Mengembangkan Toleransi untuk Menyikapi Menyikapi

MENGEMBANGKAN TOLERANSI UNTUK MENYIKAPI
POTENSI KONFLIK ANTARUMAT BERAGAMA
DALAM PERSPEKTIF AGAMA BUDDHA
Sabar Sukarno
STABN Sriwijaya
sabar_sukarno@yahoo.com

ABSTRACT
Religion ideally serve as a guide for human life. All religions teach goodness and
promise happiness and salvation. But the diversity of religious teachings and interpretations
by adherents can lead to an attitude that does not respect the views of others so prone to
conflict. Buddhism is believed to teach interfaith tolerance. This paper aims to describe the
values of tolerance according to the teachings of Buddhism contained in the Tipitaka
scriptures.
This paper is a literature review with a hermeneutic approach. The main data
sources of the research are the Tipitaka scriptures, and various references related to interreligious tolerance. Technique of collecting data by collecting suttas (Buddha‟s discourses)
in Tipitaka scriptures which is relevant to the theme of conflict and tolerance among
religious people. Data analysis was done by hermeneutic approach.
The results show that Buddhist teachings in the Tipitaka Scriptures contain tolerant
values. The suttas show the Buddha's advice, actions, and attitudes along with his disciples
who apply values of tolerance in social relationships between believers.

Keywords: tolerance, conflict, religious people
PENDAHULUAN
Di Indonesia terdapat enam agama yang sah saat ini, agama tersebut
adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Menurut
Badan Pusat Statistik Indonesia bahwa dari hasil sensus tahun 2010
persentase pemeluk agama di Indonesia adalah: Islam 81,1%, Kristen 6,9%,
Katolik 2,9%, Hindu 1,6%, Buddha 0,7% dan Konghucu 0,05%. Keberagaman
kehidupan beragama di Indonesia pernah mengalami berbagai konflik,
termasuk agama Buddha.
Ajaran Buddha telah berkembang selama ribuan tahun, sepanjang
sejarahnya agama Buddha dikenal sebagai agama yang sedikit sekali memiliki
catatan konflik atau kekerasan yang mengatasnamakan ajaran agama, atau
bahkan dapat dikatakan bahwa dalam sejarahnya agama Buddha tidak
pernah terlibat konflik hingga kekerasan yang mengatasnamakan ajaran
Buddha. Hal demikian tentulah memiliki dasar sehingga penganut ajaran
Buddha mampu mengutamakan perdamaian dalam pelaksanaan ajaran
agamanya.
81

Jika umat Buddha dapat melihat sejarah panjang perkembangan ajaran

Buddha yang selalu mengutamakan perdamaian tentulah umat Buddha di
Indonesia akan dapat menjaga sikap agar tidak melakukan tindakan yang
dapat memicu konflik umat beragama. Umat Buddha di Indonesia secara
jumlah adalah minoritas tetapi keberadaan umat Buddha tetaplah dapat
menjadi bagian dari warga negara yang baik dan dapat berkontribusi bagi
pembangunan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Potensi Konflik Antarumat Beragama
Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada
kebaikan. Namun pada kenyataanya tidak semua yang dianggap baik itu bisa
bertemu dan sejalan. Bahkan, kadang dapat terjadi pertentangan antara yang
satu dengan lainnya dengan berbagai alasan, yang paling sering karena
perbedaan interpretasi ajaran dan fanatisme berlebihan.
Konflik agama pada umumnya, baik yang bersifat murni maupun yang
ditumpangi oleh aspek budaya, politik, ideologi dan kepentingan golongan
banyak mewarnai perjalanan sejarah kehidupan bermasyarakat Indonesia.
Mulkan dalam Saiman (2009: 16) menyatakan bahwa di era reformasi dan
paska reformasi, agama telah menunjukkan peran dan fungsinya yang nyata,
baik kekuatan yang konstruktif maupun destruktif. Sesudah gerakan
reformasi, suatu keyakinan ketuhanan atau keagamaan banyak dituduh telah
menyebabkan konflik kekerasan.

Potensi Konflik dari Faktor Keagamaan
Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor
keagamaan dan nonkeagamaan (Wahid, 1984: 3-9). Ajaran agama juga bisa
menimbulkan disintegrasi bila dipahami secara sempit dan kaku. Di
antaranya, setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya
adalah jalan hidup yang paling benar, sehingga dapat menimbulkan
prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk agama lain
sehingga memicu konflik (Wahid, 1984: 8).
Selain faktor yang terkait dengan doktrin, terdapat faktor-faktor
keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di
antara umat beragama, antara lain: (a) penyiaran agama, (b) bantuan
keagamaan dari luar negeri, (c) perkawinan antar pemeluk agama yang
berbeda, (d) pengangkatan anak, (e) pendidikan agama, (f) perayaan hari
besar keagamaan, (g) perawatan dan pemakaman jenazah, (h) penodaan
agama, (i) kegiatan kelompok sempalan, (j) transparansi informasi
keagamaan, dan (k) pendirian rumat ibadat (Wahid, 1985: 31).
Mursyid (2009: xvi) menyatakan bahwa faktor ekonomi dan politik
merupakan peringkat pertama faktor pemicu konflik dan kerusuhan. Faktor
agama menduduki peringkat kedua. Departemen Agama mendefinisikan
sejumlah kegiatan keagamaan yang dipandang rawan konflik antara lain: (a)

pendirian rumah ibadah, (b) penyiaran agama, (c) bantuan luar negeri, (d)
82

perkawinan berbeda agama, (e) perayaan hari besar keagamaan, (f) penodaan
agama, (g) kegiatan aliran sempalan.
Potensi Konflik dari Faktor Nonkeagamaan
Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri. Di satu
sisi, memberikan kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di
sisi lain keragaman agama dapat juga berpotensi menjadi sumber konflik di
kemudian hari. Hal ini tergantung pada lebih kuat yang mana di antara
potensi tersebut. Konflik bisa saja terjadi, dengan penyebabnya terkadang
disebabkan adanya truth claim (klaim kebenaran). Namun yang dominan,
konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak berkaitan dengan ajaran
agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan ekonomi,
sosial dan politik, yang selanjutnya di-blow up menjadi konflik agama.
Faktor nonkeagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab
ketidakrukunan umat beragama, antara lain: (a) kesenjangan ekonomi, (b)
kepentingan politik, (c) perbedaan nilai sosial budaya, (d) kemajuan
teknologi informasi dan transportasi (Hasan, 1986: 323-335). Sejumlah
kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia,

beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan
berlangsung lama, seperti kerusuhan di Ambon (mulai 1998), Poso (mulai
1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa tempat lain.
Toleransi Antarumat Beragama
Toleransi artinya sifat atau sikap toleran. Toleran artinya bersifat atau
bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian
(pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dsb.) yang berbeda
atau bertentangan dengan pandangan sendiri. Toleransi adalah konsep
modern untuk menggambarkan sikap saling menghormati dan saling bekerja
sama di antara kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda baik secara
etnis, bahasa, budaya, politik, maupun agama. Toleransi, karena itu,
merupakan konsep agung dan mulia yang sepenuhnya menjadi bagian
organik dari ajaran agama-agama. Sikap toleran antara lain terwujud dalam
hidup saling menghormati, tidak saling mengganggu. Toleransi yang bukan
sekadar berjalan sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu, tetapi toleransi
sebagai suatu kerja sama lintas agama.
Kerukunan hidup beragama tidak akan lahir dari sikap fanatisme buta
dan sikap tidak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Kerukunan hanya
bisa tercapai jika masing-masing golongan bersikap lapang dada satu sama
lain (Priastana, 2000: 57). Kerukunan hidup beragama adalah suatu kondisi di

mana semua golongan agama bisa hidup bersama-sama secara damai tanpa
mengurangi hak kebebasan masing-masing untuk menganut dan
melaksanakan kewajiban agamanya. Kerukunan yang dimaksud bukan
berarti penganut agama yang satu tidak merasa atau perlu menahan diri
untuk melibatkan persoalan keberagamaan dengan pihak lain, karena
83

