Stuktur Perseroan Terbatas merupakan modal
Stuktur Perseroan Terbatas
Two Boadr Sistem adalah stuktur yang berlaku di Indonesia adalah RUPS- Komisaris dan Direksi,
untuk posisi SPI sendiri bertanggung jawab langsung kepada direksi, adapun untuk tindak lanjut dari
laporan SPI bisa di tinjau langsung idealnya oleh Komite Audit, apakah pekerjaan SPI sudah bagus
atau di tindak lanjuti oleh direksi atau tidak, adapun apabila laporan dari SPI belum di tindak lanjut
oleh manajemen maka disini komite audit harus mencari penyebab nya apa, pengendalianya apa,
sehingga harus ada tindak lanjut dengan melakukat spesial audit.
Internal Audit
Definisi Internal Audit adalah aktivitas independen,onyektif dan konsultaif yang di disain untuk
memberikan nilai tambah dalam penyempurnaan proses operasi organisai.
Membantu organisai dalam mencapai tujuanya dengan menerapkan suat pendekatan sisematis dan
ketat untuk mengevaluasi dan meningkatkan aktivitas manajemen resik, pengendalian dan proses
pengeloalaan perusahans sesuai prinsip GCG
Kriteria
seorang audit itu harus sehat kuat, punya indepedensi dan bermoral tinggi , minimal sarjana
akuntansi dan berpengalaman di Kap,
Area yang mempunyai Resiko Tinggi adalah
Kas,penjualan/piutang, penerimaan kas, pembelian/hutang/pengeluaran kas,payroll/penggajian,
inventory,
Misi internal audit
adalah memberikan informasi yang di perlukan manajer dalam menjalankan tanggung jawab secara
efektif,memastikan bahwa tujuan sistem operasi akan tercapai , dalam meningkatkan kemungkinan
tercapainya tujuan manajemen
Perbedaan audit interna dan audit eksternal, audit intern biasanya diabil dari karyawan, melayani
kebutuhan organisasi , meskipun fungsinya harus dikelola oleh perusahaan, fokus ada kejadian
dimasa yang akan datang dengan mengevaluasi kontrol yang dirancang untuk meyakinkan tujuan
pencapaian tuuan perusahaan atau organisai sedangkan auditor eksternal merupakan orang
independe di luar perusahaan, melayani pihak ketiga yang memerlukan informasi keuangan yang
dapat di andalkan,fokus pada ketetapan dan kemudahan pemahaman dari kejadian masa lalu yang
di nyatakan dalam laporan keuangan.
Pemeriksaan
Rencana auidit harus mencakup evaluasi efektivitas sistem control yaitu
Apakah di temukan ada nya kelemahan atau ketidakkonsistenan
Jika ada apakah telah dilakukan koreksi atau perbaikan.
Audit Interen atas aktiva salahsatunya untuk memeriksa apakah saldo kas dan setara dengan kas
yang ada di dalam neraca benar benar ada dan dimiliki oleh bank, memeriksa apakah aset etap yang
tercantum dalam neraca benar benar ada,masih digunakan dan dimiliki oleh bank, memeriksa
penyajian laporan keuangannya, apakah seusai prinsip akuntansi yang berlaku di indonesia.
Audit Intern atas pasiva salahsatunya adalah apakah kewajiban bank seperti kewajiban membayar
pajak sudah di bayarkan sesuai ketentuan,
Audit untuk Biaya salahsatunya apakah pengeluaran biaya biaya sesuai dengan bukti yang ada,trus
apakan sudah di buat/dibukukan sesuai dengan SAK.
Audit kredit adalah pemeriksaan terhadap kredit yang berari auditor intern melakukan pemeriksaan
apakah kredit yang telah di berikan oleh bank sudah sesuai deng prosedur yang berlaku dan apakah
kredit telah di terima oleh debitur/nasabah serta memastikan keberadaan jaminan yang diagunkan.
Audit di bidang Personil
Displin kerja apakah prosedur pengisian daftar hadir, penyelenggaraan daftar hadir telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,contohnya apakah ada karyawan yang sering
datang terlambat atau tidak hadir tanpa alasan yang wajar,bila ada apakah telah di tindak sesuai
ketentuan yang ada.
Kerja lembur apakah pelaksanaan dan pembayaran kerja lembur telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku,contoh surat perintah kerja sudah di ttd oleh pejabat atai direksi,apakah jam
kerja , teliiti kebenaran perkalian jam kerja lembur dengan tarif uang kerja perjam yang berlaku.
Administrasi personil, teliti apakah map-map personil telah di peliraha dengan baik, menelliti
kewajaran pembayaran untuk pegawai tetap,tidak tetap, meneliti apakah pph pegawai sudah
dilaksanakan dan di setorkan ke kantor pajak,meneliti pesmbiayaan pejalanan dinas dengan bukti,
pijaman pada karyawan seuai deng ketentuan,
Penerimaan pegawai, teliti apakah penerimaan pegawai baik tetap atau tidak tetap sudah
dilaksanakan dengan standar minimal, apabila ada pegawai kontrak , apakah jangka waktunya telah
habis,
Prosedur audit peralatan kerja,teliti danftar inventarisasi barang barang telah disusun dan di
bandingkan dengan catatan dalam buku pembantu, serta melihat bentuk fisiknya,membandingkan
biaya kantor menurut anggaran dan realisasinya secara periodik,
Audit Prosedur bidang sekretariat
Surat masuk,apakah sudah masuk dalam satu pintu, dan dibukukan,surat masuk sudah di jawab dan
di selesaikan oleh bagian yanng menangani,
Surat keluar , apakah penomoran, penandatanganan surat keluar telah sesuai deng ketentuan yang di
tentukan,
Wasalumalikum wrwb
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt.
Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang
hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk
menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan
hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang
sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang
utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari
keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan,
seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini
menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril —yang menyamar sebagai
seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda
kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.”
Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk
berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)
Pengertian Ihsan
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk
masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai
hal ini.
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. AlQashash: 77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.
Landasan Syar’i Ihsan
Pertama, Al-Qur`anul Karim
Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita
dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi
yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)
“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)
“Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS.
An-Nisaa`: 36)
Kedua, As-Sunnah
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan
puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan
tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw.
menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana
jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakanakan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan
pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu
menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)
Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan
akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.
1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti
shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun,
sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali
jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia
merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan
bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah
tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang
diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain
jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya
seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang
mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw.
menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin
mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya
Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada
setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah,
kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang
tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus, derajat tertinggi di dalam surga.
Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat
tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya
jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2.
Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.
Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama, Tingkat Takwa
Tingkat takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori
al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh
larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sanksi dan
melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan
seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Namun, ada satu hal yang harus kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha Mengetahui
keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu
seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu
dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt. akan mengampuni hamba-Nya
yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang
hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini
membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling
rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah swt.
Kedua, Tingkat al-Bir
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalanamalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai
dan diridhai oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau
yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal
yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan
ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus
terdapat janji pahala di dalamnya.
Akantetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir,
kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal
pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak
mengimani unsur-unsur kaidah iman dalam Islam, serta tidak terhindar dari siksaan neraka, maka ia
tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam kitab-Nya,
“Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu
adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar
kalian beruntung.” (QS. l-Baqarah: 189)
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu:
Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami
dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang banyak berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 193)
Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orangorang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna —seperti yang telah kita sebutkan
sebelumnya– maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat
beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan
amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu
yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan
wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha
Allah swt.
2. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi
sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun
dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakanakan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan
membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah
mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua
Allah swt. menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.”
(QS. Al-Israa’: 23-24)
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah
kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda,
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan
orang tua.”
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai
dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka
bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan
Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak di
muka bumi. Allah berfirman, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama
terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan
silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan
Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang
menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan
Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmudzi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali
silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan
orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk
jari tengahnya).”
Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa —dari Kaum Muslimin— yang
memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya
ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat
rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan,
pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua
masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja,
tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim; sedang
tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan
sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman,
demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang
pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya
Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga
hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya
pelayanan.
Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan
berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam
tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah
ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan
untuk salah seorang di antara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah
merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan
bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua suapan.”
(HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum
keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya,
menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka
hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah swt. menutupnya firman-Nya yang
berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari
nikmat.” (QS. Al-Hajj: 38)
Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan.
Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat
yang sangat dibenci oleh Allah swt.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata
yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam
pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan
jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu
mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.
Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika
ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan
mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan
menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw., yaitu Hamzah. Mereka
mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya. Kemudian seorang sahabat
meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akantetapi, Rasulullah malah
berkata, “Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku
sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai Umar tertidur. Karena sangat
mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan
mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak
menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia
biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini
kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku.”
3. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan
mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi
harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah
puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal
ibadahnya– maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah
hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Kesimpulannya, ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu,
semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang
dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak
ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi
dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah swt. mengambil ruh ini
dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Redaktur:
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/06/385/ihsan/#ixzz3rAiV4K4U
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook
Two Boadr Sistem adalah stuktur yang berlaku di Indonesia adalah RUPS- Komisaris dan Direksi,
untuk posisi SPI sendiri bertanggung jawab langsung kepada direksi, adapun untuk tindak lanjut dari
laporan SPI bisa di tinjau langsung idealnya oleh Komite Audit, apakah pekerjaan SPI sudah bagus
atau di tindak lanjuti oleh direksi atau tidak, adapun apabila laporan dari SPI belum di tindak lanjut
oleh manajemen maka disini komite audit harus mencari penyebab nya apa, pengendalianya apa,
sehingga harus ada tindak lanjut dengan melakukat spesial audit.
