HUKUM ACARA PIDANA (1) Subjek hukum pidana

HUKUM ACARA PIDANA
1. Apa saja tugas penyidik dalam menangani kasus tindak pidana?

2. Apa saja tugas jaksa penuntut umum dalam menangani kasus tindak pidana?

3. Apa masalah yang dihadapi oleh penyidik dalam hubungannya dengan JPU?

4. Bagaimana solusi untuk mengatasinya?
JAWABAN:

1. Penyidik Mempunyai wewenang sebagai berikut:
a) Menerima laporan/ pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana
b) Melakukan tindakan pertama dapa saat di tempat kejadian perkara
c) Menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
d) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
e) Melakukan pemeriksaan dan penangkapan
f) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
g) Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka/ saksi
h) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan perkara
i) Mengadakan penghentian penyidikan
j) Mengadakan tindakan laim menurut hokum yang ertanggung jawab

2. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Penyidik mwmwpunyai wewenwng
sebagai berikut:
1. Pasal 9 KUHAP:
Penyidik dan penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Huruf a, mempunyai

wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya diseluruh wilayah Indonesia,
khususnya didaerah masing-masing dimana ia ditangkap sesuai dengan ketentuan UndangUndang.
2. Pasal 14 ayat (1) Huruf g Undang-Undang Nomer 2 tahun 2002
Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, pilisi bertugas
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
KUHAP dan Peraturan Perundang-Undangangan lainnya.
B. Peranan Polisi Sebagai Penyidak
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan. Penyidikan adalah tindakan
penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, untuk membuat keterangan tindak pidana
yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Sebagaimana telah disebutkan dalam pasal 1
butir (1) dan pasal 6 ayat (1) KUHAP bahwa yang dapat dikatakan sebagai penyidik yaitu
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang khusus oleh UndangUndang. Seseorang yang ditunjuk sebagai penyidik haruslah memenuhi persyaratanpersyaratan yang mendukung tugas tersebut, seperti misalnya : mempunyai pengetahuan,
keahlian disamping syarat kepangkatan. Namun demikian KUHAP tidak mengatur masalah
tersebut secara khusus. Menurut pasal 6 ayat (2) KUHP, syarat kepangkatan pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.
Kemudian dalam penjelasan disebutkan kepangkatan yang ditentukan dengan Peraturan
Pemerintah itu diselaraskan dengan kepangkatan penuntut umum dan hakim pengadilan
umum. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 ( PP No. 27 / 1983 )
tentang Pelaksanaan KUHAP ditetapkan kepangkatan penyidik Polri serendah rendahnya
Pembantu Letnan Dua. Selaku penyidik Polri yang diangkat Kepala Kepolisian negara
Republik Indonesia yang dapat melimpahkan wewenangnya pada pejabat polisi yang lain.
Tugas Polri sebagai penyidik dapat dikatakan menjangkau seluruh dunia . Kekuasaan dan
wewenangnya luar biasa penting dan sangat sulit Di Indonesia, polisi memegang peranan
utama penyidikan hukum pidana umum, yaitu pelanggaran pasal-pasal KUHP.
Adapun mekanisme proses penyidikan tindak pidana, yaitu penerimaan laporan/pengaduan,
Pemanggilan, penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penanganan tempat
kejadian perkara.
1. Laporan/Pengaduan
pengaduan merupakan pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan
kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah
melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Sedangkan laporan merupakan
pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajiban berdasarkan


undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga
akan terjadinya peristiwa pidana. Maka penyidik yang emngetahui, menerima
laporan/pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak
pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan/penyidikan yang diperlukan,
(Ketentuan hukum Pasal 1 angka 25, Pasal 1 angka 24, Pasal 102 ayat (1), Pasal 106
KUHAP).
2. Pemanggilan
Pemanggilan merupakan pemberitahuan dengan surat panggilan yang sah sesuai bentuk
dan format yang sudah ditentukan sebagai bukti untuk dipergunakan dalam kelengkapan
berkas pemeriksaan perkara pelanggaran disiplin. Penyidik yag melakukan pemeriksaan
berhak memanggil tersangk /saksi yang dianggap perlu dengan:
a) Surat panggilan yang sah
b) Menyebutkan alasan pemanggilan secara jelas
c) Memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya pemanggilan dengan hari
seseorang itu harus memenuhi panggilan tersebut.
Orang yang dipanggil wajib datang, apabila tidak datang penyidik memenggil sekali lagi
dengan perintah kepada petugas untuk membawa kepadanya dan jika yang dipanggil
memberi alasan yang patut dan wajar, bahwa tidak dapat datang, penyidik itu datang
ketempatkediaman pihak yang diperiksa.Pertimbangan, bahwa seseorang mempunyai
peranan sebagai tersangka/saksi dalam suatu tindak pidana yang telah terjadi dimana

peranannya dapat diketahui dari laporan kejadian, pengembangan hasil pemeriksaan yang
dituangkan dalam BAP, laporan hasil peyidikan, (ketentuan hukum Pasal 7 ayat (1) huruf g,
Pasal 11, Pasal 2, pasal 112 ayat (1), Pasal 113, Pasal 116 ayat (3) dan (4), Pasal 119
KUHAP)
3. Penangkapan
Penangkapan merupakan suatu tindakan penyidik berupa tangkap sementara waktu
kebebasan tersangka/terdakwa apabila cukup bukti guna kepentingan
penyidikan/tuntutan/peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam UndangUdang. Pertimbangan:
• bahwa seseorang yang diduga keras mempunyai peranan sebagai pelaku tindak pidana
yang terjadi atas dasar adanya bukti permulaan yang cukup, perlu segera didengan
ketengangannya dan diperiksa.
• Adanya permintaan dari penyidik/penyidik pembantu.
• Berturut-turut tidak memenuhi panggilan tanpa alasan yang sah.

(ketentuan hukum Pasal 1 butir 20, Pasal 5 (1) huruf B, Pasal 7 (1) huruf D, Pasal 11, 16, 18,
19 dan 37 (1) dan (2), Pasal 17, Pasal, Pasal 102 (2) dan (3), dan Pasal 111 (1) KUHAP.
4. Penahanan
Penahanan adalah penempatan tersangka/terdakwa ditempat tertentu oleh penyidik dengan
penempatannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang. Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik dan pembantu penyidik berwenang melakukan penahanan

berdasarkan:
a) Dugaan keras tersangka melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukukp
b) Dikuatirkan tersangka akan melarikan diri, merusak/menghlangkan barang bukti danatau
mengulangi tindak pidana.
c) Terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara > 5
tahun dan atau melanggar Pasal-pasal tertentu.
Penyidik memberikan surat perintah penahanan yang mencantumkan identitas tersangka
dan alasan, uraian tindak pidananya dan tempat ia ditahan, tembusan surat perintah
penahanan harus diberikan kepada keluarganya, penahanan dilakukan paling lama 20 hari,
(Ketentuan hukum, Pasal 1 butir 21, Pasal 2 (1) huruf D, Pasal 11, 20, 21, 22, 23, 24, 29, 31,
dan Pasal 123 KUHAP)
5. Penggeledahan
Penggeledahan dibagi atas dua macam, penggeledahan rumah dan penggeledahan badan.
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan
tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan penyitaan atau
penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang .
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan
dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya
atau dibawahnya serta unruk disita. Pertimbangan,
• salah satu kegiatan tindak upaya paksa dalam pelaksanaan sidik tindak pidana, tindak

penggeledahan
• Tindak penggeledahan dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan bukti-bukti atau
barang bukti
• untuk mendahului tindakan penangkapan terhadap tersangka, menekan peluang serangan
tersangka kepada petugas.
(Ketentuan hukum Pasal 1 butir 17 dan 18, Pasal 5 (1) huruf B, Pasal 7 (1) hutuf D, Pasal
11, 32, 33, 34, 36, dan Pasal 37 KUHAP).

6. Penyitaan
Penyitaan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengambikl alih dan menyimpan
dibawah pengawasannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud
utuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan. Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh
penyidik dengan surat ijin ketuan Pengadilan Negeri setempat, kecuali dalam keadaan
sangat perlu dan mendesak, penyitaan dapat dilakukan hanya atas benda bergerak dan
wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri guna mendapatkan persetujuan.
Penyidik juga dapat berwenan memerintahkan kepada orang yang menguasai benda yang
dapat disita untuk menyerahkan bnda tersebut kepada penyidik hdengan pertimbangan
harus diberikan surat penerimaan. Pertimbangan:
a) Diperlukannya barang bukti yang ada kaitannya dengan kasus atau tindak pidana yang
terjadi untuk penentuan kasus.

b) Diperlukannya persyaratan kelengkapan bukti perkara guna pembuktian dalam proses
penyidikan.
(Ketentuan Hukum Pasal 1 butir 16, Pasal 5 (1) huruf B angka 1, Pasal 7 (1) huruf D, Pasal
14, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 128, 129, dan Pasal 131 KUHAP)
7. Penanganan Tempat Kejadian Perkara
Tempat kejadian perkara adalah sumber keterangan dan bukti penting yanng dapatr diolah
untuk prngungkapan tindak pidana yan terjadi . Tempat kejadian perkara merupakan sumber
informasi awal unuk kepentingan penyidikan tindak pidana, karena tempat tersebut suatu
waktu pernah bertemu dan berinteraksinya antara tersangka, saksi dan korban maupun
dengan tempat kejadian perkara itu sendiri, yang akan meninggalkan jejak dan atau barang
bukti. Pengolahan tempat kejadian perkara merupakan rangkaian kegiatan proses penyidik
tindak pidana, maka pelaksanaannya harus diselaraskan dengan ketentuan undang-undang
yang berlaku.
Untuk mampu memberdayakan tempat kejadian perkara benar, menjadi sumber informasi
dalam pembuktian, diperlikan kemampuan dan menguasai tehnik dan taktik olah tempat
kejadian perkara yang tepat dan benar baik secara yuridis maupun secara tehnis, karena
tindakan hukum yang dilakukan oleh petugas peenyidik polisi di tempat kejadian perkara
adalah kegiatan yang tidak terpisahkan dalam proses penyidikan dan merupakan langkah
awal untuk dapat mengungkapkan tindak pidana yang terjadi.
(Ketentuan hukum Pasal 7 (1) huruf B, Pasal 111 dan 111 (3) dan (4) KUHAP. Undangundang nomer 28 tahun 1998 Pasal 15 (1) huruf a, b, c, dan d, Pasal 16 huruf a dan b).

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, memberikan
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tertentu yang diberi wewenang
khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
Penyidikan adalah tindakan penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, untuk
membuat keterangan tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. 
mekanisme proses penyidikan tindak pidana, yaitu penerimaan laporan/pengaduan,
Pemanggilan, penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan penanganan tempat
kejadian perkara.

2. 1. Menurut UU No 8 tahun 1981 tentang KUHP
a.“Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekueten hukum tetap”
b. Penuntut umum Adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penunuttan dan melaksanakan penetapan hakim.
Tugas Jaksa:
1. Sebagai penuntut umum
2. Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (eksekutor)
Dalam tugasnya sebagai penuntut umum, jaksa mempunyai tugas:
1. Melakukan penuntutan;
2.melaksanakan penetapan hakim
Menurut UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejasaan Republik
Indonesia
Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1, kejaksaan mempunyai tugas
dalam pasal (2) yang berbunyi:
(1) a. mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada pengadilan yang
berwenang;
b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana.
(2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi
dan mengkoordinasikan alat-alatr penyidik menurut ketentuan-ketentuan dalam UU Hukum
Acara Pidana dan lain-lain peraturan.
(3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara
(4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan

negara.

“Kejaksaan RI selanjutnya disebut kejaksaan ialah alat negara penegak hukum yang
terutama bertugas sebagai penuntut umum”. (Pasal 1 ayat (1))

2.a Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (“UU
Kejaksaan”), jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang
pidana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan antara lain:
a. melakukan penuntutan;
b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan
penyidik.
Jadi, tugas dan kewenangan jaksa adalah sebagai penuntut umum dan pelaksana (eksekutor) putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata,
pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera
dipimpin oleh ketua pengadilan (lihat Pasal 54 ayat [2] UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).
Kemudian, apa kewenangan jaksa di bidang perdata? Hubungan perdata merupakan hubungan antaranggota masyarakat yang biasanya didasarkan pada perjanjian. Jaksa dapat berperan dalam perkara
perdata apabila Negara atau pemerintah menjadi salah satu pihaknya dan jaksa diberikan kuasa untuk
mewakili. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan yang berbunyi:
“Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat
bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah.”
Jadi, peran jaksa berbeda dalam ranah pidana dan perdata. Dalam perkara pidana, jaksa berperan
sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Sedangkan
dalam perkara perdata, jaksa berperan sebagai kuasa dari Negara atau pemerintah di dalam maupun di
luar pengadilan mengenai perkara perdata.

Persepsi antara polisi dan jaksa tentang pra penuntuan sebagaimana yang telah diteliti oleh
Topo Santoso dalam bukunya Luhut Pangaribuan tergambar dalam tabel di bawah ini: [10]
N
O
.
1.

PANDANGAN POLISI

PANDANGAN JAKSA

Jaksa
sering
memberikan
petunjuk yang tidak jelas. Jaksa
memberi tetapi agar mengubah
soal X, Y, Z, tetapi sesudah itu
diubah,
malah
meminta
diperbaiki lagi agar menjadi soal
A, B, C, dan seterusnya.
Jaksa sering tidak mengerti
penyidik pidana umum jauh
lebih sulit daripada pidana
khusus.

Polisi
sering
tidak
melaksanakan petunjuk dari
jaksa dengan benar, sehingga
harus berkali-kali bolak-balik
membuang waktu.

3.

Polisi
seharusnya
menjadi
penyidik utama karena polisilah
yang
bertanggung
jawab
terhadap hasil penyidikan.

4.

Jaksa sering mengubah isi pasalpasal
tuduhan
dari
polisi,
sehingga
melemahkan
hasil
pemeriksaan
polisi,
padahal
polisi sudah bekerja keras untuk
ini.

5.

Tidak ada yang mengawasi
berkas perkara yang tidak
dilanjutkan jaksa ke pengadilan,
sedangkan polisi dapat di pra
peradilan.

6
.

Jika kemampuan polisi memang
kurang yang perlu diperbaiki
personel
polisinya,
bukan
dengan mengubah sistem yang
ada.

Jaksa harus ikut serta dalam
penyidikan karena menduduki
posisi sentral dan yang paling
bertanggung
jawab
di
pengadilan.
Polisi sering memberikan dasar
hukum
pemeriksaan
yang
kurang kuat, sehingga jaksa
lemah di pengadilan. Untuk ini
jaksa harus mengubah lagi,
karena jaksa yang paling
bertanggung jawab.
Tidak
ada
yang
dapat
mengawasi polisi jika berkas
yang diminta jaksa untuk
diperbaikinya
tidak
dikembalikan ke jaksa lagi.
Jumlahnya sudah ribuan.
Kekurangmampuan polisi harus
ditopang dengan sitem yang
memberikan proses beracara
secara cepat dan tepat.

2.

Polisi tidak mengerti bahwa
penyidikan pidana khusus jauh
lebih sulit dari pidana umum
dan
membutuhkan
pengetahuan yang luas.

Apabila permasalahan tersebut berlangsung/dibiarkan terus tanpa ada usaha untuk
memperbaikinya maka dengan sendirinya tujuan politik kriminal penegakan hukum pidana
masih jauh dari harapan para pencari keadilan, fungsi hukum sebagai alat untuk
menyelesaikan masalah, dan sebagai kontrol sosial tidak dapat diujudkan, yang berakibat
masyarakat para pencari keadilan dan korban tidak merasa dilindungi, masyarakat apatis,
bahkan akan cenderung menyelesaikan masalahnya dengan main hakim sendiri. Cara-cara
demikian jelas sangat bertentangan dengan tujuan hukum. Dengan demikian ternyata untuk
melaksanakan/merealisasikan sistem peradilan yang terpadu tidaklah semudah
sebagaimana ditentukan dalam KUHAP.
D.

Solusi Atas Permasalahan

Permasalahan kekurangterpaduan dalam tahap proses penyidikan antara penyidik dengan
PU sudah lama berlangsung, bahkan dalam berbagai seminar, pertemuan ilmiah, diskusidiskusi, dan rapat-rapat internal sudah sering dibicaran dan ditawarkan berbagai jalan solusi
atau pemecahannya, namun kesalahan yang sama sering terjadi, dengan alasan-alasan
yang saling tuding-menuding. Lebih ironis lagi ada satu institusi yang beranggapan bahwa
dirinya jauh lebih hebat dari yang lain dan juga ada yang merasa bahwa satu elemen
merupakan sub-ordinasi dari elemen yang lain.

1.
2.
3.
4.

Oleh karena itu, usaha-usaha yang perlu diperhatikan agar masalah-masalah yang saya
sebutkan di atas dapat diatasi, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:
Penyidik dari sejak awal hendaknya melakukan koordinasi dengan PU, jangan ketika
hendak menyerahkan berkara perkara, sebagaimana yang sering dilakukan oleh penyidik.
Penyidik dalam hal menangani kasus-kasus yang berat agar mengundang PU untuk
dilaksanakan gelar perkara atau dilakukan konsultasi melalui sarana komunikasi secara lisan
ataupun tertulis.
Jika berkas yang dari sejak awal sudah dikonsultasikan dan/atau ikut gelar perkara,
penelitian terhadap kelengkapan berkas cukup dilakukan sekali saja oleh PU.
Apabila PU beranggapan masih terdapat kekurangan atas kelengkapan berkas yang telah
dilimpahkan kepada PU, penyidik dapat melakukan pemeriksaaan tambahan dengan dibantu
oleh PU.

Keuntungan dari pemacahan masalah sebagaiman disebutkan di atas sebagai berikut:
1. Menjamin keterbukaan dalam proses dan menghilangkan kecurigaan antara penyidik
dengan PU demikian sebaliknya, serta menghilangkan saling menyalahkan.
2. Lebih menjamin kelancaran penyelesaian berkas perkara dan kualitias berkas perkara yang
dapat dijadikan sebagai bahan menyusun surat dakwaan.
3. PU dapat mengetahui letak kesulitan yang dialami oleh penyidik dalam melengkapi berkas
perkara.
Agar langkah-langkah di atas dapat diterapkan dengan baik, harus dituangkan dalam
pedoman pelaksanaan tugas berupa undang-undang atau revisi/amandemen terhadap
beberapa substansi KUHAP yang dianggap menimbulkan berbagai masalah dalam
prakteknya. Namun mengingat untuk merubah suatu undang-undang waktunya relatif lama
baik dalam proses pembahasan antar depertemen maupun di DPR RI, untuk mengatasi
kendala-kendala tersebut dapat digunakan dengan cara lain yang lebih cepat, yaitu
dituangkan dalam bentuk pedoman berupa Peraturan Bersama antara Kapolri dengan Jaksa
Agung RI, dengan sendirinya bila terdapat Peraturan Bersama, dapat dijadikan pedoman
oleh kedua instansi ini untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut.