Sabuk Kesejahteraan Nusantara Merajut arah

Sabuk Kesejahteraan Nusantara:
Merajut Desa-Desa Perbatasan Sebagai Beranda
Depan Indonesia
Oleh :
Pokja Perbatasan Universitas Gadjah Mada*

Disampaikan dalam FGD Rembug Nasional dengan Sub Tema
‘Membangun Wilayah Perbatasan:
Menjadikan Perbatasan sebagai Halaman Depan NKRI’
di BAPPENAS pada tanggal 27 April 2015.

Pengantar
Desa menurut Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 dapat disebut sebagai desa
dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa,
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang
berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal
usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Makna desa tersebut
tersirat bahwa sebuah desa dan atau desa adat berfungsi sebagai subjek
pembangunan dalam sektor pemerintahan, sosial budaya, perekonomian,

serta pengakuan hukum dalam kesatuan NKRI. Hal ini memunculkan
semangat pembangunan di tengah masyarakat dimana desa merupakan unit
terkecil dari pemerintahan dan memiliki kedekatan yang besar dalam
penghidupan masyarakat. Oleh sebab itu, penekanan sebagai subjek
pembangunan dapat diawali dengan adanya pelayanan masyarakat yang
didukung oleh infrastruktur-infrastruktur pelayanan.
Pada konteks ini, lokasi desa yang berada di wilayah perbatasan menjadi
aspek penting, karena menjadi garda depan dalam menjaga kedaulatan
negara. Selain itu, secara aktivitas erat hubungannya dengan masyarakat
lintas batas negara yang kemudian dipahami sebagai aktivitas lintas batas.
Oleh sebab itu pertimbangan tersebut yang menjadikan desa dapat disebut
sebagai manifestasi sabuk nusantara.
                                                             
Tim Penyusun: (1) Purwo Santoso [Jurusan Politik Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik,
psantoso@ugm.ac.id.], (2) Muh Aris Marfai [Fakultas Geografi,
arismarfai@yahoo.com.];
(3)
Agung
Satriyo

Nugroho
[Fakultas
Geografi,
agungsatriyo@geo.ugm.ac.id.], (4) Joash Tapiheru joashtapiheru@gmail.com.]
*

Terdapat ada dua fungsi desa yang akan dipakai dalam tulisan ini yaitu desa
secara substantif sebagai lokus penerapan tema pembangunan, dan desa
sebagai unit pemerintahan terkecil. Berangkat dari dua fungsi tersebut bahwa
desa sebagai sebagai lokus tema pembangunan merupakan manifestasi dari
sebuah entitas demografis dan spasial. Lokasi desa yang terdapat di daratan
dan desa yang berlokasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi
perhatian dalam setiap perencanaan pembangunan, terutama dalam konteks
merealisasikan manifestasi sabuk nusantara atau sebagai berenda depan
NKRI. Selain itu fungsi desa sebagai unit administrasi pemerintahan terkecil
dapat menjadi perhatian karena konsekuensi yang muncul bahwa kapasitas
dan mekanisme kerja yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat
merupakan sebuah efisiensi langsung dari proses pembangunan yang ada.
Keterdapatan berbagai macam sektor dalam pembangunan desa seperti yang
disebutkan diatas menjadikan pendekatan lintas sektor (interdisciplinary

approach) menjadi acuan utama.

1. Mainstreaming Pembangunan Desa-desa di Perbatasan: Posisi
dan Peran Strategis Desa dalam Pengembangan Perbatasan
(Strategi Thinking the unthinkable)
Desa dan perbatasan menjadi dua isu yang, paling tidak, dalam 10 tahun
terakhir ini mendapatkan perhatian lebih dalam dinamika politik dan
pemerintahan di Indonesia. Sejumlah aturan hukum dan lembaga baru yang
secara khusus diwujudkan sebagai bentuk komitmen untuk mengurus kedua
isu ini telah dikeluarkan, seperti UU Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan UU
Desa serta lembaga seperti Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP)
dan Kementerian Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sebagaimana
telah disampaikan di bagian pengantar, kertas kerja ini membidik untuk
merespon sebuah situasi di mana kedua isu tersebut hadir secara bersamaan,
yaitu di desa-desa di perbatasan.
Dalam upaya untuk menjawab isu tersebut, kertas kerja ini mencoba
mengejawantahkan konsep utama yang diusung oleh administrasi Joko
Widodo - Jusuf Kalla untuk “membangun dari pinggiran”. Harus dipahami
bahwa secara teknis dan teoritis, “membangun dari pinggiran” adalah sesuatu
yang mustahil untuk dioperasionalisasikan. Karenanya jika kita serius untuk

merealisasikan konsep ini, kita perlu untuk memikirkan hal-hal yang selama
ini jarang, atau bahkan tidak pernah terpikirkan.
Berangkat dari kombinasi karakteristik tantangan dan problem umum
pedesaan di kawasan perbatasan, yaitu keterisolasian dan ketertinggalan, ide
terobosan untuk memikirkan apa yang selama ini tidak pernah terpikirkan
mengerucut pada sejumlah perubahan paradigmatik; memanfaatkan
sejumlah peluang yang saat ini tersedia. Ini diawali dengan memahami