Internal Audit
Definisi Internal Audit adalah aktivitas independen,onyektif dan konsultaif yang di disain untuk
memberikan nilai tambah dalam penyempurnaan proses operasi organisai.
Membantu organisai dalam mencapai tujuanya dengan menerapkan suat pendekatan sisematis dan
ketat untuk mengevaluasi dan meningkatkan aktivitas manajemen resik, pengendalian dan proses
pengeloalaan perusahans sesuai prinsip GCG
Kriteria
seorang audit itu harus sehat kuat, punya indepedensi dan bermoral tinggi , minimal sarjana
akuntansi dan berpengalaman di Kap,
Area yang mempunyai Resiko Tinggi adalah
Kas,penjualan/piutang, penerimaan kas, pembelian/hutang/pengeluaran kas,payroll/penggajian,
inventory,
Misi internal audit
adalah memberikan informasi yang di perlukan manajer dalam menjalankan tanggung jawab secara
efektif,memastikan bahwa tujuan sistem operasi akan tercapai , dalam meningkatkan kemungkinan
tercapainya tujuan manajemen
Perbedaan audit interna dan audit eksternal, audit intern biasanya diabil dari karyawan, melayani
kebutuhan organisasi , meskipun fungsinya harus dikelola oleh perusahaan, fokus ada kejadian
dimasa yang akan datang dengan mengevaluasi kontrol yang dirancang untuk meyakinkan tujuan
pencapaian tuuan perusahaan atau organisai sedangkan auditor eksternal merupakan orang
independe di luar perusahaan, melayani pihak ketiga yang memerlukan informasi keuangan yang
dapat di andalkan,fokus pada ketetapan dan kemudahan pemahaman dari kejadian masa lalu yang
di nyatakan dalam laporan keuangan.
Pemeriksaan
Rencana auidit harus mencakup evaluasi efektivitas sistem control yaitu
Apakah di temukan ada nya kelemahan atau ketidakkonsistenan
Jika ada apakah telah dilakukan koreksi atau perbaikan.
Audit Interen atas aktiva salahsatunya untuk memeriksa apakah saldo kas dan setara dengan kas
yang ada di dalam neraca benar benar ada dan dimiliki oleh bank, memeriksa apakah aset etap yang
tercantum dalam neraca benar benar ada,masih digunakan dan dimiliki oleh bank, memeriksa
penyajian laporan keuangannya, apakah seusai prinsip akuntansi yang berlaku di indonesia.
Audit Intern atas pasiva salahsatunya adalah apakah kewajiban bank seperti kewajiban membayar
pajak sudah di bayarkan sesuai ketentuan,
Audit untuk Biaya salahsatunya apakah pengeluaran biaya biaya sesuai dengan bukti yang ada,trus
apakan sudah di buat/dibukukan sesuai dengan SAK.
Audit kredit adalah pemeriksaan terhadap kredit yang berari auditor intern melakukan pemeriksaan
apakah kredit yang telah di berikan oleh bank sudah sesuai deng prosedur yang berlaku dan apakah
kredit telah di terima oleh debitur/nasabah serta memastikan keberadaan jaminan yang diagunkan.
Audit di bidang Personil
Displin kerja apakah prosedur pengisian daftar hadir, penyelenggaraan daftar hadir telah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku,contohnya apakah ada karyawan yang sering
datang terlambat atau tidak hadir tanpa alasan yang wajar,bila ada apakah telah di tindak sesuai
ketentuan yang ada.
Kerja lembur apakah pelaksanaan dan pembayaran kerja lembur telah dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku,contoh surat perintah kerja sudah di ttd oleh pejabat atai direksi,apakah jam
kerja , teliiti kebenaran perkalian jam kerja lembur dengan tarif uang kerja perjam yang berlaku.
