Memahami Kebutuhan Dasar Psikologis Sisw

Memahami Kebutuhan Dasar Psikologis
Siswa
Dalam proses pembelajaran, kenakalan siswa sering dijadikan alasan guru jika merasa frustasi atas
ketidaknyamanan terhadap perilaku siswa. Guru juga sering menjadikan alasan seperti lingkungan masyarakat
maupun keluarga yang buruk, IQ dibawah rata-rata, kurangnya perhatian dan bimbingan dari orang tua. Dari
permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa guru hanya menyuruh dan merayu siswa untuk berperilaku
baik dan menghukumnya jika berperlaku buruk. Sikap guru yang seperti itu mencerminkan guru yang
melepaskan tanggung jawabnya sebagai guru. Dalam hal ini guru berfungsi sebagai motivator siswa supaya
berperilaku benar dan melatih bertanggung jawab.
Meskipun ada benarnya bahwa perilaku siswa dipengaruhi oleh faktor kontrol dari luar sekolah akan tetapi
situasi belajar disekolah dan efektifitas guru disekolah juga berpengaruh besar pada bagaimana siswa
bersikap dan belajar sehingga mempengaruhi diri mereka sendiri. Menurut Allen Mendler (1992, h. 25, 27)
bahwa kebanyakan program disiplin menekankan strategi dan teknik secara tidak tepat. Beberapa siswa
mungkin berkelakuan baik tetapi sebagian siswa yang lain tidak memberi respon yang baik. Guru yang
kompeten perlu mengetahui alasan dari perilaku menyimpang untuk merumuskan strategi yang kemungkinan
akan berhasil.
Dari penjelasan diatas, seorang anak atau siswa mengatakan bahwa mereka butuh bantuan belajar dnegan
cara yang lebih baik dan sesuai dengan keinginan mereka. Langkah selanjutnya adalah bagaimana cara atau
teknik yang digunakan guru supaya memotivasi siswa.
Perspektif Teoritis
Perilaku siswa yang tidak prodktif biasanya diakibatkan oleh kebutuhan dasar mereka yang tidak terpenuhi

ketika disekolah. Misalnya, siswa yang bertindak agresif diluar sekolah biasanya siswa tersebut kuurang
mampu berinteraksi secara baik dengan teman sebayanya disekolah. Siswa yang bertingkah pada saat
pembelajaraan mungkin siswa tersebut tidak bisa memahami emosinya tentang bagaimana menangani
frustasinya dan mendapatkan bantuan. Oleh karena itu, siswa harus diberi lebih dari sebuah penguatan
(reinforcement) yaitu berupa keterampilan sosial dan tugas. Akan tetapi masalah yang timbul adalah jika siswa
tersebut melakukan kesalahan guru akan mengucilkannya dnegna hukuman dan tidak memberi bantuan
petunjuk sama sekali. Seharusnya, pendidik merespon perilaku siswa yang tidak produktif dengan
menciptakan kesempatan yang banyak bagi siswa untuk mengembangkan keahlian yang dibutuhkan.
Teori Kebutuhan Personal (Personal Needs Theories)
Abraham Maslow (1968), mengemukakan bahwa agar anak mempunyai kemauan untuk belajar, kebutuhan
dasar mereka harus dipenuhi terlebih dahulu. Manusia memiliki kebutuhan bawaan untuk menjadi kompeten
dan untuk diterima. Kebutuhan dasar ini tidak akan terpenuhi tanpa bnatuan orang lain. Rudolf Dreikurs,
mengemukakan bahwa agar bisa bekerjasama dengan anak, kebutuhan dasar anak harus dapat diterima

secara sosial. Menurutnya empat tujuan yang berhubungan dengan perilaku menyimpang adalah mendapat
perhatian, kekuasaan, balas dendam, dan menunjukkan ketidakcukupan.
Topper dkk.(1994) menawarkan daftar perilaku pemberontakan oleh siswa:


Atensi- perilaku untuk mendapatkan atensi dari orang lain




Avoidance /escape,menghindar-perilaku menghentikan suatu aktivitas yang sama tidak suka,atau




menghindari suatu kejadian.
Kontrol-perilaku untuk mengontrol kejadian
Revenge,balas dendam-perilaku untuk menghukum orang lain untu sesuatu yang dilakukan kepada



siswa.
Self-regulation/coping,pengaturan diri-perilaku untuk mengelola perasaan



( bosan,malu,marah,takut,malu) atau tingkat energy

Main-perilaku untuk memenuhi kebutuhan bersenang-senang.

