lima pada ruang publik akan dapat diminalisir. Selain itu
pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima melalui pendekatan yang tepat akan dapat memberikan manfaat
baik terhadap kota yang bersangkutan, masyarakat, maupun pemerintah kota.
PENGELOLAAN AKTIVITAS PEDAGANG KAKI LIMA SECARA KOLABORATIF
Saat ini sudah seharusnya perencanaan kota memperhitungkan keberadaan pedagang kaki lima sebagai
salah satu unsur dari masyarakat yang akan menempati ruang kota, sehingga kehadirannya tidak akan
mengganggu fungsi-fungsi ruang kota lain yang direncanakan. Salah satunya dengan cara
mengalokasikan fungsi ruang untuk berjualan yang dituangkan dalam Rencana Detail Tata Ruang Kota
sehingga dapat digunakan sebagai panduan lokasi mana yang boleh dijadikan tempat berjualan. Selain itu
beberapa kawasan dapat pula dikembangkan sebagai zona pedagang kaki lima dengan jenis dagangan
tertentu seperti pusat kerajinan, pusat kuliner, pusat barang bekas dan lain sebagainya. Keberadaan pusatpusat kegiatan pedagang kaki lima ini tentunya harus didukung dengan fasilitas publik yang memadai
seperti jalur pejalan kaki, tempat parkir, penerangan jalan, air bersih, atau saluran pembuangan.
Bagaimanapun perencanaan tersebut tidak akan dapat terwujud tanpa peran serta aktif dari pihak-pihak
yang berkepentingan. Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perencanaan aktivitas pedagang kaki
lima meliputi pemerintah sebagai penanggungjawab regulasi dan penataan ruang kota, pedagang kaki
lima dan organisasi yang menaunginya sebagai pelaku utama, serta pihak swasta dan pengusaha kecil
sebagai pihak yang turut dibantu usahanya oleh pedagang kaki lima melalui pendistribusian produk.
Dengan keterlibatan dan kerjasama yang terpadu dari pihak-pihak tersebut, maka perencanaan aktivitas
pedagang kaki lima pada ruang terbuka akan mencakup aspirasi dari masing-masing pihak sehingga dapat
menghasilkan program-program yang berkelanjutan.
Salah satu hal terpenting dalam pengelolaan aktivitas pedagang kaki lima secara kolaboratif ini adalah
pengorganisasian pedagang kaki lima dan pelibatan aspirasinya dalam setiap pengambilan keputusan atas
kebijakan yang menyangkut aktivitas pedagang kaki lima. Pengorganisasian pedagang kaki lima
mempermudah komunikasi dan koordinasi antar anggota mereka, selain juga mempermudah
penyampaian aspirasi pada pemerintah kota sebagai pembuat keputusan. Koordinasi dan kolaborasi antara
pemerintah kota dan komunitas pedagang kaki lima dibutuhkan utamanya untuk menghindari konflikkonflik yang terjadi atas tidak terakomodirnya kepentingan salah satu pihak dalam setiap kebijakan yang
diambil (Pena, 1999).
Pengalaman kota Malang, Surabaya, dan Solo dalam usahanya menerapkan pengelolaan kolaboratif
dalam perencanaan aktivitas pedagang kaki lima di ruang-ruang terbuka publik di kota masing-masing
dapat menjadi pelajaran bagi kota-kota lain dalam pengelolaan pedagang kaki lima dan melihatnya
sebagai suatu potensi.
1. Malang – Wisata Belanja Pasar Tugu
Pasar Tugu (pasar sabtu-minggu) merupakan pasar temporer yang ada di malang sejak awal tahun
2000an. Komunitas yang berdagang pada pasar temporer ini adalah PKL dari seluruh pelosok kota
Malang yang dipayungi oleh paguyuban PKL Ikatan Pedagang Wisata Belanja Tugu dan kini
anggotanya mencapai 470 orang. Pertama kali beroperasi, pasar Tugu menempati ruang terbuka di
depan stadion Gajayana Malang. Ketika diadakan renovasi di Stadion Gajayana dan pembangunan
Mall Olympic Garden pada komplek stadion, maka aktivitas pasar Tugu dipindahkan pada ruang
terbuka kota Taman Malabar dan meluas sampai ke jalan Simpang balapan yang merupakan kawasan
permukiman kelas menengah. Namun kurangnya koordinasi antara pemkot dan paguyuban
menyebabkan tidak adanya perencanaan dan penataan yang sinergis pada aktivitas pasar Tugu di
Simpang Balapan. Akibatnya timbul permasalahan seperti kesemrawutan dan sampah yang
meresahkan warga Simpang Balapan sehingga akhirnya mereka mengajukan protes kepada
pemerintah kota. Disisi lain pemerintah kota berkeinginan mempertahankan aktivitas pasar Tugu dan
menjadikannnya sebagai alternatif tujuan wisata di Malang.
