Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro LKM

SELATAN ANAS ISWANTO ANWAR

Biro Ekonomi Setwilda Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan

Pendahuluan

trategi percepatan penanggulangan kemiskinan seperti yang diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya adalah melalui

peningkatan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin serta pengembangan dan jaminan keberlanjutan usaha mikro dan kecil.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2015 jumlah penduduk miskin tercatat 31,023 juta jiwa. Dari jumlah tersebut sekitar 19,925 juta jiwa (64,23%) berada di pedesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Pada umumnya petani di pedesaan berada pada skala usaha mikro yang memiliki luas lahan lebih kecil dari 0,3 hektar.

Kemiskinan di pedesaan merupakan masalah pokok nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial. Oleh karena itu pembangunan ekonomi nasional berbasis pertanian dan pedesaan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada pengurangan penduduk miskin (Kemtan, 2015).

Kegiatan perekonomian di pedesaan masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian serta industri rumah tangga.

Kementerian Koperasi dan UKM (2015) menginformasikan bahwa sampai dengan akhir tahun 2015 jumlah unit usaha UMKM telah mencapai 49,258 juta, atau 99,99% dari pelaku bisnis yang ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut 46,795 juta atau 95,2% adalah pengusaha mikro.

Menurut Sutanto (2007) sebagian besar pengusaha mikro terutama yang bergerak di sektor pertanian dan sektor informal memiliki pendapatan bersih kurang dari USD 1.440 per keluarga per tahun. Dengan pendapatan sekecil itu mereka masih tergolong kelompok miskin yang berpendapatan kurang dari USD 1 per orang per hari. Namun demikian kelompok usaha ini menyerap lebih kurang 89 juta tenaga kerja atau identik dengan 96,7% tenaga kerja yang ada dalam dunia usaha (Yoseva dan Teuku Syarif, 2010).

Permasalahan mendasar yang dihadapi petani adalah kurangnya akses kepada sumber permodalan, pasar dan teknologi, serta organisasi tani yang masih lemah. Untuk itu penanggulangan kemiskinan merupakan bagian dari pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan kesepakatan global untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium.

Untuk menjawab permasalahan keterbatasan modal, maka perlu lebih mengoptimalkan potensi lembaga keuangan yang dapat menjadi alternatif sumber dana bagi petani dan masyarakat pedesaan. Salah satu kelembagaan keuangan yang dapat dimanfaatkan dan didorong untuk membiayai kegiatan perekonomian di pedesaan yang mayoritas usaha penduduknya masuk dalam segmen mikro adalah Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Lembaga ini sebenarnya telah banyak tumbuh dan mengakar dalam masyarakat pedesaan, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Pembangunan ekonomi pedesaan ditunjang oleh berbagai macam sektor. Salah satunya adalah sektor perekonomian, seperti yang diketahui kondisi perekonomian pedesaan berbeda dengan perekonomian kota. Perekonomian desa bersifat lokal dan mengedepankan peranan Pembangunan ekonomi pedesaan ditunjang oleh berbagai macam sektor. Salah satunya adalah sektor perekonomian, seperti yang diketahui kondisi perekonomian pedesaan berbeda dengan perekonomian kota. Perekonomian desa bersifat lokal dan mengedepankan peranan

Hal ini karena LKM yang bersifat fleksibel yang kebera-daannya diakui oleh mereka, dalam perkembangannya LKM hadir untuk menjawab kebutuhan dasar dari UKM, meliputi akses terhadap modal, transfer teknologi dan channeling.

Peranan LKM ini menjadi penting, karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Maka itu, perlu pengembangan bagi LKM ini agar nantinya dapat terus memenuhi kebutuhan UKM lokal. Strategi ini di dapat dengan mengidentifikasikan faktor internal dan eksternal yang ada dalam sistem.

Buku ini merupakan hasil kajian literatur tentang strategi pengembangan LKM yang ada di Indonesia dalam upayanya mengentaskan kemiskinan di pedesaan serta melakukan perbandingan dan analisis dengan strategi pengembangan LKM di beberapa Negara.

Tinjauan Teoritis

1. Lembaga Keuangan Mikro

enurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil ke warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan yang

memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya, “programmes extend small loans to very poor for self employment projects that generate income,

allowing them to care for themselves and their family”. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia menurut Bank Pembangunan Asia dan Bank Dunia memiliki ciri utama, yaitu:

1) Menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan yang relevan atau sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat

2) Melayani kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah

3) Menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel agar lebih mudah dijangkau oleh masyarakat miskin yang membutuhkan

Pola-pola keuangan mikro di Indonesia:

1) Saving ledd microfinance, yaitu pola keuangan mikro yang berbasis anggota (membership based). Dalam pola ini, pendanaan atau pembiayaan yang beredar berasal dari pengusaha mikro. Contohnya: Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Credit Union, dan Koperasi Simpan Pinjam.

2) Credit Ledd Microfinance, yaitu pola keuangan mikro yang sumber keuangannya bukan dari usaha mikro tetapi dari sumber lain. Contohnya: Badan Kredit Desa, Lembaga Dana Kredit Pedesaan dan Grameen Bank.

3) Micro Banking, bank yang difungsikan untuk melayani keuangan mikro. Contohnya: BRI Unit Desa, Bank Perkreditan Rakyat dan Danamon Simpan Pinjam

4) Pola hubungan bank dan kelompok swadaya masyarakat Lembaga keuangan mikro memiliki kelebihan yang paling nyata, yaitu prosedurnya yang sederhana, tanpa agunan, hubungannya yang cair (personal relationship), dan waktu pengembalian kredit yang fleksibel (negotiable repayment). Karakteristik itu sangat sesuai dengan ciri pelaku ekonomi di pedesaan (khususnya di sektor pertanian) yang memiliki asset terbatas, tingkat pendidikan rendah dan siklus pendapatan yang tidak teratur (bergantung panen). Karakter pedesaaan seperti itulah yang ditangkap dengan baik oleh pelaku lembaga keuangan mikro, sehingga eksistensinya mudah diterima oleh masyarakat kecil. Tetapi kelemahan utama dari lembaga keuangan mikro, yakni tingkat bunga kredit yang sangat tinggi, harus diperbaiki sebab keberadaannya cenderung eksploitatif kepada masyarakat miskin.

Pemerintah dapat mendesain regulasi dengan jalan membatasi tingkat suku bunga, atau memperluas akses masyarakat miskin kepada kredit formal sehingga dalam jangka panjang tingkat bunga lembaga keuangan mikro akan tertekan. Model inilah yang harus diadopsi agar kepentingan masyarakat kecil tidak dirugikan.

2. Kredit Mikro

Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit summit (1997) dalam Wijono (2005), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dikerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya.

Bank Indonesia (BI) mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta per tahun. Sementara oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) kredit mikro didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp. 50 juta.

Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro ini umumnya disebut dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Asian Development Bank (ADB) mendefinisikan LKM sebagai lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposit), kredit (loan), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment sevices) serta money transfer yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Dengan demikian LKM memiliki fungsi sebagai lembaga yang memberikan berbagai jasa keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta usaha mikro. Menurut Direktorat Pembiayaan, Deptan (2015) LKM dikembangkan berdasarkan semangat untuk membantu dan memfasilitasi masyarakat miskin tersebut, baik untuk kegiatan konsumtif maupun produktif. Berdasarkan fungsinya, maka jasa keuangan mikro yang dilaksanakan oleh LKM memiliki ragam yang luas yaitu bentuk kredit maupun pembiayaan lainnya (Ashari, 2006).

Salah satu model lembaga keuangan mikro yang berhasil dan sudah banyak diadopsi oleh banyak negara di dunia adalah Grameen Bank. Model ini sudah dikenal secara luas sebagai salah satu lembaga keuangan mikro tersukses di dunia dalam mengurangi kemiskinan yang ada, dikarenakan cepatnya ekspansi dan jangkauan yang luas terhadap masyarakat miskin dengan dampak positif pada pendapatan, pekerjaan, konsumsi, tabungan dan aset dari pesertanya (Sinha, 1996, Khandker et al., 1998, dalam Mahmudul Hassan, 2006).

3. Kaitan Lembaga Keuangan Mikro dan Ekonomi Pedesaan

Pengentasan kemiskinan merupakan salah satu agenda pembangunan nasional yang digalakkan pemerintah selama ini (Anugrah, 2007). Desa merupakan tolak ukur dari miskin atau tidaknya suatu negara, karena sampai saat ini desa merupakan kantong kemiskinan yang paling besar (Eko, 2005). Sesuai dengan pencitraan pedesaan pada umumnya, komunitas pedesaan identik dengan para petani dan kehidupan para petani. Oleh karena itu kehidupan pedesaan tidak lepas dari perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani, yaitu pola ekonomi yang berorientasi subsisten (Scott, 1981).

Seperti yang dikatakan oleh (Hamid, 1986) bahwa kegiatan perekonomian di pedesaan masih didominasi oleh usaha-usaha skala mikro dan kecil dengan pelaku utama para petani, buruh tani, pedagang sarana produksi dan hasil pertanian, pengolah hasil pertanian, serta industri rumah tangga. Namun demikian, para pelaku usaha ini pada umumnya masih dihadapkan pada permasalahan klasik yaitu terbatasnya ketersediaan modal.

Sebagai unsur penting dalam mendukung peningkatan produksi dan taraf hidup masyarakat pedesaan, keterbatasan modal dapat membatasi ruang gerak aktivitas sektor pertanian dan pedesaan. Kehadiran LKM dibutuhkan paling tidak karena dua hal (Pantoro, 2008).

1) Sebagai salah satu instrumen dalam rangka mengatasi kemiskinan. Masyarakat miskin pada umumnya mempunyai usaha skala mikro. Terminologi World Bank, mereka disebut sebagai economically active poor atau pengusaha mikro. Dalam konfigurasi perekonomian Indonesia, lebih dari 90% unit usaha merupakan usaha skala mikro. Mengembangkan usaha skala mikro merupakan langkah strategis karena akan mewujudkan broad bases development atau development through equity. Mereka membutuhkan permodalan guna mengembangkan kapasitas usahanya. Dengan usaha yang meningkat (menjadi usaha skala kecil), secara efektif akan mengatasi kemiskinan yang diderita oleh mereka sendiri dan diharapkan dapat membantu masyarakat dalam kategori fakir miskin. Pada sisi lain, skim keuangan mikro sangat sesuai dengan kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah.

2) Karena menjadi salah satu instrumen pengembangan pasar keuangan mikro. Secara pragmatis, pasar keuangan mikro merupakan aspek keuangan dari semua proses ekonomi di segmen mikro yang meliputi segala sesuatu yang menyangkut tabungan dan kredit usaha. Pada pemahaman ini dicantumkan kata tabungan dan kredit, guna menghindarkan pemahaman sempit seolah-olah di segmen mikro pelaku-pelaku usahanya hanya membutuhkan kredit, melupakan bahwa mereka mempunyai potensi menabung, dan/atau dapat diberdayakan mempunyai kemampuan menabung.

Pada pasar keuangan mikro terdapat potensi besar dalam hal penawaran (tabungan) dan permintaan (kredit). Berdirinya LKM merupakan jawaban dari kurang pekanya lembaga keuangan formal dalam merangkul UKM, sehingga peranannya bisa dibilang sebagai katup penyelamat dalam proses pembangunan ekonomi pedesaan.

4. Pembangunan Pedesaan dan Kelembagaan Finansial

Dalam perspektif pembangunan (Booke, 1983) menyimpulkan bahwa perekonomian di Indonesia terbagi dalam dua sektor, yaitu tradisional dan modern yang tidak saling berhubungan. Booke menyatakan bahwa sektor tradisional perlu dirangsang dengan adanya instentif ekonomi dan peningkatan teknologi produksi. Namun sebaliknya, Greetz dalam Marshus menyatakan upaya perbaikan macam apapun tidak akan berhasil dilakukan. Menurut Scott (1981), persoalan yang berlaku pada masyarakat pedesaan adalah rasionalitas sosial yang lebih mementingkan kebersamaan ketimbang persaingan. Penetrasi dari luar, baik menyangkut aspek kelembagaan maupun teknologi justru akan menimbulkan resistensi.

Selama ini permasalahan proses pembangunan pedesaan adalah tidak terbangunnya kelembagaan sektor ekonomi sebagai instrumen untuk mengatasi kelangkaan modal (lack capital) di wilayah pedesaan. Menurut Syahyuti (2004) peran kelembagaan dalam pembangunan pedesaan merupakan pintu masuk agar suatu lembaga dapat berdiri dan diterima, khususnya di dalam aspek ekonomi.

