Berita Politik Humaniora Ekonomi Hiburan (1)

Berita Politik Humaniora Ekonomi Hiburan Olahraga Lifestyle Wisata Kesehatan Tekno
Media Muda Green Jakarta Fiksiana Freez
Home
Ekonomi
Bisnis
Artikel

Bisnis

Muhammad Zulfadli
Nothing special

TERVERIFIKASI
Jadikan Teman | Kirim Pesan
0inShare

5 Hal Yang Mesti Dibenahi Menghadapi
AFTA 2015
HL | 29 March 2014 | 21:09

Dibaca: 1134


Komentar: 0

2

http://manajemenproyekindonesia.com/?p=2865
ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang dimulai tahun 2015 merupakan sebuah kesempatan
besar sekaligus tantangan maha berat bagi Indonesia. Posisi Indonesia bisa dikatakan belum
cukup kuat untuk bersaing, sekalipun di tingkat ASEAN.
Statistik tak bisa berbohong. Pada tahun 2012-2013, menurut World Ekonomic Forum (WEF)
tentang Global Competitiveness Index, Indonesia berada di posisi ke 50 dari 144 negara yang
disurvei. Jauh tertinggal dengan negara-negara ASEAN lainnya, Singapura misalnya
menduduki peringkat 2, Malaysia (25), Brunei Darussalam (28), dan Thailand (38).
Rendahya peringkat daya saing Indonesia disebabkan beberapa faktor mendasar, yakni : (1)
masih tingginya angka korupsi, (2) iklim investasi yang tidak stabil akibat rentannya konflik
menjurus kekerasan, (3) penegakan hukum yang lemah, (4) tenaga kerja kurang terampil, dan
(5) tingkat pendidikan yang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia.
Oleh karena itu, mau tidak mau, senang tidak senang, kita akan menghadapi AFTA. Kita
harus menyiapkan diri karena ekonomi ASEAN akan sangat terbuka pada lalu lintas barang
dan jasa di antara negara-negara kawasan. ASEAN akan terkoneksi dengan liberalisasi pasar

yang akan mengubah wajah perekonomian secara cepat. Siapa tak berbenah maka akan
terlindas persaingan.
Setelah mengetahui gambaran persaingan sebenarnya, tak ada jalan paling baik selain
membenahi beberapa faktor penyebab di atas.
1. Korupsi
Berdasarkan catatan Lembaga Transparency Internasional (TI), Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) Indonesia masih rendah. Skor IPK pada tahun 2013 berada di angka 32. Indonesia
terpuruk di posisi 114 dari 177 negara. Sebagai bandingan dengan negara anggota ASEAN,
Singapura dengan IPK tertinggi (86), kemudian Brunei Darussalam (60), Malaysia (50),
Philipina (36), dan Thailand (35). Dengan demikian Indonesia hanya sedikit di atas negara
Vietnam (31), Timor Leste (30), Laos (26), Myanmar (21), dan Kamboja (20).
Data diatas menunjukkan dengan jelas bahwa kualitas penanganan korupsi standarnya
berbeda di setiap negara. Semestinya Indonesia tak perlu malu belajar dari metode dan
tegasnya Singapura dalam memberantas korupsi. Di negeri singa, kejahatan korupsi ditindak

dengan sungguh-sungguh, dan memiliki lembaga anti korupsi yang benar-benar independen.
Bahkan diperkuat dukungan oleh komitmen politik dari pimpinan negara.
Bandingkan dengan Indonesia, meski kita sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), namun KPK tak pernah berhenti diserang untuk dicopoti segala kewenangannya,
terutama dari konsolidasi partai politik, yang kadernya banyak terbukti melakukan korupsi.