Administrasi personil, teliti apakah map-map personil telah di peliraha dengan baik, menelliti
kewajaran pembayaran untuk pegawai tetap,tidak tetap, meneliti apakah pph pegawai sudah
dilaksanakan dan di setorkan ke kantor pajak,meneliti pesmbiayaan pejalanan dinas dengan bukti,
pijaman pada karyawan seuai deng ketentuan,
Penerimaan pegawai, teliti apakah penerimaan pegawai baik tetap atau tidak tetap sudah
dilaksanakan dengan standar minimal, apabila ada pegawai kontrak , apakah jangka waktunya telah
habis,
Prosedur audit peralatan kerja,teliti danftar inventarisasi barang barang telah disusun dan di
bandingkan dengan catatan dalam buku pembantu, serta melihat bentuk fisiknya,membandingkan
biaya kantor menurut anggaran dan realisasinya secara periodik,
Audit Prosedur bidang sekretariat
Surat masuk,apakah sudah masuk dalam satu pintu, dan dibukukan,surat masuk sudah di jawab dan
di selesaikan oleh bagian yanng menangani,
Surat keluar , apakah penomoran, penandatanganan surat keluar telah sesuai deng ketentuan yang di
tentukan,
Wasalumalikum wrwb
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah swt.
Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang
hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk
menduduki posisi terhormat di mata Allah swt. Rasulullah saw. pun sangat menaruh perhatian akan
hal ini, sehingga seluruh ajaran-ajarannya mengarah kepada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang
sempurna dan akhlak yang mulia.
Oleh karenanya, seorang muslim hendaknya tidak memandang ihsan itu hanya sebatas akhlak yang
utama saja, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari akidah dan bagian terbesar dari
keislamannya. Karena, Islam dibangun di atas tiga landasan utama, yaitu iman, Islam, dan ihsan,
seperti yang telah diterangkan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya yang shahih. Hadist ini
menceritakan saat Raulullah saw. menjawab pertanyaan Malaikat Jibril —yang menyamar sebagai
seorang manusia— mengenai Islam, iman, dan ihsan. Setelah Jibril pergi, Rasulullah saw. bersabda
kepada para sahabatnya, “Inilah Jibril yang datang mengajarkan kepada kalian urusan agama kalian.”
Beliau menyebut ketiga hal di atas sebagai agama, dan bahkan Allah swt. memerintahkan untuk
berbuat ihsan pada banyak tempat dalam Al-Qur`an.
“Dan berbuat baiklah kalian, karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS. An-Nahl: 90)
Pengertian Ihsan
Ihsan berasal dari kata hasana yuhsinu, yang artinya adalah berbuat baik, sedangkan bentuk
masdarnya adalah ihsanan, yang artinya kebaikan. Allah swt. berfirman dalam Al-Qur`an mengenai
hal ini.
“Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri…” (Al-Isra’: 7)
“Dan berbuat baiklah (kepada oraang lain) seperti halnya Allah berbuat baik terhadapmu….” (QS. AlQashash: 77)
Ibnu Katsir mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa kebaikan yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah kebaikan kepada seluruh makhluk Allah swt.
Landasan Syar’i Ihsan
Pertama, Al-Qur`anul Karim
Dalam Al-Qur`an, terdapat 166 ayat yang berbicara tentang ihsan dan implementasinya. Dari sini kita
dapat menarik satu makna, betapa mulia dan agungnya perilaku dan sifat ini, hingga mendapat porsi
yang sangat istimewa dalam Al-Qur`an. Berikut ini beberapa ayat yang menjadi landasan akan hal ini.
“Dan berbuat baiklah kalian karena sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
(QS. Al-Baqarah: 195)
“Sesungguhnya Allah memerintahkanmu untuk berbuat adil dan kebaikan….” (QS An-Nahl: 90)
“… serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia….” (QS. Al-Baqarah: 83)
“Dan berbuat baiklah terhadap dua orang ibu bapak, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan para hamba sahayamu….” (QS.
An-Nisaa`: 36)
Kedua, As-Sunnah
Rasulullah saw. pun sangat memberi perhatian terhadap masalah ihsan ini. Sebab, ia merupakan
puncak harapan dan perjuangan seorang hamba. Bahkan, di antara hadist-hadist mengenai ihsan
tersebut, ada beberapa yang menjadi landasan utama dalam memahami agama ini. Rasulullah saw.
menerangkan mengenai ihsan —ketika ia menjawab pertanyaan Malaikat Jibril tentang ihsan dimana
jawaban tersebut dibenarkan oleh Jibril, dengan mengatakan, “Engkau menyembah Allah seakanakan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu.” (HR. Muslim)
Di kesempatan yang lain, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kebaikan
pada segala sesuatu, maka jika kamu membunuh, bunuhlah dengan baik, dan jika kamu
menyembelih, sembelihlah dengan baik.” (HR. Muslim)
Tiga Aspek Pokok dalam Ihsan
Ihsan meliputi tiga aspek yang fundamental. Ketiga hal tersebut adalah ibadah, muamalah, dan
akhlak. Ketiga hal inilah yang menjadi pokok bahasan kita kali ini.
1. Ibadah
Kita berkewajiban ihsan dalam beribadah, yaitu dengan menunaikan semua jenis ibadah, seperti
shalat, puasa, haji, dan sebagainya dengan cara yang benar, yaitu menyempurnakan syarat, rukun,
sunnah, dan adab-adabnya. Hal ini tidak akan mungkin dapat ditunaikan oleh seorang hamba, kecuali
jika saat pelaksanaan ibadah-ibadah tersebut ia dipenuhi dengan cita rasa yang sangat kuat
(menikmatinya), juga dengan kesadaran penuh bahwa Allah senantiasa memantaunya hingga ia
merasa bahwa ia sedang dilihat dan diperhatikan oleh-Nya. Minimal seorang hamba merasakan
bahwa Allah senantiasa memantaunya, karena dengan inilah ia dapat menunaikan ibadah-ibadah
tersebut dengan baik dan sempurna, sehingga hasil dari ibadah tersebut akan seperti yang
diharapkan. Inilah maksud dari perkataan Rasulullah saw yang berbunyi, “Hendaklah kamu
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tak dapat melihat-Nya, maka
sesungguhnya Dia melihatmu.”
Kini jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya arti dari ibadah itu sendiri sangatlah luas. Maka, selain
jenis ibadah yang kita sebutkan tadi, yang tidak kalah pentingnya adalah juga jenis ibadah lainnya
seperti jihad, hormat terhadap mukmin, mendidik anak, menyenangkan isteri, meniatkan setiap yang
mubah untuk mendapat ridha Allah, dan masih banyak lagi. Oleh karena itulah, Rasulullah saw.
menghendaki umatnya senantiasa dalam keadaan seperti itu, yaitu senantiasa sadar jika ia ingin
mewujudkan ihsan dalam ibadahnya.
Tingkatan Ibadah dan Derajatnya
Berdasarkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah, maka ibadah mempunyai tiga tingkatan, yang pada
setiap tingkatan derajatnya masing-masing seorang hamba tidak dapat mengukurnya. Karena itulah,
kita berlomba untuk meraihnya. Pada setiap derajat, ada tingkatan tersendiri dalam surga. Yang
tertinggi adalah derajat muhsinin, ia menempati Jannatul Firdaus, derajat tertinggi di dalam surga.
Kelak, para penghuni surga tingkat bawah akan saling memandang dengan penghuni surga tingkat
tertinggi, laksana penduduk bumi memandang bintang-bintang di langit yang menandakan jauhnya
jarak antara mereka.
Adapun tiga tingkatan tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Tingkat at-Takwa, yaitu tingkatan paling bawah dengan derajat yang berbeda-beda.
2.
Tingkat al-Bir, yaitu tingkatan menengah dengan derajat yang berbeda-beda.
3.
Tingkat al-Ihsan, yaitu tingkatan tertinggi dengan derajat yang berbeda-beda pula.
Pertama, Tingkat Takwa
Tingkat takwa adalah tingkatan dimana seluruh derajatnya dihuni oleh mereka yang masuk kategori
al-Muttaqun, sesuai dengan derajat ketakwaan masing-masing.
Takwa akan menjadi sempurna dengan menunaikan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh
larangan-Nya. Hal ini berarti meninggalkan salah satu perintah Allah dapat mengakibatkan sanksi dan
melakukan salah satu larangannya adalah dosa. Dengan demikian, puncak takwa adalah melakukan
seluruh perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya.
Namun, ada satu hal yang harus kita pahami dengan baik, yaitu bahwa Allah swt. Maha Mengetahui
keadaan hamba-hamba-Nya yang memiliki berbagai kelemahan, yang dengan kelemahannya itu
seorang hamba melakukan dosa. Oleh karena itu, Allah membuat satu cara penghapusan dosa, yaitu
dengan cara tobat dan pengampunan. Melalui hal tersebut, Allah swt. akan mengampuni hamba-Nya
yang berdosa karena kelalaiannya dari menunaikan hak-hak takwa. Sementara itu, ketika seorang
hamba naik pada peringkat puncak takwa, boleh jadi ia akan naik pada peringkat bir atau ihsan.
Peringkat ini disebut martabat takwa, karena amalan-amalan yang ada pada derajat ini
membebaskannya dari siksaan atas kesalahan yang dilakukannya. Adapun derajat yang paling
rendah dari peringkat ini adalah derajat dimana seseorang menjaga dirinya dari kekalnya dalam
neraka, yaitu dengan iman yang benar yang diterima oleh Allah swt.