Revitalisasi kelembagaan ekonomi dinilai penting, agar kelembagan ini bisa kembali terlegitimasi dalam setiap individu yang berada didalamnya, bisa menumbuhkan rasa memiliki

(sense of belonging), jika rasa memiliki ini sudah muncul, setiap individu akan berpartisipasi dan kelembagaan ini akan berkembang sehingga potensial untuk bisa mensejahterakan masyarakat karena didalamnya sudah ada pembagian peran dan tanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan ekonomi mereka.

Berdasarkan perkembangan pembangunan pedesaan yang terjadi selama beberapa dekade ini, terlihat bahwa fase-fase tersebut mengidentifikasikan proses komersialisasi pedesaan. Maka itu diperlukan upaya agar penduduk pedesaan bisa lepas dari komersialisasi ini, yaitu dengan cara menguatkan sistem produksi dan pengolahan yang berbasis tradisional sehingga masyarakat pedesaan tidak melulu ada dalam posisi subordinat. Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan adanya modal yang berputar di dalam sistem produksi dan pengolahan. Namun sayangnya keterbatasan modal merupakan persoalan paling rumit di wilayah pedesaan.

Keterbatasan modal menyebabkan aktivitas ekonomi tidak berjalan, tidak berjalannya aktivitas ekonomi menyebabkan masyarakat berada dalam posisi subordinat tadi (Ellis dan Biggs, 2001). Berbekal dari situasi ini, sudah seyogyanya para perumus kebijakan pembangunan pedesaan mengawinkan kelembagaan sektor finansial dengan kebijakan pemerintah agar mampu menggerakkan kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan, khususnya usaha mikro.

Yustika (2008) melihat secara umum persoalan lembaga keuangan di pedesaan dapat di identifikasikan menjadi:

1) Masalah akses kredit, posisi tawar dan informasi masyarakat pedesaan yang sangat rendah menyebabkan rawan terhadap praktik manipulasi dari lembaga keuangan formal maupun semi-formal

2) Informasi yang asimetris (asymmetric information) dari pemberi pinjaman/kredit terhadap peminjam (borrower).

Pada umumnya, lembaga keuangan di perdesaan dibedakan dalam tiga jenis:

1) lembaga keuangan formal;

2) lembaga keuangan semi-formal;

3) lembaga keuangan mikro. Lembaga keuangan dikatakan formal jika lembaga tersebut secara operasional diatur dalam Undang-Undang perbankan dan disupervisi oleh bank sentral. Sedangkan lembaga keuangan semi-formal adalah lembaga keuangan yang tidak diatur dalam UU, tetapi disupervisi dan diregulasi oleh agen pemerintah maupun bank sentral. LKM beroperasi di luar regulasi dan supervisi lembaga pemerintah. LKM bukan sekedar menyediakan uang (cash) untuk keperluan transaksi, tetapi kadang-kadang menyediakan pinjaman dalam bentuk barang (in-kind), (Yustika, 2008).

Karakter yang fleksibel, membuat LKM memiliki daya tahan yang kuat untuk hidup di wilayah pedesaan, karena LKM ini bersifat sangat fleksibel dalam arti memiliki hubungan personal antara kreditor dan debitor dan nyaris tidak ada persyaratan administrasi yang dibutuhkan. Tidak ada kontrak maupun persyaratan sejumnlah agunan seperti pada lembaga keuangan formal. Dengan segala kemudahan inilah lembaga keuangan mikro sangat diterima di kalangan pedesaan.

Keuangan Mikro di Indonesia

1. Sejarah Keuangan Mikro

ejarah Keuangan Mikro di Indonesia telah ada sejak akhir abad ke-19 dengan didirikannya Bank Kredit Rakyat dan Lumbung Desa. Kedua lembaga mi dibentuk untuk membantu melepaskan para petani, pegawai, dan buruh dan lintah darat. Pada 1905

Bank Kredit Rakyat ditingkatkan menjadi Bank Desa yang cakupan pelayanannya diperluas ke arah usaha di luar bidang pertanian. Pada 1929, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Staatblad 1929 No. 137 tentang pendirian Badan Kredit Desa (BKD) yang ditujukan untuk menangani kredit pedesaan di Jawa dan Bali. Pada 1930 dikeluarkan peraturan mengenai Algemene Volkskrediet Bank (AVB) yang merupakan cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Afdeelingsbank (AB) yang kemudian menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR).

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mendorong pendirian bank pasar guna memberikan pelayanan jasa keuangan kepada pedagang pasar. Lembaga ini terdaftar sebagai perseroan terbatas (PT), commanditaire vennootschap (CV), koperasi, Maskapai Andil Indonesia (MAI), yayasan, atau perkumpulan. Pada 1970 pemerintah mencanangkan program kredit bimbingan missal atau intensifikasi massal (Bimas/Inmas) yang melibatkan BRI melalui BRI Unit Desa sebagai penyalur kredit mini dan midi. Namun, karena terjadi kemacetan kredit bimas yang sangat besar, sejak 1984 penyaluran kredit mi (termasuk kredit mini dan midi) dihentikan. Kemudian, di BRI unit desa diciptakan skim kredit dan tabungan baru yang dinamakan kredit umum pedesaan (Kupedes) dan simpanan pedesaan (Simpedes) yang bersifat komersial. Kredit Bimas kemudian diganti dengan Kredit Usaha Tani (KUT) yang kemudian berubah menjadi Kredit Ketahanan Pangan (KKP).

Dengan dikeluarkannya Undang-undang (UU) No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perbankan, pendirian bank baru di luar yang diatur dalam UU tersebut dilarang, meskipun yang telah ada tetap diperbolehkan berjalan. Pada masa itu telah ada beberapa lembaga keuangan mikro (LKM) yang dibentuk oleh pemerintah daerah, seperti Lembaga Dana dan Kredit Pe-desaan (LDKP) di Jawa Barat, Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali.