kebersamaan menghendaki tenggang rasa, yang hanya benar-benar
dimungkinkan jika saling memahami (Mukti, 2003: 163).
Untuk menghindari timbulnya konflik harus diciptakan kondisi yang
mendukung bagi kehidupan yang rukun dan harmonis. Langkah yang harus
ditempuh terdiri dari dua bagian yaitu menghindari perbuatan, ucapan, dan
pikiran yang dapat menimbulkan perselisihan. Di samping itu juga harus
dilakukan upaya aktif yang terdiri dari enam hal positif yang harus
dikembangkan oleh setiap orang. Toleransi dikembangkan menurut
pandangan agama Buddha dengan kedua cara ini. Toleransi antarumat
beragama diupayakan dengan cara menghindari sikap negatif dan aktif
mengembangkan sikap positif agar tercipta kerukunan antarumat beragama.
Nilai-nilai Toleransi dalam Perspektif Agama Buddha
Sikap toleransi telah diteladankan oleh Buddha baik melalui tindakan

maupun dalam nasehat melalui kotbah-kotbahnya. Nilai-nilai toleransi bukan
hanya diajarkan, melainkan ditunjukkan langsung dalam sikap dan
tindakannya, juga dilakukan oleh para siswanya.
Buddha adalah seorang guru yang cinta damai, dan sangat toleran
terhadap penganut kepercayaan lain. Buddha tidak pernah menggunakan
kekerasan sekecil apapun dalam membabarkan Dhamma, karena Ia hanya
berdasarkan cinta kasih semata dalam mengajar kepada siapa pun. Hal ini
telah ditanamkan oleh Buddha sejak pertama kali Ia mengutus para siswanya
yaitu 60 bhikkhu arahat untuk membabarkan Dhamma ke semua makhluk.
Dalam kitab suci Vinaya Pitaka, Buddha memerintahkan para bhikkhu
sebagai berikut: “Walk, monks, on tour for the blessing of the manyfolk, for the happiness
of the manyfolk out of compassion for the world, for the welfare, the blessing, the happiness
of devas and men” (Horner, 2007: 28).
Tidak Memaksa Orang Lain untuk Menjadi Pengikut
Dalam membabarkan Dhamma, Buddha tidak bermaksud mencari
pengikut ataupun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan
untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan, hanya
bertujuan membantu semua makhluk untuk terbebas dari penderitaan.
Buddha menghargai ajaran lain. Dalam mengajarkan Dhamma, Buddha tidak
memaksa siapa pun untuk mengikuti ajarannya. Dalam kitab suci Digha

Nikaya, Udumbarika-Sihanada Sutta, Buddha memberikan nasihat kepada
petapa Nigrodha yang menganut cara penyiksaan diri, sebagai berikut:
Maybe, Nigrodha, you will think: The Samana Gotama has said this from a desire
to get pupils; but you are not thus to explain my words. Let him who is your teacher
be your teacher still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a
desire to make us secede from our rule; but you are not thus to explain my words. Let
that which is your rule be your rule still. Nigrodha, you will think: The Samana
Gotama has said this from a desire to make us secede from our mode of livelihood;
84

but you are not thus to explain my words. Let that which is your mode of livelihood
be so still. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said this from a desire to
confirm us as to such points of our doctrines as are wrong, and reckoned as wrong by
those ini our community; but you are not thus to explain my words. Let those points
in your doctrines which are wrong and reckoned as wrong by those in your
community, remain so still for you. Maybe, Nigrodha, The Samana Gotama has said
this from a desire to detach us from such points in our doctrines as are good,
reckoned as good by those ini our community; but you are not thus to explain my
words. Let those points ini your doctrines which are good, reckoned to be good by
those in your community, remain so still (Davids, 2002: 51).

Cara seperti ini akan menghindarkan konflik dengan para guru lain.
Buddha tidak memaksa siapa pun untuk percaya dan melaksanakan
ajarannya, dan memberikan kebebasan untuk mengabaikan nasihatnya.
Buddha menekankan bahwa tujuan dari mengajarkan Dhamma adalah
membimbing siapa pun yang mempraktikkannya menuju kebebasan dari
penderitaan sepenuhnya.
Meskipun Buddha dengan tegas menyatakan bahwa Dhamma adalah
kebenaran sejati, dan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai jalan yang benar,
tetapi Ia tidak pernah memaksakan agar orang lain mempercayai dan
menjalankan ajarannya. Buddha mengajarkan Dhamma kepada siapa pun
tidak bertujuan agar mereka menjadi muridnya atau supaya meninggalkan
gurunya atau meninggalkan cara hidupnya, tetapi semata-mata supaya
terbebas dari penderitaan kelahiran, ketuaan, dan sakit. Buddha mempunyai
tujuan semata-mata memberikan kebahagiaan dan kesejahteraaan melalui
Dhamma yang mereka ajarkan. Mengajarkan Dhamma bukan supaya
mendapatkan pengikut yang banyak.
Sikap Buddha yang tidak memaksakan kehendak, sebaliknya
memberikan kebebasan menganut keyakinan dan menjalankan ajaran juga
terlihat dalam Pāthikasutta (Dīghanikāya). Dalam suatu kesempatan diskusi,
pengembara Bhaggavagotta, menceritakan pembicaraannya dengan seorang

Licchavi bernama Sunakkhatta.
Some days ago, Bhaggava, a good many days ago, Sunakkhatta, the Licchavi, came
to call on me, and spake thus: „Sir, I now give up the Exalted One. I will henceforth
remain no longer under him (as my teacher).‟
When he told me this, I said to him: „But now, Sunakkhatta, have I ever said to you:
“Come, Sunakkhatta, live under me (as my pupil)?”‟
„No, Sir, you have not.‟
„Or have you ever said to me: “Sir, I would fain dwell under the Exalted One (as my
teacher)?”‟
„No, Sir, I have not.‟

85

„But if I said not the one, and you said not the other, what are you and what am I that
you talk of giving up?
Menghormati Penganut Kepercayaan Lain
Dalam kitab suci Majjhima Nikaya, Upali Sutta dikisahkan bahwa
Upali yang merupakan seorang siswa dari guru besar aliran Jaina yaitu petapa
Nigantha Nataputta, setelah mendengarkan Dhamma dari Sang Buddha ia
berniat menjadi siswa-Nya dan berlindung kepada Buddha. Namun dengan

bijaksana Buddha menyuruh Upali untuk mempertimbangkan niatnya
dengan berkata: “Householder, your family has long supported the Niganthas and you
should consider that alms should be given to them when they come” (Nanamoli, 2001:
484).
Buddha menasihati Upali untuk berpikir terlebih dahulu mengingat
bahwa ia adalah seorang yang terkenal di wilayahnya. Akhirnya, meskipun
diterima sebagai upāsaka, Buddha mengingatkan dia untuk tetap memberikan
sokongan kepada guru dan orang yang dulu sudah lama disokong. Buddha
mengajarkan Dhamma tidak dengan cara mengambil siswa dari guru lain dan
mencela ajarannya. Sikap toleran seperti ini sangat penting untuk menjaga
kerukunan antarumat penganut kepercayaan. Buddha tidak berkeinginan
untuk mencari umat sebanyak-banyaknya, bahkan dengan mengambil umat
kepercayaan lain.
Tidak Bersikap Arogan Seolah Paling Benar
Buddha mengajarkan kebenaran sejati atau kebenaran mutlak yaitu
Dhamma. Namun demikian Buddha menyatakan terdapat dua jenis
kebahagiaan yang dapat dicapai manusia yaitu kebahagiaan duniawi (lokiya)
dan kebahagiaan sejati (lokuttara). Untuk mencapai kebahagiaan sejati harus
melaksanakan Jalan Mulia Berunsur Delapan yang diajarkan oleh Buddha.
Kebahagiaan duniawi termasuk kebahagiaan di alam surga dapat dicapai
dengan melakukan perbuatan baik dan menghindari perbuatan jahat.
Kebahagiaan duniawi dapat dicapai oleh siapa pun tidak dimonopoli oleh
umat Buddha. Hal ini dapat dilihat dari khotbah Buddha dalam Assalāyana
Sutta (Majjhimanikāya). Pandangan seperti ini akan sangat berperan dalam
menumbuhkan rasa toleransi antarpenganut pandangan atau kepercayaan
yang berbeda. Tidak ada yang merasa paling benar dan paling suci sehingga
tidak merendahkan penganut agama lain.
Ketika berbicara dengan penganut kepercayaan lain, Buddha
mendengarkan ajaran lain untuk dijadikan bahan diskusi dan tidak jarang
juga menyetujui pendapat penganut ajaran lain. Ia akan mengatakan ajaran
lain dengan apa adanya, baik sebagai baik, tercela sebagai tercela. Saat
melakukan percakapan dengan seseorang atau kelompok tertentu, Buddha
tidak pernah menolak apapun hal yang memang berisi kebenaran walaupun
hal tersebut diungkapkan oleh orang atau kelompok kepercayaan lain. Sikap
86

ini menunjukkan kebesaran hati dan sikap keterbukaan untuk mengakui
sesuatu yang benar sebagai benar tanpa membeda-bedakan dari mana
kebenaran itu berasal.
Bersedia Berdiskusi dengan Penganut Kepercayaan Lain
Sikap toleransi Buddha dan para siswa ditunjukkan dengan seringnya
kunjungan Buddha atau para siswa ke pertapaan dari para penganut ajaran
lain. Hal ini menunjukkan sikap yang inklusif yang dikembangkan oleh
Buddha. Buddha melakukan kunjungan untuk berdiskusi mengenai ajaran.
Kunjungan ke para petapa lain juga dilakukan oleh para siswa Buddha.
Buddha pun tidak luput dari berbagai perdebatan yang harus dihadapi
dari para petapa dan penganut pandangan lain, baik dalam usahanya untuk
mengajarkan Dhamma maupun karena didebat oleh petapa lain yang
mengemukakan pendapatnya. Namun dalam perdebatan itu tujuan-Nya
bukan untuk memenangkan perdebatan melainkan berusaha agar lawan
bicara memahami dan menerima kebenaran Dhamma.
Sikap keterbukaan ditunjukkan Buddha terhadap para penganut
kepercayaan lain yang ingin bertemu, bahkan tidak jarang mereka yang
datang dengan tujuan untuk berdebat. Cūlasaccakasutta (Majjhimanikāya)
mengisahkan Buddha dengan terbuka menerima kunjungan Saccaka yang
ingin berdebat dengannya. Kisah Upāli dalam Upālisutta (Majjhimanikāya)
menunjukkan keterbukaan Buddha dalam menerima seseorang yang datang
yang dalam hal ini perumahtangga untuk berdebat dengannya. Dalam
Dhammacetiyasutta (Majjhimanikāya) dikisahkan para pertapa, brahmana,
kesatria yang datang kepadanya dan berupaya memberikan argumen
terhadap ajaran Buddha. Aggivacchasutta (Majjhimanikāya) mengisahkan
kunjungan pengembara Aggivaccha kepada Buddha untuk bertanya tentang
sepuluh pertanyaan avyākatha. Buddha melakukan semua diskusi dan debat
dengan damai tanpa emosi.
Tidak Membenci Penentang Buddha, Dhamma, dan Saṅgha
Buddha telah bebas dari kemarahan dan kebencian, tetapi ia menyadari
bahwa tidak demikian dengan para siswanya. Maka ia melindungi para
siswanya dari tindakan yang merugikan dengan menganjurkannya untuk
tidak marah kepada mereka yang melecehkan dan menghujat Buddha,
Dhamma, dan Saṅgha. Dalam Brāhmajālasutta (Dīgha Nikāya), Buddha
menasihati para muridnya agar tidak menaruh kebencian atau kemarahan
apabila Buddha, Dhamma, dan Sangha dihujat. Alasannya, saat marah,
seseorang tidak mengetahui apakah ucapan orang lain itu baik atau tidak
baik. Namun demikian, meskipun kemarahan tidak dimunculkan, bukan
berarti umat Buddha tinggal diam saat Buddha, Dhamma, dan Sangha
dilecehkan maupun dihujat. Siswa Buddha harus memberikan penjelasan
mana yang benar dan tidak benar terkait hujatan yang diberikan kepada
Buddha, Dhamma, dan Sangha.
87

Konflik yang banyak terjadi pada saat ini sering terjadi karena sikap
egois. Salah satu penyebab yang paling umum adalah pertentangan
pandangan, menganggap ajaran agamanya paling benar dan memandang
ajaran agama lain salah. Pandangan ini kemudian berlanjut kepada tindakan
saling mengejek. Cara dalam menghadapi sikap tidak baik dari umat lain,
Buddha menasihatkan prinsip keseimbangan batin. Siswa Buddha dianjurkan
untuk tetap seimbang menghadapi pujian maupun celaan kepada Tiratana,
tidak marah, namun dengan tenang mengatakan bahwa apa yang dikatakan
oleh pencela tersebut adalah tidak benar.
Brethren, if outsiders should speak against me, or against the Doctrine, or against
the Order, you should not on that account either bear malice, or suffer heartburning, or feel illwill. If you, on that account, should be angry and hurt, that would
stand in the way of your own self-conquest. If, when others speak against us, you feel
angry at that, and displeased, would you then be able to judge how far that speech of
theirs is well said or ill?
But when outsiders speak in dispraise of me, or of the Doctrine, or of the Order, you
should unravel what is false and point it out as wrong, saying: “For this or the reason
this is not the fact, that is not so, such a thing is not found among us, is not in us”.
But also, brethren, if outsiders should speak in praise of me, in praise of the Doctrine,
in praise of the Order, you should not, on that account, be filled with pleasure or
gladness, or be lifted up in heart. Were you to be so that also would stand in the way
of your self-conquest. When outsiders speak in praise of me, or of the Doctrine, or of
the Order, you should acknowledge what is right to be the fact, saying: “For this or
that reason this is the fact, that is so, such a thing is found among us, is in us”
(Muller, 2002: 3).
Selanjutnya dalam Mahāsaccakasutta (Majjhimanikāya) diketahui
bahwa Buddha tidak marah ketika ajarannya dihujat atau dikritik. Saccaka,
seorang penganut Jaina, kagum kepada Buddha karena saat ajarannya dihujat,
justru raut wajah dan tubuh Buddha bertambah cerah. Ia membandingkan
para guru spiritual lain seperti misalnya Purana Kassapa yang ketika
ajarannya dikritik ia menunjukkan kemarahan, kebencian, dan
ketidaksukaan.
Upaya Aktif Mengembangkan Sikap Toleransi
Dalam kitab Digha Nikaya, Sangiti Sutta, dijelaskan mengenai
Saraniya Dhamma, di mana Buddha mengajak siswa-Nya untuk saling
mengingat, saling menolong, saling menghormat, dan menghindari
percekcokan sehingga dapat menimbulkan persatuan dan kesatuan.
Six occasions of fraternal living, herein, friends, when a brother‟s kindly act towards
his fellow-disciples has been attested as wrought publicly and in private, that is an
occasion of fraternity, causing affection an regard, and conducing to concord,
88

absence of strife, harmony, union. The second and third occasions are those of kindly
speech and kind thoughts. In the next place, when a brother who has honestly and
righteously obtained gifts, distributes these impartially among his fellow-disciples,
and has everything in common with them, even to the contents of this alms-bowl, that
is an occasion of fraternity, etc. Next, when the character and moral habits of a
brother are without rupture or flaw, are consistently practised, unblemished, making
a man free, commended by the wise, unperverted, and condusing to rapt
concentration, and he, so virtuous, dwells openly and privately among his fellowdisciples, that is an occasion of fraternity, causing affection and regard, and
conducing to concord, absence of strife, harmony, union. Lastly, when a brother lives
with his religious life (guided by) tha Ariyan, safe-guiding belief, which leads him
who so lives to the perfect destruction of sorrow, when he thus equiped lives among
his fellow-disciples publicly and in private, that is an occasion of fraternity... like the
foregoing (Davids, 2002: 231).
Enam hal yang harus diingat dan dikembangkan untuk mendukung
kerukunan dan kehidupan bersama yaitu dengan mengembangkan: (1) cinta
kasih dalam perbuatan jasmani (metta kaya-kamma), (2) cinta kasih dalam
ucapan (metta vaci-kamma), (3) cinta kasih dalam pikiran (metta mano-kamma),
(4) kemoralan (sila), (5) kemurahan hati (caga), dan (6) kebijaksanaan (pabba).
Dhamma di atas bila dikembangkan secara utuh akan menghasilkan
suasana kedamaian, keharmonisan, ketenteraman dan terbebas dari konflik,
tetapi akan menjadi sebaliknya jika selalu menonjolkan perbedaan suku,
agama, ras, warna kulit, dan perbedaan yang lainnya maka benih-benih
perselisihan akan muncul.
Perselisihan umat beragama sering terjadi karena ego baik dari para
pemimpin agama maupun pemimpin pemerintahan, ketika para pemimpin
tersebut lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau golongan. Terlebih
lagi ketika ia menyalahgunakan agama ataupun politik untuk melancarkan
pemenuhan kepentingan pribadi dan golongan. Untuk mengatasi hal itu, para
pemuka agama maupun pemerintahan harus memiliki kebijaksanaan sebagai
seorang pemimpin. Dalam Nandiyamigga Jataka, Sang Buddha menjelaskan
pedoman bagi seorang pemimpin yang terdiri dari sepuluh kriteria disebut
„Dasa Raja Dhamma‟ yaitu memiliki: (1) kemurahan hati (dana), (2) kekuatan
moral tinggi (sila), (3) bersedia berkorban (pariccaga), (4) ketulusan hati dan
kejujuran (ajjava), (5) baik hati dan ramah tamah (maddawa), (6) sederhana
hidupnya (tapa), (7) cinta damai (akhoda), (8) tanpa kekerasan (ahimsa), (9)
kesabaran (khanti), (10) tidak bertentangan dengan kebenaran (aviroda)
(Panjika, 1994: 283).

