Asas Asas Hukum Acara Pidana beserta Lan

ASAS ASAS HUKUM ACARA PIDANA
Tugas Pengantar Hukum Indonesia

Disusun Oleh :

Nama:

Imam Rezkiyanto

NIM:

14401244011

Kelas:

B

Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
Tahun Akademik 2014/2015


Asas – Asas Hukum Acara Pidana
1. Perintah tertulis dari yang berwenang
Dalam asas ini mengandung maksud bahwa seseorang tidak diperkenankan
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledaan dan penyitaan kepada orang
lain, tanpa adanya perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dan sesuai dengan
Undang – Undang. Asas ini terdapat dalam Pasal 7 Undang – Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Tidak seorangpun
dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan,
kecuali atas perintah tertulis dari kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang – undang. Asas tersebut juga terdapat pada
Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf b yang berbunyi Penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan
perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undang – undang dan
hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang – undang.
2. Praduga tak bersalah
Praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam hal ini mengandung
bahwa tak ada seorangpun yang disangka, ditahan, ditangkap dan atau dihadapan
dimuka hukum tidak dianggap bersalah kecuali telah ada putusan hakim yang
bersifat tetap. Asas ini memiliki landasan hukum yang terdapat dalam pasal 8

ayat (1) Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang berbunyi setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau
dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. Asas tersebut juga terdapat landasan hukum pada
Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yang berbunyi Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
3. Pemberian ganti rugi dan rehabilitas atas salah tangkap, tahan dan
tuntutan
Pada asas ini seseorang yang mengalami salah tangkap, tahan, dan tuntutan akan
mendapatkan ganti rugi. Asas ini memiliki landasan hukum yang terdapat dalam

Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf d yang berbunyi Kepada seseorang
yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang – undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitas sejak
tingkat penyidikan dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau
karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut, dilanggar, dituntut,

dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi. Asas ini juga memiliki
landasan hukum yang terdapat dalam pasal 9 ayat (1) Undang – Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi Setiap orang yang
ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang –
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti rugi kerugian dan rehabilitas.
4. Memperoleh bantuan hukum seluas – luasnya
Pada asas ini dimana orang yang tersangkut perkara pidana berhak mendapat
bantuan hukum bagi dirinya. Asas ini memiliki landasan hukum pada Penjelasan
Umum KUHAP butir ke 3 huruf f yang berbunyi Setiap orang yang tersangkut
perkara wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata –
mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan bagi dirinya. Asas
ini juga memiliki landasan hukum yang terdapat pada pasal 15 Undang –
Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi
Pengadilan wajib memberi bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.
5. Wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum dakwaan
Pada asas ini pihak yang tersangkut tindak pidana haruslah diberitahu dakwaan
disertai dasar – dasar hukum mengenai dakwaan tersebut. Asas ini memiliki
landasan hukum pada Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf g yang
berbunyi Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan

atau penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak untuk
menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum.
6. Sidang terbuka untuk umum
Pada asas ini memiliki maksud bahwa sidang dibuka untuk umum atau semua
orang dapat mengadiri acara sidang, kecuali dalam hal yang diatur undang –

undang. Asas ini memiliki landasan hukum yang terdapat pada Penjelasan
Umum KUHAP butir ke 3 huruf i yang berbunyi Sidang pemeriksaan
pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam hal yang diatur dalam
undang – undang. Asas ini juga memiliki landasan hukum yang terdapat pada
pada pasal 13 ayat (1) Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum, kecuali undang – undang menentukan lain.
7. Pemeriksaan secara langsung
Pada asas ini peradilan memeriksa secara angsung kepada terdakwa dan para
saksi. Asas ini memiliki landasan hukum yang dijelaskan pada pasal 154 dan
pasal 155 KUHAP, dimana pada bagian ini hakim memanggil terdakwa beserta
saksi untuk diperiksa. Hakim memeriksa secara langsung dengan menanyakan
kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur atau tanggal

lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta
mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar
dan dilihatnya di sidang.
8. Pemeriksaan secara lisan (oral debat)
Sebagai mana yang telah dijelaskan diatas, dimana hakim menanyakan kepada
terdakwa tentang nama lengkap, tempat tanggal lahir, umur atau tanggal lahir,
jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaannya serta
mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar
dan dilihatnya di sidang yang merupakan penjabaran dari pasal 155 angka 1
KUHAP merupakan pemeriksaan secara lisan.
9. Tidak boleh mengajukan pertanyaan jerat
Pada asas ini hakim tidak boleh mengajukan pertanyaan yang dapat
menjerumuskan dan menjebak seolah – olah memaksa seorang terdakwa
mengakui dakwaan yang dijeratkan kepadanya. Asas ini memiliki landasan
hukum pada pasal 137 KUHAP dimana merupakan tugas penuntut umum untuk
memberikan tuntutan – tuntutan dan bukannya hakim yang menuntut terdakwa
atas delik yang dijeratkan kepadanya.
10. Pemeriksaan bersifat accusatoir
Pada asas ini hakim menganggap bahwa terdakwa dan penuntut umum sama –
sama memiliki nilai, dan tidak ada yang lebih tinggi. Terdakwa bebas


memberikan tanggapan – tanggapan untuk membela dirinya begitu pula dengan
dibantu penasehat hukum selama tidak bertentangan dengan undang – undang.
Asas ini tersurat dalam KUHAP yaitu pada Pasal 52, Pasal 55, Pasal 65 karena
kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukkan bahwa
dengan KUHAP telah dianut asas akusator (accusatoir).
11. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda – bedakan
orang
Asas ini mengandung makna dimana hakim dalam mengadili suatu tindakan
pidana tidak memihak sala satu pihak dan harus bersifat adil, atau yang sering
kita ketahui dengan asas persamaan di muka hukum (equality before the law).
Asas ini diatur dalam Pasal 4 Ayat (1) UU Nomer 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman : Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang. Dan juga terdapat pada Penjelasan Umum KUHAP
butir ke 3 huruf a yang berbunyi Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di
muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

12. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain diluar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali yang disebutkan dalam UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Seperti halnya yang telah dijelaskan dalam pasal 3 ayat (2) UU no. 48 Tahun
2009 tentang kekuasaan kehakiman menyebutkan : Segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang,
kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Kekuasaan kehakiman yang merdeka” secara konstitusional meliputi:
Larangan terhadap upaya campur tangan (intervensi) pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman (termasuk eksekutif) kecuali campur tangan itu
dibolehkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Dalam hal ini, Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) secara limitatif menetapkan
wewenang “intervensi” eksekutif terhadap urusan peradilan hanya menyangkut
grasi, rehabilitasi, amnesti, serta abolisi. Wewenang ini disebut “Wewenang

Pseudo Yudisial.” Dalam bentuk aturan hukum, konsepsi “Kekuasaan
kehakiman yang merdeka” dituangkan dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan


peradilan

guna

menegakkan

hukum

dan

keadilan

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia .

13. Pengadilan tak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukumannya tidak jelas atau kurang
jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya
Dalam asas ini, hakim tak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya
dengan alasan tidak ada hukum, atau kurang jelasnya hukum akan tetapi tetap

harus menerima perkara dan menyelesaikannya. Asas ini diterangkan dalam
pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang berbunyi Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
14. Semua perkara pidana harus disidangkan dengan majelis hakim, yaitu 3
dengan hakim, kecuali dengan sidang pemeriksaan cepat disidangkan
dengan hakim tunggal
Perkara pidana disidangkan dengan majelis hakim yaitu terdiri dari 3 hakim,
yaitu 1 hakim ketua dan 2 hakim anggota sebagaimana dijelaskan pada pasal 11
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman. Kecuali sidang cepat yang hanya memerlukan satu hakim tunggal.
15. Pengadilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan
serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen
dalam seluruh tingkat peradilan
Asas tersebut terdapat dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf e. Pada
asas ini dimaksudkan agar pengadilan dapat berlangsung dengan tidak berbelit –

belit, dapat berlangsung dengan biaya minimum dan dapat diselesaikan dengan

waktu yang singkat. Asas ini dijelaskan dalam dalam pasal 2 ayat 4 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan
masalah asas ini : Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan. Selain peraturan di atas, azas ini juga diatur dalam pasal 4 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang
berbunyi: Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.