Pada Oktober 1988 pemerintah mengeluarkan peraturan yang memberikan kemudahan pendirian BPR. Langkah ini diikuti dengan dikeluarkannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang menetapkan hanya ada dua jenis bank di Indonesia, yaitu Bank Umum dan BPR. Dengan berlakunya UU tersebut, dengan sendirinya bank atau lembaga keuangan mikro yang tidak memenuhi syarat sebagai BPR dianggap sebagai bank gelap (illegal banking) atau biasa disebut sebagai lembaga nonformal. Akibatnya, sekitar 5.000 unit BKD yang ada saat ini statusnya menjadi tidak jelas, ada yang menganggap-nya sebagai lembaga formal, dan ada pula yang menyebutnya sebagai lembaga semiformal.

Di samping itu, dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah melaksanakan berbagai program kredit mikro. Pelaksanaan program ini juga diikuti dengan pembentukan berbagal lembaga keuangan mikro seperti UPK (PPK), BKM (P2KP), LEP-M3 (subsidi BBM) dan Di samping itu, dalam rangka penanggulangan kemiskinan, pemerintah telah melaksanakan berbagai program kredit mikro. Pelaksanaan program ini juga diikuti dengan pembentukan berbagal lembaga keuangan mikro seperti UPK (PPK), BKM (P2KP), LEP-M3 (subsidi BBM) dan

Meskipun demikian, dan segi legalnya, lembaga-lembaga ini pada umumnya belum memiliki izin sebagal lembaga keuangan formal. Dalam upaya memperkuat posisi LKM, pada 2000 dibentuk Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro (GEMA PKM) Indonesia, yang merupakan forum komunikasi stakeholders yang terdiri dan lembaga keuangan, lembaga pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian, dunia bisnis, media massa, lembaga donor dan kelompok swadaya masyarakat. Forum ini berusaha mendorong dibuatnya peraturan perundangan yang mengatur tentang lembaga keuangan mikro.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa LKM yang secara legal diakui di Indonesia saat ini hanya BPR dan koperasi, di samping unit-unit keuangan mikro dari bank-bank umum seperti BRI unit desa dan unit layanan mikro (ULM) BNT. Lembaga keuangan formal lain yang juga memberikan layanan keuangan mikro adalah kantor pegadaian, yang keberadaannya diatur dengan UU tersendiri. Dengan demikian, lembaga keuangan mikro yang ada di Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam empat golongan besar, yaitu:

1) LKM formal, baik bank maupun nonbank,

2) LKM nonformal, baik yang berbadan hukum atau tidak,

3) LKM yang dibentuk melalui program pemerintah, dan

4) LKM informal, seperti arisan, rentenir, dan sebagainya. Pola-pola keuangan mikro di Indonesia terdiri dari:

1) Saving Ledd microfinance yang berbasis anggota (membership based). Pada pola ini pendanaan atau pembiayaan yang beredar berasal dari pengusaha mikro sendiri. Contoh Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Credit Union (CU) Koperasi Simpan Pinjam (KSP).

2) Credit Ledd microfinance, pada pola ini sumber keuangan bukan dari usaha mikro tetapi sumber lain seperti Badan Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Grameen Bank, Asa Model (Bangladesh).

3) Micro Banking, pada pola ini bank difungsikan untuk pelayanan keuangan mikro seperti telah dilaksanakan BRI, BPR, Danamon Simpan Pinjam. Pola hubungan bank dan kelompok swadaya masyarakat (PHBK), integrasi antara bank dan kelompok swadaya masyarakat.

2. LKM di Indonesia

Saat Ini, melihat sejarah panjang keuangan mikro, tidak mengherankan jika terdapat banyak jenis lembaga keuangan mikro di Indonesia. Pelayanan keuangan mikro tidak hanya didominasi oleh lembaga namun juga banyak jenis layanan dan bantuan berupa subsidi yang dikucurkan oleh Saat Ini, melihat sejarah panjang keuangan mikro, tidak mengherankan jika terdapat banyak jenis lembaga keuangan mikro di Indonesia. Pelayanan keuangan mikro tidak hanya didominasi oleh lembaga namun juga banyak jenis layanan dan bantuan berupa subsidi yang dikucurkan oleh

Hal ini menyebabkan tumpang tindihnya program, aturan dan juga kewenangan lembaga yang bergerak di bidang keuangan mikro, dan akhirnya bermuara pada susahnya mengukur dan mengevaluasi keberhasilan program yang ada. Keadaan ini juga menyebabkan LKM baik yang berbasiskan desa maupun yang terdapat di perkotaan untuk bisa menjalankan usaha mereka secara berkesinambungan, dalam arti tingkat keberlangsungan hidup LKM menjadi rendah.

Persaingan yang ketat serta tumpang tindihnya kebijakan membuat banyak LKM yang tidak mampu bersaing, sehingga harus menghentikan usahanya atau hanya tinggal nama. Sebagai gambaran di sebuah desa di Propinsi Bali, bisa terdapat lebih dari lima hingga tujuh jenis LKM maupun bank yang menyasar segmen mikro, diantaranya LPD, KUD, Koperasi Serba Usaha (KSU) atau Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang didirikan oleh masyarakat, BPR, Teras BRI (Unit mikro BRI), dan Danamon Simpan Pinjam (DSP).

Segmen pasar yang terbatas membuat tiap LKM harus mampu bersaing, hal yang tentunya amat sulit bagi LKM konvensional jika harus dihadapkan dengan lembaga modern seperti bank umum dan BPR.

Partisipan keuangan mikro di Indonesia bisa dibagi menjadi tiga kelompok, kelompok pertama adalah lembaga atau institusi formal dan non-formal, kelompok kedua merupakan program keuangan mikro baik yang diadakan oleh pemerintah maupun lembagalembaga donor dalam dan luar negeri. Ketiga adalah partisipan individu yang biasanya informal, tidak mempunyai kekuatan hukum dan menjalankan usahanya secara ilegal, dalam kelompok ini termasuk para pemburu rente seperti rentenir, ijon, gadai ilegal, kelompok arisan, dan lain-lain.

Sulitnya mengelompokkan lembaga keuangan mikro dan jenis layanan keuangan mikro membuat mapping atau pemetaan, pengawasan serta evaluasi layanan keuangan ini sulit dilakukan. Tumpang tindihnya aturan, kewenangan dan cakupan luas layanan lembaga keuangan mikro juga turut memberikan andil dalam sulitnya menerapkan strategi pengem-bangan yang tepat untuk LKM. Keadaan ini menyebabkan tingkat keberlangsungan usaha atau sustainability LKM maupun program keuangan mikro menjadi rendah. Hanya beberapa LKM yang mampu bertahan dan bersaing baik dengan sesama LKM maupun jenis layanan perbankan yang lebih modern.

Tidak terdapatnya data yang pasti terkait jumlah dan kondisi lembaga-lembaga ini menyulitkan untuk menyajikan keakuratan terkait jumlah lembaga ini. Banyak lembaga yang berada dibawah pembinaan pemerintah propinsi, namun tidak ada data yang pasti dari tiap pemerintah daerah terkait keberadaan lembaga keuangan mikro di daerahnya. Hanya Lembaga keuangan mikro seperti LPD di Bali yang sudah memiliki data dan kondisi keuangan yang terekam dengan baik.

Ironisnya, justru riset dan proyek dari institusi asing yang dijadikan acuan dalam memprediksi jumlah serta keberadaan LKM di Indonesia. Proyek riset ini bersifat musiman, atau tidak secara periodik memantau keberadaan LKM di Indonesia sehingga keberlanjutan data dan informasi amat susah ditemui.

Dalam memperjelas pemahaman dan wawasan kita terkait LKM, berikut akan dipaparkan beberapa jenis LKM yang ada di Indonesia. Paparan akan difokuskan pada LKM yang beroperasi di tingkat Kecamatan dan pedesaan, karena jenis LKM ini yang bersentuhan langsung dengan kelompok pemerintahan paling kecil yakni Desa.

Badan Kredit Desa (BKD)

Badan Kredit Desa atau BKD memiliki sejarah yang panjang. Dapat dikatakan bahwa BKD merupakan salah satu LKM formal yang pertama kali berdiri di Indonesia. Berdirinya BKD tidak dapat dipisahkan dari berdirinya AVB (Algemene Volkerediet Bank) yang kemudian menjadi BRI pada sekitar tahun 1896. Sejarah BKD diawali dengan berdirinya Lumbung Desa di daerah Banyumas karena terjadinya paceklik dan gagal panen. LKM ini mengalami sejarah yang panjang dengan berbagai perubahan nama dan regulasi. Saat ini BKD hanya tersisa di pulau Jawa, walaupun sempat tersebar ke wilayah lain di Indonesia. BKD merupakan sebuah lembaga keuangan milik desa dengan pejabat desa berperan dalam manajemennya.

Pengawasan dan supervisi dilakukan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI). Lembaga ini menyalurkan kredit berdurasi pendek, biasanya tiga sampai empat bulan. Dana biasanya didapat dari sistem simpanan wajib peminjam dan juga pinjaman lunak dari BRI. Dari data yang dirilis oleh RENDEV Project tahun 2009 (Adra,dkk,2009), terdapat 5.345 BKD di seluruh Indonesia. Saat ini BKD paling banyak terdapat di Propinsi Jawa Timur (2.495 lembaga), Jawa Tengah (1.357 lembaga), DIY Yogyakarta (766 lembaga) dan sebagian kecil di Jawa Barat (727 lembaga).

Lembaga Dana Kredit Pedesaan

Istilah Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) dicetuskan sejak era tahun 1980-an oleh Pemerintah Indonesia dalam upaya mengelompokkan lembaga keuangan mikro non-bank yang banyak beroperasi di seluruh wilayah Indonesia, khusus-nya Pulau Jawa sejak masa tahun 1970an. Kebijakan ini juga dimaksudkan guna membedakan lembaga kredit berbasis desa dengan bank unit desa serta lembaga perkreditan berbasis desa yang sudah lama ada di Jawa. LDKP ini mengacu pada banyak jenis lembaga keuangan mikro dengan nama berbeda di berbagai wilayah Indonesia. Data RENDEV Project tahun 2009 menyebutkan jumlah LDKP di Indonesia sebanyak 2.001 buah lembaga dengan yang terbanyak I Gde Kajeng Baskara, Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia 119 ada di Propinsi Bali berupa Lembaga Perkreditan Desa (LPD) (Adra,dkk, 2009).

Dengan banyak munculnya lembaga kredit mikro yang masuk kelompok LDKP, menjadi cukup sulit dalam mengidentifikasi jenis lembaga ini, karena di setiap daerah dimunculkan istilah yang berbeda. Lembaga dengan berbasiskan adat muncul di Propinsi Bali dan Sumatera Barat, sedangkan lembaga sejenis di Propinsi yang lain banyak yang berbasiskan kecamatan.

Berikut akan dipaparkan beberapa lembaga keuangan mikro yang masuk dalam jenis LDKP, baik yang berbasiskan desa, desa adat maupun kecamatan.

Badan Kredit Kecamatan (BKK)

Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan, Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) di Jawa Barat serta Lumbung Pitih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, merupakan beberapa LDKP awal yang berdiri sekitar tahun 1970an. Setelah pertemuan yang digelar oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun 1984, barulah mulai bermunculan lembaga sejenis di daerah lain, semisal Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali, BKK di Bengkulu, Riau, Kalimantan Selatan, dan Aceh.

Badan Kredit Kecamatan beroperasi pada wilayah kecamatan, dengan supervisi dan pengelolaan berada dibawah pemerintah provinsi. Pada tahun 1990 banyak BKK yang berubah menjadi BPR, dengan adanya peraturan dari Menteri Keuangan dan Bank Indonesia. Namun saat Badan Kredit Kecamatan beroperasi pada wilayah kecamatan, dengan supervisi dan pengelolaan berada dibawah pemerintah provinsi. Pada tahun 1990 banyak BKK yang berubah menjadi BPR, dengan adanya peraturan dari Menteri Keuangan dan Bank Indonesia. Namun saat

Jenis produk yang ditawarkan adalah pinjaman dan simpanan yang awalnya hanya berupa simpanan wajib yang diambil dari presentase dari pinjaman. Seiring dengan waktu, BKK mulai memperkenalkan simpanan sukarela (tabungan) yang diberi nama Tamades (Tabungan Masyarakat Desa). Selain mengumpulkan dana dari simpanan pihak ketiga, dana juga didapat dari pemerintah propinsi melalui Bank Pembangunan Daerah. Pinjaman yang diberikan berdurasi mingguan, bulanan dan maksimal adalah satu tahun.

Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK)

Lembaga Perkreditan Kecamatan terdapat di Jawa Barat. Wilayah Operasional lembaga ini sama dengan BKK, dengan pola kepemilikan yang sedikit berbeda. Kepemilikan LPK adalah 55% Pemerintah Provinsi dan 45% Pemerintah Kabupaten. LPK memiliki sejarah yang panjang, dimana pendiriannya dimulai tahun 1973 dengan peraturan pemerintah No.446 tahun 1973.

Pada tahun 1992 regulasi Perbankan mengharuskan LDKP berubah menjadi BPR dengan tenggang waktu hingga tahun 1997. Pada saat itu banyak LPK yang berubah menjadi BPR dengan dukungan dana dari pemerintah Provinsi, Kabupaten serta Bank Pembangunan Daerah. Namun tidak semua LPK bisa ditingkatkan menjadi BPR karena masih banyak LPK yang terkendala masalah permodalan dan manajemen.

Pengelolaan LPK sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten dengan dibantu oleh BPD. Walaupun laporan keuangan LPK dilaporkan ke BPD, pengawasan dan supervisi tidak dilakukan oleh BPD, namun melalui sebuah komite yang beranggotakan perwakilan dari pemerintah dan juga BPD. Permodalan disamping dari pemerintah, juga didapatkan melalui simpanan wajib. LPK tidak diperkenankan untuk mengumpulkan dana dari tabungan sukarela. Pinjaman diberikan hanya kepada anggota dengan melalui rekomendasi pejabat desa dan kecamatan. Pinjaman juga bersifat tanpa jaminan (collateral free) dengan sanksi atau denda bagi keterlambatan cicilan.

Lumbung Pitih Nagari (LPN)

Lembaga ini terdapat di Propinsi Sumatera Barat. LPN merupakan lembaga keuangan milik desa adat yang disebut nagari dan hanya ada di daerah Padang Pariaman. Pada jaman kolonial Belanda sebenarnya sudah terdapat sebuah lembaga keuangan di daerah tersebut yakni Bank Nagari, namun keberadaannya tidaklah lama.

Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat merubah namanya menjadi Bank Nagari dan berdiri sejak tahun 1962. Lumbung Pitih Nagari diprakarsai pendiriannya sekitar tahun 1972 oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Barat (Sumbar) dengan maksud untuk memperkuat struktur ekonomi masyarakat pedesaan. Seperti jenis LDKP yang lain, pada saat Pakto 88, banyak LPN yang berubah menjadi BPR sesuai dengan ketentuan dari Pemerintah dan Bank Indonesia.

Lembaga keuangan ini berkembang dari tradisi budaya anak nagari masyarakat Minangkabau sejak dahulu yaitu julo-julo atau gotong royong. Lumbung padi dan lumbung pitih yang awal Lembaga keuangan ini berkembang dari tradisi budaya anak nagari masyarakat Minangkabau sejak dahulu yaitu julo-julo atau gotong royong. Lumbung padi dan lumbung pitih yang awal

Model organisasi LPN adalah meniru model koperasi dimana masyarakat yang ingin menjadi anggota harus menyetorkan sejumlah dana untuk simpanan wajib. Manajemen LPN direkrut dari anggota masyarakat desa dengan pengendalian internal dilakukan oleh pengurus LPN. Pengurus desa tidak bertanggung jawab dalam pengawasan LPN. Supervisi dan pengawasan eksternal dilakukan oleh Pemerintah Propinsi dengan pendampingan dari Bank Pembangunan Daerah.

Lembaga Perkreditan Desa (LPD)

Lembaga ini juga merupakan sebuah lembaga keuangan milik desa adat, sama dengan LPN yang ada di Sumatera Barat. Lembaga ini berdiri sejak tahun 1985, dan hingga saat ini sudah mencapai jumlah 1.422 buah. Lembaga Perkreditan Desa di Bali merupakan lembaga keuangan mikro yang paling sukses di Indonesia. Keberhasilan program ini karena dukungan penuh dari Pemerintah Propinsi Bali dan kuatnya kesatuan masyarakat adat di Bali.

Sejarah LPD sendiri di mulai tahun 1985, dengan dicetuskan-nya sebuah pilot project dengan jangka waktu tiga tahun, sejak Maret 1985 hingga Maret 1988. Pada saat itu sebagai langkah awal, Pemerintah Propinsi Bali mendirikan 161 buah LPD dengan modal awal Rp 2 juta. Tahun 1986 pemerintah propinsi menerbitkan peraturan terkait desa adat yang memberikan kewenangan kepada desa adat untuk melakukan pengelolaan aset melalui organisasi mereka sendiri.

Upaya Bank Indonesia untuk mendorong LPD berubah menjadi BPR mendapat penolakan dari masyarakat di Bali, disamping itu BI juga mempertimbangkan banyaknya jumlah LPD yang mesti diawasi, sehingga akhirnya BI memberikan persetujuan dengan memutuskan bahwa LPD merupakan lembaga keuangan non bank yang khusus beroperasi di wilayah Bali. Dalam Undang- undang No.1 tahun 2013 tentang LKM, keberadaan LPD diakui sebagai sebuah lembaga keuangan berbasis adat, sehingga tidak dimasukkan sebagai LKM yang diatur dalam peraturan tersebut. Saat ini peraturan yang mengatur tentang LPD adalah Peraturan Daerah Propinsi Bali No.8 tahun 2002 dan mengalami perubahan melalui Perda Nomor 3 tahun 2007.

Pengelolaan LPD sepenuhnya dilakukan oleh desa adat, dengan pembinaan dan pengawasan dilakukan oleh pemerintah propinsi dan BPD. Dalam suatu wilayah desa di Propinsi Bali terdapat dua sistem pemerintahan yang berbeda dan kadang saling tumpang tindih. Pemerintahan formal yang berada dalam struktur adalah desa dinas dengan dikepalai oleh seorang kepala desa dan desa adat yang dikepalai oleh seorang “bendesa adat” dengan dibantu oleh “prajuru adat” (Nurcahya, 2006).

Masing-masing jenis pemerintahan ini mempunyai perangkat sendiri, dimana bendesa adat dipilih oleh paruman desa yakni sebuah musyawarah tingkat desa. Bendesa sebagai seorang chairman dalam mengelola LPD biasanya mengangkat seorang kepala LPD atau manajer melalui musyawarah desa, dengan organisasi yang terpisah dari kepengurusan bendesa, namun bertanggung jawab langsung kepada paruman adat. Bendesa bertugas sebagai pengawas internal dalam pengelolaan LPD.

Simpanan dan pinjaman LPD hanya di perbolehkan kepada anggota desa adat. Jumlah simpanan baik tabungan maupun deposito tidak dibatasi, namun biasanya jumlah pinjaman disesuaikan dengan likwiditas LPD dan ada nya collateral atau jaminan. Dana yang di himpun oleh LPD boleh berasal dari lembaga keuangan lain namun jumlahnya dibatasi (Ramantha, 2006).

Lembaga Dana Kredit Pedesaan lain di Indonesia

Selain lembaga yang dipaparkan sebelumnya, masih terdapat beberapa LDKP di Indonesia yang keberadaannya banyak yang tidak tercatat secara resmi. Lembaga tersebut diantaranya adalah Badan Usaha Kredit Pedesaan (BUKP) di Yogyakarta, Lembaga Pembia-yaan Usaha Kecil (LPUK) di Kalimantan Selatan, Lembaga Kredit Pedesaan (LKP) di Nusa Tenggara Barat, Lembaga Kredit Kecamatan di Aceh.

Kurangnya informasi yang tersedia mengakibatkan susahnya mengidentifikasi lembaga- lembaga ini. Tumpang tindihnya peraturan pemerintah daerah dan pusat juga mengakibatkan kurang berkembangnya lembaga-lembaga ini. Dengan disahkannya perundangan terkait LKM, maka keberadaan semua lembaga keuangan mikro ini harus mengacu pada peraturan tersebut, hal ini akan mempermudah pengembangan serta pengawasan lembaga-lembaga tersebut.

Baitul Maal wat Tamwil (BMT)

Lembaga ini merupakan lembaga keuangan mikro yang berdasarkan prinsip syariah dan berlandaskan ajaran Islam. Secara etimologis Baitul Maal wat Tamwil terdiri dari dua arti yakni Baitul Maal yang berarti “rumah uang” dan Baitul Tamwil dengan pengertian “rumah pembiayaan”. Rumah uang dalam artian ini adalah pengumpulan dana yang berasal dari infaq, zakat, ataupun shodaqah, dan pembiayaan yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip bagi hasil, yang berbeda dengan sistem perbankan konvensional yang mendasarkan pada sistem bunga.

Sejarah keberadaan BMT di Indonesia tidak lepas dari dibentuknya Yayasan Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (YINBUK). Yayasan ini dibentuk sekitar bulan Maret tahun 1995 melalui prakarsa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) beserta Bank Muamalat yang merupakan bank pertama di Indonesia dengan prinsip syariah. Dalam susunan dewan pendiri tercatat nama B.J. Habibie, mantan presiden Indonesia. YINBUK kemudian membentuk Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) (Irwan, 2006).

Pendirian PINBUK dimaksudkan sebagai sarana operasional untuk menyalurkan dana yang dihimpun oleh YINBUK. Institusi inilah yang kemudian memprakarsai pembentukan BMT di Indonesia, dengan juga melakukan pembinaan, monitoring, evaluasi hingga perlindungan dalam legal status, karena status BMT yang pada saat itu belum jelas. Pada bulan Desember 1995, Presiden Suharto mendeklarasikan BMT sebagai sebuah gerakan nasional untuk pemberdayaan usaha kecil, dan di tahun tersebut BI juga mengijinkan BMT sebagai lembaga yang dapat diberikan bantuan pendanaan dan masuk dalam program linkage dengan bank umum.

Secara operasional BMT dijalankan dengan organisasi seperti koperasi. Keanggotaan awal minimal 20 orang anggota. Baitul Maal memiliki prinsip sebagai penghimpun dan penyalur dana zakat, infaq dan shadaqah, dalam arti bahwa Baitul Maal hanya bersifat “menunggu” kesadaran umat untuk menyalurkan dana zakat, infaq dan shadaqahnya saja tanpa ada sesuatu kekuatan untuk melakukan pengambilan ataupun pemungutan secara langsung kepada mereka yang sudah memenuhi kewajiban tersebut. Selain sumber dana tersebut BMT juga menerima dana berupa sumbangan, hibah, ataupun wakaf serta sumber -sumber dana yang bersifat sosial.

Penyaluran dana-dana yang bersumber dari dana-dana Baitul Maal harus bersifat spesifik, terutama dana yang bersumber dari zakat, karena dana dari zakat ini sarana penyalurannya sudah ditetapkan secara tegas dalam AI-Qur’an yaitu kepada delapan ashnaf antara lain: faqir miskin, Penyaluran dana-dana yang bersumber dari dana-dana Baitul Maal harus bersifat spesifik, terutama dana yang bersumber dari zakat, karena dana dari zakat ini sarana penyalurannya sudah ditetapkan secara tegas dalam AI-Qur’an yaitu kepada delapan ashnaf antara lain: faqir miskin,

1) prinsip bagi hasil,

2) prinsip jual beli dengan keuntungan,

3) prinsip non-profit (Wardiwiryono, 2012). Saat ini keberadaan BMT sudah mencakup seluruh wilayah Indonesia, dengan populasi terbanyak berada di Pulau Jawa. Selain di Pulau Jawa, konsentrasi populasi BMT yang cukup besar terdapat di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Data dari RENDEV Project menyebutkan sebanyak 2.025 BMT-YINBUK terdapat di Indonesia. Dari jumlah tersebut sekitar 72% atau 1.456 lembaga berada di Pulau Jawa (Adriani, 2005).

Semenjak disahkannya UU No. 1 tahun 2013, BMT diklasifi-kasikan sebagai LKM yang harus mengikuti aturan dalam perundangan tersebut. Hal ini memberikan status legal yang sudah lama dinantikan oleh BMT.

3. Perkembangan Kelembagaan Pembiayaan Pedesaan

Program penguatan modal ialah salah satu cara membantu mengatasi keterbatasan permodalan petani dari pemerintah yang diawali dengan kredit BIMAS yang diimplementasikan pada tahun 1967/1970. Kondisi ini kemudian berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan di lapang, di antaranya menjadi Program Kredit Usaha Tani (KUT) pada tahun 1985.

