Ringkasan dan Refleksi Atas Karya Driyar
Ringkasan dan Refleksi
Atas Karya Driyarkara Tentang Pancasila Sebelum 1956
Oleh: Augusto Almeida da Silva
A.
Latarbelakang Lahirnya Gagasan Pancasila Driyarkara
Penulisan tentang Pancasila yang diuraikan Driyarkara dimotivasi atau degerakkan
oleh dua forum ilmiah. Yang pertama , Seminar Pancasila yang diselenggarakan di
Yogyakarta pada tanggal 17 Februari 1959. Yang kedua , Simposium “Kebangkitan Angkatan
66” yang diselenggarakan di Aula Universita Indonesia, Jakarta pada tanggal 6 Mai 1966.
Melalui kedua forum tersebut Driyarkara menyajikan tema Pancasila dalam konteks yang
berbeda satu dengan lain.
Forum pertama dapat ditempatkan dalam kerangka sejarah nasional. Pada periode ini,
proses penyusunan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia yang diusahkan oleh Dewan
Kontituante diwarnai dengan diskusi dari setiap peserta. Dewan Konstituante adalah wakil –
wakil rakyat yang berasal dari berbagai partai yang secara garis besar datap dibagikan atas
tiga kelompok, antara lain partai – partai dari golongan nasionalisme; partai – partai yang
berbasis agama; dan partai – partai yang berideologi sekuler. Sementara itu, dalam forum
kedua yang dilaksakan tujuh tahun kemudian, dengan tema “Kebangkitan Angkatan 66”,
Driyarkara menyampaikan gagasannya tentang perlunya “Kembali ke Pancasila”.
Argumentasinya ini menandaikan bahwa keberadaan Pancasila saat itu telah diselewengkan.
Dalam selang waktu di antara kedua forum tersebut, Driyarkara tidak menulis secara
khusus tema tentang Pancasila. Rupaya Driyarkara kurang mendapatkan inspirasi dalam
forum pertama untuk menulis tentang Pancasila. Baru sesudah pembicaraannya dalam forum
yang kedua, Driyarkara mulai menulis sejumlah karangan dengan topik Pancasila yang
dimuat secara serial dalam majalah mingguan Hidup Katolik. Dari sini dapat dianalisa bahwa
proses penulisan Driyarara tentang Pancasila dimulai pada situasi krisis yang sedang
berlangsung di Indonesia (terjadinya peristiwa G30S yang menurut versi pemerinta Orde
Baru digerakkan oleh PKI).1
Peristiwa tersebut, rupaya memotivasi Driyarkara untuk mengadakan penerjihan
ideologi Pancasila, terutama berhadapan dengan ideologi komunis yang dianggap sudah
1
Dewasa ini ada berbagai tafsiran mengenai peristiwa tersebut, akan tetapi bukan temaptnya di sini untuk
mendiskusikannya.
1
merasuki rakyat Indonesia. Gagasan – gagasan Dryarkara yang muncul dalam dua periode
seminar tersebut, juga memiliki warna yang berbeda pula. Bagian pertama, yakni pada tahun
sebelum 1956, Driyarkara menyajikan gagasanya tentang Pancasila dengan menggunakan
metode fenomenalogi dan bertolak dari pemikiran dasar tentang manusia. Dengan cara ini
Driyarkara ingin menampilkan dua topik yang seolah – olah mau dipertentangkan, yakni
Pancasila dan Religi. Namun dengan ulasan yang jeli Driyarkara mampu memperlihatkan
titik – titik temu di antara keduanya. Pada kurun waktu yang kedua ini, Driyarkara
mengutamakan perspektifnya tentang Pancasila yang menurutnya telah diselewengkan oleh
cara berpikir kaum komunis, sebab baginya ideologi komunisme tidak dapat dipertemukan
dengan Pancasila.
***
Dalam banyak telaah filsafatnya tampak bahwa Driyarkara sering menggunakan
perspektif fenomenalogi. Melalui metode ini, Driyarkara menggambarkan bagaimana sila –
sila dalam Pancasila saling terkait satu sama lain. Uraian yang menggunakan metode ini
adalah “Pancasila dan Religi”. Sedangkan uaraian tentang “Kembali ke Pancasila”, Driyarkar
menggunakan metode dialektika. Kedua metode ini merupakan metode yang fundamental
dan pokok dalam penulisan – penulisan Driyarkara tentang Pancasila.
Penulisan tentang Pancasila dalam metode fenomenalogi, Driyakara bertitik tolak
pada rumusan Pancasila yang termuat di dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.
Namun, Driyarkara tidak merunut sila – sila sesuai dengan urutannya, tetapi Driyrkara
berangkat dari sila yang kedua, sila yang berpusat pada perikemanusiaan.
Pancasila dan Religi – demikian menurut Driyarkara – tidak bertentangan, sebaliknya
Pancasila justru merupakan dukungan bagi Religi. Di lain pihak, Driyarkara juga
menjelaskan – makna Pancasila di dalam gagasannya “Kembali ke Pancasila – bahwa
Pancasila sebagai kategori, yakni rangkaian ide – ide dengan tema tertentu yang menjadi
norma dalam kehidupan menegara. Bertolak dari kedudukannya sebagai norma, ide – ide
yang asasi, Pancasila menjadi dasar bagi tindakan manusia. Meskipun demikian, toh masih
ada penyelewengan – penyelewengan dalam menghayati dan melaksanakan norma – norma
yang menjadi asas tindakan. Sementara itu, gagasan tentang “Pancasila dan Pedoman Hidup
Sehari – hari”, Driyarkara ingin mengingatkan bangsa – rakyat – indonesia pada praktek P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang terjadi pada zaman Orde baru. Akan
tetapi, Driyarkara menguraikannya pada level filsafat, bukan praktis.
2
Dalam “Pancasila sebagai Ideologi”, Driyarkara menjelaskan bahwa dalam masing –
masing sila memiliki ideologi yang dapat memberi implikasi etis dan moral dalam hidup
menegara. Di sinilah persis letaknya apa yang dimaksud dengan ideologi, bagaimana ideologi
dapat dilahirkan, dan bagaimana ideologi memberi makna pada tindakan. Akan tetapi sedikit
mengandung kemungkinan atau bahaya penyelewenannya. Sementara itu, dalam “Gambaran
Manusia Pancasila” Driyarkara mengetengahkan manusia sebagai makhluk dinamis yang
selalu membangun relasi dan berinteraksi dengan manusia lain – sesamanya – dalam
masyarakat, dengan alam lingkungannya, dan dengan Sang Ilahi, Penciptanya. Pancasila
memberi implikasi etis dan moral kepada manusia, tatapi juga dalam realitasnya tidak jarang
terjadi hal – hal negatif yang berlawanan dengan Pancasila. Oleh karena itu, manusia perlu
memperbaiki diri setiap kali bersama dan berinteraksi dengan sesama, serta lingkungannya.
Berdasarkan biografi Driyarkara yang ditulis oleh F. Danuwina menjelaskan bahwa
gagasan – gagasan Driyarkara tentang Pancasila merupakan sumbangan tak ternilai harganya
yang belum terselesaikan. Maksudnya bahwa uraian tentang Pancasila sebagai dasar negara
dan hidup berbangsa sebenarnya belum selesai, waktu atau kesempatannya terbatas, masih
banyak hal yang harus dibicarakan, dan lain sebagainya. Di satu sisi Driyarkara ingin
mengajak berbagai pihak untuk terlibat dalam pengembangkan lebih lanjut tentang Pancasila
sesuai dengan situasi zaman yang selalu dinamis, bukan berpuas diri dengan konsep – konsep
ideologi yang sudah mati. Namun di sisi lain, Driyarkara sendiri masih belum sempat
mengembangkan pokok – pokok gagasannya yang telah dikemukakannya.
B.
Pokok Gagasan Driyarkara
1.
Pemikiran Pancasila Sebelum 1965
Dalam seminari forum pertama, para pembicara mengadakan sebuah permenungan
bersama tentang Pancasilas. Bermenung tentang Pancasila bagi mereka bukan berarti mereka
sedang meragukan tentang kedudukan dan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa.
Melainkan mengajak mereka untuk berpikir dan menganalisa lebih lanjut tentang Pancasila
supaya lebih yakin dan lebih mengerti kekayaan isinya; dan karena itu, akan lebih cinta
kepadanya. Sehingga kebenaran tentang Pancasila terus diyakini dan berani mengadakan
konfrontasi dangan keadaan dan kesukaran mana pun juga. Terhadap berbagai macam aliran
dari luar, Pancasila bangsa Indonesia sanggup berdiri tegak dan tetap; terhadap berbagai
macam kesulitan, Pancasila bangsa Indonesia sanggup menjadi prinsip pemecahan dan
memberi inspirasi.
3
Di dalam seminar yang bertemakan “Pencasila dan Religi” problem yang diserahkan
kepada mereka adalah: bagaimanakah hubungan antara Pancasila dan Religi? Pertanyaan ini
merupakan pertanyaan yang praktis, ialah: bagaimanakah dalam prakteknya hubungan antara
Pancasila dan Religi di negara Indonesia? Berdasarkan pada keyakinan akan Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka konsekuensi logisnya ialah bahwa negara Indonesia pun mengakui dan
menghormati Religi. Lalu bagaimanakah pengakuan dan penghormatan yang dihayati dan
dilaksanakan? Cukup jelaskah undang – undang dalam hal ini? Bagaimanakah kebijaksanaan
yang telah dilakukan? Bagaimanakah politik keagamaannya? Demikian pertanyaan yang
praktis tentang hubungan antara Pancasila dan Religi. Namun, menurut mereka bahwa bukan
persoalan ini yang dimaksud untuk dibahas di dalam seminar, melainkan lebih meyelami isi
Pancasila, untuk merumuskan dan menjelaskan doktrinnya dalam segala segi kehidupan.
Presiden Soekarno menyatakan bahwa beliau mendapatkan Pancasila itu dengan
mengali dalam manusia indonesia. Dalam artian bahwa, beliau meneliti sejarah, meneliti
keadaan sosiologis, serta meneliti watak – watak dan psike manusia Indonesia. Namun, bagi
para pembicara dalam seminar, mereka meyakini dan sadar betul bahwa Pancasila tidak
hanya ditemukan dengan dan dalam menggali dalam kehidupan manusia Indonesia pada
konkretnya. Bagi mereka Pancasila adalah inherent (melekat) pada eksistensi manusia
sebagai manusia, lepas dari keadaan tertentu pada konkretnya. Oleh sebab itu, dengan
memandang kodrat manusia sebagai manusia, maka terbukalah jalan untuk menunjuk
hubungan antara Pancasila dan Religi. sebab Religi pun berakar pada kodrat manusia.
Berbicara soal kodrat manusia, sebuah pertanyaan fundamental yang diajukan ialah: apakah
manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas? Pertanyaan itu merupakan
pertanyaan abadi, dan terkandung di dalam hati setiap manusia. Pancasila sebagai dalil – dalil
filsafat sebetulnya merupakan jawaban dari pertanyaan itu.
Yang tampak dari manusia ialah bahwa dia tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa
terpisah dari segala sesuatu, ia bukan nomade atau barang terpisah, tanpa hubungan dengan
apa pun juga, sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Leibniz. Kita tidak mengerti manusia
kecuali sebagai serba – terhubungan – dalam segala – galanya, no man is an island. Salah
satu contoh keterhubungan manusia dengan segala hal ialah kesatuannya dengan alam
jasmani. Maksudnya bahwa manusia dalam memaknai dan melihat dirinya secara utuh itu
tidak bisa tidak membangun suatu kontak atau hubungan dengan alam semesta. Sebab
manusia dalam kesadarannya melihat diri sendiri terhubung dengan alam semesta.
4
Berdasarkan pada fakta tersebut, para pembicara dalam uraian ini ingin mengemukakan
terlebih dahulu hubungan manusia dengan alam jasmani. Hubungan tersebut tidak
mengatakan bahwa hubungan manusia dengan alam semesta itu “lebih” dulu daripada
hubungan manusia dengan sesamanya.
Melalui kerangka berpikir demikian dapat disimpulkan bahwa manusia itu pribadi,
tetapi harus mempribadikan diri. Upaya manusia untuk mempribadikan diri itu tentu tidak
terlepas dengan menjalankan kesatuannya dengan alam jasmani. Kesatuannya (baca: kesatuan
manusia) dengan alam jasmani dalam upaya mempribadikan diri itu disebut sebagai
“membudaya” dan dunia jasmani yang diangkat oleh manusia dalam “membudaya” itu
menjadi satu dengan manusia di dalam “kebudayaan”. Gagasan tersebut berhubungan erat
dengan Pancasila, secara khusus dalam dimensi Demokrasi dan Keadilan Sosial. Sebab
Demokrasi dan Keadilan Sosial adalah cara yang mempribadikan dan memanusiakan diri
bersama, tetapi bukan cara yang kebutulan, melainkan cara yang dituntut oleh kodrat
manusia.
Pengakuan manusia akan eksistensinya di dunia juga merupakan sebuah upaya untuk
mengakui keberadaan alam jasmani. Dalam artian bahwa manusia tidak bisa meng – Aku
kecuali dengan dan dalam mengakui alam jasmani. Bagi manusia yang menghidup berarti
menjasmani, dan manusia itu menjasmani adalah untuk merohani. Sebab eksistensi manusia
adalah pribadi yang rohani. Atau dengan cara yang lain bisa disimpulkan bahwa caranya
manusia berada itu sebagai sebuah dialektis rohanisme.
Pengakuan manusia akan keberadaannya dengan alam jasmani, tidak terlepas dari
pengakuan akan adanya manusia lain. Dalam hal ini bukan berarti manusia lain hanya berada
di samping sesamanya, melainkan sebuah kebersamaan. Satu contoh konkrik tentang
kesatuan dengan manusia lain ialah permainan bulu tangkis. Di situ tidak hanya si A yang
bermain bulu tangkis sendiri, tetapi juga di sampingnya ada si B yang bermain bulu tangkis.