 



tantangan pembangunan di pedesaan sebagai situasi yang membutuhkan
intervensi yang bersifat do it all in one go.
Kesepahaman akan watak tantangan dan intervensi yang diperlukan untuk
menjawab tantangan pembangundan desa di kawasan perbatasan tersebut
diperlukan jika kita serius ingin menjadikan kawasan perbatasan Indonesia
setara dan terkoneksi dengan kawasan Indonesia yang lain. Selama ini
wacana
“Perbatasan

sebagai
Beranda
Depan”,
terus
menerus
dikumandangkan menjadi jargon kosong atau hanya berujung pada langkah
intervensi yang bersifat parsial.
Secara umum, pemahaman tentang batas itu masih bersifat
simplistik. ‘Beranda’ cenderung hanya dipahami merujuk pada satu titik,
bukan suatu lingkar batas. Model pengembangan kawasan perbatasan melalui
pembangunan desa di perbatasan yang disampaikan di sini memproyeksikan
pentingnya posisi dan peran dari kabupaten sebagai simpul-simpul
pembangunan perbatasan. Hal ini tentu saja dengan mempertimbangkan
kekhasan setting masing-masing kawasan perbatasan. Namun, jelasnya,
model yang diproyeksikan di sini ditujukan untuk memastikan keberadaan
sdm, modal, dan teknologi di kabupaten sebagai simpul pembangunan
kawasan perbatasan tersebut sebagai infrastruktur yang menjadi pra-syarat
pembangunan desa di perbatasan.
Tantangan besar pertama muncul ketika mengkaitkan proyeksi ini dengan
paradigma do it all in one go. Keragaman dan luasnya kawasan perbatasan

Indonesia menuntut upaya pembangunan memenuhi dua parameter dasar,
yaitu sensitif terhadap keragaman sekaligus komitmen nasional untuk
mengakselerasi pembangunan di kawasan-kawasan tersebut.
Ada begitu banyak kabupaten dan desa yang merupakan kawasan perbatasan
di Indonesia, yang mana masing-masing memiliki setting yang spesifik, yang
menuntut pembangunan secara bersamaan. Untuk merespon tantangan ini,
model yang disampaikan di sini melihat bahwa beban kerja harus dibagi di
antara berbagai level pemerintahan yang ada, dari nasional sampai ke desa.
Ini dilakukan dengan memberikan diskresi yang lebih besar pada unit-unit
pemerintahan yang lebih kecil, yang lebih dekat dengan situasi riil kawasan
perbatasan. Penataan seperti ini penting untuk dilakukan karena salah satu
kritik utama terhadap upaya pembangunan perbatasan yang selama ini
dilakukan adlaah tidak sensitifnya kebijakan yang dibuat secara sentralistis
dengan kenyataan bahwa border regime di lingkar batas yang kita miliki
sangatlah beragam.
Ini tidak berarti bahwa peran pemerintah nasional tidak penting. Pemerintah
nasional berperan dan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa
dinamika pembangunan di masing-masing kawasan perbatasan yang
beragam tersebut, berjalan dalam koridor kepentingan nasional sekaligus


 



menjawab kebutuhan riil masyarakat di masing-masing kawasan perbatasan.
Fungsi dan peran semacam ini menuntut lebih dari sekedar penggunaan
otoritas legal-administratif, tetapi, lebih dari itu, kapasitas diskursif dan
teknokratis untuk ‘meyakinkan’ berbagai elemen yang terlibat, yang mana
masing-masing memiliki kepentingan yang beragam dengan kepentingan
pembangunan kawasan perbatasan.
Merespon dilema tuntutan untuk sensitif terhadap keragaman kebutuhan
lokal dan membangun komitmen nasional untuk secara tepat merespon
masing-masing kebutuhan spesifik di kawasan perbatasan mensyaratkan
adanya perubahan yang bersifat paradigmatik, khususnya dalam memahami
dan menata hubungan antara pemerintah nasional dan pemerintah di
bawahnya, sampai ke desa. Di sini kita tidak mempermasalahkan prinsip
bahwa pengelolaan perbatasan merupakan bagian dari isu kedaulatan yang
menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Yang menjadi masalah di sini
adalah ketika prinsip ini diimplementasikan dalam paradigma yang bersifat
inward-looking, ketika pemerintah nasional melihat daerah sebagai “lawan”

yang harus ditundukkan dan dipatuhkan.
Kawasan perbatasan, termasuk desa-desa di sana, merasa diabaikan oleh
negara. Sementara, ketika situasi ini disampaikan sebagai aspirasi kepada
negara, negara terlihat tidak memberikan komitmen yang penuh untuk
mengatasi situasi yang dihadapi. Selain itu, langkah-langkah interventif yang
dilakukan oleh pemerintah di level yang lebih rendah seringkali harus
berbenturan dengan prosedur dan mekanisme yang meletakkan tanggung
jawab pengelolaan dan pembangunan kawasan perbatasan sebagai otoritas
pemerintah pusat. Akibatnya, pemerintah lokal di kawasan perbatasan
seringkali tidak tahu harus berbuat apa untuk merespon permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat di kawasan perbatasan dan berujung pada
pembiaran atas masalah tersebut. Ketika hal ini terjadi secara terus menerus,
ujungnya adalah ketidakpercayaan yang terakumulasi di antara masyarakat di
kawasan perbatasan terhadap negara.

Tabel I. Peta Tantangan Pembangunan Desa di Perbatasan
No
1.

 


Aspek perubahan
Orientasi

Sekarang

Yang diperlukan

Inward looking

Outward looking

Perbatasan sebagai
halaman belakang

Perbatasan sebagai
beranda depan

Dari kota ke desa
(trickle down) yang


Dari desa ke kota (desa
mengepung kota)



Tabel I. Peta Tantangan Pembangunan Desa di Perbatasan
No

Aspek perubahan

Sekarang

Yang diperlukan

tidak efektif
2

Hubungan pusatdaerah


3

Lokus pembuatan
Pemerintah nasional
keputusan strategis

Terdistribusi di berbagai
level pemerintah

4

Relasi antar
Disconnected
pembuatan
keputusan strategis

terintegrasi

5

Otoritas
menjalankan
interaksi
internasional
(lintas batas)

Otoritas Eksklusif
Pemerintah Pusat

Otoritas nasional
membingkai inisiatif
daerah dalam
pengembangan interaksi
lintas batas.