89

KESIMPULAN
Kitab Suci Tipitaka mengandung ajaran nilai-nilai toleransi, yang
tercermin dalam berbagai nasihat, tindakan, dan sikap Buddha beserta para
siswanya yang mengembangkan toleransi dalam menjalin hubungan sosial.
Dalam menyebarkan ajarannya, Buddha juga menghadapi berbagai potensi
konflik dengan penganut kepercayaan lain. Tidak dapat dikatakan bahwa
Buddha selalu berhasil menanamkan ajaran kepada setiap orang yang
diajarnya, tetapi ia berhasil dalam menghindari konflik dengan pihak-pihak
yang tidak sepaham. Hal itu dimungkinkan karena Buddha mengembangkan
sikap toleransi dalam wujud antara lain tidak memaksa orang lain untuk
menjadi pengikut, menghormati penganut kepercayaan lain, tidak bersikap
arogan seolah paling benar, dan bersedia berdiskusi dengan penganut
kepercayaan lain, serta tidak membenci penentang Buddha, Dhamma, dan
Saṅgha.
Buddha mampu menghindari timbulnya konflik. Mengembangkan
sikap toleransi dilakukan dengan dua aspek yang harus ditempuh, pertama
menghindari perbuatan, ucapan, dan pikiran yang dapat menimbulkan
perselisihan. Selanjutnya dilakukan upaya aktif yang terdiri dari enam hal
positif yang harus dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Davids, Rhys. 2002. Dialogues of The Buddha (Digha Nikaya) Part III. Oxford: The
Pali Text Society
Horner, I.B. 2007. The Book of Discipline (Vinaya Pitaka) Volume IV. Lancaster: The
Pali Text Society
Mukti, KW. 2003. Wacana Buddha-Dharma. Yayasan Dharma Pembangunan:
Jakarta
Muller, Max. 2002. Dialogiues of The Buddha Part 1. Oxford: The Pali Society
Mursyid, Ali. 2009. Pemetaan Kerukunan Kehidupan Beragama di Berbagai Daerah di
Indonesia. Jakarta: Departemen Agama RI
Nanamoli, Bodhi. 2001. The Middle Length Discourses of the Buddha (Majjhima
Nikaya). Oxford: Pali Text Society.
Panjika. 2000. Rampaian Dhamma. Jakarta: Pervitubhi
Priastana, Jo. 2000. Buddha Dhamma Kontekstual. Yayasan Yasodara Puteri:
Jakarta
Saiman. 2009. Pesona Kehidupan Beragama. Pontianak: Pembimas Buddha Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi Kalimantan Barat
Wahid, Abdurrahman. 1989. Pribumisasi Islam. Jakarta: P3M
Wahid, Abdurrahman. 1985. Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama.

90