Maksudnya bahwa di dalam realitas “permainan bulu tangkis” itu adalah permainan dari
kedua belah pihak.
Secara umum di dalam structure – nya ada kita itu berupa ada bersama. Ada (sein)
berarti ada bersama (Mit – sein). Maksudnya manusia tidak hanya meng – Aku, tetapi ia juga
meng – Kita. Sebab Aku (Ich) selalu “memuat Engkau (Du). Hanya dengan dan dalam
pertemuan dengan Engkaulah Aku menjadi Aku. Hanya dengan Engkau Aku menyadari
keberadaanku sebagai Aku. Kesadaraan manusia akan keberadaannya sangat dipengaruhi
5
oleh kebersamaannya dengan orang lain. Kesadarannya itu mengadaikan bahwa ia membuka
diri untuk orang lain dan siap sedia untuk memasuki orang lain. Kesadaraan tentang Aku atau
meng – Aku sudah berarti dialog atau percakapan. Demikian structure manusia. Berada
baginya berarti dialog (percakapan) dengan orang lain. Dengan sesamanya manusia itu
menemukan eksistensi ke – Aku – annya. Jadi ia selalu meng – Kita.
Dimensi ada bersama itu seharusnya berarti bersama dengan hormat dan di dalam
cinta kasih. Tentu fakta kebersamaan manusia di tengah masyarakat tidak terlepas dari
adanya kebencian. Akan tetapi sikap itu tidak merobohkan dalil kita. Sebaliknya, sikap itu
memperkuat kebenaran kita. Sebab benci itu adalah peniadaan (negation) dari cinta. Yang
primer dan fundamaental di dalam kehidupan manusia adalah cinta kasih. Misalnya ada
bersama itu menurut kodratnya tidak berupa cinta kasih, melainkan kebencian, maka hal itu
akan berarti bahwa ada itu sama dengan tidak ada. Pengakuan sama dengan penyangkalan.
Salah contoh adalah sistem seperti liberalisme. Sistem tersebut bukankah pada dasarnya
memungkiri bahwa ada itu berupa cinta kasih?
Melihat realitas hidup berbangsa negara ini dapat dikatakan bahwa bukan hanya
liberalisme yang merupakan penyangkalan akan cinta kasih, melainkan juga sistem yang
berkedok Keadilan Sosial dan kemakmuran bersama, menginjak – injak hak- hak asasi
manusia, merampas kemerdekaan, merendahkan manusia menjadi alat produksi belaka.
Sistem itu pun bertentangan dengan hakikat eksistensi manusia yang berupa cinta kasih, dan
bertentangan dengan Pancasila negara Indonesia. Melalui konsep ini para pembicara ingin
memperlihatkan bahwa Pancasila itu timbul atau lahir dari kodrat manusia. Jadi penghayatan
akan Pancasila hendaknya bertitik tolak pada kodrat manusia itu, yakni menjasmani – meng –
Aku – meng – kita. Hal ini dapat dirumuskan dalam satu kata: Perikemanusiaan.
Perikemanusiaan berarti menghormati, menjunjung tinggi sesama manusia, setiap
manusia dan segala yang di dalam diri manusia. Di sinilah letak persisnya hakekat cinta
dalam kehidupan manusia. Sebab, cinta berarti mengakui dan menghormati sesama manusia
sebagai diri sendiri (persona) dan persona tidak boleh dijadikan sebagai objek. Maka konsep
perikemanusiaan lebih berarti menolak perbudakan, pengisapan dan sebagainya, dari sesama
manusia.
Usaha untuk melaksanakan atau mempratekkan dimensi perikemanusiaan itu kita
perlu melihat dimensi Keadilan Sosial. Dimensi ini merupakan cabang yang mewujudkan
sikap perikemanusiaan. Dalam semuanya manusia harus menjalankan hidup (eksistensinya)
6
sebagai ada bersama. Ia harus memanusia bersama; mempribadikan diri bersama, dan
memanusiakan serta mempribadikan orang lain. Oleh karena itu, demi dimensi
perikemanusiaan, manusia tidak boleh bertindak sedemikian rupa sehingga manusia lain
tidak mempunyai perlengkapan dan syarat –syarat hidup yang cukup. Sebab ada bersama
merupakan fundamental dari ada sendiri, serta ungkapan cinta kasih yang mempersatukan.
Berdasarkan pada kodrat manusia yang ada bersama, maka timbullah dimensi
masyarakat atau memasyarakat; dimensi yang juga membentuk sebuah negara. Di sini
dimensi memasyarakat menjadi menegara. Menegara berarti menjalankan sikap cinta kasih.
Akan tetapi di dalam dan melaluinya ada bahaya yang besar, sehingga perlu sebuah prinsip
untuk menghindarinya. Prinsip itu ialah demokrasi. Dengan demokrasi setiap warga akan
memandang sesamanya sebagai persona , dengan semua hak – haknya; hak – hak yang
digunakan untuk menegara bersama. Dengan demikian warga hendaknya menciptakan
kesatuan dan pimpinan yang mengemudikan kehidupan masyarakat.
Menegara pada konkretnya berarti penegaraan dari suatu suku bangsa. Oleh sebab itu
sudah sewajarnya bahwa kebangsaan menjadi prinsip penegaraan. Bangsa itu terbentuk dari
kesatuan kultural, kesatuan ekonomis, kesatuan geografis, dan kesatuan sejarah; menegara
berarti mengembangkan semuanya itu. Upaya pengembangan ini merupakan perwujudan
dari sikap nasionalisme yang mengarah pada mondial (internasionalisme). Ingat bahwa
semuanya itu merupakan pelaksanaan cinta kasih. Singkatnya bahwa ada bersama itu
membuat kita untuk memasyarakat; karena memasyarakat maka lahirlah sebuah bangsa.
Dengan demikian timbullah unsur Kebangsaan yang menjadi dasar untuk menegara atau
hidup bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa keempat sila yang dijelaskan panjang lebar
itu pada dasarnya adalah satu, yaitu cinta kasih.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa ada kita itu berupa cinta kasih, maka yang
menjadi Maha – Cinta – Kasih – ialah Tuhan. Makhluk – demikian menurut Max Scheler –
adalah kristalisasi dari cinta kasih Tuhan. Jadi, ungkapan cinta kasih yang mendasari keempat
sila merupakan pengjelmaan cinta kasih Tuhan. Dengan kata lain bahwa semua sila itu
dijiwai oleh cinta kasih Tuhan.
Sikap memasyarakat, membangsa dan menegara merupakan pelaksaan cinta kasih
yang mengarah pada Tuhan, namun dikonkretisasikan dalam kehidupan kita yang ada
bersama ini. Dalam artian bahwa pelaksanaan Perikemanusiaan, Kebangsaan, Keadilan
Sosial, dan Kerakyatan (Demokrasi) adalah pelaksanaan cinta kasih kita kepada Tuhan di
7
dunia ini. Jadi lima sila itu bisa dirumuskan menjadi dwi sila , yaitu cinta kasih kepada Tuhan
dan kepada manusia, dan dwi sila itu sebetulnya eka sila , sebab cinta kasih kepada manusia
termuat di dalam cinta kasih kepada Tuhan.
***
Setelah melihat bersama hakekat dari setiap sila yang dijelaskan di atas, maka
berikutnya para pembicara pun berusaha untuk menjelaskan hakekat dari Religi dan korelasi
atau relevansinya dengan Pancasila.
Religi – demikian menurut pandapat umum – merupakan istilah yang berhubungan
dengan kata re – liga – re (kata latin) yang berarti mengikat, sehingga religio berarti ikatan,
atu juga pengikatan. Atau dengan kata lain bahwa dalam Religi manusia mengikat diri pada
Tuhan. Akan tetapi ikatan itu tidak membelenggunya dan mengurangi kebahagiaannya;
sebaliknya ikatan itu dialami sebagai sumber kebahagiaan.
Dengan memeluk dan melakukan Religi manusia hendak menyelenggarakan
kepentingan yang memuat seluru dirinya . Dalam Religi manusia membuka seluruh dirinya.
Di situ ada penyerahan total, penyerahan tanpa pengecualian. Gejala yang sedalam itu tidak
bisa tidak berakar dari kodrat manusia itu sendiri. Sebab di situ dicurakan seluruh kodrat
manusia yang berdinamika. Jadi yang dimaksud dengan Religi itu adalah penyerahan diri
kepada Tuhan dalam keyakinan bahwa manusia itu tergantung pada Tuhan. Tuhanlah yang
menjadi sumber keselamatan manusia. Itulah kebahagiaan manusia dan karenanya manusia
menyerahkan dan mencurahkan seluruh dirinya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia dipandang
sebagai filsafat, the way of life – kebenaran hidup. Kebenaran hidup yang mengarahkan
manusia kepada cinta kasih Tuhan. Sebab pada dasarnya Pancasila itu adalah eka sila , yaitu
cinta kasih kepada Tuhan. Di sini tampaklah bahwa Pancasila itu menunjuk manusia sebagai
potensi ke Religi. Dalam artian bahwa negara Pancasila mengakui seluruh hidup manusia itu
merupakan gerak kepada Tuhan. Di sini bukan berarti negara Indonesia adalah negara Agama
– Religi, atau negara Profan, melainkan sebuah negara yang mengakui ketinggian dan
kesucian hidup berbangsa yang didasarkan pada Pancasilla. Maka jelaslah bahwa Pancasila
dan Religi merupakan dua dimensi hidup yang menjadi dasar menegara bagi bangsa
Indonesia.
2.
Refleksi Atas Gagasan Pancasila Driyarkara
8
Setelah membaca dan meneliti serta meringkaskan karya Driyarakara tentang
Pancasila, hemat saya bahwa Driyarkara melihat dan menguraiakn Pancasila dari kacamata
yang berbeda. Dalam seminar itu Driyarkara berangkat dari sila Perikemanusiaan untuk
menguraiakan hakekat Pancasila dan Religi dalam sikap menegara, serta relevansi di antara
keduanya (Pancasila dan Religi). Mengapa harus sila Perikemanusiaan? Alasannya, sila
Perikemanusiaan
menyangkut
segala
aspek
kehidupan
menegara.
Dengan
sila
Perikemanusiaan, negara akan lebih membuka diri baik demi perkembangan nasional atau
internasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh Driyarkara. Dengan sila Perikemanusiaan
maka sila – sila lainnya akan berjalan dengan baik dan terarah, tidak terjadi penyelewengan
di dalam sikap menegara. Dengan sila Perikemanusiaan semua manusia saling menghormati
sebagaimana mestinya. Sebab manusia tidak hanya meng – Aku, tetapi juga meng – kita.
Berdasarkan gagasan tersebut saya merefleksikan bahwa manusia menjadi fondasi
dari kehidupan menegara dari suatu bangsa. Sebab adanya manusia di dalam suatu bangsa
menggambarkan keutuhan dari suatu bangsa. Manusia menjadi titik tolak berdirinya suatu
bangsa. Maka hendaknya manusia dilakukan secara pantas sebagai pribadi yang manusiawi
sekaligus dihormati sebagai pribadi yang spiritual. Diperlakukan secara manusiawi karena ia
memiliki kodrat yang sama dengan manusia yang lainnya, sama – sama pribadi yang
menyumbangkan potensinya dalam hidup menegara. Diperlakukan secara spiritual karena
sama – sama ciptaan Tuhan. Dengan demikian terpenuhilah keotentikan dan kekhasan
Pancasila sebagai wujud cinta kasih Tuhan. Sebab sama – sama menghargai satu sama lain
berkat sila Perikemanusiaan.
Meskipun demikian, hemat saya bahwa gagasan Pancasila dan relevansinya dengan
Religi yang diuraikan Driyarka masih kurang berpengaruh terhadap hidup masyarakat
majemuk ini saat ini. Memang dari sononya Pancasila itu mendukun hidup Religi, akan tetapi
de facto masih ada persoalan yang berbau kriminalis di dalam kehidupan menegara di bangsa
ini. Ada banyak persoalan atau kriminalisasi yang mengatasnamakan agama.2 Sehingga patut
dipertanyakan seberapa besar pengaruh posotif Pancasila terhadap kehidupan Religi di
bangsa ini? Dalam hal ini saya tidak menempatkan diri untuk judge konsep Pancasila yang
sangat membantu keberadaan Religi di bangsa ini, akan tetapi saya hanya ingin mengkritisi
sikap penghayatan dan pengaktualisasian anak – anak bangsa ini tentang hakekat Pancasila
yang sangat menekankan Cinta Kasih yang selalu dan sudah pasti bertitik tolak pada dimensi
2
Yuhki Tajima, Explaining Ethnic Violence in Indonesia: Demilitarizing Domestic Security dalam Journal of
East Asian Studies, Vol. 8, No. 3, SPECIAL ISSUE: Collective Violence in Indonesia (SEPTEMBER–
DECEMBER 2008), (Lynne Rienner Publishers) pp. 451-472
9
Perikemanusiaan! Apakah gagasan – gagasan yang diuraikan panjang lebar di tahun 1956
hanya sebatas sebuah konsep atau idelogi belaka? Ataukah ajakan ia dikehendaki oleh para
pemikir – Driyarkara dkk – sudah ditelang oleh zaman yang berdinamis ini? Marilah kita
renungkan bersama; bertanya diri apa yang telah saya sumbangkan demi perkembangan
bangsa ini dalam menghayati sila perikemanusiaan di dalam Dasar Negara – Pancasila.
Dalam hal anak – anak bangsa juga patut merenungkan dari
10
Atas Karya Driyarkara Tentang Pancasila Sebelum 1956
Oleh: Augusto Almeida da Silva
A.
Latarbelakang Lahirnya Gagasan Pancasila Driyarkara
Penulisan tentang Pancasila yang diuraikan Driyarkara dimotivasi atau degerakkan
oleh dua forum ilmiah. Yang pertama , Seminar Pancasila yang diselenggarakan di
Yogyakarta pada tanggal 17 Februari 1959. Yang kedua , Simposium “Kebangkitan Angkatan
66” yang diselenggarakan di Aula Universita Indonesia, Jakarta pada tanggal 6 Mai 1966.
Melalui kedua forum tersebut Driyarkara menyajikan tema Pancasila dalam konteks yang
berbeda satu dengan lain.
Forum pertama dapat ditempatkan dalam kerangka sejarah nasional. Pada periode ini,
proses penyusunan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia yang diusahkan oleh Dewan
Kontituante diwarnai dengan diskusi dari setiap peserta. Dewan Konstituante adalah wakil –
wakil rakyat yang berasal dari berbagai partai yang secara garis besar datap dibagikan atas
tiga kelompok, antara lain partai – partai dari golongan nasionalisme; partai – partai yang
berbasis agama; dan partai – partai yang berideologi sekuler. Sementara itu, dalam forum
kedua yang dilaksakan tujuh tahun kemudian, dengan tema “Kebangkitan Angkatan 66”,
Driyarkara menyampaikan gagasannya tentang perlunya “Kembali ke Pancasila”.
Argumentasinya ini menandaikan bahwa keberadaan Pancasila saat itu telah diselewengkan.
Dalam selang waktu di antara kedua forum tersebut, Driyarkara tidak menulis secara
khusus tema tentang Pancasila. Rupaya Driyarkara kurang mendapatkan inspirasi dalam
forum pertama untuk menulis tentang Pancasila. Baru sesudah pembicaraannya dalam forum
yang kedua, Driyarkara mulai menulis sejumlah karangan dengan topik Pancasila yang
dimuat secara serial dalam majalah mingguan Hidup Katolik. Dari sini dapat dianalisa bahwa
proses penulisan Driyarara tentang Pancasila dimulai pada situasi krisis yang sedang
berlangsung di Indonesia (terjadinya peristiwa G30S yang menurut versi pemerinta Orde
Baru digerakkan oleh PKI).1
Peristiwa tersebut, rupaya memotivasi Driyarkara untuk mengadakan penerjihan
ideologi Pancasila, terutama berhadapan dengan ideologi komunis yang dianggap sudah
1
Dewasa ini ada berbagai tafsiran mengenai peristiwa tersebut, akan tetapi bukan temaptnya di sini untuk
mendiskusikannya.
1
merasuki rakyat Indonesia. Gagasan – gagasan Dryarkara yang muncul dalam dua periode
seminar tersebut, juga memiliki warna yang berbeda pula. Bagian pertama, yakni pada tahun
sebelum 1956, Driyarkara menyajikan gagasanya tentang Pancasila dengan menggunakan
metode fenomenalogi dan bertolak dari pemikiran dasar tentang manusia. Dengan cara ini
Driyarkara ingin menampilkan dua topik yang seolah – olah mau dipertentangkan, yakni
Pancasila dan Religi. Namun dengan ulasan yang jeli Driyarkara mampu memperlihatkan
titik – titik temu di antara keduanya. Pada kurun waktu yang kedua ini, Driyarkara
mengutamakan perspektifnya tentang Pancasila yang menurutnya telah diselewengkan oleh
cara berpikir kaum komunis, sebab baginya ideologi komunisme tidak dapat dipertemukan
dengan Pancasila.
***
Dalam banyak telaah filsafatnya tampak bahwa Driyarkara sering menggunakan
perspektif fenomenalogi. Melalui metode ini, Driyarkara menggambarkan bagaimana sila –
sila dalam Pancasila saling terkait satu sama lain. Uraian yang menggunakan metode ini
adalah “Pancasila dan Religi”. Sedangkan uaraian tentang “Kembali ke Pancasila”, Driyarkar
menggunakan metode dialektika. Kedua metode ini merupakan metode yang fundamental
dan pokok dalam penulisan – penulisan Driyarkara tentang Pancasila.
Penulisan tentang Pancasila dalam metode fenomenalogi, Driyakara bertitik tolak
pada rumusan Pancasila yang termuat di dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945.
Namun, Driyarkara tidak merunut sila – sila sesuai dengan urutannya, tetapi Driyrkara
berangkat dari sila yang kedua, sila yang berpusat pada perikemanusiaan.
Pancasila dan Religi – demikian menurut Driyarkara – tidak bertentangan, sebaliknya
Pancasila justru merupakan dukungan bagi Religi. Di lain pihak, Driyarkara juga
menjelaskan – makna Pancasila di dalam gagasannya “Kembali ke Pancasila – bahwa
Pancasila sebagai kategori, yakni rangkaian ide – ide dengan tema tertentu yang menjadi
norma dalam kehidupan menegara. Bertolak dari kedudukannya sebagai norma, ide – ide
yang asasi, Pancasila menjadi dasar bagi tindakan manusia. Meskipun demikian, toh masih
ada penyelewengan – penyelewengan dalam menghayati dan melaksanakan norma – norma
yang menjadi asas tindakan. Sementara itu, gagasan tentang “Pancasila dan Pedoman Hidup
Sehari – hari”, Driyarkara ingin mengingatkan bangsa – rakyat – indonesia pada praktek P4
(Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang terjadi pada zaman Orde baru. Akan
tetapi, Driyarkara menguraikannya pada level filsafat, bukan praktis.
2
Dalam “Pancasila sebagai Ideologi”, Driyarkara menjelaskan bahwa dalam masing –
masing sila memiliki ideologi yang dapat memberi implikasi etis dan moral dalam hidup
menegara. Di sinilah persis letaknya apa yang dimaksud dengan ideologi, bagaimana ideologi
dapat dilahirkan, dan bagaimana ideologi memberi makna pada tindakan. Akan tetapi sedikit
mengandung kemungkinan atau bahaya penyelewenannya. Sementara itu, dalam “Gambaran
Manusia Pancasila” Driyarkara mengetengahkan manusia sebagai makhluk dinamis yang
selalu membangun relasi dan berinteraksi dengan manusia lain – sesamanya – dalam
masyarakat, dengan alam lingkungannya, dan dengan Sang Ilahi, Penciptanya. Pancasila
memberi implikasi etis dan moral kepada manusia, tatapi juga dalam realitasnya tidak jarang
terjadi hal – hal negatif yang berlawanan dengan Pancasila. Oleh karena itu, manusia perlu
memperbaiki diri setiap kali bersama dan berinteraksi dengan sesama, serta lingkungannya.
Berdasarkan biografi Driyarkara yang ditulis oleh F. Danuwina menjelaskan bahwa
gagasan – gagasan Driyarkara tentang Pancasila merupakan sumbangan tak ternilai harganya
yang belum terselesaikan. Maksudnya bahwa uraian tentang Pancasila sebagai dasar negara
dan hidup berbangsa sebenarnya belum selesai, waktu atau kesempatannya terbatas, masih
banyak hal yang harus dibicarakan, dan lain sebagainya. Di satu sisi Driyarkara ingin
mengajak berbagai pihak untuk terlibat dalam pengembangkan lebih lanjut tentang Pancasila
sesuai dengan situasi zaman yang selalu dinamis, bukan berpuas diri dengan konsep – konsep
ideologi yang sudah mati. Namun di sisi lain, Driyarkara sendiri masih belum sempat
mengembangkan pokok – pokok gagasannya yang telah dikemukakannya.
B.
Pokok Gagasan Driyarkara
1.
Pemikiran Pancasila Sebelum 1965
Dalam seminari forum pertama, para pembicara mengadakan sebuah permenungan
bersama tentang Pancasilas. Bermenung tentang Pancasila bagi mereka bukan berarti mereka
sedang meragukan tentang kedudukan dan nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa.
Melainkan mengajak mereka untuk berpikir dan menganalisa lebih lanjut tentang Pancasila
supaya lebih yakin dan lebih mengerti kekayaan isinya; dan karena itu, akan lebih cinta
kepadanya. Sehingga kebenaran tentang Pancasila terus diyakini dan berani mengadakan
konfrontasi dangan keadaan dan kesukaran mana pun juga. Terhadap berbagai macam aliran
dari luar, Pancasila bangsa Indonesia sanggup berdiri tegak dan tetap; terhadap berbagai
macam kesulitan, Pancasila bangsa Indonesia sanggup menjadi prinsip pemecahan dan
memberi inspirasi.
3
Di dalam seminar yang bertemakan “Pencasila dan Religi” problem yang diserahkan
kepada mereka adalah: bagaimanakah hubungan antara Pancasila dan Religi? Pertanyaan ini
merupakan pertanyaan yang praktis, ialah: bagaimanakah dalam prakteknya hubungan antara
Pancasila dan Religi di negara Indonesia? Berdasarkan pada keyakinan akan Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka konsekuensi logisnya ialah bahwa negara Indonesia pun mengakui dan
menghormati Religi. Lalu bagaimanakah pengakuan dan penghormatan yang dihayati dan
dilaksanakan? Cukup jelaskah undang – undang dalam hal ini? Bagaimanakah kebijaksanaan
yang telah dilakukan? Bagaimanakah politik keagamaannya? Demikian pertanyaan yang
praktis tentang hubungan antara Pancasila dan Religi. Namun, menurut mereka bahwa bukan
persoalan ini yang dimaksud untuk dibahas di dalam seminar, melainkan lebih meyelami isi
Pancasila, untuk merumuskan dan menjelaskan doktrinnya dalam segala segi kehidupan.
Presiden Soekarno menyatakan bahwa beliau mendapatkan Pancasila itu dengan
mengali dalam manusia indonesia. Dalam artian bahwa, beliau meneliti sejarah, meneliti
keadaan sosiologis, serta meneliti watak – watak dan psike manusia Indonesia. Namun, bagi
para pembicara dalam seminar, mereka meyakini dan sadar betul bahwa Pancasila tidak
hanya ditemukan dengan dan dalam menggali dalam kehidupan manusia Indonesia pada
konkretnya. Bagi mereka Pancasila adalah inherent (melekat) pada eksistensi manusia
sebagai manusia, lepas dari keadaan tertentu pada konkretnya. Oleh sebab itu, dengan
memandang kodrat manusia sebagai manusia, maka terbukalah jalan untuk menunjuk
hubungan antara Pancasila dan Religi. sebab Religi pun berakar pada kodrat manusia.
Berbicara soal kodrat manusia, sebuah pertanyaan fundamental yang diajukan ialah: apakah
manusia itu dan bagaimanakah kedudukannya dalam realitas? Pertanyaan itu merupakan
pertanyaan abadi, dan terkandung di dalam hati setiap manusia. Pancasila sebagai dalil – dalil
filsafat sebetulnya merupakan jawaban dari pertanyaan itu.
Yang tampak dari manusia ialah bahwa dia tidak bisa berdiri sendiri, tidak bisa
terpisah dari segala sesuatu, ia bukan nomade atau barang terpisah, tanpa hubungan dengan
apa pun juga, sebagaimana yang pernah diajarkan oleh Leibniz. Kita tidak mengerti manusia
kecuali sebagai serba – terhubungan – dalam segala – galanya, no man is an island. Salah
satu contoh keterhubungan manusia dengan segala hal ialah kesatuannya dengan alam
jasmani. Maksudnya bahwa manusia dalam memaknai dan melihat dirinya secara utuh itu
tidak bisa tidak membangun suatu kontak atau hubungan dengan alam semesta. Sebab
manusia dalam kesadarannya melihat diri sendiri terhubung dengan alam semesta.
4
Berdasarkan pada fakta tersebut, para pembicara dalam uraian ini ingin mengemukakan
terlebih dahulu hubungan manusia dengan alam jasmani. Hubungan tersebut tidak
mengatakan bahwa hubungan manusia dengan alam semesta itu “lebih” dulu daripada
hubungan manusia dengan sesamanya.
Melalui kerangka berpikir demikian dapat disimpulkan bahwa manusia itu pribadi,
tetapi harus mempribadikan diri. Upaya manusia untuk mempribadikan diri itu tentu tidak
terlepas dengan menjalankan kesatuannya dengan alam jasmani. Kesatuannya (baca: kesatuan
manusia) dengan alam jasmani dalam upaya mempribadikan diri itu disebut sebagai
“membudaya” dan dunia jasmani yang diangkat oleh manusia dalam “membudaya” itu
menjadi satu dengan manusia di dalam “kebudayaan”. Gagasan tersebut berhubungan erat
dengan Pancasila, secara khusus dalam dimensi Demokrasi dan Keadilan Sosial. Sebab
Demokrasi dan Keadilan Sosial adalah cara yang mempribadikan dan memanusiakan diri
bersama, tetapi bukan cara yang kebutulan, melainkan cara yang dituntut oleh kodrat
manusia.
Pengakuan manusia akan eksistensinya di dunia juga merupakan sebuah upaya untuk
mengakui keberadaan alam jasmani. Dalam artian bahwa manusia tidak bisa meng – Aku
kecuali dengan dan dalam mengakui alam jasmani. Bagi manusia yang menghidup berarti
menjasmani, dan manusia itu menjasmani adalah untuk merohani. Sebab eksistensi manusia
adalah pribadi yang rohani. Atau dengan cara yang lain bisa disimpulkan bahwa caranya
manusia berada itu sebagai sebuah dialektis rohanisme.
Pengakuan manusia akan keberadaannya dengan alam jasmani, tidak terlepas dari
pengakuan akan adanya manusia lain. Dalam hal ini bukan berarti manusia lain hanya berada
di samping sesamanya, melainkan sebuah kebersamaan. Satu contoh konkrik tentang
kesatuan dengan manusia lain ialah permainan bulu tangkis. Di situ tidak hanya si A yang
bermain bulu tangkis sendiri, tetapi juga di sampingnya ada si B yang bermain bulu tangkis.
Maksudnya bahwa di dalam realitas “permainan bulu tangkis” itu adalah permainan dari
kedua belah pihak.
Secara umum di dalam structure – nya ada kita itu berupa ada bersama. Ada (sein)
berarti ada bersama (Mit – sein). Maksudnya manusia tidak hanya meng – Aku, tetapi ia juga
meng – Kita. Sebab Aku (Ich) selalu “memuat Engkau (Du). Hanya dengan dan dalam
pertemuan dengan Engkaulah Aku menjadi Aku. Hanya dengan Engkau Aku menyadari
keberadaanku sebagai Aku. Kesadaraan manusia akan keberadaannya sangat dipengaruhi
5
oleh kebersamaannya dengan orang lain. Kesadarannya itu mengadaikan bahwa ia membuka
diri untuk orang lain dan siap sedia untuk memasuki orang lain. Kesadaraan tentang Aku atau
meng – Aku sudah berarti dialog atau percakapan. Demikian structure manusia. Berada
baginya berarti dialog (percakapan) dengan orang lain. Dengan sesamanya manusia itu
menemukan eksistensi ke – Aku – annya. Jadi ia selalu meng – Kita.
Dimensi ada bersama itu seharusnya berarti bersama dengan hormat dan di dalam
cinta kasih. Tentu fakta kebersamaan manusia di tengah masyarakat tidak terlepas dari
adanya kebencian. Akan tetapi sikap itu tidak merobohkan dalil kita. Sebaliknya, sikap itu
memperkuat kebenaran kita. Sebab benci itu adalah peniadaan (negation) dari cinta. Yang
primer dan fundamaental di dalam kehidupan manusia adalah cinta kasih. Misalnya ada
bersama itu menurut kodratnya tidak berupa cinta kasih, melainkan kebencian, maka hal itu
akan berarti bahwa ada itu sama dengan tidak ada. Pengakuan sama dengan penyangkalan.
Salah contoh adalah sistem seperti liberalisme. Sistem tersebut bukankah pada dasarnya
memungkiri bahwa ada itu berupa cinta kasih?
Melihat realitas hidup berbangsa negara ini dapat dikatakan bahwa bukan hanya
liberalisme yang merupakan penyangkalan akan cinta kasih, melainkan juga sistem yang
berkedok Keadilan Sosial dan kemakmuran bersama, menginjak – injak hak- hak asasi
manusia, merampas kemerdekaan, merendahkan manusia menjadi alat produksi belaka.
Sistem itu pun bertentangan dengan hakikat eksistensi manusia yang berupa cinta kasih, dan
bertentangan dengan Pancasila negara Indonesia. Melalui konsep ini para pembicara ingin
memperlihatkan bahwa Pancasila itu timbul atau lahir dari kodrat manusia. Jadi penghayatan
akan Pancasila hendaknya bertitik tolak pada kodrat manusia itu, yakni menjasmani – meng –
Aku – meng – kita. Hal ini dapat dirumuskan dalam satu kata: Perikemanusiaan.
Perikemanusiaan berarti menghormati, menjunjung tinggi sesama manusia, setiap
manusia dan segala yang di dalam diri manusia. Di sinilah letak persisnya hakekat cinta
dalam kehidupan manusia. Sebab, cinta berarti mengakui dan menghormati sesama manusia
sebagai diri sendiri (persona) dan persona tidak boleh dijadikan sebagai objek. Maka konsep
perikemanusiaan lebih berarti menolak perbudakan, pengisapan dan sebagainya, dari sesama
manusia.
Usaha untuk melaksanakan atau mempratekkan dimensi perikemanusiaan itu kita
perlu melihat dimensi Keadilan Sosial. Dimensi ini merupakan cabang yang mewujudkan
sikap perikemanusiaan. Dalam semuanya manusia harus menjalankan hidup (eksistensinya)
6
sebagai ada bersama. Ia harus memanusia bersama; mempribadikan diri bersama, dan
memanusiakan serta mempribadikan orang lain. Oleh karena itu, demi dimensi
perikemanusiaan, manusia tidak boleh bertindak sedemikian rupa sehingga manusia lain
tidak mempunyai perlengkapan dan syarat –syarat hidup yang cukup. Sebab ada bersama
merupakan fundamental dari ada sendiri, serta ungkapan cinta kasih yang mempersatukan.
Berdasarkan pada kodrat manusia yang ada bersama, maka timbullah dimensi
masyarakat atau memasyarakat; dimensi yang juga membentuk sebuah negara. Di sini
dimensi memasyarakat menjadi menegara. Menegara berarti menjalankan sikap cinta kasih.
Akan tetapi di dalam dan melaluinya ada bahaya yang besar, sehingga perlu sebuah prinsip
untuk menghindarinya. Prinsip itu ialah demokrasi. Dengan demokrasi setiap warga akan
memandang sesamanya sebagai persona , dengan semua hak – haknya; hak – hak yang
digunakan untuk menegara bersama. Dengan demikian warga hendaknya menciptakan
kesatuan dan pimpinan yang mengemudikan kehidupan masyarakat.
Menegara pada konkretnya berarti penegaraan dari suatu suku bangsa. Oleh sebab itu
sudah sewajarnya bahwa kebangsaan menjadi prinsip penegaraan. Bangsa itu terbentuk dari
kesatuan kultural, kesatuan ekonomis, kesatuan geografis, dan kesatuan sejarah; menegara
berarti mengembangkan semuanya itu. Upaya pengembangan ini merupakan perwujudan
dari sikap nasionalisme yang mengarah pada mondial (internasionalisme). Ingat bahwa
semuanya itu merupakan pelaksanaan cinta kasih. Singkatnya bahwa ada bersama itu
membuat kita untuk memasyarakat; karena memasyarakat maka lahirlah sebuah bangsa.
Dengan demikian timbullah unsur Kebangsaan yang menjadi dasar untuk menegara atau
hidup bersama. Maka dapat disimpulkan bahwa keempat sila yang dijelaskan panjang lebar
itu pada dasarnya adalah satu, yaitu cinta kasih.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa ada kita itu berupa cinta kasih, maka yang
menjadi Maha – Cinta – Kasih – ialah Tuhan. Makhluk – demikian menurut Max Scheler –
adalah kristalisasi dari cinta kasih Tuhan. Jadi, ungkapan cinta kasih yang mendasari keempat
sila merupakan pengjelmaan cinta kasih Tuhan. Dengan kata lain bahwa semua sila itu
dijiwai oleh cinta kasih Tuhan.
Sikap memasyarakat, membangsa dan menegara merupakan pelaksaan cinta kasih
yang mengarah pada Tuhan, namun dikonkretisasikan dalam kehidupan kita yang ada
bersama ini. Dalam artian bahwa pelaksanaan Perikemanusiaan, Kebangsaan, Keadilan
Sosial, dan Kerakyatan (Demokrasi) adalah pelaksanaan cinta kasih kita kepada Tuhan di
7
dunia ini. Jadi lima sila itu bisa dirumuskan menjadi dwi sila , yaitu cinta kasih kepada Tuhan
dan kepada manusia, dan dwi sila itu sebetulnya eka sila , sebab cinta kasih kepada manusia
termuat di dalam cinta kasih kepada Tuhan.
***
Setelah melihat bersama hakekat dari setiap sila yang dijelaskan di atas, maka
berikutnya para pembicara pun berusaha untuk menjelaskan hakekat dari Religi dan korelasi
atau relevansinya dengan Pancasila.
Religi – demikian menurut pandapat umum – merupakan istilah yang berhubungan
dengan kata re – liga – re (kata latin) yang berarti mengikat, sehingga religio berarti ikatan,
atu juga pengikatan. Atau dengan kata lain bahwa dalam Religi manusia mengikat diri pada
Tuhan. Akan tetapi ikatan itu tidak membelenggunya dan mengurangi kebahagiaannya;
sebaliknya ikatan itu dialami sebagai sumber kebahagiaan.
Dengan memeluk dan melakukan Religi manusia hendak menyelenggarakan
kepentingan yang memuat seluru dirinya . Dalam Religi manusia membuka seluruh dirinya.
Di situ ada penyerahan total, penyerahan tanpa pengecualian. Gejala yang sedalam itu tidak
bisa tidak berakar dari kodrat manusia itu sendiri. Sebab di situ dicurakan seluruh kodrat
manusia yang berdinamika. Jadi yang dimaksud dengan Religi itu adalah penyerahan diri
kepada Tuhan dalam keyakinan bahwa manusia itu tergantung pada Tuhan. Tuhanlah yang
menjadi sumber keselamatan manusia. Itulah kebahagiaan manusia dan karenanya manusia
menyerahkan dan mencurahkan seluruh dirinya.
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia dipandang
sebagai filsafat, the way of life – kebenaran hidup. Kebenaran hidup yang mengarahkan
manusia kepada cinta kasih Tuhan. Sebab pada dasarnya Pancasila itu adalah eka sila , yaitu
cinta kasih kepada Tuhan. Di sini tampaklah bahwa Pancasila itu menunjuk manusia sebagai
potensi ke Religi. Dalam artian bahwa negara Pancasila mengakui seluruh hidup manusia itu
merupakan gerak kepada Tuhan. Di sini bukan berarti negara Indonesia adalah negara Agama
– Religi, atau negara Profan, melainkan sebuah negara yang mengakui ketinggian dan
kesucian hidup berbangsa yang didasarkan pada Pancasilla. Maka jelaslah bahwa Pancasila
dan Religi merupakan dua dimensi hidup yang menjadi dasar menegara bagi bangsa
Indonesia.
2.
Refleksi Atas Gagasan Pancasila Driyarkara
8
Setelah membaca dan meneliti serta meringkaskan karya Driyarakara tentang
Pancasila, hemat saya bahwa Driyarkara melihat dan menguraiakn Pancasila dari kacamata
yang berbeda. Dalam seminar itu Driyarkara berangkat dari sila Perikemanusiaan untuk
menguraiakan hakekat Pancasila dan Religi dalam sikap menegara, serta relevansi di antara
keduanya (Pancasila dan Religi). Mengapa harus sila Perikemanusiaan? Alasannya, sila
Perikemanusiaan
menyangkut
segala
aspek
kehidupan
menegara.
Dengan
sila
Perikemanusiaan, negara akan lebih membuka diri baik demi perkembangan nasional atau
internasional, sebagaimana yang dijelaskan oleh Driyarkara. Dengan sila Perikemanusiaan
maka sila – sila lainnya akan berjalan dengan baik dan terarah, tidak terjadi penyelewengan
di dalam sikap menegara. Dengan sila Perikemanusiaan semua manusia saling menghormati
sebagaimana mestinya. Sebab manusia tidak hanya meng – Aku, tetapi juga meng – kita.
Berdasarkan gagasan tersebut saya merefleksikan bahwa manusia menjadi fondasi
dari kehidupan menegara dari suatu bangsa. Sebab adanya manusia di dalam suatu bangsa
menggambarkan keutuhan dari suatu bangsa. Manusia menjadi titik tolak berdirinya suatu
bangsa. Maka hendaknya manusia dilakukan secara pantas sebagai pribadi yang manusiawi
sekaligus dihormati sebagai pribadi yang spiritual. Diperlakukan secara manusiawi karena ia
memiliki kodrat yang sama dengan manusia yang lainnya, sama – sama pribadi yang
menyumbangkan potensinya dalam hidup menegara. Diperlakukan secara spiritual karena
sama – sama ciptaan Tuhan. Dengan demikian terpenuhilah keotentikan dan kekhasan
Pancasila sebagai wujud cinta kasih Tuhan. Sebab sama – sama menghargai satu sama lain
berkat sila Perikemanusiaan.
Meskipun demikian, hemat saya bahwa gagasan Pancasila dan relevansinya dengan
Religi yang diuraikan Driyarka masih kurang berpengaruh terhadap hidup masyarakat
majemuk ini saat ini. Memang dari sononya Pancasila itu mendukun hidup Religi, akan tetapi
de facto masih ada persoalan yang berbau kriminalis di dalam kehidupan menegara di bangsa
ini. Ada banyak persoalan atau kriminalisasi yang mengatasnamakan agama.2 Sehingga patut
dipertanyakan seberapa besar pengaruh posotif Pancasila terhadap kehidupan Religi di
bangsa ini? Dalam hal ini saya tidak menempatkan diri untuk judge konsep Pancasila yang
sangat membantu keberadaan Religi di bangsa ini, akan tetapi saya hanya ingin mengkritisi
sikap penghayatan dan pengaktualisasian anak – anak bangsa ini tentang hakekat Pancasila
yang sangat menekankan Cinta Kasih yang selalu dan sudah pasti bertitik tolak pada dimensi
2
Yuhki Tajima, Explaining Ethnic Violence in Indonesia: Demilitarizing Domestic Security dalam Journal of
East Asian Studies, Vol. 8, No. 3, SPECIAL ISSUE: Collective Violence in Indonesia (SEPTEMBER–
DECEMBER 2008), (Lynne Rienner Publishers) pp. 451-472
9
Perikemanusiaan! Apakah gagasan – gagasan yang diuraikan panjang lebar di tahun 1956
hanya sebatas sebuah konsep atau idelogi belaka? Ataukah ajakan ia dikehendaki oleh para
pemikir – Driyarkara dkk – sudah ditelang oleh zaman yang berdinamis ini? Marilah kita
renungkan bersama; bertanya diri apa yang telah saya sumbangkan demi perkembangan
bangsa ini dalam menghayati sila perikemanusiaan di dalam Dasar Negara – Pancasila.
Dalam hal anak – anak bangsa juga patut merenungkan dari
10