Kedua, Tingkat al-Bir
Peringkat ini akan dihuni oleh mereka yang masuk kategori al-Abrar. Hal ini sesuai dengan amalanamalan kebaikan yang mereka lakukan dari ibadah-ibadah sunnah serta segala sesuatu yang dicintai
dan diridhai oleh Allah swt. hal ini dilakukan setelah mereka menunaikan segala yang wajib, atau
yang ada pada peringkat sebelumnya, yaitu peringkat takwa.
Peringkat ini disebut martabat al-Bir (kebaikan), karena derajat ini merupakan perluasan pada hal-hal
yang sifatnya sunnah, sesuatu sifatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan
merupakan tambahan dari batasan-batasan yang wajib serta yang diharamkan-Nya. Amalan-amalan
ini tidak diwajibkan Allah kepada hamba-hamba-Nya, tetapi perintah itu bersifat anjuran, sekaligus
terdapat janji pahala di dalamnya.
Akantetapi, mereka yang melakukan amalan tambahan ini tidak akan masuk kedalam kelompok al-bir,
kecuali telah menunaikan peringkat yang pertama, yaitu peringkat takwa. Karena, melakukan hal
pertama merupakan syarat mutlak untuk naik pada peringkat selanjutnya.
Dengan demikian, barangsiapa yang mengklaim dirinya telah melakukan kebaikan sedang dia tidak
mengimani unsur-unsur kaidah iman dalam Islam, serta tidak terhindar dari siksaan neraka, maka ia
tidak dapat masuk dalam peringkat ini (al-bir). Mengenai hal ini, Allah swt. berfirman dalam kitab-Nya,
“Bukanlah kebaikan dengan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebaikan itu
adalah takwa, dan datangilah rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah kepada Allah agar
kalian beruntung.” (QS. l-Baqarah: 189)
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar seruan orang yang menyeru kepada iman, yaitu:
Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami ampunilah bagi kami
dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama
orang-orang yang banyak berbuat baik.” (QS. Ali ‘Imran: 193)
Ketiga, Tingkatan Ihsan
Tingkatan ini akan dicapai oleh mereka yang masuk dalam kategori Muhsinun. Mereka adalah orangorang yang telah melalui peringkat pertama dan yang kedua (peringkat takwa dan al-bir).
Ketika kita mencermati pengertian ihsan dengan sempurna —seperti yang telah kita sebutkan
sebelumnya– maka kita akan mendapatkan suatu kesimpulan bahwa ihsan memiliki dua sisi:
Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat
beramal. Ini adalah ihsan dalam tata cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan
amalan-amalan sunnah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu
yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Untuk dapat naik ke martabat ihsan dalam segala amal, hanya bisa dicapai melalui amalan-amalan
wajib dan amalan-amalan sunnah yang dicintai oleh Allah, serta dilakukan atas dasar mencari ridha
Allah swt.
2. Muamalah
Dalam bab muamalah, ihsan dijelaskan Allah swt. pada surah An-Nisaa’ ayat 36, yang berbunyi
sebagai berikut, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun
dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat maupun yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu.”
Kita sebelumnya telah membahas bahwa ihsan adalah beribadah kepada Allah dengan sikap seakanakan kita melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka Allah melihat kita. Kini, kita akan
membahas ihsan dari muamalah dan siapa saja yang masuk dalam bahasannya. Berikut ini adalah
mereka yang berhak mendapatkan ihsan tersebut:
Pertama, Ihsan kepada kedua orang tua
Allah swt. menjelaskan hal ini dalam kitab-Nya, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu
tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaikbaiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berumr lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua mendidik aku diwaktu kecil.”
(QS. Al-Israa’: 23-24)
Ayat di atas mengatakan kepada kita bahwa ihsan kepada ibu-bapak adalah sejajar dengan ibadah
kepada Allah.
Dalam sebuah hadist riwayat Turmuzdi, dari Ibnu Amru bin Ash, Rasulullah saw. bersabda,
“Keridhaan Allah berada pada keridhaan orang tua, dan kemurkaan Allah berada pada kemurkaan
orang tua.”
Dalil di atas menjelaskan bahwa ibadah kita kepada Allah tidak akan diterima, jika tidak disertai
dengan berbuat baik kepada kedua orang tua. Apabila kita tidak memiliki kebaikan ini, maka
bersamaan dengannya akan hilang ketakwaan, keimanan, dan keislaman.