2. Iklim Investasi
Iklim investasi di Indonesia tidak berkembang karena kendala birokrasi dan lemahya aspek
yuridis dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaian dengan investasi .
Dalam kendala birokrasi karena tak jelasnya kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah, tumpang tindih. Ini kemudian diperparah keterbatasan jumlah birokrat yang memiliki
kompentensi dan professional dalam pelayanannya. Hal ini karena proses rekrutmen,
terutama di daerah banyak melanggar prinsip-prinsip administrasi publik.
Dalam aspek yuridis formil, Beberapa peraturan yang berkaitan dengan birokrasi dalam
pelayanan investasi perlu diamandemen. Sebut saja Undang-undan Perusahaan Terbatas
(UUPT), Undang-Undang Investasi (UUI), Undang-Undang Pertanahan, Undang-Undang
Pasar Modal (UUPM), Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Undang-undang tersebut diterapkan tidak konsisten, bersifat sentralistik, tumpang tindih
antara satu dengan yang lainnya yang tertera di pasal-pasal yang mengaturnya. Keberadaan
UU tersebut selama ini sangat menghambat reformasi birokrasi, yang memfokuskan pada
perubahan pola pikir dan budaya birokrasi yang sehat. Tidak lagi menerapkan birokrasi
warisan orde baru yang sarat pelanggaran dalam melayani masyarakat.
3. Penegakan Hukum
Praktek mafia peradilan yang selama ini terjadi di dunia peradilan, seperti tertangkapnya para
Hakim, Jaksa ,dan Polisi, menunjukkan bahwa reformasi peradilan harus terus menjadi fokus
Indonesia.

Indonesia mesti mempersiapkan diri dengan baik dan serius dalam rangka menyambut AFTA
2015. Beberapa pilar sistem peradilan yang harus terus direformasi secara serius adalah
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan, dan Kepolisian.
Reformasi peradilan (Judicial Reform) mutlak dilakukan oleh masing-masing negara
ASEAN. Reformasi peradilan sangat penting karena, pertama, pengadilan sangat mendukung
pemerintahan dengan membangun rule of law dan menciptakan lingkungan yang kondusif
untuk pertumbuhan ekonomi. Kedua, pengadilan juga berperan penting dalam membuat
negara sebagai otoritas menjadi accountable terhadap aturan-aturan yang berlaku secara
demokratis dan menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia sebagaimana telah ditetapkan
konstitusi, konvensi dan perundang-undangan.
Hal ini sangat vital karena sangat terkait dengan tuntutan adanya kepastian hukum dalam
kerjasama ekonomi antar negara di ASEAN.
4. Tenaga Kerja Kurang Terampil

Diberlakukannya AFTA pada tahun 2015, artinya tidak ada lagi pasar kerja domestik, tapi
yang ada adalah pasar kerja internasional. Kita harus bersaing dengan tenaga kerja asing
untuk memperebutkan lapangan kerja yang ada di dalam negeri sekali pun.
Sejatinya Indonesia menjadi pasar tenaga kerja potensial melihat jumlah penduduk yang
sangat melimpah. Sayangnya tidak dibarengi dengan keterampilan yang memadai.
Salah satu sebabnya adalah produk pendidikan Indonesia saat ini kurang relevan dengan

kebutuhan pasar kerja di masa depan. Pendidikan Indonesia lebih mengarah kepada
pendidikan akademis daripada pendidikan vokasional yang menghasilkan tenaga kerja
terampil. Kondisi ini kontras dengan negara maju seperti Jepang, Australia, dimana
pendidikan vokasional jauh lebih banyak dibandingkan dengan pendidikan akademik.
Inilah yang mengakibatkan banyak sarjana Perguruan Tinggi (PT) kita tidak menguasai aspek
keahlian yang diharapkan oleh lapangan kerja. Selain itu program keahlian selalu dianggap
program sekunder dari program akademik, sehingga kualitas peserta didik seringkali tidak
memenuhi persyaratan minimal yang diperlukan bagi pendidikan keahliannya.
Agar semakin tak tertindas persaingan, perlu rekonstruksi terhadap dunia pendidikan kita
agar misi mencetak manusia Indonesia yang kompetitif di era globalisasi bisa tercapai.
Pemerintah mesti terus menambah porsi pendidikan kejuruan yang fokus pada pelatihan kerja
atau pengalaman kerja. Pengakuan terhadap lulusan pendidikan kejuruan juga perlu didorong
kepada perusahaan, bahkan pemerintah ketika berlangsung proses rekrutmen tenaga
kerja/PNS. Saat ini proses rekrutmen tenaga kerja masih banyak berdasarkan ijazah yang
dimiliki dan bukan kompetensi.
5. Tingkat Pendidikan Yang Tidak Merata
Hingga kini, dunia pendidikan Indonesia memiliki kendala yang sangat serius pada
keterbatasan akses, jumlah guru yang belum merata, serta kualitas guru itu sendiri yang
masih kurang.
Untuk menghadapi AFTA, pemerintah mesti meningkatkan pemerataan dan kualitas

pendidikan. Akses pendidikan harus dibuka seluas-luasnya untuk seluruh masyarakat.
Pendidikan Indonesia harus bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat, bahkan hingga
tingkat Perguruan Tinggi.
Pemerintah juga mesti mendistribusikan guru-guru kompeten di daerah-daerah supaya
merata. Caranya mungkin bekerja sama dengan pemerintah daerah. Kemudian dalam hal
meningkatkan kualifikasi guru, Kemendikbud mesti terus memberikan fasilitas beasiswa.
Guru yang sesuai dengan kualifikasi saat ini masih belum merata. Banyak sekolah dasar dan
menengah di daerhaa kekurangan tenaga guru. Menurut data Direktorat Pendidikan Dasar dan
Menengah Kemendikbud, jumlahnya diperkirakan 112 ribu guru.
Di Pendidikan Tinggi juga sangat jomplang. Saat ini terdapat 3.500 PT di seluruh Indonesia,
namun lebih separuh berada di pulau Jawa. Di luar pulau Jawa, banyak PT berjalan tidak
sehat. Dalam mengatasi ini, pemerintah mesti melakukan redistribusi pendidikan secepatnya,
sehingga orang-orang tak perlu urbanisasi ke kota besar demi mendaptkan pendidikan yang
layak

****
Dengan strategi yang tepat dan inovatif terhadap 5 hal tersebut di atas, Indonesia sebenarnya
tidak perlu terlalu khawatir tidak mampu bersaing saat pemberlakuan AFTA 2015. Potensi
ekonomi kita sesungguhnya sangat besar jika dibangun dan dikelola berdasarkan kemandirian
ekonomi yang telah ditegaskan pada pasal 33 UUD 1945.


Guru di Era AFTA 2015
0 Komentar | Dibaca 1123 kali

Bendera ASEAN
Sumber gambar : http://phuketnews.phuketindex.com

SUPAJI ALATAS M.Pd @supajialatas
04 May 2014
3
Supaji Alatas M.Pd
Guru SMP N I Tambak–Bawean-Gresik
ASEAN Free Trade Area (AFTA) atau daerah/kawasan bebas perdagangan yang dimulai
tahun 2015 merupakan sebuah kesempatan besar sekaligus tantangan maha berat bagi guru di
Indonesia.Posisi guru Indonesia bisa dikatakan belum cukup kuat untuk bersaing, dengan
negara-negara ditingkat ASEAN.Tujuan dari berlakungaya AFTA (Free Trade Area) pada
tahun 2015 mendatang guna untuk meningkatkan daya saing ASEAN sebagai basis produksi
dan jasa termasuk pendidikan dalam pasar dunia.AFTA (Free Trade Area) sendiri merupakan
persetujauan negara-negara ASEAN meliputi: Brunai, Indonesia, Malaysia, Filipin,
Singapore, dan Thailan, sementara Vietnam bergabung tahun 1995 sedangkan Laos dan

Mynmar tahun 1997, terakhir Kamboja tahun 1999.