Pada tahun 2000 pemerintah mengaplikasikan melalui program Kredit Ketahanan Pangan (KKP), yang dilanjutkan dengan Kredit Ketahanan Pangan dan Enerji (KKPE) sebagai penyempurnaan dari KKP, Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K), Lembaga Usaha Kelompok (PMUK), Kredit Usaha Mandiri (KUM), Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3), Kredit Usaha Perbibitan Sapi (KUPS), dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Program-program tersebut difokuskan untuk mendorong produktivitas pangan, utamanya pembiayaan usaha tani padi.

Sejak tahun 2003, pemerintah juga mengimplementasikan program Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM LUEP) yang mempunyai tujuan untuk melindungi petani padi dengan cara membeli gabah petani sesuai dengan HPP (Harga Pembelian Pemerintah). Dalam pelaksanaannya, DPM LUEP bekerjasama dengan BULOG.

Pada tahun 2008, Kementerian Pertanian melaksanakan Program PUAP sebagai program prioritas yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan Kementerian/Lembaga lain di bawah payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Dapat didefinisikan bahwa PUAP ialah bantuan pemerintah untuk masyarakat perdesaan dengan menyalurkan bantuan modal usahatani yang bersifat stimulan. Penyaluran dana bantuan setiap tahun sebesar Rp. 100 juta per Gapoktan di 10.000 desa yang tersebar di 33 provinsi. Bantuan modal ini yang kemudian disebut dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP. Salah satu tujuan program PUAP ialah meningkatkan fungsi kelembagaan ekonomi petani menjadi jejaring atau mitra lembaga keuangan dalam rangka akses permodalan (Kementerian Pertanian, 2010).

Sebagai program pemberdayaan, PUAP tahun 2010 merupakan tahun transformasi bagi Gapoktan penerima PUAP 2008 agar dapat menjadi kelembagaan keuangan mikro. Gapoktan penerima dana PUAP harus dapat mengelola dana melalui perguliran dan penambahan dana keswadayaan, sehingga dapat berfungsi sebagai Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) pada tahun ke-3. Cikal bakal LKM-A merupakan salah satu unit usaha otonom Gapoktan yang berhasil ditumbuhkan oleh Gapoktan sehingga kepengurusan dan pengelolaan terpisah dari Gapoktan induknya.

Perkembangan kelembagaan keuangan mikro di luar negeri sangat beragam dari sumber modal dan mekanisme pengelolaan-nya. Di Haiti, kelembagaan pembiayaan untuk masyarakat miskin perdesaan yaitu lembaga keuangan mikro yang dikembangkan oleh sebuah NGO (Non Government Organisations) pada tahun 1997. Sumber modal berasal dari donatur untuk memudahkan akses kelompok miskin terhadap sumber permodalan. Orientasi pengembangan LKM adalah sosial, pelayanan pendidikan dan simpan pinjam untuk masyarakat miskin. Saat ini LKM sedang dalam perkembangan/transisi menuju bank umum. Beberapa karakteristik LKM siap menuju transformasi bentuk menjadi bank umum antara lain:

1) mengadopsi pendekatan bisnis dan profesional untuk administrasi dan operasional LKM,

2) terdapat kemajuan operasional dan pengelolaan keuangan sudah mandiri,

3) menggunakan sumbersumber pendanaan komersial, dan

4) beroperasi sebagai lembaga keuangan formal dalam hal regulasi dan supervisi (Tucker and Tellis, 2005).

4. Keberadaan LKM dari Perspektif UU No.1 Tahun 2013

Keberadaan LKM Dari Perspektif UU No. 1 Tahun 2013 Pada awal tahun 2013, yakni tanggal 8 Januari, DPR dan pemerintah akhirnya mengesahkan Undang Undang Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Sebelumnya melalui pengajuan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang LKM, pemerintah banyak menuai kritikan untuk merubah beberapa substansi dari RUU tersebut yang ditolak oleh beberapa pihak. Penolakan bermuara dari disamakannya status LKM yang berdasarkan aturan adat dengan yang tidak. Lembaga keuangan seperti LPD dan LPN tidak setuju jika lembaga ini harus tunduk kepada aturan dalam RUU tersebut.

Sebuah desa adat adalah sebuah kesatuan pemerintahan yang otonom, sehingga ditakutkan peraturan ini akan mengurangi kewenangan desa adat dalam pengelolaan lembaga keuangan yang dimilikinya. Aspirasi ini akhirnya diterima oleh DPR dan pemerintah dengan mengecualikan lembaga keuangan mikro milik desa adat dalam peraturan tersebut. Peraturan ini juga membedakan antara kegiatan keuangan konvensional dengan yang bersifat syariah, sehingga keberadaan LKM berbasis syariah seperti BMT dapat diakomodasi.

Keberadaan LKM di Indonesia sebenarnya amat membutuh-kan sebuah payung berupa peraturan perundangan yang komprehensif. Peraturan ini diharapkan dapat memperkuat status legal dari LKM, disamping juga melindungi para nasabah dari situasi atau keadaan yang dapat merugikan mereka.

Banyaknya jenis dan macam LKM di Indonesia amat menyulitkan baik dalam pemantauan usaha maupun pemberian bantuan untuk pengembangan usaha. Dengan diterbitkannya peraturan Banyaknya jenis dan macam LKM di Indonesia amat menyulitkan baik dalam pemantauan usaha maupun pemberian bantuan untuk pengembangan usaha. Dengan diterbitkannya peraturan

Dalam peraturan ini antara lain diatur mengenai bentuk hukum dari LKM yakni koperasi atau perseroan terbatas. Izin usaha untuk LKM dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Peraturan ini memberikan kewenangan penuh kepada OJK dalam perizinan, pengaturan serta pengawasan LKM. Sebelumnya dalam RUU yang diajukan pemerintah, disebutkan bahwa lembaga yang mengatur dan mengawasi LKM adalah Pemda Kaupaten/Kota.

Kewenangan yang dimiliki oleh OJK dalam pengawasan LKM dirasa amat tepat karena OJK memiliki kapabilitas dan aksesibilitas. Lembaga OJK yang juga memiliki kewenangan dalam pengawasan perbankan tentunya akan menyinergikan aktifitas pengawasannya dengan LKM. Sinergi ini penting dalam mengawasi lalu lintas transaksi keuangan baik itu melalui perbankan maupun LKM.