Kedua, Ihsan kepada kerabat karib
Ihsan kepada kerabat adalah dengan jalan membangun hubungan yang baik dengan mereka, bahkan
Allah swt. menyamakan seseorang yang memutuskan hubungan silatuhrahmi dengan perusak di
muka bumi. Allah berfirman, “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat
kerusakan dimuka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (QS. Muhammad: 22)
Silaturahmi adalah kunci untuk mendapatkan keridhaan Allah. Hal ini dikarenakan sebab paling utama
terputusnya hubungan seorang hamba dengan Tuhannya adalah karena terputusnya hubungan
silaturahmi. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Allah, Aku adalah Rahman, dan
Aku telah menciptakan rahim yang Kuberi nama bagian dari nama-Ku. Maka, barangsiapa yang
menyambungnya, akan Ku sambungkan pula baginya dan barangsiapa yang memutuskannya, akan
Ku putuskan hubunganku dengannya.” (HR. Turmudzi)
Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Tidak akan masuk surga, orang yang memutuskan tali
silaturahmi.” (HR. Syaikahni dan Abu Dawud)
Ketiga, Ihsan kepada anak yatim dan fakir miskin
Diriwayatkan oleh Bukhari, Abu Dawud, dan Turmuzdi, bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Aku dan
orang yang memelihara anak yatim di surga kelak akan seperti ini…(seraya menunjukkan jari telunjuk
jari tengahnya).”
Diriwayatkan oleh Turmudzi, Nabi saw. bersabda, “Barangsiapa —dari Kaum Muslimin— yang
memelihara anak yatim dengan memberi makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya
ke dalam surga selamanya, selama ia tidak melakukan dosa yang tidak terampuni.”
Keempat, Ihsan kepada tetangga dekat, tetangga jauh, serta teman sejawat
Ihsan kepada tetangga dekat meliputi tetangga dekat dari kerabat atau tetangga yang berada di dekat
rumah, serta tetangga jauh, baik jauh karena nasab maupun yang berada jauh dari rumah.
Adapun yang dimaksud teman sejawat adalah yang berkumpul dengan kita atas dasar pekerjaan,
pertemanan, teman sekolah atau kampus, perjalanan, ma’had, dan sebagainya. Mereka semua
masuk ke dalam katagori tetangga. Seorang tetangga kafir mempunyai hak sebagai tetangga saja,
tetapi tetangga muslim mempunyai dua hak, yaitu sebagai tetangga dan sebagai muslim; sedang
tetangga muslim dan kerabat mempunyai tiga hak, yaitu sebagai tetangga, sebagai muslim dan
sebagai kerabat. Rasulullah saw. menjelaskan hal ini dalam sabdanya, “Demi Allah, tidak beriman,
demi Allah, tidak beriman.” Para sahabat bertanya, “Siapakah yang tidak beriman, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Seseorang yang tidak aman tetangganya dari gangguannya.” (HR. Syaikhani)
Pada hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Tidak beriman kepadaku barangsiapa yang kenyang
pada suatu malam, sedangkan tetangganya kelaparan, padahal ia megetahuinya.”(HR. Ath-Thabrani)
Kelima, Ihsan kepada ibnu sabil dan hamba sahaya
Rasulullah saw. bersabda mengenai hal ini, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir,
hendaklah memuliakan tamunya.” (HR. Jama’ah, kecuali Nasa’i)
Selain itu, ihsan terhadap ibnu sabil adalah dengan cara memenuhi kebutuhannya, menjaga
hartanya, memelihara kehormatannya, menunjukinya jalan jika ia meminta, dan memberinya
pelayanan.
Pada riwayat yang lain, dikatakan bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dan
berkata, “Ya, Rasulullah, berapa kali saya harus memaafkan hamba sahayaku?” Rasulullah diam
tidak menjawab. Orang itu berkata lagi, “Berapa kali ya, Rasulullah?” Rasul menjawab, “Maafkanlah
ia tujuh puluh kali dalam sehari.” (HR. Abu Daud dan at-Turmuzdi)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw bersabda, “Jika seorang hamba sahaya membuat makanan
untuk salah seorang di antara kamu, kemudian ia datang membawa makanan itu dan telah
merasakan panas dan asapnya, maka hendaklah kamu mempersilakannya duduk dan makan
bersamamu. Jika ia hanya makan sedikit, maka hendaklah kamu memberinya satu atau dua suapan.”
(HR. Bukhari, Turmuzdi, dan Abi Daud)
Adapun muamalah terhadap pembantu atau karyawan dilakukan dengan membayar gajinya sebelum
keringatnya kering, tidak membebaninya dengan sesuatu yang ia tidak sanggup melakukannya,
menjaga kehormatannya, dan menghargai pribadinya. Jika ia pembantu rumah tangga, maka
hendaklah ia diberi makan dari apa yang kita makan, dan diberi pakaian dari apa yang kita pakai.
Pada akhir pembahasan mengenai bab muamalah ini, Allah swt. menutupnya firman-Nya yang
berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari
nikmat.” (QS. Al-Hajj: 38)
Ayat di atas merupakan isyarat yang sangat jelas kepada siapa saja yang tidak berlaku ihsan.