Oleh karena itu, peran guru sebagai pendidik adalah membantu mereka mengembangkan perilaku yang tidak
hanya memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini tetapi juga secara efektif mambantu hidup mereka.
William Glasser
William Glasser mengemukakan terdapat lima kebutuhan dasar siswa sebagai 1. Bertahan hidup dan
bereproduksi, 2. Memiliki dan mencintai, 3. Memperoleh kekuasaan, 4. Bebas, dan 5. bersenang- senang.
Stanley Coopersmith
Menurut Staney Coopersmith kebutuhan siswa dipengaruhi oleh empat faktor yang berkaitan dengan harga diri
(self- esteem). Empat faktor tersebut adalah perasaan penting / signifikan(significance), kompetensi
(competence) dan kekuatan/ kekuasaan (power). Istilah signifikansi didefinisikan sebagai perasaan dihargai
dimana individu terlibat dalam hubungan dua arah yang positif yang masing- masing peduli satu sama lain.
Adapun kompetensi dikembangkan melalui kemampuan menjalankan tugas secara social sama baiknya, atau
bahkan lebih baik dari, orang lain pada tingkat usia seseorang. Sebagai sontoh, memenangkan pertandingan
melawan temannya akan menyebabkan seseorang merasa kompeten. Terakhir power, mengacu pada
kemampuan untuk memahami dan mengontrol lingkungan seseorang. Sebagai seorang siswa harus
memahami aturan kelas dan prosedur secara jeas dan memahami apa yang dipelajari dan mengapa pelajaran
itu berguna untuk mereka. Siswa akan merasa kuat atau merasa memiliki kendali ketika mereka diizinkan
memilih topic belajar sendiri, memberi masukan tentang bagaimana kelas diatur, memahami gaya belajar
mereka sendiri dan hubungan dengan pembelajaran, dan memahami keputusan guru atau materi tugas yang

berhubungan dengan warisan budaya.
Apa Yang Siswa Butuhkan
Toper, Wlliams, Leo, Hamilton dan Fox (1994) mengemukakan bahwa terdapat kemiripan antara kebutuhan
dan keinginan siswa dengan kebutuhan dasar siswa yang dibuat teoretisi (Coopersmith, Glasser, Brendtro,
dkk, dan Kohn). Sebagai contoh, kebutuhan dan keinginan siswa adalah kesempatan untuk menguasai
keahlian yang dibutuhkan untuk mengejar mimpi. Hal tersebut hampir sama dengan kompetensi (kebutuhan
dasar siswa yang diajukan oleh Coopersmith). Dimana, siswa ingin menunjukkan kompetennya di bidang
tertentu, sehingga siswa tersebut merasa memiliki keahlian di bidang tersebut. Dari situlah siswa akan memiliki
rasa percaya diri untuk mengejar mimpinya.

Siswa yang Melakukan Bullying
Penelitian (wood dan Gross, 2002) mengemukakan ada dua tipe pelaku bully : reactive bullies yang mempunya
respon kuat terhadap apa yang mereka anggap sebagai situasi yang mengancam dan proactive bullies yang
periakunya tampak lebih diperhitungkan dan direncanakan. Keduanya menunjukkan adanya pengaruh kuat isu
social / emosional terhadap perilaku. Sebagai contoh resctive bullies nampak ketika siswa memiliki keinginan
tetapi kurang mempunyai hubungan positif dengan orang dewasa dan mengalami penolakan dari orang
dewasa yang menjadi walinya/ orang tua. Setelah melakukan perilaku buruk ini kepada orang lain, siswa- siwa
ini sering menunjukkkan penyeasalan yang mendalam. Perilaku proactive bullies dipandang lebih sebagai
komponen identitas siswa dan merupakan sutu cara mereka untuk mengembangkan perasaan signifikansi,
kompetensi, dan kekuasaan. Siswa- siswa ini biasanya tidak mudah diprovokasi melakukan bullying dan

mereka mudah dikontrol. Siswa- siswa ini merasa sedikit menyesal dan perilaku mereka sulit untuk berubah
karena hal ini merupakan aspek fundamental identitas mereka. Selain itu, siswa- siwa ini sering kurang
memperoleh hubungan keluarga yang proaktif yang membantu mengembangkan perasaan empati dan
kepedulian pada orang lain. Sehingga, hal yang diperlukan siswa- siswa ini adalah pendidikan ekstensif dalam
mengembangkan empati pada orang lain, keahlian social dalam memenuhi kebutuhan mereka akan rasa
penting, kompetensi, dan kekuasaan, serta hubungan possitif dengan orang dewasa.
Isu Harga Diri
Seligman (1995), menyatakan bahwa harga diri positif yang paling berguna adalah menggunakan komponen
perasaan nyaman pada diri sendiri dan komponen performa yang positif. Harga diri dipengaruhi oleh
kesuksesan atau kegagalan seseorang didunia ini (Seligman,1995,h.34). Fakta harga diri perlu dilihat dari
sudut pandang yang positif sebagai syarat penting agar siswa mampu berinteraksi positif dengan temannya
dan menaikkan perasaan positif tentang dirinya sendiri.
Teori Perkembangan Manusia
Tahap – tahap perkembangan psikososial manusia menurut erikson, yaitu:
1.

Tahap awal adalah infancy awal pertumbuhan dimana anak mengembangkan perasaan percaya
(trust) dan harapan (hope) atau perasaan tidak percaya (mistrust) dan putus asa (despair).

2.


Tahap kedua adalah masa kanak-kanak awal, di mana anak mengembangkan perasaan kemandirian
(autonomy).

3.

ketiga membahas tentang insiatif (intiative) versus rasa bersalah (guilt).

4.

Tahap keempat membahas industry versus inferiority atau ikhtiar atau usaha versus inferioritas.
Selama masa ini anak harus bermain dan mengembangkan kemampuan untuk menghasilkan sesuatu.

Elkind menyebutkan imaginary audience bahwa remaja muda memandang dirinya dan masalah personal
dirinya sebagai hal yang unik dan orang lain tidak akan mempunyai persaan yang sama. Oleh karena itu
pendidik dituntut untuk bisa memahami kebutuhan unik dari siswanya.
Teori Faktor Sosial
David Elkind, mengatakan bahwa kebutuhan anak dipenuhi ketika kontrak berubah dalam rangka merespon
ketrampilan personal dan kognitif yang ditunjukkan oleh anak, tetapi kontrak tidak selalu berubah terutama
dalam merespons kebutuhan orang dewasa. Elkind mengumakakan tiga kontrak dasar anak dan orang

dewasa, yaitu tanggung jawab kebebasan/ responsibility-freedom, prestasi dukunagn/ achievement-suport, dan

loyalitas komitmen/loyallity comitment. Konsep utama Elkind bahwa kontrak sering dilanggar oleh orang
dewasasehingga menyebabkan anak tertekan untuk menghargai tanggung jawab dengan mencari kebebasan.
Joan Lipsitz, mencatat bahwa orang dewasa sering gagal memahami usia kelompok ini, yang menimbulkan
manajemen kelas dan keputusan intruksional yang melahirkan sejumlah perilaku yang tidak produktif sehingga
sering membuat guru frustasi ketika bekerja dengan kelompok usia ini. Lipsitz menekankan pentingnya
pengembangan lingkunga sekolah yang memenuhi kebutuhan perkembangan remaja. Kebutuhan-kebutuhan
ini diringkas oleh koleganya, Gayle Dorman (1981):
1.

Kebutuhan keragaman

2.

Kebutuhan untuk kesempatan eksplorasi diri dan pendefinisisan diri

3.

Kebutuhan untuk berpartisipasi yang bermakana di sekolah dan masyarakat


4.

Kebutuhan untuk berinteraksi soasial positif dengan teman sebaya dan orang dewasa

5.

Kebutuhan aktivitas fisik

6.

Kebutuhan kompetensi dan prestasi

7.

Kebutuhan struktur dan pembatasan yang jelas

Aset Perkembangan
Dari penelitian yang diadakan di Search Institute dapat disimpulkan bahwa hasil dapat berubah agar kemudian
mereka mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berhasil. Oleh karena itu, penting agar guru

memperhatikan dan mengatur lingungan kelas dan sekolah dengan cara memberikan kesempatana kepada
siswa untuk mengembangkan perasaan kompetensi dan kemampuan melalui kontak interaksi dengan pendidik
dan teman sebaya.
Siswa dengan Resiko Kegagalan di Sekolah
Istilah resiko secara umum mengacu pada siswa yang mungkin putus sekolah (drop-out). Kepedulian terhadap
siswa menjadi satu masalah yang serius bagi guru, beberapa guru yang kurang pengetahuan atau
kemampuan bekerja secara efektif dengan siswa yang mempunyai kebutuhan khusus sering memperbururk
keadaan, guru juga terkadang tidak siap untuk mengajar dengan siswa yang mempunyai latar belakang yang
berbeda.
Sebagai contoh adalah siswa imigran, mereka cukup mengalami kesulitan terhadap bahasa dan budaya yang
baru. Akan tetapi mereka sudah disibukkan dengan kurikulum yang membuat mereka cukup kesulitan
sedangkan bagi siswa keturunan asli hal itu cukup mudah. Permasalahannya guru terkadang hanya
memperhatikan siswa mayoritas tanpa memperatika siswa minoritas lainnya. Guru juga terkadang tidak peduli
terhadap latar belakang siswa imigran.
Faktor-faktor penyebab kegagalan siswa di sekolah antara lain:
1.

Tidak terpenuhinya kebutuhan personal siswa atau perkembangan yang penting pada siswa belum
terpenuhi sebelum masuk ke kelas dan dalam setting sekolah itu sendiri.


2.

Siswa memiliki kemampuan akademik yang burur karena sebab-sebab berikut ini:
1.

Sistem sekolah menyediakan sedikit pendidik dari kelompok sosial budaya yang sama
dengan siswa, serta menyajikan kurikulum yang gagal menghargai latar belakang budaya siswa

2.

Lingkungan kelas dan pendekatan intruksional yang tidak konsisten dengan metode belajar
yang paling baik

3.

Siswa mempunyai kebutuhan khusus yang dihubungkan dengan ketidakmampuan yang
nyata

4.
5.


Di luar sekolah, siswa mendapat dukungan yang terbatas untuk keberhasilan sekolah
Siswa mendapat tuntutan di luar sekolah yang membatasi waktu dan energi yang
berhubungan dengan tugas-tugas belajar di sekolah

6.

Siswa kurang memiliki harapan bahwa belajar di sekolah akan secara positif berpengaruh
pada masa depannya.

Isu Ketertiban, Kepedulian dan Kekuasaan
Lingkungan kelas dan sekolah yang aman dapat memenuhi kebutuhan akademik dan personal siswa.
Lingkungan yang nyaman diidentikkan dengan tingkat ketertiban yang sungguh-sungguh. Dimana dipahami
bahwa ketika ketertiban terjadi dengan sungguh-sungguh maka siswa akan merasa aman di kelas maupun
sekolah. Isu ketertiban inilah yang dapat mempengaruhi perilaku siswa disekolah dikarenakan terbatasnya
perilaku siswa disekolah karena adanya ketertiban tersebut.
Menurut Weinsten (1998), banyak guru (khususnya guru pemula) yang memandang keliru tindakan guru yang
menciptakan kelas yang peduli dan teratur dengan menggunakan tindakan yang eksklusif. Guru pemula sering
menginginkan siswa menyukai mereka dan menetapkan batasan yang tegas serta menganggapi dengan keras
terhadap perilaku siswa yang menganggu kenyamanan siswa lainnya. Akan tetapi, hal ini justru akan membuat
hubungan mereka dengan siswanya menjadi terganggu. Ketertiban berupa kedisiplinan dapat dijadkan elemen
yang paling penting dalam pendidikan moral terutama disekolah, tinggal bagaimana ketertiban dan atau
kedisiplinan tersebut ditegakkan dan dipertahankan.
Pedro Noguera (1995) mengatakan bahwa sekolah yang aman memiliki guru yang mengetahui dan
menghargai siswa dan menjalin hubungan yang ditandai dengan kepedulian. Menurut Noddings (1992, h. 27),
ia menulis ‘kepedulian merupakan dasar dari semua keberhasilan pendidikan’. Bowers & Flinders(1990, h.15)
mengemukakan bahwa ‘ kontrol dan kepedulian bukan istilah yang bertentangan; tetapi bentuk kontrol yang
diwujudkan dengan kehadiran kepedulian’.
Setiap guru perlu memiliki otoritas, otoritas tersebut terbagi menjadi dua. Otoritas alami berdasarkan keahlian
alami guru dalam membantu siswa dalam proses belajar, pemecahan maslah, dan memberi contoh bermakna
dan penuh perhatian. Otoritas arbitrer merupakan otoritas yang berkaitan dengan peran mereka sebagai guru,
kepala sekolah, konselor, dan lainnya. Otoritas ini dilandasi pada hak resmi pendidik untuk mempertahankan
lingkungan yang aman dan tenang. Menurut Holt, siswa memberikan respon yang lebih baik pada otoritas
natural guru dan menganggapi otoritas arbitrer dengan konfrontasi dan penarikan diri. Pleh karena itu
diharapkan guru dapat menyeimbangkan antara kedua otoritas tersebut.
Beberapa guru mengarahkan hari-hari sekolah dengan rutinitas dan ritual yang diikut oleh siswa jika guru ada
tetapi siswa akan melanggarnya ketika guru tersebut tidak ada atau ada guru pengganti. Beberapa guru juga
menyebutkan bahwa menciptakan ketertiban adalah dengan bersikap keras terhadap anak dnegan
menetapkan lebih banyak aturan dan konsekuensi, nmaun hal itu tidak akan berhasil. Menurut Lee
Canter(1996, h. 6) untuk menciptakan ketertiban, rencana kedisiplinan harus dilandaskan pada sikap rasa
percaya dan hormat denagn tingkat yang sama. Misalnya dengan menunjukkan bahwa anda jujur, anda
amanah dan bertanggung jawab dan juga perhatian (reward & punishment).

Berdasarkan teori dari Sergiovanni, menggunakan strategi kepatuhan akan membuat keadaan menjadi lebih
buruk, dengan strategi tanggung jawab tidak cukup kuat unutk membentuk sikap anak. Oleh karen aitu
diperlukan strategi komunitas demokratis yang akan membantu siswa terhubung dengan siswa yang lain
dengan tugas sekolah. komunitas demokratis tersebut juga dapat membantu siswa dan guru bekerjasama
dalam memenuhi kebutuhan pendidikan mereka.

Disekolah kita dapat menjumpai berbagai aktifitas yang dilakukan seorang siswa dalam
kesehariannya. Antara si A dan si B atau si C dan seterusnya itu berbeda. Bisa sama tapi ada yang
membedakan. Bagaimana siswa bertindak/berprilaku, itu yang coba saya sampaikan disini berkaitan
dengan psikologinya.
Para pejuang pena memiliki banyak siswa yang disertai dengan keanekaragaman yang
berbeda antara satu sama lain, hal ini mendorong para pejuang tersebut harus lebih pandai untuk
memasuki dunia kehidupan mereka. Sesuai dengan judul yang saya pilih, disini saya akan
hubungkan dengan psikologi siswa dalam bidang pendidikan. Karena ilmu psikologi itu sendiri
mempersoalkan aktivitas manusia baik yang dapat diamati maupun tidak. Memang ada banyak cara
untuk dekat dengan siswa salah satunya memahami mereka dari psikologinya. Bertolak dari
beberapa sifat umum aktifitas siswa, yang ditinjau dari segi psikologinya, bisa dibedakan atas
beberapa bagian.
Pertama adalah perhatian. Diambil dari pengertian intinya, para ahli psikologi merumuskan
perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju pada suatu obyek (Stern, 1950 dan Bigot 1950,
hlm 163). Pendapat lain menyatakan perhatian adalah banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai
suatu aktifitas yang dilakukan
Coba kita amati perhatian yang diberikan oleh siswa kita pada saat anda menjelaskan
pelajaran. Anda akan menemukan siswa yang memberikan perhatian intensif dan perhatian yang
tidak intensif. Maksud dari perhatian intensif adalah perhatian yang diberikan secara terus-menerus,
perhatian tidak intensif adalah kebalikan dari perhatian intensif. Pertanyaannya, mana yang anda
harapkan? Dan apa pula pengaruhnya?. Tentu hal yang terbaik yang dapat dilakukan siswa dengan
memberikan perhatian secara intensif agar hasil belajar siswa dapat meningkat. Artinya, makin
intensif perhatian yang menyertai suatu aktifitas maka makin sukseslah aktifitas tersebut.
Tidaklah mudah untuk mempertahankan perhatian intensif siswa terhadap pelajaranya.
Butuh strategi dan trik-trik jitu dalam pelaksanannya. Timbulnya perhatian siswa dibedakan atas

perhatian yang diberikan secara spontan/ perhatian yang tidak sengaja dan perhatian sekehendak/
perhatian disengaja (refleksif).
Satu ketika, saat saya tengah menjelaskan pelajaran bahasa Inggris dikelas empat
(kebetulan lokasi sekolah saya ada dipinggir jalan umum), tengah asyik-asyik menjelaskan tiba-tiba
terdengar suara serinai mobil. Anak-anak secara spontan berdiri dan mencoba ingin mengetahui
apa yang terjadi diluar sana, apakah gerangan yang lewat? Mobil ambulankah atau pemadam
kebakaran.
Pada prakteknya pembelajaran yang dilaksanakan disekolah lebih menggunakan perhatian
yang dipaksakan, jadi hasilnya tercipta suasana kaku. Dari peristiwa tersebut, saya pikir ada baiknya
seorang guru dapat memberikan hal-hal yang menarik perhatian siswa, secara obyek atau
subyeknya. Kalau dipandang obyeknya sebagai suatu yang lain dari yang lain (bahasa
Jambinya laen dewek), buatlah penyampaian yang unik sehingga menarik perhatian. Nah kalau
dipandang subyeknya adalah hal yang berkaitan dengan pribadi subyek/siswa. Misalnya ; hal-hal
yang bersangkut paut dengan kegemaran. Ada berita tentang pertandingan olah raga atau pentas
seni, siswa akan memberikan perhatian lebih karena berhubungan dengan dirinya. Ia ingin tahu dan
mengembangkan dirinya menjadi pribadi yang lebih. Hal-hal semacam ini diberikan kepada siswa
untuk me-refresh-nya. Perhatian yang disengaja terkadang memberikan rasa tekanan dan monoton,
sehingga pada akhirnya membosankan (jangan sampai ada kata “i hate this lesson!”)
Kedua adalah pengamatan. Kegiatan ini dilakukan siswa pada saat proses belajar mengajar
terlaksana. Lihat cara mengamati mereka mengenal sebuah obyek. caranya dapat dilakukan
dengan mengamati menggunakan modalitas pengamatan (melihat, mendengar, mencium, dan
mengecap). Ada anak yang diam sambil melihat dan mendengarkan tanpa banyak bicara dapat
mengerti dengan mudah.
Ketiga adalah tanggapan. Tanggapan diberikan setelah dilakukan pengamatan. Biget (1950,
p 72) mendefenisikan sebagai bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan
pengamatan. Guru dapat meminta tanggapan siswa terhadap obyek pelajaran yang diberikan.
Metode tanya jawab yang dapat kita lalukan. Pada prakteknya untuk memberikan tanggapan
dibutuhkan bahasa yang baik, konsep penguasaan bahasa yang tertata dengan baik menunjukkan
kecakapan tinggi seorang siswa.
Keempat adalah ingatan. Sudah sangat familiar slogan yang menyatakan “sekarang saya
ingat besok saya lupa”. Terkadang belum sampai besok sudah lupa, jadi sloganya berubah
“sekarang saya ingat, sebentar lagi lupa”. Ini bisa anda dapati saat memberikan pelajaran, jadi

sesaat sebelum menutup pelajaran coba berikan beberapa pertanyaan, maka beberapa diantara
siswa tidak dapat menjawab, nah barulah slogan ini berlaku bagi siswa tersebut.
Ingatan merupakan penguatan pikiran terhadap proses yang sedang berlangsung sekarang
dan yang telah berlangsung dimasa lampau. Pengembangan pribadi siswa tergantung bagaimana
pola pikirnya dengan ingatan yang dimiliki. Dalam ingatan terdapat cara bagaimana menerima
kesan, menyimpan kesan dam memproduksi kembali kesan-kesan tersebut.
Cara mencamkan pelajaran dapat melalui sekehendak dan tidak sekehendak. Mencamkan
dengan tidak sekehendak artinya sama dengan tidak sengaja memperoleh pengetahuan,
sedangkan mencamkan dengan sekehendak/sengaja artinya sama dengan penghafalan. Saya tidak
memungkiri, dalam pelajaran ada beberapa materi pelajaran yang dibutuhkan penghafalan. Saya
menyuruh mereka untuk menghafal. Untuk menyukseskan penghafalan tersebut ada berbagai cara
dapat dilakukan, diantaranya; (a) dengan menyuarakan untuk menambah pencaman. Hal ini
diperlukan kalau hal yang dicamkan adalah perumusan-perumusan yang harus diingat secara tepat,
ejaan-ejaan dan nama-nama asing/hal-hal yang sukar. (b) pencaman dilakukan secara bertahap,
tidak sekaligus banyak. Karena dalam jangka waktu yang lama kurang menguntungkan, jadi sedikitsedikit . (c) penggunaan metode belajar yang tepat. Banyak cara yang dipilih siswa agar pencaman
dapat mereka kuasai, ada styletersendiri. Contohnya untuk menghafal rumus kimia bisa dibuat
dengan gaya mneumotecnik (membuat singkatan sendiri dengan menggunakan kalimat). Contoh
lain adalah mengecamkan nama hari/bulan dalam bahasa Inggris untuk siswa sekolah dasar
dilakukan dengan rythmis yang diciptakan sendiri oleh guru disertai dengan sedikit tarian.
Seperti yang telah saya tuliskan dibagian ingatan diatas, satu hal yang tidak kalah
pentingnya yaitu bagaimana cara memproduksi kembali hal-hal yang telah dicamkan. Dalam
memproduksi kembali seseorang me-rivew kembali ingatannya dengan mengenal kembali sesuatu
obyek dalam reproduksi tersebut, mereproduksi dapat diperlancar dengan memperkaya bahasa
yang dimiliki
Kelima adalah berfikir. Yang namanya manusia pasti menggunakan akal fikirannya untuk
bertindak. Cara dan hasil fikiranlah yang membedakan. Plato berpendapat bahwa berfikir adalah
berbicara dalam hati. Pendapat lain menyatakan berfikir adalah aktifitas ideasional (By Woodwork
dan Marguis, 1955). Berfikir dilakukan siswa dalam menerima pelajaran. Adanya kegiatan
menganalisis, membanding-bandingkan dan mengabstraksi dari sejumlah ciri-ciri obyek. Yang pada
akhirnya terbentuklah suatu pendapat yang dinyatakan dalam kalimat. Sehingga dapat ditarik suatu
kesimpulan. Peranan guru untuk memberikan pengertian/pengetahuan guna meningkatkan
kecakapan berfikir dengan tepat dan cepat

Keenam adalah perasaan. Perasaan lebih bersifat subyektif, karena berhubungan dengan
individu siswa. Berbagai macam gejolak rasa yang terjadi disetiap tingkat umur membuat pola sikap
yang berbeda pula.
Saat memulai pelajaran, lihatlah bagaimana kesiapan perasaan mereka untuk memulai
pelajaran. Guru saja yang mengajar dengan perasaan siap maka akan terciptanya Chemistry yang
kuat. Ciptakan kegembiraan dalam pemberian pendidikan dan pengajaran. Perasaan gembira saja
tidak akan optimal jika dari internalnya tidak mendukung.
Satu saat, saya pernah menemukan perasaan siswa yang tidak siap untuk menerima
pelajaran. Saya bertanya padanya “Apakah yang terjadi pada mu? Mengapa tidak mengerjakan soal
yang ibu berikan?”. Ia pun menjawab dengan perlahan “rasanya sulit bu”. Saya tahu sebenarnya ia
adalah siswa yang lumayan bisa, tetapi penyakit malas sudah menggerogotinya. Saya coba sentuh
hatinya yang berhubungan langsung dengan perasaannya melalui pikirannya. Saya berikan motivasi
yang menyatakan kamu bisa! Ini tidak sulit, ayo kita mulai.
Itulah gambaran pikiran yang mempengaruhi perasaan. Pada dasarnya manusia mempunyai
berjuta-juta sel syaraf yang akan menyampaikan informasi ke otak untuk merespon suatu reaksi.
Tanamkan pikiran positif, maka perasaan akan mengikutinya. Dengan memahami secara psikologi
sifat-sifat umum siswa, mudah-mudahan kita dapat lebih dekat dengan siswa, sehingga tercapailah
tujuan pendidikan. SEMOGA!.