6

Driving force

konsentrasi modal,
SDM dan teknologi

dispersi dan mobilitas
modal, SDM dan teknologi

7

Aktor primer

Pemerintah
Kabupaten kota yang
menggandeng modal

Komunitas Desa

9

Basis normatif
penanganan
masalah pedesaan
di perbatasan

Hukum nasional,
dalam banyak kasus,
menafikan hukum
adat;

Hukum nasional
mengkerangkai hukum
adat

Kepentingan nasional
menjadi alasan untuk
mengabaikan
kepentingan lokal

Kepentingan nasional
adalah agragasi dan
artikulasi kepentingan
lokal.

formalistik

kontekstual

terjebak dalam
bureaucratic trap

Pendekatan fungsional

10

 

Watak regime
perbatasan

Simetris

Asimetris: Ada peluang
untuk mengembangkan
tatanan khusus perbatasan



Perubahan paradigmatik dari inward ke outward-looking diperlukan untuk
menggalang sinergitas kebijakan nasional dan lokal untuk mengembangkan
kawasan perbatasan yang arahnya adalah keluar, terutama membangun daya
saing baik di level regional maupun global. Dalam hal ini, yang dituntut dari
pemerintah nasional adalah membangun bingkai diskursif yang mengatur
gerak langkah beragam kebijakan pembangunan kawasan perbatasan yang
disesuaikan dengan setting spesifik masing-masing kawasan.
Perubahan paradigmatik ini tentu saja harus diikuti oleh sejumlah besar
perubahan kelembagaan, sebagaimana disajikan di Tabel I. Untuk
memastikan masalah-masalah yang spesifik di masing-masing kawasan
perbatasan, kebijakan desentralisasi harus didorong lebih jauh dalam untuk
membuka ruang-ruang asimetrisme, sesuai dengan kondisi spesifik di
kawasan perbatasan. Pembukaan peluang asimetrisme ini harus sambung
dengan revitalisasi peran desa dan kabupatan sebagai entitas dan unit yang
berhadapan langsung dengan situasi di kawasan perbatasan untuk mampu
mengidentifikasi tantangan dan potensi yang dimiliki untuk menjawab
tantangan tersebut serta memproyeksikan aktualisasinya.
Secara simultan, pemerintah nasional mendorong terkoneksinya desa-desa
dan kabupaten-kabupaten di kawasan perbatasan, tidak hanya dengan
pemerintah provinsi dan nasional, tetapi juga di antara sesama desa dan
kabupaten di kawasan perbatasan. Hal ini dilakukan untuk merangsang
proses horizontal learning dan kerjasama antar kawasan perbatasan, yang
pada akhirnya akan memfasilitasi koordinasi dan akselerasi pembangunan
kawasan perbatasan sebagai kepentingan nasional.
Hasil identifikasi tantangan dan potensi pembangunan di masing-masing
kawasan perbatasan digunakan sebagai bagian dari input untuk pemerintah
nasional mengidentifikasi tantangan dan potensi pembangunan nasional
dalam percaturan regional dan glolbal. Selanjutnya, pemerintah nasional
memformulasikan arah besar pembangunan kawasan perbatasan, yang pada
akhirnya menjadi acuan umum bagi pembangunan di masing-masing
kawasan perbatasan. Dengan demikian, kepentingan nasional lahir sebagai
agregasi kepentingan lokal dan meminimalisir antagonisme antara
kepentingan nasional dan kepentingan lokal.
Sejumlah elemen yang dibutuhkan untuk merealisasikan model
pengembangan kawasan perbatasan yang diproyeksikan dalam kajian ini
telah tersedia. Sebagaimana telah disampaikan di atas, isu pembangunan
desa dan kawasan perbatasan telah menjadi bagian dari prioritas kebijakan
saat ini. Pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, dalam UU
nomor 23 tahun 2014, juga diletakkan, selain sebagai unit otonom, juga
sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat. Model yang disampaikan
dalam tulisan ini merangkai elemen-elemen tersebut dalam formula umum

 



yang menjadi bingkai besar pembangunan desa di perbatasan dan kawasan
perbatasan.
Agar upaya pembangunan yang kompleks ini bisa menghasilkan hasil yang
nyata, patut ditekankan sekali lagi bahwa itu semua harus dilakukan sekaligus
secara simultan. Langkah besar ini tentunya harus didasari oleh informasi
dan pengetahuan yang akurat tentang keragaman kondisi spesifik masingmasing kawasan perbatasan dan arah transformasi yang hendak dicapai. Hal
ini akan dibahas secara lebih detil pada bagian berikut.

2. Peta Border Regimes Indonesia
Pemahaman tentang wilayah perbatasan dapat dimulai dari proses
pendefinisan tentang perbatasan itu sendiri. Studi perbatasan yang telah
dilakukan di beberapa negara telah memunculkan terminologi tentang
adanya pengertian tentang boundary, border, borderland, dan frontier. Salah
satu ensiklopedia science (http://science.jrank.org/) mengemukakan
perbedaan antar terminologi tersebut, dimana boundary dimaknai sebagai
demarkasi dari bagian-bagian ruang perbatasan. Sedangkan border dimaknai
sebagai International boundary line atau garis yang membatasi wilayah
kedaulatan antar kedua negara, akan tetapi jika border dipandang sebagai
suatu kawasan, maka border dalam hal ini disebut juga sebagai borderland.
Selain itu, pemahaman lain juga perlu dikemukakan terhadap kata frontier.
Frontier memiliki makna sebagai suatu kawasan baik yang memiliki kontak
secara langsung dengan garis batas maupun yang tidak memiliki kontak
secara langsung. Akan tetapi perkembangan konsepsi dari manajemen
wilayah perbatasan di setiap negara memunculkan pengertian yang berbeda,
bergantung kepada lokasi studi perbatasan itu sendiri. Penekanan
terminologi boundary, border, borderland, dan frontier dalam tulisan ini
adalah bahwa dalam pengelolaan wilayah perbatasan, terdapat perbedaan
karakteristik wilayah atau kawasan yang berhubungan dengan persoalan di
perbatasan, atau secara sederhana bahwa wilayah perbatasan tidak bisa
digeneralisir dalam satu pengertian semata (Donnan dan Wilson, 1999;
Adelman dan Aron, 1999; Perdue, 2001; Janeczek, 2011; Perales, 2013).
Berbicara tentang wilayah perbatasan di Indonesia, terminologi wilayahwilayah di perbatasan sebagaimana telah disebutkan diatas erat hubungannya
dengan kondisi permasalahan yang ada. Secara singkat terdapat dua masalah
utama wilayah perbatasan yang selama ini ada di Indonesia, permasalahan
tersebut yaitu:
1. Selama ini pembangunan banyak bias darat & bias kota, jadi
pembangunan maritim dan pembangunan desa serta wilayah pinggiran
banyak terabaikan. Oleh sebab itu, banyak suberdaya yang terhisap oleh

 



Negara Tetangga, salah satu contohnya adalah berbagai macam kasus
dalam tenaga kerja dan aktivitas ilegal.
2. Strategi negara tetangga (salah satunya Malaysia) dalam menarik pasar
Indonesia di perbatasan adalah melalui perekrutan tenaga kerja. Malaysia
merekrut tenaga kerja terdidik dengan syarat memiliki soft skill lain yaitu
seni dan budaya. Oleh sebab itu, selama ini banyak karya budaya
Indonesia yang menjadi bahan promosi Malaysia untuk menarik pasar
Internasional.
Permasalahan wilayah perbatasan tersebut pada dasarnya telah terakomodir
dalam kerangka pembangunan yang diusung oleh pemerintahan saat ini.
Keinginan negara untuk hadir di perbatasan dalam pemerintahan saat ini
telah tertuang dalam arah pembangunannya melalui NAWA CITA. Minimal
terdapat 3 point yang sesuai dengan konteks perbatasan yaitu:
Nomor 1: Menghadirkan negara untuk melindungi segenap bangsa &
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara di perbatasan.
Nomor 3: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerahdaerah dan desa dalam rangka negara kesatuan (poin ini bisa
dimaknai bahwa ibu nya kota adalah desa, maka membangun kota
harus diawali dengan menyentuh ibunya yaitu desa).
Nomor 5: Meningkatkan kualitas hidup manusia indonesia.
Pemilihan ketiga poin dalam Nawa Cita diatas selaras dengan dasar empiris
beberapa riset yang telah dilakukan para pakar perbatasan di dunia. Boehmer
dan Peña (2012) mengemukakan minimal terdapat 3 (tiga) faktor utama yang
dapat mempengaruhi pengembangan wilayah perbatasan terutama melalui
sinergitas sumberdaya lintas daerah antar negara. Ketiga faktor tersebut
aspek kekotaan, perdamaian/ketentraman penduduk, dan kondisi demokrasi
penduduk lokal. Hal ini selaras pula dengan semangat realiasi konsep antiborder atau borderless sebagai sarana akselerasi pembangunan wilayah
perbatasan. Sidaway (2015) mengemukakan konsep anti-border atau
borderless sangat erat kaitannya dengan awareness terhadap tenaga kerja
serta komunitas-komunitas lokal di wilayah perbatasan. Indonesia memiliki
perluang dalam mendorong penerapan konsep ini sebagai sarana dalam
melakukan akselerasi pembangunan wilayah perbatasan. Penerapan
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015 ini menjadi
peluang besar sebagai dasar dalam langkah awal diplomasi.
Penekanan tentang poin Nawa Cita membangun pusat dari pinggiran yang
menekanan peranan desa menjadi perhatian utama dalam tulisan ini.
Kerangka menggerakkan desa sebagai motor utama tidak dapat dilakukan
dengan hanya berfokus pada lokus desa semata, melainkan integrasi
komponen mulai dari nasional, provinsi, sampai kabupaten/kota yang

 



berakhir atau bermuara pada lokus desa harus menjadi pertimbangan utama.
Oleh sebab itu, membangun wilayah perbatasan negara dalam konteks
akselerasi desa perlu dilakukan secara asimetris melalui ‘Pertahanan Tanpa
Senjata’. Cara yang dilakukan adalah dengan menerapkan sistem ‘Kipas
Nusantara’. Kipas nusantara diadopsi dari struktur kipas, ada simpul utama
yang dipegang, ada jari-jari sebagai kerangka penguat, dan lembaran kain
untuk mengarahkan angin. Simpul utama sebagai titik ikat merupakan pusat
sumberdaya yang akan disebarkan, selain itu berfungsi sebagai simpul
pemikiran (Pelabuhan Pemikiran Perbatasan). Sedangkan jari-jari kipas
harus dibuat secara tematik pembangunan.
Formulasi tematik pembangunan perbatasan sangat erat dengan 3 topik
utama yaitu topik perekonomian wilayah, topik pertahanan dan keamanan
negara, dan topik konservasi lingkungan. Oleh sebab itu model tematik yang
ditawarkan dalam pembangunan perbatasan yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Model Agroindustri
Model Pariwisata
Model Konservasi
Model Marine Mining
Model Lumbung Ikan
Model Gate Nusantara

Selain itu, sektor lain yang dinilai dapat menjadi trigger dalam realisasi
tematik pembangunan tersebut adalah sektor pertahanan dan keamanan.
Sektor ini dapat masuk keseluruh model. Cara yang ditawarkan dalam
mensinergiskan berbagai macam sektor ini antara lain memuat tentang:
1. Akselerasi Pembangunan desa (Agroindustri, Desa Wisata, dll).
2. Akselerasi Pembangunan Infrastruktur dan Fasilitas Pelayanan.
3. Menghadirkan Negara di Perbatasan:
a. Pemuda merajut NKRI, melalui pemberdayaan fresh Graduate (tenaga
kerja terdidik) ke perbatasan. Maka perlu mengalirkan sumberdaya
negara untuk mendukung ini.
b. Misi Khusus Militer Indonesia membantu akselerasi pembangunan
Indonesia (sektor infrastruktur,Pariwisata, dll).

 



Gambar 1. Tawaran Tematik Pembangunan Wilayah Perbatasan
Tawaran tentang kerangka tematik pembangunan wilayah perbatasan dapat
selaras dengan kerangka besar dalam tulisan ini untuk membentuk Sabuk
Kesejahteraan Nusantara. Sebutan ini memiliki makna bahwa wilayah
perbatasan dapat menjadi pengikat kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Akan tetapi untuk merekatkan sebuah sabuk, dibutuhkan
lubang-lubang kecil di sepanjang tubuh sabuk. Hal ini dimaknai bahwa
sebagai “sabuk” bukan kemudian menjadi tertutup dalam beraktivitas dengan
negara luar, akan tetapi sebaliknya, menjadi pintu keluar-masuk bagi
aktivitas pembangunan di negara Indonesia. Sabuk kesejahteraan ini yang
kemudian akan bermuara pada akselerasi desa sebagai motor penggerak
realisasi tematik tersebut (lihat Gambar 2.).

 

10 

Kab Perbatasan 

Ibu Kota Provinsi 

Prov. Perbatasan 

Alur Pembangunan 

Gambar 2. Kerangka Spasial Pengelolaan Wilayah Perbatasan

3. Strategi Pengembangan
Beberapa operasinalisasi pemikiran dan kerangka kebijakan diatas, dapat
dilakukan dengan menerapkan 7 (tujuh) parameter penting. Ketujuh
paramter tersebut termuat dalam sub bab dibawah ini.
3.a. “Reinventing Ideologi” (inspirasi dari Kibbutz)
Pembangunan desa di perbatasan dalam kerangka besar pembangunan
kawasan perbatasan yang diproyeksikan dalam tulisan ini menempatkan desa
sebagai lokus sekaligus subyek utama pembangunan tersebut. Hal ini didasari
pada realitas bahwa desa merupakan sebuah entitas sosio-geografis yang
spesifik sekaligus sebagai unit pemerintahan yang terkecil.
Dalam konteks pembangunan kawasan perbatasan, pemahaman tentang
peran desa ini ditambah dengan pemahaman bahwa desa adalah ujung
tombak dari upaya untuk mentransformasikan ruang sosial-politik frontier
menjadi border. Transformasi frontier menjadi border ini pada dasarnya
adalah langkah untuk mengubah sebuah kawasan yang sebelumnya identik
dengan situasi inhabitable, sparsely populated, dan isolated menjadi layak
ditinggali, menjadi pusat aktifitas sosial, dan terkoneksi dengan entitas sosialpolitik yang mengklaim kawasan tersebut sebagai border secara keseluruhan.

 

11 

Paradigma yang selama ini dianut di Indonesia, setidaknya secara normatif,
melihat desa sebagai unit sosial, politik, dan pemerintahan yang memiliki
otonomi yang bersifat asli. Selain itu sebagai unit ekonomi, desa juga dilihat
sebagai unit yang bersifat self-sufficient atau mandiri. Model yang
disampaikan dalam tulisan ini berangkat dari paradigma yang sama, tetapi
melangkah lebih jauh dengan meletakkan pemikiran otonomi asli dan
kemandirian desa dalam konektifitasnya dengan desa-desa yang lain dan unit
pemerintahan diatasnya, terutama kabupaten, sebagai simpul yang berperan
mengkoordinasikan pembangunan desa-desa tersebut di kawasan perbatasan.
Di sini “kemandirian” desa dilihat bukan sebagai sesuatu yang bersifat
esensial, melainkan sebagai sebuah realitas yang harus terus menerus
dikonstruksi. Dalam proses mengkonstruksi kemandirian inilah kabupaten,
sebagai simpul dari desa-desa yang ada diwilayahnya diharapkan dapat
berperan maksimal.
Sebagai unit yang mandiri, aktifitas produksi dan konsumsi lebih banyak
difokuskan di desa. Ini akan memunculkan adanya kebutuhan infrastruktur
yang menjadi pra-syarat aktifitas produksi dan konsumsi tersebut mencapai
level efektifitas dan efisiensi yang maksimal. Salah satu peran penting
kabupaten sebagai simpul adalah menjamin tersedianya infrastruktur yang
dibutuhkan tersebut.
Dalam menjalankan peran ini, kabupaten bisa menjalan fungsi lainnya
sebagai penghubung antara desa yang satu dengan desa yang lain. Melalui
proses ini, kabupaten berperan menstruktur pola distribusi surplus barang
dan jasa yang diproduksi oleh desa-desa di kawasan perbatasan bisa mengalir
keluar ke desa-desa yang lain, ke kabupaten, ke wilayah Indonesia yang lain,
bahkan ke wilayah di seberang garis perbatasan.
Geliat ekonomi desa sebagai lokus utama aktifitas ekonomi juga didorong
dengan menjadikan desa sebagai pusat aktifitas konsumsi. Selain aktifitas
konsumsi kebutuhan sehari-hari, perlu didorong untuk aktifitas konsumsi
yang muncul sebagai efek berantai keberadaan pusat pelayanan publik. Ini
dilakukan
dengan
membuat
pusat
pelayanan
publik,
seperti
puskesmas/klinik/rumah sakit; sekolah dsb. sedekat mungkin dengan desa.
Mungkin tidak harus ada di setiap desa, tetapi bisa diletakkan di kecamatan.
Bisa juga diletakkan secara menyebar, di mana pusat untuk satu jenis layanan
publik diletakkan di wilayah sebuah desa, sementara pusat untuk jenis
layanan berbeda diletakkan di desa yang lain. Secara simultan, pemerintah
kabupaten memastikan ketersediaan infrastruktur komunikasi dan
transportasi untuk menjamin aksesibilitas pusat-pusat layanan publik
tersebut.
Desain ini memfasilitasi upaya pencapaian sejumlah tujuan besar secara
simultan. Pertama, merealisasikan tujuan membangun konektifitas antara

 

12 

desa-desa dan kawasan perbatasan secara umum dengan kawasan Indonesia
yang lain. Kedua, mendorong mobilitas SDM, modal, dan teknologi di
kawasan perbatasan. Harapannya dengan mobilitas semacam itu,
permasalahan keterisolasian dan ketertinggalan bisa dijawab. Dengan kata
lain, setting semacam ini memastikan trickle down effect yang diharapkan
muncul dari langkah membangun pusat pertumbuhan baru benar-benar
diupayakan sedari awal, bukannya menunggu kesejahteraan terakumulasi di
kabupaten, sebagai simpul pembangunan kawasan perbatasan, dan baru
dibagikan ke desa-desa di kawasan perbatasan.
Hal penting yang menjadi pra-syarat dasar agar semua ini bisa terealisasi
adalah meyakinkan agar orang bersedia untuk terlibat dalam proses ini,
terutama mereka yang tinggal di desa-desa di kawasan perbatasan.
Kekecewaan yang selama ini terakumulasi telah menimbulkan
ketidakpercayaan terhadap negara di wilayah tersebut.
Untuk merespon situasi ini, negara; baik di level nasional maupun lokal,
harus memulai langkah pendekatan yang konkrit dengan membangun
infrastuktur yang melayani pemenuhan kebutuhan dasar desa-desa di
kawasan perbatasan. Ini dibarengi dengan upaya membangun bingkai
ideologis yang mewadahi gerak langkah pengembangan kawasan perbatasan,
sekaligus menyediakan acuan umum bersama baik bagi kabupaten dan desa
di kawasan perbatasan untuk menggerakkan pembangunan didaerahnya
maupun bagi pemerintah nasional untuk memastikan bahwa dinamika di
kawasan perbatasan berkorelasi positif dengan kepentingan nasional.

3.b. Strategi Pengembangan Kelembagaan Pemerintahan Daerah
Perbatasan
Pemerintah daerah memiliki peran sentral sebagai simpul pengembangan
desa dan kawasan perbatasan secara umum. Desain kelembagaan
pemerintahan daerah perlu dibuat agar sesuai dengan model besar
pembangunan yang dicanangkan di sini. Kabupaten merupakan simpul
strategis, mengingat rezim pemerintahan daerah yang ada sekarang
menitikberatkan otonomi pada level pemerintahan ini sekaligus posisinya
sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Nilai strategi
kabupaten juga muncul karena hubungannya yang relatif dekat dengan desa
dan realitas keseharian kehidupan masyarakat, terutama di kawasan
perbatasan.
Namun posisi strategis sebagai simpul dalam model ini tidak dimaknai
kabupaten harus menjadi lokus konsentrasi berbagai sumber daya yang
diperlukan untuk pembangunan kawasan perbatasan. Sebaliknya, sebagai
simpul, pemerintah kabupaten justru harus menjamin bahwa sumber daya

 

13 

yang dialokasikan untuk pembangunan perbatasan terdistribusi serta
terkoneksi dengan desa-desa di perbatasan.
Mengingat kompleksitas permasalahan pembangunan kawasan perbatasan di
Indonesia, hal ini tidak bisa dilakukan dengan mengandalkan desa saja. Peran
strategis Kabupaten yang lain muncul karena posisinya sebagai penghubung
dan koordinator. Pemerintah Kabupaten menjadi simpul penghubung antara
desa di perbatasan dalam satu kabupaten, desa di perbatasan dalam
kabupaten yang berbeda, antara desa dengan pemerintahan di atasnya.
Pemerintah kabupaten menjadi koordinator yang memobilisasi potensi dan
dinamika pembangunan yang terjadi di desa dalam pembangunan kawasan
perbatasan, baik di kabupaten yang bersangkutan maupun dalam kerangka
pembangunan kawasan perbatasan yang lebih luas.
Melalui forum-forum kerjasama antar daerah, khususnya antar kabupaten
dan provinsi perbatasan, kabupaten memainkan peran strategisnya untuk
membangun sinergi dengan wilayah lain. Dengan demikian, keragaman
karakteristik tantangan dan potensi kawasan perbatasan di Indonesia bisa
dibingkai dalam kerangka hubungan yang bersifat komplementer.
Sebagai kepanjangan pemerintah pusat di daerah, Kabupaten juga bisa
memainkan perannya untuk memastkan bahwa pembangunan kawasan
perbatasan diwilayahnya, disamping menjawab kebutuhan spesifik
masyarakat, juga berkontribusi terhadap pencapaian kepentingan nasional.
Sebaliknya, pada saat yang sama pemerintah kabupaten juga wajib menjadi
saluran bagi masyarakatnya untuk memastikan bahwa kepentingan mereka
sebagai masyarakat yang hidup di kawasan perbatasan diakomodasi dalam
kerangka umum kebijakan pemerintah nasional.
Keseluruhan kerangka pembangunan kawasan perbatasan ini masih dalam
kendali pemerintah nasional dengan memaksimalkan jalur dekonsentrasi,
sebagaimana diatur dalam UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah. UU tersebut secara lebih eksplisit menempatakan pemerintah
provinsi dan juga pemerintah kabupaten/kota sebagai kepanjangan tangan
pemerintah nasional. Melalui jalur ini, pemerintah nasional bisa melakukan
langkah-langkah pengendalian, monitoring, dan evaluasi melalui pemerintah
provinsi dan kabupaten sebagai bentuk pendampingan pembangunan
kawasan perbatasan.
Melalui jalur ini pula pengelolaan kawasan perbatasan sebagai wewenang
pemerintah nasional bisa didekonsentrasikan kepada provinsi dan kabupaten
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

 

14 

3.c. Penggalangan komitmen kewarganegaraan
Anomali pembangunan wilayah pinggiran terutama di perbatasan banyak
terjadi pada komitmen stakeholders didalamnya. Selama ini kalangan
pemangku kebijakan terus menghembuskan pentingnya komitmen
kedaulatan negara dengan sasaran masyarakat lokal khususnya di wilayah
perbatasan. Padahal banyak warga perbatasan yang telah memiliki semangat
nasionalisme dan kewarganegaraan yang melebihi para pemangku
kepentingan. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ketidaksinkronan
pendekatan-pendekatan yang diadopsi oleh pemangku kebijakan dalam
melakukan pembangunan di wilayah perbatasan. Oleh karena itu perlu
penekanan penggalangan komitmen awal terhadap dua aktor utama yaitu :
1. kewarganegaraan warga biasa
sebagai ujung tombak pelaksanaa pembangunan. Salah satu cara
dengan optimalisasi peran desa dalam menggalang kekuatan
kebersamaan masyarakat di wilayah perbatasan. Sistem kebijakan
secara partisipatif, pelaksanaan secara bersama, serta keterdapatan
sistem monitoring pelaksanaan pembangunan oleh masyarakat dapat
menjadi acuan utama.
2. kewarganegaraan policy-makers untuk menjamin terpenuhinya hakhak warga negara untuk memiliki ketercukupan infrastruktur untuk
berkembang, sebagaimana warga negara lainnya.

3.d. Specifikasi dan ketercukupan Infrastuktur
Infrastruktur ini merupakan representasi kehadiran negara dalam kehidupan
masyarakat di wilayah pinggiran. Jenis infrastruktur yang dibutuhkan
masyarakat perdesaan dalam upaya mengentaskan dari keterpinggirannya
melingkupi sarana dan prasarana dalam memenuhi kebutuhan dasar.
Infrastruktur dasar yang dimaksud yaitu sarpras pendidikan, kesehatan,
energi dan perekonomian. Salah satu yang menjadi permasalahan selama ini
banyak dikemukakan tentang aksesibilitas untuk mengjangkau keterisolasian,
akan tetapi upaya dalam mengentaskan keterjangkauan wilayah tersebut
sering terkendala dengan adanya pembiayaan serta status kawasan. Oleh
sebab itu, dalam mengentaskan permasalahan ini, sesuai dengan semangat
pemikiran didepan, bahwa setiap wilayah desa di perbatasan dapat
terklasifikasi. Kerangka klasifikasi dapat memuat potensi akselerasi
pengembangan wilayah serta pemenuhan kebutuhan masyarakat setempat
(subsisten).
Disamping itu, proses perencanaan yang sering menjadi kendala dalam
penyediaan infrastruktur adalah satuan hitung penduduk dalam penyediaan
infrastruktur. Kebijakan tentang ambang batas minimum penduduk

 

15 

(population treshold) dalam melakukan penyediaan infrastruktur masih
kurang tepat di wilayah perbatasan. Wilayah ini masih cenderung minim akan
kuantitas penduduknya. Oleh sebab itu penyediaan infrastruktur wilayah
perbatasan harus dengan standar minimal, dan merubah satuan hitung dari
penduduk kedalam hak warga negara.
Selain itu, selama ini pengelolaan perbatasan selalu menggunakan satuan
lokpri (lokasi prioritas) dalam perencanaannya. Lokpri yang dimaksud secara
administratif setara dengan kecamatan. Dalam konteks pembangunan saat
ini, satuan lokpri perlu diselaraskan dengan semangat pengarusutamaan
sumberdaya melalui desa. Akan tetapi dalam hal ini bukan hanya desa secara
administratif semata, melainkan dapat menggunakan satuan kawasan. Satuan
ini dapat dimaknai suatu satuan wilayah dengan batasan aktivitas atau fungsi
tertentu. Misalkan batasan kawasan agropolitan di wilayah perbatasan
tertentu. Keberadaan kawasan akan memastikan sumberdaya yang dialirkan
ke desa-desa dalam satu kawasan itu harus inter-connected.

3.e. Economic of Scale
Economic of scale merupakan adopsi dari sebuah teori yang mana
menciptakan aktivitas perekonomian tertentu pada skala-skala tertentu
dengan berbasis karateristik kawasan. Strategi ini merupakan
operasionalisasi dari fungsi-fungsi tematik pembangunan yang telah
ditetapkan pada skala provinsi. Pemanfaatan epistemic community baik itu
universitas, komunitas NGO, serta komunitas-komunitas masyarakat lainnya
dalam mengakselerasi terlaksananya kerangka ini sangat diperlukan.
Integrasi antara sektor ekonomi yang dikembangkan, dengan basis kultur
perekonomian masyarakat setempat, serta keberadaan ruang menjadi acuan
utama. Produk kebijakan yang diharapkan muncul adalah rencana
startegis dengan satuan kawasan atau skala-skala tertentu, dengan orientasi
kebijakan yang berada pada skala provinsi dan kabupaten/kota.
Disamping itu, didalam kebijakan perekonomian yang dimunculkan, perlu
adanya mekanisme insentif dan disinsentif. Skema yang dimaksud adalah
mengupayakan kebijakan tertentu tentang infrastruktur dan komuditas dasar
dalam mendukung perekonomian sebuah kawasan di wilayah perbatasan.
Misalkan kebijakan insentif harga BBM di kawasan perdesaan perbatasan
untuk mengakselerasi perekonomian nelayan yang ada di pesisir dan pulaupulau kecil. Skema ini diharapkan akan mampu menarik masuknya
sumberdaya ikutan lain yang selanjutnya dapat menggerakkan roda
pembangunan di wilayah perbatasan. Untuk merealisasikan hal ini,
diperlukan dasar hukum sektor terkait bagi perencanaan khusus wilayah
perbatasan.