Sebagai guru yang ingin maju dan secara profesional tentu akan setuju jika AFTA (Free
Trade Area) diberlakukan di Indonesia, sebab bagaimanpun Indonesia salah satu termasuk
anggota neraga-negara ASEAN, secara ilmiah dan keilmuan menurut penulis bahwa
pemberlakuan AFTA (Free Trade Area) nantinya tentu akan memunculkan kecenderungan
dampak positif dan negatif terutama dalam dunia pendidikan, dampak positf yang ada tentu
memperluas hubungan lembaga pendidikan dengan negara tetangga misal: tukar antarpelajar
itu salah satu wujud dari kerja sama dibidang pendidikan sementara dampak negatif yang
dibawa AFTA (Free Trade Area) 2015 adalah kebebas guru dan dosen luar negeri menyaingi
lapangan pekerjaan di Indonesia karena dengan AFTA (Free Trade Area), sepantasnya jika
tenaga kerja pendidik mendatangkan, dan datang ke Indonesia karena kebebasan perdagangan
dan jasa terutama dalam bidang pendidikan. Apalagi salah satu penyebab adalah produk
pendidikan Indonesia saat ini kurang relevan dengan kebutuhan pasar kerja dimasa depan.
Pendidikan Indonesia lebih mengarah kepada pendidikan akademis daripada pendidikan
vokasional yang menghasilkan tenaga kerja terampil.

Illustrasi tambahan
Bagaiman jika nanti pemberlakuan AFTA (Free Trade Area) 2015 berdampak bagi tenaga
pendidik di Indonesia ? sebelum kita melangka lebih jauh mari kita pelajari apakah

AFTA(Free Trade Area) 2015 sudah diberlakukannya nanti beberapa penerapan kerja sama
dengan dibaringi Kontrak Komersial Internasional (UPICCs) sebagai referensi untuk hukum
kontrak Indonesia yang baru.
Sedangkan lingkup substansi yang akan direformasi terbatas pada prinsip-prinsip umum dan
aturan hukum kontrak internasional dan ketentuan untuk penjualan barang dan jasa (termasuk
pendidikan), sehingga kita sebagai tenaga pendidik tentu akan mewaspadainya apakah
banyak manfaat bagi pendidikan atau banyak membawa kerugian dengan adanya AFTA 2015,
sehingga terobosan urgen yang dilakukan oleh tenaga pendidik sangatlah berat, baik
bagamana kita mewarnai pendidikan kita bersaing dengan negara maju, sementara tenaga
pendidikan kita masih jauh dari harapan negara yang menggunkan sistem pelaku utama
dalam pembelajaran bukan objek tetapi subjek, baik metode alat peraga dan lulusan tenaga
pendidiknya.

Menyikapi sambutan bapak Gubenur kita yang akrap disebut pak de KarWo pada tanggal 25
Januari 2014 di Gedung Palace Surabaya, bahwa persaingan tenaga pendidik di Era AFTA
2015 sungguh menuntut kita selaku tenaga pendidik lebih giat belajar, menambah wawasan
dan komunikasi dengan pihak luar, juga miningkatkan akademis dalam menghadapi
persaingan di Era AFTA 2015 nanti, bagaimana pula yang harus dilakukan oleh pihak
pemerintah dalam menghadapi AFTA 2015tersebut terhadap tenaga pendidik yang ada di
Indonesia, Pemerintah Indonesia mau tidak mau harus melakukan langkah-langkah strategis

agar tidak menjadi negara pemasaran bagi produk luar negeri sedangkan untuk investasi,
negara lain lebih memilih negara yang pelaksanaan usahanya sudah meningkat, pemerintah
harus melakukan langkah strategis yang dapat dilakukan, di antaranya :
1. Sosialisasi besar-besaran yaitu pemerintah berusah mengsosialisasikan dengan
melakukan kegiatan beasiswa pendidikan bagi guru dan siswa serta melakukan
workshop dan kegiatan yang dilakukan diuar aktifitas mengajar.
2. Pihak pemerintah selaku regulator dapat menciptakan kebijakan yang tepat terutama
kebijakan yang meringankan pendidikan terhadap orang tua siswa dalam administrasi
biaya sekolah tingkat atas sampai perguruan tinggi (PT)
3. Pihak swasta, salah satu variabel pemacu perekonomian, Kebijakan dan sanksi
merupakan intervensi pemerintah agar berjalan dengan baik sehingga pendidik
menjadi lebih tenang.#73#