REVIEW PERKULIAHAN 11 PENGANTAR HUBUNGAN

REVIEW PERKULIAHAN 11 PENGANTAR HUBUNGAN INTERNASIONAL
Telah sampailah tutorial kita kali ini pada perkuliahan kesebelas. Setelah pada tiga
perkuliahan sebelumnya membahas mengenai teori utama dalam studi Hubungan
Internasional (main stream). Perkuliahan kali ini membahas mengenai perdebatan terkini
dalam studi Hubungan Internasional antara perspektif neo-liberalisme dan neo-realisme,
serta positivistic dan reflektifistik, dan juga perspektif-perspektif terkini.
Pada saat ini kita tentunya telah mengenal perdebatan besar dalam studi Hubungan
Internasional (inter-paradigm). Dalam perkembangannya teori-teori utama dalam studi
Hubungan Internasional mengalami berbagai revisi dan pelengkapan, untuk melihat
fenomena yang terjadi dalam politik internasional. Neo-neo, telah berkembang dan
mendominasi dalam studi Hubungan Internasional sekitar 10-15 tahun belakangan ini.
Baik neo-realisme maupun neo-liberalisme lebih dari sekedar teori, namun
merupakan pandangan dalam kerangka konseptual yang membentuk individu, dalam
memandang dunia dan mempengaruhi prioritas tertentu pada suatu penentuan kebijakan.
Dalam dunia akademis neo-liberalisme mengacu terutama pada neo-liberalisme
institusionalisme. Menekankan pada peneriamaan akan nilai-nilai demokrasi barat dan
kapitalisme. Sampai saat ini terdapat versi yang beragam baik dalam neo-liberalisme
maupun neo-realisme.
Kedua teori tersebut menggunakan pendekatan pilihan rational choice dan game
theory dalam menjelaskan pilihan-pilihan kebijakan dan perilaku negara dalam situasi
konflik maupun kerjasama. Neo-realisme dan neo-liberlisme merupakan teori yang

berorientasi pada status-quo dalam memecahkan masalah. Keduanya berbagi berbagai
asumsi mengenai aktor-aktor, nilai-nilai, dan pengaturan power di dalam system
internasional.
Neo-realisme dan neo-liberalisme mempelajari dunia yang berbeda, neo-realisme
mempelajari isu-isu mengenai keamanan dan peka dengan isu power dan keberadaan.
Sedangkan neo-liberalisme mempelajari ekonomi politik dan fokus terhadap kerjasama dan
kelembagaan.
Pertama kali kita akan melihat asumsi-asumsi utama dari neo-realisme,

1



Negara dan aktor yang lain berinteraksi dalam lingkungan yang anarki. Berarti tidak
terdapat otoritas tunggal dalam menekankan aturan dan nilai-nilai atau melindungi
kepentingan dari komunitas dunia yang lebih luas.



Struktur dari system merupakan penyebab utama dalam perilaku aktor.




Negara berorientasi self-interest, dan system yang ketat dan anarki mendorong para
aktor lebih egois dalam berperilaku.



Negara merupakan aktor yang rasional, memilih strategi yang memperbesar
keuntungan dan memperkecil kerugian.



Masalah utama yang dikritisi dan ditekankan dalam anarki adalah survival.



Negar memandang negara lain sebagai musuh yang potensial dan dapat mengancam
keamanan nasional mereka. Ketidak percayaan dan ketakutan ini menciptakan
security dilemma, dan ini memotivasi kebijakan dari hampir seluruh negara.

Salah seorang tokoh dari neo-realisme, Kenneth Waltz dengan structural realisme

telah menjadi dampak utama dalam studi Hubungan Internasional. Waltz berangapan bahwa
struktur dari sistem internasional adalah faktor kunci dalam membentuk perilaku suatu
negara. Waltz dengan neo-realisme nya memperluas pandangan mengenai power dan
kemampuan; namun demikian, ia setuju dengan realis tradisionalis bahwa negara dengan
power terbesar akan mempengaruhi keadaan sistem internasional.
Realisme structural meminimalisir akan pentingnya atribut nasional sebagai
determinan dari kebijakan luar negeri suatu negara. Menurut realis setiap negara secara
fungsional merupakan unit yang sama, mengalami tekanan yang sama yang diakibatkan
anarki. Realisme strukturalis menerima banyak asumsi dari realisme tradisional.
Mempercayai bahwa tekanan (force) tetap menjadi alat yang efektif dan penting dalam
pembentukan negara dan balance of power, terutama dalam mekanisme memunculkan
ketertiban dalam system.
Sarjana mengenai studi keamanan terdapat dua versi yaitu neo realisme dan modern
realisme. Neo-realis menekankan pada pentingnya power yang relatif. Seperti halnya realis
tradisional, percaya bahwa konflik tidak dapat dihindari di dalam system internasional yang
anarki, dan setiap pemimpin negara haruslah selalu waspada terhadap kekuatan penjajah.

