MODAL HUKUM UNTUK MELAWAN PENCEMAR LINGK

MODAL HUKUM UNTUK MELAWAN PENCEMAR/PERUSAK LINGKUNGAN HIDUP
KHUSUSNYA DI DANAU TOBA

Menurut pasal 1 angka 17 UU no 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup, yang dimaksudkan dengan kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan
langsung dan atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan atau hayati lingkungan hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Disandingkan dengan pada angka 16 nya bahwa kerusakan itu terjadi karena perusakan
lingkungan hidup yang merupakan tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau
tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia dan/atau hayati lingkungan hidup
Mayoritas perubahan lingkungan dan kerusakan yang terjadi adalah akibat terjadinya
industrialisasi, dan itu dimotori oleh badan-badan usaha. Semakin besar usaha industrinya
seringkali semakin besar pula potensi perusakan lingkungan hidup yang menyertainya.
Contoh kasus adalah lumpur lapindo yang telah menyebabkan kerusakan lingkungan hidup
yang amat besar. Persawahan padi hancur, masyarakat terusir dari rumah dan kampungnya, rel
dan perjalanan kereta api terganggu. Angkutan darat seperti truk dan mobil penumpang harus
berputar jalan. Pemberian ganti rugi sampai hari ini belum tuntas, sementara kerusakan
lingkungan hidup akibat semburan lumpur lapindo terus terjadi. Pembentukan Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoardjo tidak juga mampu melaksanakan penanggulangan terhadap
berbagai masalah ikutan akibat semburan lumpur lapindo.


Persoalan pengelolaan lingkungan hidup spektrumnya amat luas, tidak aneh karena ini
menyangkut wilayah tempat tinggal kita, sumber daya alam kita, bagaimana menyelamatkan
planet bumi dari eksploitasi egois manusia dan perusahaan yang memikirkan keuntungan sesaat
mereka tanpa memperdulikan kelangsungan lingkungan hidup bagi generasi mendatang.
Kerusakan lingkungan hidup dapat mencakupi :
1. Penggundulan hutan akibat pemberian hak pengelolaan hutan dan illegal logging,
2. Banjir dan longsor akibat kegundulan hutan,
3. Rusaknya ekosistem sumber daya hayati
4. Pencemaran sungai dan danau akibat beroperasinya pabrik-pabrik
5. Pencemaran laut akibat tumpahnya minyak atau pembuangan limbah B3
6. Polusi udara perkotaan akibat asap karbon
7. Betonisasi jalan di perkotaan yang menghalangi penyerapan air
8. Pemanasan global akibat semua hal diatas dan penipisan lapisan ozon
9. Terbakarnya hutan primer akibat eksploitasi diam-diam manusia
10. Pengikisan hutan bakau/mangrove
11. Penggunaan senjata kimia perusak
12. Dll

Di dalam pasal 21 UU 32/2009 sudah diatur kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi kriteria baku kerusakan ekosistem dan kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim.


Kriteria baku kerusakan ekosistem meliputi :
a. Kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah ukuran batas perubahan
sifat dasar tanah yang dapat ditenggang berkaitan dengan kegiatan
produksi biomassa (bentuk-bentuk pemanfaatan sumber daya tanah yang mencakupi
lahan pertanian atau lahan budi daya dan hutan untuk menghasilkan biomassa)

b. Kriteria baku kerusakan terumbu karang adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau
hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.
c. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan
atau lahan adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan
atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau
d.
e.
f.
g.
h.

lahan yang diakibatkan oleh suatu usaha dan atau kegiatan.
Kriteria baku kerusakan mangrove

Kriteria baku kerusakan padang lamun
Kriteria baku kerusakan lahan gambut
Kriteria baku kerusakan karst
Kriteria baku kerusakan ekosistem lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi

Sedang kriteria baku kerusakan akibat perubahan iklim didasarkan pada parameter antara lain :
a.
b.
c.
d.

Kenaikan temperatur
Kenaikan permukaan air laut
Badai
Kekeringan

Dari uraian diatas nampaklah betapa luasnya spektrum kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena
itu penanganan/pengendalian untu meminimalisirnya menggunakan alat hukum juga harus
mampu mencakupi hal itu semua.


Dengan demikian UU PPLH ini berusaha membuat pengaturan yang amat detil guna menjaga
lingkungan hidup kita.
Jadi model penegakkan hukumnya pun menjadi amat kompleks dan jauh dari sederhana. Khusus
sistem peradilan pidana mensyaratkan bahwa mulai dari polisi atau jaksa yang melakukan
penyelidikan maupun penyidikan serta penuntutan dibutuhkan mereka yang terspesialisasi
kepada hukum lingkungan, guna memahami pelanggaran ataupun kejahatan yang terjadi
terhadap lingkungan hidup.
Oleh karena itu dalam pasal 94 UU no 32 tahun 2009 yang mengatur tentang penyidikan dan
pembuktian diatur pula tentang penyidik pegawai negeri sipil yang berasal dari pejabat tertentu
di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

PPNS (penyidik pegawai negeri sipil ) dimaksud berwenang :
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
b. Melakukan pemeriksaan terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak
pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan dan dokumen lain berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti,
pembukuan, catatan dan dokumen lain.
f. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
h. Menghentikan penyidikan
i. Memasuki tempat tertentu, memotret dan atau membuat rekaman audio visual
j. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan dan atau tempat lain yang
diduga merupakan tempat dilakukannya tindak pidana dan atau
k. Menangkap dan menahan pelaku tindak pidana perusakkan lingkungan hidup

Dalam melakukan penangkapan dan penahanan PPNS berkoordinasi dengan penyidik polisi.
Begitu juga ketika PPNS melakukan penyidikan , PPNS memberitahukan kepada penyidik polisi
dan penyidik polisi memberikan bantuannya guna kelancaran penyidikan.
PPNS saat akan melakukan penyidikan memberi tahukan kepada penuntut umum dengan

tembusan kepada penyidik polisi tentang saat dimulainya penyidikan dan selanjutnya akan
menyampaikan hasil penyidikannya langsung kepada penuntut umum.
Penyidikan terpadu juga dapat dilakukan antara PPNS, kepolisian dan kejaksaan di bawah
koordinasi menteri PPLH.
PPNS ini memperoleh kewenangan yang amat luas karena termasuk juga kewenangan
melakukan penangkapan dan penahanan bahkan penghentian penyidikan. Oleh karena itu sama
halnya dengan penegak hukum lainnya, kualifikasi PPNS harus benar-benar selektif.

Alat – Alat Penegakkan Hukum Lingkungan
Sarana penegakkan hukum yang dimungkinkan dan diatur dalam UU no 32 tahun 2009 adalah :

Sanksi Administratif
Menteri, gubernur atau bupati/walikota yang sesuai kewenangannya wajib melakukan
pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan atas ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Pejabat –pejabat diatas menerapkan sanksi administratif kepada penanggung jawab usaha dan
atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan.
Sanksi administratif dimaksud terdiri atas :
a.

b.
c.
d.

Teguran tertulis
Upaya paksa pemerintah
Pembekuan izin lingkungan
Pencabutan izin lingkungan

Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan atau
kegiatan jika pemerintah pusat menganggap pemerintah daerah secara sengaja tidak menerapkan
sanksi administratif terhadap pelanggaran serius di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.

Sanksi administratif tersebut tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan atau kegiatan
dari tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Sedangkan sanksi pembekuan atau pencabutan izin lingkungan dilakukan apabila penanggung
jawab usaha dan atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan pemerintah.
Lalu apakah yang dimaksud dengan paksaan pemerintah? Hal itu bisa berupa :
a.

b.
c.
d.
e.
f.
g.