 

16 

3.f. Cross-border mutual prosperity engagement
Pelibatan komunitas lokal setempat menjadi kekuatan dalam menghadirkan
kesetaraan perekonomian dan kesejahteraan di wilayah perbatasan.
Kecenderungan di wilayah perbatasan, masyarakat setempat memiliki ikatan
adat dan budaya lintas negara. kekuatan tersebut dapat dimaksimalkan
dengan membuka sambungan komunikasi antar masyarakat lintas negara.
komunikasi yang dimaksud kemudian dapat menghasilkan kesepakatankesepakatan dalam bentuk aktivitas sosial, perekonomian, serta lingkungan.
Adanya aktivitas tersebut akan menggerakan termanfaatkannya sumberdaya
lokal lintas negara secara berkelanjutan, serta dapat menjadi imun bagi
adanya intervensi-intervensi pihak-pihak luar yang dapat mengancam
kedaulatan kedua negara. muara dari aktivitas tersebut adalah kesejahteraan
yang didapatkan bersama antara masyarakat dikedua negara. mekanisme ini
merupakan terapan dari konsep second track diplomacy.

3.g. Penyusunan
dan
Pemberlakuan
Consolidated
Pembangunan Desa di Kabupaten/Kota Perbatasan

Plan

Pada tahapan pelaksanaan, aspek monitoring dan evaluasi pembangunan
perlu dilakukan. Seperti yang sering dikemukakan oleh Presiden Jokowi
bahwa kelemahan pelaksanaan pembangunan di Indonesia terdapat pada
sistem monitoring pelaksanaannya. Oleh sebab itu dibutuhkan instrumen
proses monitoring dan evaluasi lintas sektor dan skala pemerintahan.
Intrumen yang dimaksud dapat termuat dalam consolidated plan. Intrumen
konsolidasi ini dapat dilakukan pada skala kabupaten/kota. Pertimbangannya
keberadaan fokus kawasan antar desa yang berada di wilayah perbatasan,
serta dapat dijangkau secara langsung oleh skala provinsi dan nasional.
Target dari instrumen ini adalah penilaian terhadap parameter-parameter
pembangunan wilayah pinggiran terutama di perbatasan yang berbasis
kawasan perdesaan. Kepala daerah memiliki tanggung jawab yang besar
terhadap kesuksesan pelaksanaan parameter pembangunan.

Daftar Pustaka
Adelman, Jeremy dan Aron, Stephen. 1999. Form Boderlands to Borders :
Empires, Nation-States, and the Peoples in Between in North
American History. The American Historical Review, Vol. 104, No.
3, 814-841. JSTOR.

 

17 

Boehmer, Charles R. dan Peña, Sergio. 2012. The Determinants of Open and
Closed Borders. Journal of Borderlands Studies, 27:3, 273-285,
DOI: 10.1080/08865655.2012.750950
BNPP. 2010. Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara Dan
Kawasan Tahun 2011-2014. Jakarta : Badan Nasional Pengelola
Perbatasan
BNPP. 2010. Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara Dan Kawasan
Perbatasan 2011-2025. Jakarta : Badan Nasional Pengelola
Perbatasan
Donnan, Hastings dan Wilson, Thomas M. 1999. Borders: Frontiers of
Identity, Nation and State. Oxford: Berg Publishers.
Janeczek, Andrzej. 2011. Frontiers And Borderlands In Medieval Europe.
Introductory Remarks dalam Jurnal Quaestiones Medii Aevi Novae.
Jones, Stephen B. 1945. Boundary-Making: A Handbook for Statesmen,
Treaty Editors and Boundary Commissioners. Washington, DC:
Carnegie Endowment for International Peace 1945.
Johnston, Douglas M. 1931. The theory and history of ocean boundarymaking. Canada : McGill-Queen's University Press. ISBN 0-77350624-1
Lay, Cornelis et.al, 2013, Rethinking the Border: In Search of Border
Governance Concept, Laporan Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, UGM
Martinez, O.J. 1994. The Dynamics of Border Interaction. Global Boundaries,
World Boundaries Vol. 1, ed. C.H. Schofield. London: Routledge
Press.
Mutaali, Lutfi, Marfai, Muh Aris, Christanto, Joko, Nugroho, A.S. 2012.
Gagasan Pembangunan Wilayah Perbatasan: Upaya Mewujudkan
Cetak Biru Pembangunan Perbatasan. Yogyakarta: Fakultas
Geografi UGM
Perales, Monica. 2013. On Bordelands/La Frontera: Gloria Anzaldua and
Twenty-Five Years on Research on Gender in the Borderlands.
Journal of Women's History, Volume 25, Number 4, Winter 2013,
pp. 163-173 (Article)
Perdue, Peter C. 2001. “Empire and Nation in Comparative Perspective:
Frontier Administration in Eighteenth-Century China” dalam:
Journal of Early Modern History, Vol. 5, Nr. 4.

 

18 

Pratt, Martin. 2009. The Scholar-Practitioner Interface in Boundary Studies.
Oral presentation at the symposium “First Contact: Bringing
Together the Worldwide Community of Border Studies”
dilaksanakan oleh the Slavic Research Center di Hokkaido
Univeristy 19 December 2009.
Sidaway, James D. 2015. Mapping Border Studies. Geopolitics, 20:1, 214-222,
DOI: 10.1080/14650045.2014.985172.
_______. 2008. Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah
Negara. Jakarta: Pemerintah Negara Republik Indonesia.
_______. http://science.jrank.org/. Diakses tanggal 20 April 2015, Pukul
14.35 WIB.

 

19