2


Adalah sulit untuk hidup tanpa senjata, karena kerjasama sangat baik terjadi dengan negara
yang cenderung ramah dan damai.
Neo-liberalisme memandang dua hal secara khusus, pertama lembaga (institutions)
dianggap sebagai ketetapan dan tergabung dalam seperangkat aturan dan pemahaman yang
menjelaskan peranan, aktivitas terus menerus, dan membentuk harapan padapelaku-pelaku.
Lembaga atau badan termasuk organisasi. Balance of power merupakan contoh dari
institusi dalam system internasional. Kedua rezim, yang merupakan institusi social yang
didasari pada aturan, nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan proses pembuatan kebijakan. Sehingga
dapat mengatur interaksi dari berbagai Negara dan actor-aktor non Negara.
Asumsi utama dari neo-liberalisme adalah, Negara merupakan actor kunci dalam
hubungan internasional, tetapi bukan merupakan actor satu-satunya. Negara adalah rasional
atau actor-aktor instrumenta, selalu mencoba untuk memperluas kepentingannya dalam
segala aspek. Dalam lingkungan yang kompetitif, Negara selalu berusaha untuk
memperluas pendapatan yang berlipat mealaui kerjasama. Perilaku yang rasional
memnyebabkan Negara mencari nilai-nilai bersama.
Namun kerjasama bukan berarti tanpa masalah, tetapi Negara akan menggeser
loyalitas dan sumber kepada institusi jika mereka meliht akan mendapatkan keuntungan
bersama. Neo-liberalisme kontemporer telah dibentuk oleh asumsi-asumsi seperti
komersial, republican, sosiologi, daln liberalism institusionalisme

Fitur utama dalam debat neo-realis/neo-liberal;
1. Keduanya sepakat bahwa system internasional bersifat anarki. Neo-realis
beranggapan anarki menyebabkan penekanan pada kebijakan luar negeri dan
neo-liberalisme mengurangi pentingnya survival sebagai tujuan dari tiap
Negara. Neo-liberalisme beranggapan neo-realisme memgurangi pentingnya
keeling ketergantungan, globalisasi, dan rezim yan menciptakan segala
bentuk interaksi yang saling menguntungkan.
2. Neo-realisme percaya kerjasama internasional tidak akan terjadi, kecuali
Negara menjadikannya kenyataan. Mereka merasa hal tersebut sulit dicapai,
dipertahankan, dan tergantung pada power suatu Negara.
3. Neo-liberalisme beranggapan actor dengan pendapatan absolute mencoba
untuk memperluas hal tersebut.

3

4. Neo-realisme mengatakan bahwa anarki memerlukan negara untuk
mencapai kembali power, keamanan, dan survival di dalam system
internasional

yang


kompetitif.

Neo-liberalisme

lebih

peduli

pada

kesejahteraan ekonomi atau isu-isu seputar ekonomi politik internasional
dan isu-isu non-militer lainnya.
5. Neo-realis menekankan kemampuan power suatu negara terhadap tujuan dan
kepentingan suatu negara. Kemampuan (capabilities) penting demi
keamanan dan kemerdekaan. Neo-liberalisme menekankan pada tujuan
bersama dan pilihan-pilihan.
6. Neo-liberals melihat institusi dan rezim sebagai tekanan yang nyata dalam
hubungan


internasional.

Neo-realisme

mengatakan

neo-liberalisme

membesar-besarkan dampak dari institusi dan rezim terhadap perilaku suatu
negara.
Debat mengenai neo-neo bukan merupakan debat anatara dua kubu yang
bertentangan dalam memandang dunia. Keduanya berbagi epistemologi, fokus pada
pertanyaan yang sama. Debat ini tidak mendiskusikan isu-isu penting yang menantang
beberapa asumsi utama pada masing-masing teori.
Pendekatam tradisionalis bertumpu pada factor-faktor seperti sejarah, pengalaman
pribadi, formulasi legal, dan perasaan untuk menyediakan pondasi untuk mengenelarisir
politik dunia. Meneliti fenomena hubungan internasional berdasar pada variabel tunggal
yang dapat diukur, seperti asumsi pengendalian universal terhadap kekuasaan.
Kedua metodologi yang digunakan dalam studi Hubungan Internasional adalah
memperdebatkan mengenai metode terbaik dalam mempelajari Hubungan Internasional.

Kritik bagi masing-masing metodologi telah sering mewarnai perdebatan yang berlansung.
Behavioralis mengkritik tradisionalis dengan menolak penggunaan literature dan filosofi
yang digunakan oleh tradisioanalis dan menginginkan adanya pembentukan model-model
formal dengan hipotesis yang telah teruji kebenarannya. Tradisionalis balas mengkritik
behavioralis mengenai jumlah dan kompleksitas dari variabel akan menjadi dapat
dijalankan dan membingungkan, serta pendekatan decision making yang tidak pernah
diterima secara luas, diikurti oleh kerangka empiris yang kaku.

4

Perdebatan yang berlangsung antara tradisionalis dan behavioralis, tradisionalis
mencoba untuk memahami dunia sosial yang rumit dalam masalah-masalah manusia dan
nilai-nilai dasar mengenainya, seperti tatanan, kebebasan dan keadilan. Sedangkan
behavioralis tidak menempatkan moral dan etika kedalam teori internasional. Behavioralis
menginginkan klasifikasi, pengukuran, dan penjelasan melalui formulasi dari hukum yang
umum. Kedua metode sekarang ini digunakan dalam Hubungan Internasional. Perbedaan
antara keduanya antara lain, (1) tradisionalis mencoba untuk memahami, behavioralis
menjelaskan; (2) tradisionalis menggunakan norma-norma dan nilai, sedangkan
behavioralis


menggunakan

hipotesis;

(3)

pendektan

tradisionalis

menggunkan

pertimbangan pemikiran, behavioralis menggunakan kumpulan data-data; (4) tradisionalis
menggunakan pengetahuan sejarah, behavioralis menggunakan pengetahuan alam; (5)
tradisionalis menempatkan teoris di dalam subjek kajian, sedangkan dalam behavioralis
teoris berada di luar subjek kaji.
Globalisasi telah memberi kontribusi untuk menggeser aktivitas politik dari negara.
Gerakan transnasional sosial telah memaksa negara untuk mendukung institusi
internasional untuk mempromosikan kerjasama yang lebih luas, dan secara mendasar
menantang power dari negara.


5