Penghentian sementara kegiatan produksi
Pemindahan sarana produksi
Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi
Pembongkaran
Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran
Penghentian sementara seluruh kegiatan
Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup

Pengenaan paksaan oleh pemerintah dapat saja dilakukan tanpa didahului teguran tertulis apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan :
a. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup
b. Dampak yang lebih besar dan lebih luas mungkin terjadi jika tidak segera dihentikan

pencemaran dan atau perusakannya dan atau
c. Kerugian yang lebih besar mungkin terjadi bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan atau perusakannya .

Sementara itu tindakan administratif lain yang dapat dilakukan selain tindakan paksaan
pemerintah dan atau pencabutan izin usaha adalah pelaksanaan putusan pengadilan tata usaha
negara. Jadi sanksi administratif dapat dilakukan tanpa melalui putusan peradilan tata usaha

negara melainkan hanya putusan pejabat yang berwenang, disamping itu juga adalah pelaksanaan
putusan pengadilan tata usaha negara.

Sanksi Pidana
Ancaman pidana atas kejahatan di bidang lingkungan hidup dalam UU 32 tahun 2009 diatur
dalam jumlah pasal yang cukup banyak yakni 24 pasal. Artinya para legislator UU tersebut
merespon amat serius ancaman perusakan terhadap lingkungan hidup.
Jadi selain mengancam sanksi pidana dengan 24 pasal, UU juga memberi kewenangan kepada
PPNS untuk melakukan penangkapan dan penahanan serta kewenangan penghentian penyidikan.
Boleh dibilang ini adalah salah satu uu administratif yang mengatur dengan begitu banyak pasal
yang mengatur sanksi pidana. Pasal 97 bahkan menggolongkan tindak pidana .berdasarkan UU
ini sebagai kejahatan.

Lalu pasal 98 menyatakan setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun
dan denda paling sedikit Rp. 3 milyar.
Setiap orang disini juga mencakupi orang perorangan atau badan usaha baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

Lalu apabila perbuatan sebagaimana dimaksud diatas mengakibatkan orang luka dan atau bahaya
kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan denda paling
kurang 4 milyar rupiah. Dan apabila mengakibatkan orang luka berat atau mati dipidana penjara
paling singkat 5 tahun dan denda paling sedikit 5 milyar rupiah.
Secara lengkap pula UU mengatur ancaman pidana untuk berbagai pelanggaran dan kejahatan
berupa :

a. Pelanggaran baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan
b. Pelepasan dan atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan
c. Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) tanpa izin
d. Menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana diatur pasal 59
e.

f.
g.
h.
i.
j.
k.

UU ini
Melakukan dumping limbah dan atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin
Memasukkan limbah ke dalam wilayah Indonesia
Memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Indonesia
Melakukan pembakaran hutan
Melakukan usaha dan atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan
Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun amdal
Penerbitan izin lingkungan oleh pejabat pemberi izin yang tanpa dilengkapi dengan

amdal atau UKL-UPL
l. Pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan
penanggung jawab usaha dan atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan
izin lingkungan
m. Memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi
atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan

pengawasan dan penegakkan hukum yang berhubungan dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup
n. Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah
o. Sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat
pejabat pengawas lingkungan hidup atau PPNS
Selanjutnya apabila kejahatan lingkungan dilakukan oleh badan usaha, maka pertanggung
jawabannya diatur sebagai berikut : Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a. Badan usaha dan atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang
bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut

Apabila tindak pidana dilakukan oleh orang yang dalam hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan
terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan
apakah dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Kuat kesan bahwa UU PPLH ini dalam pemberian sanksi pidana atas kejahatan lingkungan
hidup berfokus kepada intelectueel dader (pelaku intelektual/otak pelaku) sebagai orang yang
bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi.
Hal yang mungkin menjadi pertimbangannya kemungkinan adalah karena kejahatan lingkungan
hidup ini bersifat massive dan terstruktur, menggunakan teknologi yang mahal dan canggih serta
berbiaya besar. Dengan demikian ia tidak di tempat pertama berfokus kepada pelaku dalam suatu
penyertaan (pasal 55 KUHP).

Bahkan secara spesifik UU PPLH menggunakan terminologi pelaku fungsional dalam hal
penjatuhan sanksi pidana kepada badan usaha. Dalam hal ini diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sebagai pelaku fungsional.
Kepada badan usaha dapat juga dikenai pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa :
a.
b.
c.
d.
e.

Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan atau kegiatan
Tindakan perbaikan akibat tindak pidana
Pewajiban mengerjakan apa yang tanpa hak telah dilalaikan untuk dikerjakan
Penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang kemudian kewenangan
pengelolaannya dapat dilakukan oleh pemerintah setelah putusan pengadilan mengenai
pengampuan berkekuatan hukum tetap.

Arus Aliran Hukum Progresif

Boleh dibilang UU PPLH ini amat progresif dalam mengatur ketentuan-ketentuan pidananya,
sebagai alat-alat hukum untuk melawan ancaman serius kerusakan kerusakan lingkungan
hidup.Apakah dengan demikian ia masuk ke dalam arus aliran hukum progresif?
Nampaknya jawaban atas pertanyaan diatas adalah ya, mengingat berbagai terobosan hukum
yang dilakukannya. Dimulai dari pemberian kewenangan penghentian penyidikan kepada PPNS,
yang sepanjang ingatan penulis belum pernah diberikan kepada PPNS dalam UU administratif
lainnya. Kemudian pengaturan pidana tambahan yang amat variatif, dan bahkan variasi
demikian belum bisa dilakukan dalam UU tindak pidana pemberantasan korupsi, misalnya

pengaturan tentang pengakuan hutang dan pembuatan surat pengakuan hutang terhadap koruptor
yang tidak/kurang cukup dalam pengembalian kerugian negara.
Sementara UU PPLH dengan progresifnya mengatur pidana tambahan bagi pelaku tindak pidana
lingkungan hidup dengan hukuman berupa :
a.
b.
c.
d.
e.

Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan atau kegiatan
Tindakan perbaikan akibat tindak pidana
Pewajiban mengerjakan apa yang tanpa hak telah dilalaikan untuk dikerjakan
Penempatan perusahaan di bawah pengampuan yang kemudian kewenangan
pengelolaannya dapat dilakukan oleh pemerintah setelah putusan pengadilan mengenai
pengampuan berkekuatan hukum tetap.

Tidak hanya sangat progresif bahkan hukuman semacam ini harusnya juga bisa diterapkan
kepada pelaku tindak pidana korupsi dalam makna yang linier yakni pemulihan kerugian negara
dengan pemulihan alam serta asset recovery atau natural resources recovery.
Demikian juga UU PPLH dengan berani memberlakukan hukuman tambahan berupa
pengampuan atau curatele atau guardianship, yang secara umum lebih sering digunakan dalam
ranah hukum perdata.
Pengampuan adalah keadaan dimana seseorang karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak
cakap atau tidak didalam segala hal cakap untuk bertindak dalam lalulintas hukum. Pengampuan
diatur dalam buku 1 KUHPerdata. Syarat-syarat seseorang berada dalam pengampuan diatur
dalam pasal 433 KUHPerdata yakni “ setiap orang dewasa yang selalu dalam keadaan dungu,
gila atau mata gelap, harus ditempatkan dibawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang
cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan dibawah pengampuan
karena keborosan”.

Dalam hal terjadinya kepailitan terhadap perusahaan baik secara sukarela atau tidak sukarela,
pengampuan dengan merujuk pasal yang sama bertujuan pula guna melindungi pihak yang tidak
cakap dalam melakukan pengurusan pribadi dan harta kekayaannya.
Siapakah yang berhak meminta pengampuan terhadap seseorang ? pasal 434 nya mengatur
bahwa yang berhak memintanya adalah para keluarga sedarah dalam garis lurus.
Jadi masih menjadi pertanyaan mendasar apakah bila hukuman masuk ke dalam pengampuan
dijatuhkan kepada badan usaha, apakah mengacu kepada proses hukum perdata. Ataukah majelis
hakim peradilan pidana dapat secara sepihak menjatuhkan hukuman dimaksud? Nampaknya hal
ini harus dielaborasi tersendiri dalam sebuah perdebatan akademik atau diteliti apakah sudah ada
jurisprudensi dalam penjatuhan sanksi pidana tambahan di bawah pengampuan kepada pelaku
tindak pidana lingkungan hidup.
Walaupun demikian harus diakui bahwa pengadopsian pengampuan sebagai hukuman tambahan
terhadap badan usaha pelaku tindak pidana lingkungan hidup adalah suatu terobosan hukum
yang progresif dan berani.

Perspektif Perdata
Dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, aspek keperdataan juga
memegang peranan penting, paling tidak dalam tiga hal :
Pertama. Melalui hukum perdata dapat dipaksakan ketaatan pada norma-norma hukum privat
maupun publik, misalnya wewenang hakim perdata untuk menjatuhkan putusan yang berisi
perintah dan larangan terhadap seseorang yang telah bertindak secara bertentangan dengan

syarat-syarat yang ditentukan dalam suatu surat izin yang berkaitan dengan masalah lingkungan
hidup.
Kedua . Hukum perdata dapat memberikan penentuan norma-norma dalam masalah lingkungan
hidup, misalnya melalui putusan hakim perdata dapat dirumuskan norma-norma tentang tindakan
yang cermat yang seharusnya diharapkan dari seseorang dalam hubungan masyarakat.
Ketiga . Hukum perdata memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan ganti rugi atas
pencemaran lingkungan terhadap pihak yang menyebabkan tibulnya pencemaran tersebut yang
biasanya dilakukan melalui gugatan perbuatan melawan hukum.
Namun harus diakui penegakkan hukum publik lewat sanksi administratif maupun pidana
prosesnya dapat lebih cepat dari proses hukum perdata yang biasanya memakan waktu lebih
lama.
Aspek perdata diatur dalam pasal 87 sampai dengan pasal 92 UU PPLH yang mengatur tentang
ganti rugi, sistem pertanggungjawaban terhadap pelaku pencemaran dan perusakan lingkungan,
kompetensi pengajuan gugatan, dan hak masyarakat serta organisasi lingkungan hidup untuk
mengajukan gugatan. Dasar hukum yang dipakai adalah :
Pasal 1243 Kitab UU Hukum Perdata yang berbunyi : “penggantian biaya, kerugian dan bunga
karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur walaupun telah dinyatakan
lalai namun tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dilakukannya hanya dapat diberikannya atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui
tenggang waktu yang ditentukan.

Pasal 1365b Kitab UU Hukum Perdata yang berbunyi :” tiap perbuatan melanggar hukum dan
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu
karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”
Perdefinisi sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungan hidup. Dengan
demikian para pihak dalam sengketa lingkungan ini terdiri atas pelaku dan korban pencemaran
dan atau perusakan lingkungan serta obyek sengketa adalah akibat hukum berupa terjadinya
pencemaran dan atau perusakan lingkungan.

Gugatan dapat dilakukan secara individual (pasal 87 ayat 1 UU PPLH jo pasal
1365 KUHPerdata) ataupun secara gugatan perwakilan (class action , pasal 91
UU PPLH jo Perma no 1 tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan
kelompok) dan gugatan atas nama organisasi lingkungan ( pasal 92 UU PPLH)

Sistem Pertanggungjawaban
UU PPLH menganut prinsip tanggung jawab sebagai berikut :

a. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based of fault) adalah sistem
pertanggung jawaban yang sudah sejak lama digunakan. Dan beban pembuktian ada pada
penderita atau penggugat. Apabila penderita atau penggugat berhasil membuktikan
kesalahan tergugat barulah penderita atau penggugat memperoleh ganti rugi .
b. Tanggung jawab mutlak (strict liability). Asas tanggung jawab ini berdasarkan pasal 35
dan 88 UU PPLH. Dan yang masuk kategori pertanggungjawaban mutlak atau strict
liability yakni pada usaha atau kegiatan : 1. Yang menggunakan B3, 2. Menghasilkan dan
atau mengelola limbah B3 dan atau, 3. Menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup.
Strict liability bukanlah pembuktian terbalik melainkan pembebasan pembuktian unsur kesalahan
(liability without fault). Penggugat tidak diwajibkan membuktikan adanya unsur kesalahan
tergugat namun tetap wajib membuktikan :
a. Adanya hubungan kausal antara kerugian dengan kesalahan/perbuatan dari tergugat
b. Adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup sebagai perbuatan melanggar
hukum
c. Adanya kerugian yang dialami pihak korban/penggugat yakni kerugian materiil berkaitan
dengan kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Penerimaan asas strict liability dapatlah dikatakan oleh karena atmosfir kehidupan lingkungan
yang semakin kompleks dan saling ketergantungan. Dan pemberlakuan asas ini bertujuan untuk
memelihara standar yang tinggi bagi keselamatan umat manusia.
Bukti-bukti progresifnya UU PPLH ini jika diinventarisasi antara lain adalah :
a. Pemberlakukan pengampuan/curatele terhadap badan usaha yang tidak melaksanakan
paksaan pemerintah

b. Pemberlakuan pidana tambahan yang amat variatif bagi pelaku tindak pidana lingkungan
hidup
c. Pemberlakuan strict liability
d. Dimungkinkannya penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan melalui alternative
dispute resolutions. Latar belakang pemberlakuan jalur ini adalah hukum adat dimana
penyelesaian sengketa dilakukan melalui musyawarah adat/di luar pengadilan terhadap
kasus-kasus yang terjadi di dalam masyarakat adat. Demikian pula UU no 4 tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman tidak menutup kemungkinan penyelesaian perkara di luar
pengadilan.
Dan hal ini dapat juga dimaknai sebagai gerakan perlawanan terhadap kecenderungan perusakan
lingkungan hidup yang semakin menjadi-jadi oleh orang atau badan usaha yang secara egois
hanya mendahulukan kepentingannya mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa
memperhatikan kesinambungan kesehatan ekosistem.
Selain itu dalam hal penyelesaian sengketa lingkungan melalui alternative dispute resolution
yang sifatnya pilihan (opsional), para pihak yang bersengketa selain memanfaatkan mediasi oleh
pemerintah dapat juga memanfaatkan mediator dari Lembaga Penyelesaian Lingkungan Hidup
yang dibentuk oleh masyarakat.
Pasal 30 sampai dengan pasal 33 UU PPLH mengatur : “penyelesaian sengketa lingkungan hidup
melalui perundingan di luar pengadilan dilakukan secara sukarela oleh pihak yang
berkepentingan , yaitu pihak yang mengalami kerugian dan mengakibat kerugian, instansi
pemerintah terkait dengan subyek yang disengketakan serta dapat melibatkan pihak yang
mempunyai kepeduliaan terhadap pengelolaan lingkungan hidup.

Dengan ADR, berarti UU PPLH juga membuka peluang bagi profesi mediator yang berasal dari
masyarakat. Yang perlu diatur kemudian adalah :
a.
b.
c.
d.
e.

Latar belakang pendidikan mediator
Uji kompetensi mediator
Pemberian sertifikat kompetensi mediator
Standar pelayanan mediator
Standarisasi biaya mediasi