Dalam perkembangannya saat ini aktivitas pasar Tugu dikembalikan lagi pada Jl Semeru di depan
stadion Gajayana setelah sebelumnya sempat dipindahkan pula di lapangan Rampal. Kawasan Jl
Semeru juga merupakan kawasan permukiman, sehingga untuk menghindari protes warga dan lebih
mengoptimalkan pengelolaan, Pemerintah Kota Malang dibawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
merangkul paguyuban pedagang kaki lima(IPWBT) untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita
menjadikan pasar Tugu sebagai salah satu potensi pariwisata kota Malang.
Berdasar waancara, diketahui bahwa kerjasama antara IPWBT dengan Pemerintah Kota dibawah
Dinas Pariwisata diwujudkan dalam kontrak kerja. Langkah-langkah yang diambil adalah pembatasan
waktu kerja, tendanisasi, dan penataan zonasi. Pembatasan waktu kerja dilakukan oleh pemkot dengan
menutup akses ke Jl Semeru pada hari minggu pagi sampai siang hari pukul 13.00 WIB untuk
aktivitas pasar. Setelahnya jalan berfungsi kembali seperti semula. Penataan zonasi dilakukan oleh
paguyuban, dengan mengatur pedagang dengan zona tertentu berdasarkan item yang dijual.
Selanjutnya untuk menertibkan tampilan, pemkot dan paguyuban bekerjasama dalam penyediaan
tenda untuk berjualan. Dengan keseragaman tampilan, dan penataan zonasi maka kesan semrawut
yang timbut pada pelaksanaan pasar Tugu sebelumnya akan hilang. Masalah kebersihan menjadi
tanggung jawab paguyuban. Paguyuban menghimbau kepada anggotanya untuk menjaga kebersihan
wilayah dagangnya masing-masing, dan membereskan dagangan setelah aktivitas pasar usai sehingga
jalan semeru dapat kembali pada fungsinya semula tepat pukul 13.00 WIB. Paguyuban memastikan
kedisiplinan anggotanya, karena sesuai kontrak kerja yang disepakati bahwa apabila kebersihan dan
ketepatan waktu tidak terjaga maka akan dikenakan denda. Dengan demikian, hingga saat ini aktivitas
pasar Tugu berjalan lancar dan mampu menggerakkan perekonomian mikro selain menjadi salah satu
pilihan wisata di kota Malang yang diminati masyarakat. Aktivitas ini juga mampu memberikan
keuntungan bagi pemkot Malang berupa retribusi sebesar Rp 5000 per pedagang setiap minggunya.
Gb.3 Suasana Aktivitas Belanja
di Pasar Tugu Malang
Sumber: Sari, 2010
Gb.4 Sekretariat Pasar Tugu,
Pusat Koordinasi dan Informasi
Sumber: Sari, 2010
Selain pada aktivitas pasar tugu, pemerintah kota Malang juga berusaha melakukan pengelolaan pada
ativitas pedagang kaki lima pada sepanjang jalan di depan stasiun kota Malang. Dengan sistem
pengelolaan yang sama, ruang terbuka disepanjang jalan depan stasiun kota yang dahulu dipenuhi
aktivitas pedagang kaki lima dengan kesemrawutan tampilannya, kini berhasil dibatasi waktu
operasinya pada sore hingga malam hari dengan tampilan tenda yang seragam yang mempercantik
wajah kota.
2. Surabaya – Pusat Kuliner Kya-kya Kembang Jepun
Kawasan Jl Kembang Jepun Surabaya merupakan kawasan pecinan di sejak tahun 1900an, dan hingga
saat ini terkenal dengan aktivitas perdagangan. Bangunan-bangunan yang berdiri di sepanjang jalan
ini merupakan bangunan konservasi, dengan gaya art deco peninggalan masa kolonial serta beberapa
bangunan dengan arsitektur cina. Pada awal tahun 2003, pemkot Surabaya berencana menghidupkan
suasana malam pada koridor jalan Kembang Jepun dengan memusatkan PKL pada koridor jalan ini
dan membuat ‘pusat jajanan’. Namun karena kurang perencanaan, usaha ini gagal dan tidak mendapat
sambutan masyarakat.
Selanjutnya atas usulan dari Dahlan Iskan, dikembangkanlah konsep awal pusat jajanan di Kembang
Jepun secara lebih terencana. Idenya adalah mengangkat sense of place yang telah dimiliki oleh
Kembang jepun sebagai kawasan pecinan, yakni membuat pusat jajanan dengan nuansa tradisional
Cina. Konsep diwujudkan dengan kesinambungan tema antara desain kawasan, termasuk penyediaan
utilitas air bersih serta listrik dan pengemasan acara. Pengelolaan kawasan ini diserahkan kepada
pihak swasta yakni PT. Kya-Kya Kembang Jepun. Selanjutnya sejak tgl 31 mei 2003, jalan kembang
jepun ditutup setiap pukul 18.00-02.00 WIB dan dibuka untuk umun sebagai pusat kuliner dengan
latar budaya cina.
Gb.5 Apresiasi Masyarakat Pada Pembukaan
Pusat Kuliner Kya-Kya Kembang Jepun
Sumber: www.eastjava.com
Gb.6 Suasana Aktivitas dan Interaksi Pada
Pusat Kuliner Kya-Kya Kembang Jepun
Sumber: www.eastjava.com
Sebanyak 182 orang pedagang dan PKL berpartisipasi dalam aktivitas ini. Mereka menempati posisi
di pinggir jalan, sedangkan ditengah jalan ditata meja dan kursi. Para pedagang yang tergabung
diwajikan membayar uang sewa stan sebesar Rp 500.000 per bulan ditambah dengan biaya
kebersihan. Sejak diresmikannya, pusat kuliner Kya-Kya mendapatkan sambutan sangat meriah dari
warga Surabaya dan sekitarnya. Kelebihan lain dari pengelolaan wisata kuliner Kya-kya ini adalah
tidak hanya menyediakan makanan, namun juga menampilkan atraksi budaya sebagai hiburan pada
waktu-waktu tertentu. Untuk penyelenggaraan atraksi budaya, pengelola bekerjasama dengan unit
terkecil masyarakat setempat seperti karang taruna, dan kelompok seni budaya. Dengan demikian
selain mampu memberikan kesempatan kerja, menggerakkan perekonomian masyarakat, serta
memberika pemasukan yang tidak sedikit bagi pemerintah kota Surabaya, pusat kuliner Kya-kya juga
mampu menjadi salah satu icon wisata kuliner di Surabaya.
Sayangnya lambat laun tempat ini semakin sepi, beberapa pendapat beredar di masyarakat berkaitan
dengan mulai sepinya tempat antara lain mahalnya harga makanan yang dijual, jauhnya tempat parkir,
sampai dengan alasan lain yang berbau mistis. Namun apa penyebab sesungguhnya tak pernah
diketahui, karena setelah kontrak dengan PT Kya-kya Kembang Jepun berakhir pada 2005, tanpa
mengadakan evaluasi terlebih dahulu, pemerintah kota Surabaya mengakhiri aktivitas kuliner di jalan
Kembang Jepun dan mengembalikan fungsi jalan ini seperti semula. Keputusan tersebut menjadikan
koridor jalan Kembang Jepun kembali sepi dan tak lagi hidup seperti sebelumnya. Namun terlepas
dari kegagalan dan ketakberlanjutannya, proyek ini sangat baik dari segi penataan dan pemberdayaan
masyarakat setempat untuk memunculkan sebuah potensi wisata.
Kegagalan yang dialami pengelolaan pusat jajanan Kya-Kya Kembang Jepun salah satunya disinyalir
terjadi karena mahalnya harga makanan yang dijual diatas standar pedagang kaki lima pada umumnya.
Kenaikan harga memang menjadi salah satu dampak yang wajar terjadi ketika pedagang kaki lima
telah mengalami formalitas dan penataan sedemikian rupa dengan fasilitas dan utilitas yang lebih baik.
Namun perlu adanya kontrol dari pemerintah dan pengelola agar kenaikan harga yang terjadi tidak
terlalu jauh sehingga pusat kuliner pedagang kaki lima yang direncanakan tidak menjadi arena sosial
yang ‘segmented’, tidak dapat dijangkau oleh semua kalangan, dan akhirnya ditinggalkan.
3. Solo – Gladak Langen Bogan
Gladak langen Bogan merupakan pusat wisata kuliner yang dikembangkan oleh pemerintah kota Solo
sejak 13 April 2008. Terletak di daerah pusat kota Solo sepanjang Jl Mayor Sunaryo Gladag, Solo
(utara kawasan alun-alun utara), pengembangan Galabo dilakukan dengan menutup jalan umum di
pusat batik Pusar Grosir Solo (PGS) dan Beteng Trade Center (BTC) setiap hari sejak pukul 17.0024.00 WIB. Tujuan pengembangan lokasi kuliner ini menurut Kepala Badan Informasi dan
Komunikasi (BIK) Pemkot Solo, Purnomo Subagiyo adalah sebagai daya tarik pariwisata kota Solo
selain untuk menertibkan dan memudahkan pemantauan terhadap aktivitas vendors di Solo
(Wicaksono, 2008).
Mengadopsi konsep dari Kya-kya kembang Jepun Surabaya, penataan jalan umum sebagai pusat
wisata kuliner dilakukan dengan menempatkan para pedagang berjajar pada sepanjang kanan dan kiri
jalan, sedangkan di tengah jalan ditata kursi dan meja dengan payung peneduh sebagai tempat
menikmati makanan. Untuk menertibkan dan menyeragamkan tampilan para pedagang, pemkot
Surakarta telah menyediakan gerobag stainless secara gratis. Selain itu juga disediakan fasilitas air
bersih yang dialirkan pada tiap lokasi pedagang sehingga kebersihan penyajian terjaga. Pedagang
yang berpartisipasi dalam Gladag Langen Bogan ini diseleksi secara khusus oleh pemerintah kota
Solo, untuk berdagang di tempat ini mereka tidak dikenakan retribusi harian namun diwajibkan
membayar pajak penghasilan. Menyajikan beragam kuliner khas daerah, Gladak Langen Bogan
sampai saat ini telah sukses menjadi salah satu pusat aktivitas dan kreativitas masyarakat Solo selain
sebagai salah satu destinasi wisata.
Gb.7 Suasana Aktivitas dan Interaksi Pada
Gladak Langen Bogan
Source: Alfan, 2008
Gb.8 Gerobag Stailess Stell
Sebagai Alat Berjualan
Source: Fronny, 2009
Kota Solo sendiri telah dikenal sebagai kota dengan kebijakan yang ramah terhadap pedagang kaki
lima. Selain pengembangan pusat kuliner Gladag langen Bogan, kesuksesan penanganan PKL di kota
Solo juga terlihat dari keberhasilan relokasi 989 PKL dari monumen Banjarsari ke pasar Klithikan
Notoharjo, Semanggi. Proses tersebut secara langsung mengembalikan fungsi ruang terbuka publik di
monumen Banjarsari ke peruntukannya semula. Keberhasilan penanganan PKL di kota Solo
kebijakan pemerintah kotanya yang tak sekedar reaktif namun juga pro aktif. PKL di kota Solo tidak
dipandang sebagai masalah, namun sebagai bagian dari masyarakat yang merupakan potensi.
Sehingga kebijakan yang diterapkan bukanlah upaya penggusuran, namun meliputi pembinaan,
penataan, dan penertiban. Selain itu dalam penyusunan kebijakan berkaitan dengan penanganan PKL
di Solo turut melibatkan aspirasi organisasi PKL sebagai pelaku utama aktivitas sehingga terjadinya
gejolak sosial dapat dihindari (Siswanda, 2008).
KESIMPULAN
Menjamurnya aktivitas pedagang kaki lima pada ruang-ruang terbuka kota besar di negara
berkembang saat ini merupakan dampak ikutan dari tingginya arus urbanisasi yang tidak diiringi oleh
peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Persoalan menyangkut aktivitas pedagang kaki lima pada
ruang publik kota merupakan hal yang dilematis karena disatu sisi aktivitas tersebut dinilai membawa
dampak positif terutama berkaitan dengan peningkatan ekonomi mikro, dan mengurangi
pengangguran. Selain itu pedagang kaki lima mengakomodir kebutuhan masyarakat akan barangbarang kebutuhan dengan harga murah, dan membantu pihak swasta dalam mendistribusikan produk
mereka. Disisi lain, dari sudut pandang arsitektural dan perencanaan kota, keberadaan pedagang kaki
lima pada ruang publik dianggap sebagai cacat yang menodai keindahan wajah kota. Dampak negatif
ini membuat aktivitas pedagang kaki lima cenderung dilihat sebagai masalah yang harus diatasi
dengan cara-cara represif seperti penggusuran dan relokasi, walaupun di kemudian hari cara-cara ini
terbukti kurang efektif.
Dari fenomena aktivitas pedagang kaki lima yang terjadi pada Gasibu Bandung, dan tiga kota lainnya
sebagai komparasi, diketahui bahwa keberadaan pedagang kaki lima pada ruang publik kota
menyediakan ruang sosial tak tersegmentasi yang memiliki kemampuan untuk menarik masyarakat
berkumpul. Kegiatan di ruang publik tersebut dapat menghidupkan aktivitas dan suasana kota baik
siang maupun malam hari. Melalui pendekatan yang tepat, permasalahan yang timbul sebagai efek
samping dari aktivitas pedagang dan masyarakat pada ruang publik akan dapat diminimalisir, bahkan
keberadaan pedagang kaki lima dapat dioptimalkan dan dijadikan tujuan wisata.
Keberhasilan pengelolaan aktivitas PKL pada ruang terbuka publik yang telah dilakukan pada kota
Malang, Surabaya, dan Solo pada intinya bersumber dari kerjasama dan pengorganisasian pedagang
kaki lima dengan pemerintah kota. Dengan merangkul organisasi pedagang kaki lima, maka aspirasi
pedagang akan dapat dilibatkan dalam penataan dan perencanaan ruang publik, sehingga konflikkonflik antara aparat dan pedagang dapat diminimalisir. Selain itu koordinasi dan kolaborasi
mempermudah penyelesaian terhadap dampak dari aktivitas pedagang kaki lima seperti kebersihan
dan kemacetan. Langkah-langkah konkrit yang dilakukan untuk menata, menghilangkan kesan kumuh
dan semrawut adalah penataan zonasi dan penyeragaman tampilan. Dilakukan dengan memberikan
alat perdagangan yang sama, seperti tenda dan payung yang seragam, sehingga suasana yang kompak
dapat dicapai. Namun pada prinsipnya dibutuhkan usaha kolaborasi antara pemerintah kota dan
organisasi pedagang kaki lima untuk mencapai satu tujuan yaitu mengembangkan tujuan wisata baru.
Perancangan kolaboratif pada ruang publik kota memiliki berbagai manfaat bagi sektor informal,
pemerintah kota, masyarakat, serta terhadap nilai ruang publik itu sendiri sebagai bagian dari kota.
Bagi sektor informal, kolaborasi ini memberikan fasilitas lapangan kerja dan sarana peningkatan
ekonomi mereka. Bagi masyarakat, perancangan ruang publik yang kolaboratif akan menyediakan
ruang yang nyaman bagi mereka untuk berkumpul, bersosialisasi, dan beraktifitas serta memberikan
pilihan bagi tujuan wisata yang juga akan memberikan keuntungan untuk pemerintah kota. Aktivitas
yang terjadi dari perencanaan kolaboratif akan menghidupkan suasana di ruang terbuka kota serta
meningkatkan nilai fungsi ruang terbuka sebagai sarana aktivitas dan kreatifitas masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Doni, (2008), Langen-Bogan Pusat Jajan Solo, http://margoyudan98.blogspot.com, diunduh
pada 11 April 2010
Alisjahbana, (2005) Sisi Gelap Perkembangan Kota, Resistensi Sektorinformal Dalam Perspektif
Sosiologis, Yogyakarta: LaksBang pressindo
Anonim, Kya-Kya Kembang Jepun, http://eastjava.com./books/kyakya diunduh pada 5 Maret 2010
Donovan, Michael. G, (2008), Informal Cities and the Contestation of Public Space: The Case of
Bogotá's Street Vendor 1988-2003, Urban Studies 2008 45: 29
Frony, 2009,wisata kuliner solo,http://soloculinary.blogspot.com, diunduh pada 13 April 2010
Pena, Sergio, (1999), Informal Market: Street Vendor in Mexico City, Habitat International Vol. 23,
No. 3, 1999, pp. 363}372
Setia, resmi, (2008), Ekonomi Informal Perkotaan: Sebuah Kasus Tentang Pedagang Kaki Lima Di
Kota Bandung, penelitian AKATIGA,
http://www.akatiga.org/index.php/sumberreferensi/doc_view/24-ekonomi-informal-perkotaansebuah-kasus-tentang-pedagang-kaki-lima-di-bandung?tmpl=component&format=raw, diunduh
pada 10 April 2010
Siswanda, Hetifah, (2008), Ciri Kebijakan Perkotaan yang Ramah PKL, http://hetifah.com/artikel/cirikebijakan-ramah-pkl.html, diunduh pada 6 Oktober 2010
Whyte, William. H, (1980), The Social Life of Small Urban Spaces, The Conservation Foundation
Wicaksono, Anandityo, (2008), Pelajaran dari Galabo, Solo, anindityowicaksono.blogspot.com,
diunduh pada 13 April 2010