Bahkan, hal itu adalah pertanda bahwa dalam dirinya ada kecongkakan dan kesombongan, dua sifat
yang sangat dibenci oleh Allah swt.
Keenam, Ihsan dengan perlakuan dan ucapan yang baik kepada manusia
Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hendaklah ia berkata
yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Masih riwayat dari Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda, “Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Bagi manusia secara umum, hendaklah kita melembutkan ucapan, saling menghargai dalam
pergaulan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegahnya dari kemungkaran, menunjukinya jalan
jika ia tersesat, mengajari mereka yang bodoh, mengakui hak-hak mereka, dan tidak mengganggu
mereka dengan tidak melakukan hal-hal dapat mengusik serta melukai mereka.
Ketujuh, Ihsan dengan berlaku baik kepada binatang
Berbuat ihsan terhadap binatang adalah dengan memberinya makan jika ia lapar, mengobatinya jika
ia sakit, tidak membebaninya diluar kemampuannya, tidak menyiksanya jika ia bekerja, dan
mengistirahatkannya jika ia lelah. Bahkan, pada saat menyembelih, hendaklah dengan
menyembelihnya dengan cara yang baik, tidak menyiksanya, serta menggunakan pisau yang tajam.
Inilah sisi-sisi ihsan yang datang dari nash Al-Quran dan Sunnah Rasulullah saw.
Beberapa contoh ihsan dalam hal muamalah
Pada Perang Uhud, orang-orang Quraisy membunuh paman Rasulullah saw., yaitu Hamzah. Mereka
mencincang tubuhnya, membelah dadanya, serta memecahkan giginya. Kemudian seorang sahabat
meminta Rasulullah saw. berdoa agar mereka diazab oleh Allah. Akantetapi, Rasulullah malah
berkata, “Ya Allah, ampunilah mereka, karena mereka adalah kaum yang bodoh.”
Suatu hari, Umar bin Abdul Aziz berkata kepada hamba sahaya perempuannya, “Kipasilah aku
sampai aku tertidur.” Lalu, hambanya pun mengipasinya sampai Umar tertidur. Karena sangat
mengantuk, sang hamba pun tertidur. Ketika Umar bangun, beliau mengambil kipas tadi dan
mengipasi hamba sahayanya. Ketika hamba sahaya itu terbangun, maka ia pun berteriak
menyaksikan tuannya melakukan hal tersebut. Umar kemudian berkata, “Engkau adalah manusia
biasa seperti diriku dan mendapatkan kebaikan seperti halnya aku, maka aku pun melakukan hal ini
kepadamu, sebagaimana engkau melakukannya padaku.”
3. Akhlak
Ihsan dalam akhlak sesungguhnya merupakan buah dari ibadah dan muamalah. Seseorang akan
mencapai tingkat ihsan dalam akhlaknya apabila ia telah melakukan ibadah seperti yang menjadi
harapan Rasulullah dalam hadits yang telah dikemukakan di awal tulisan ini, yaitu menyembah Allah
seakan-akan melihat-Nya, dan jika kita tidak dapat melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah
senantiasa melihat kita. Jika hal ini telah dicapai oleh seorang hamba, maka sesungguhnya itulah
puncak ihsan dalam ibadah. Pada akhirnya, ia akan berbuah menjadi akhlak atau perilaku, sehingga
mereka yang sampai pada tahap ihsan dalam ibadahnya akan terlihat jelas dalam perilaku dan
karakternya.
Jika kita ingin melihat nilai ihsan pada diri seseorang —yang diperoleh dari hasil maksimal
ibadahnya– maka kita akan menemukannya dalam muamalah kehidupannya. Bagaimana ia
bermuamalah dengan sesama manusia, lingkungannya, pekerjaannya, keluarganya, dan bahkan
terhadap dirinya sendiri. Berdasarkan ini semua, maka Rasulullah saw. mengatakan dalam sebuah
hadits, “Aku diutus hanyalah demi menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Kesimpulannya, ihsan adalah puncak prestasi dalam ibadah, muamalah, dan akhlak. Oleh karena itu,
semua orang yang menyadari akan hal ini tentu akan berusaha dengan seluruh potensi diri yang
dimilikinya agar sampai pada tingkat tersebut. Siapapun kita, apapun profesi kita, di mata Allah tidak
ada yang lebih mulia dari yang lain, kecuali mereka yang telah naik ketingkat ihsan dalam seluruh sisi
dan nilai hidupnya. Semoga kita semua dapat mencapai hal ini, sebelum Allah swt. mengambil ruh ini
dari kita. Wallahu a’lam bish-shawwab. []
Redaktur:
Sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/02/06/385/ihsan/#ixzz3rAiV4K4U
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook