ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RA

ARAH KEBIJAKAN
PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT
Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham
Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

PENDAHULUAN
Tiga tujuan pembangunan pertanian yang dimuat di dalam Rencana
Pembangunan Pertanian 2005-2009 adalah pencapaian ketahanan pangan,
pengembangan agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani (Deptan, 2005).
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang
tercermin dari tersedianya pangan, termasuk produk peternakan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (PP No.68/2002).
Pengembangan agribisnis bertujuan meningkatkan produksi dan nilai tambah
secara efisien sehingga mempunyai daya saing tinggi. Kedua tujuan itu secara
keseluruhan harus berlandaskan pada peningkatan kesejahteraan petani.
Inti dari ketiga tujuan tersebut sebenarnya adalah pencapaian ketahanan
pangan berdasarkan azas kemandirian dan kontinuitas. Azas kemandirian
diperlihatkan oleh pengembangan agribisnis yang kuat dan kontinuitas
diperlihatkan oleh tingkat pendapatan petani yang layak bagi hidupnya sekeluarga
dan pengembangan usaha. Pembangunan peternakan dua dekade lalu telah

mencatat beberapa keberhasilan antara lain dalam pengembangan industri
agribisnis ayam ras, pengembangan industri feedlot sapi potong dan sapi perah
rakyat.
Namun ketiga industri ini menggunakan bibit ternak asal impor, sehingga
rentan terhadap perubahan ekonomi global. Sementara pembangunan komoditas
ternak domestik tidak terlihat menggembirakan. Berbagai kelemahan internal tidak
kunjung mendapat perhatian dan perbaikan. Hampir semua jenis ternak lokal
diindikasikan mengalami pengurasan sehingga pertumbuhan populasi negatif.
Pada sisi lain, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi konsumsi hasil ternak dalam
negeri terus meningkat. Sebagian kebutuhan konsumsi telah diisi oleh hasil ternak
impor yang terus membesar.
Untuk mencapai tujuan pembangunan peternakan tersebut perlu
dirumuskan strategi dan kebijakan dalam usaha memperkuat agribisnis ternak
lokal dan bagaimana meraih peluang-peluang baik di dalam negeri maupun luar
negeri. Upaya penulisan rencana pembangunan peternakan ini merupakan
sumbangan pikiran dengan harapan bagaimana industri agribisnis peternakan
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

18


mencapai kemandirian dalam swasembada pangan dalam waktu relatif pendek
sementara plasma nuftah dapat dikembangkan.
KERANGKA PENDEKATAN MASALAH
Ada tiga hal yang dihadapi oleh suatu aktivitas ekonomi yakni apa yang
ingin dicapai dan apa masalah perusahaan (faktor internal) dan peluang (faktor
eksternal) yang dihadapi dalam mencapai keinginan tersebut. Dengan melakukan
auditing kepada dua faktor tersebut dapat diketahui strategi dan tindakan yang
akan dilakukan. Atas dasar ini penggunaan analisis SWOT sangat tepat.
Analisis SWOT (Bradfod et al., 2005) tak lain adalah melakukan auditing
agribisnis wilayah dengan menggunakan 2 faktor penilaian yakni internal dan
eksternal agribisnis. Faktor internal agribisnis terdiri atas kekuatan atau Strengths
(S), kelemahan atau Weaknesses (W) sedangkan faktor eksternal terdiri atas
peluang atau Opportunities (O) dan ancaman atau Threats (T). Faktor S terdiri
atas variabel-variabel internal yang merupakan kemampuan yang dikuasai dan
dimiliki misalnya tingkat pendidikan, ketersediaan lahan dan air dan sebagainya.
Arah vektor adalah positif. Sedangkan faktor W adalah sama dengan variabel S
hanya arahnya negatif. Faktor O merupakan variabel-variabel yang bersifat
ekternal namun diperkirakan dapat dikuasai dan dimiliki dengan arah vektor
adalah positif. Sedangkan faktor T mempunyai variabel-variabel yang sama
dengan O hanya arah vektor negatif.

Analisis SWOT umum digunakan dalam mengevaluasi kondisi suatu
usaha (Mindtools, 1999). Tujuannya adalah menetapkan kondisi suatu usaha
dalam diagram yang terlihat pada Gambar 1 melalui suatu sistem penilaian. Salah
satu manfaat dari pendekatan SWOT adalah kemampuannya mengarahkan
kebijakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Sistem penilaian SWOT sering
dianggap mempunyai kadar subjektivitas, namun dengan menggunakan informasi
di lapang dan justifikasi para ahli, sifat subjektivitas dapat dikurangi atau dengan
kata lain hasil analisis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Pendekatan SWOT dalam makalah ini dilakukan dua tingkat pertama pada
tingkat agribisnis khususnya agribisnis peternakan rakyat dan kedua pada tingkat
pemerintah sebagai pihak yang sebenarnya dapat berfungsi sebagai penguasa
wilayah di mana agribisnis peternakan dikembangkan. Hasil analisis dengan dua
tingkat ini akan memperlihatkan gap antara posisi agribisnis rakyat dan
pemerintah dalam diagram, dan dari sana dapat diambil kesimpulan dan kebijakan
yang diperlukan.

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

19


S = (St re n gt h)
Diagram IV

.

Diagram I

2
G

ro

w

th

.

1


.

-1

O

.
1

.
2

.

O = (Oppurt unit y)

T = (T hrea t )

.


-2

-1

S

v
ur

iv

al

D iagram III

.

-2

Diagram II


W = ( W e a k n e ss e s)

Gambar 1. Diagram Geometrik Analisis SWOT

MASALAH DAN TANTANGAN
Dalam analisis SWOT kata ”masalah” diterjemahkan sebagai
pengungkapan kelemahan dan kekuatan agribisnis sebagai faktor internal
sedangkan kata ”tantangan” diterjemahkan sebagai ancaman dan peluang yang
dihadapi sebagai faktor eksternal. Masalah dan tantangan sekaligus dibahas pada
tingkat agribisnis ternak rakyat dan pemerintah.
Globalisasi Ekonomi (Faktor Eksternal)
Dua lingkungan strategis, yang patut mendapat perhatian dalam kerangka
perkembangan industri agribisnis ternak dalam negeri adalah perubahan
globalisasi dan permintaan pangan hasil ternak dalam negeri. Perubahanperubahan tersebut dapat memberikan keuntungan atau sebaliknya, sangat
tergantung bagaimana posisi sikap yang diambil oleh Indonesia. Industri agribisnis
yang sangat tergantung pada impor, maka dampak perubahan globalisasi ekonomi
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

20


sangat nyata tetapi mungkin tidak berpengaruh nyata pada industri peternakan
yang sebagian besar menggunakan input dalam negeri.
Sebelumnya perlu ada pemahaman bahwa sebagian besar jenis ternak dan
hasil-hasilnya merupakan komoditas dunia, baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Di pasar dunia, ternak dan hasil ternak diisi oleh banyak negara.
Indonesia adalah salah satu negara dalam percaturan dunia sebagai negara
konsumen karena sebagai produsen hasil ternaknya mempunyai peran yang relatif
kecil. Dalam pasar global Indonesia adalah negara yang sangat membutuhkan
input teknologi peternakan untuk menggerakkan proses produksi dalam negeri dan
untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dalam negeri.
Industri peternakan yang mempunyai ketergantungan tinggi pada bahan
baku dan teknologi impor membawa berbagai ancaman dalam negeri. Seperti yang
dialami dalam masa krisis moneter, yang telah memporak porandakan industri
ayam ras dan sapi potong. Ancaman lain bisa datang dari negara eksportir
teknologi tersebut khususnya jika mereka mendapat gangguan dalam negeri atau
hubungan bilateral. Dalam hal ini, setiap saat negara tersebut dapat menghentikan
ekspor teknologi. Seperti kasus wabah flu burung, setiap negara yang terkena
epidemi akan menghentikan ekspor bibit GPS unggas ke Indonesa, maka dalam
masa satu tahun industri ayam ras dalam negeri akan bangkrut. Atau, jika

Australia mendapat masalah cuaca, sehingga mereka terpaksa menghentikan
ekspor sapi bakalan ke Indonesia, maka dalam 3 tahun akan terjadi kepunahan
ternak sapi lokal. Demikian juga dengan ancaman kesulitan impor susu, dapat
memberikan dampak kelaparan pada jutaan bayi. Ketergantungan pada impor jika
tidak ditunjang oleh usaha-usaha kemandirian yang produktif akan mendorong
ketergantungan semakin mendalam dan sulit dipecahkan.
Pembangunan peternakan tentu harus disertai usaha-usaha konkrit untuk
mengurangi impor. Pengurangan impor secara bertahap dapat dimulai dari itemitem produk impor yang dapat dihasilkan sendiri dalam waktu relatif singkat
misalnya 2-3 tahun. Item impor yang diperkirakan dapat dihasilkan sendiri adalah
sapi bakalan, kulit, daging dan jeroan serta bahan baku pakan karena segera dapat
diisi oleh produk dalam negeri. Diperlukan program-progam terobosan jangka
menengah menghadapi penurunan impor tersebut dengan memanfaatkan
keunggulan komparatif seperti plasma nuftah, persediaan pakan hijauan makanan
ternak (HMT) yang berlimpah sepanjang tahun, teknologi budidaya dan
keunggulan wilayah sebagai daerah bebas penyakit.
Pada sisi ekspor, Indonesia mempunyai peluang besar mengisi pasar
ternak hidup, daging, telur dan susu. Indonesia dianggap sebagai negara produsen
yang aman karena produk ternak yang masih murni alami, dan bebas penyakit
mulut dan kuku. Sampai saat ini ekspor hasil peternakan Indonesia relatif kecil
dibandingkan nilai impor, tetapi tetap menggembirakan karena ekspor terus

mengalami pertumbuhan 17 persen per tahun (Statistik Peternakan, 2005). Posisi
Indonesia sebenarnya sebagai eksportir ternak sangat diharapkan oleh negaraARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

21

negara Islam dunia. Mereka membutuhkan 5 juta ekor kambing setiap tahun dan
berharap Indonesia dapat mengisi sebagian kebutuhan tersebut. Jika Indonesia
mampu mengisi 5 persen saja dari kebutuhan tersebut atau sekitar 250 ribu ekor
merupakan permulaan yang baik. Selain itu, kerjasama dengan negara-negara
Islam perlu dikembangkan terutama dalam hal pengadaan dan pemotongan ternak
untuk kebutuhan acara ritual haji. Pengadaan dan pemotongan ternak dapat
dilakukan di Indonesia, sehingga mengurangi beban negara Arab Saudi dalam
membagikan daging korban yang melimpah.
Peluang ekspor daging ke Malaysia dan Brunei sangat besar, karena
mayarakat negeri ini sangat menggemari daging sapi bali dibandingkan daging
sapi hibrid. Betapapun kecil permintaan kedua negara tersebut, Indonesia harus
berusaha memenuhinya, sebagai satu langkah menuju langkah besar dalam
meningkatkan kemampuan dan produktivitas kerja bangsa. Sementara itu, ekspor
ayam ras terlihat terus berkembang sampai tahun 2002 memperlihatkan peluang
lain yang harus diraih. Peluang ekspor lain, adalah pakan HMT yang berlimpah

dalam negeri untuk tujuan Australia. Negara Australia telah pernah menjajaki
kemungkinan impor HMT dari Indonesia terutama pada musim kemarau panjang
yang melanda negara itu, namun tanggapan Indonesia belum ada. Padahal,
Indonesia adalah negara pengimpor sapi bakalan terbesar dari negara Australia,
yang atas dasar itu, Indonesia mempunyai insentif besar untuk mendapatkan
peluang kerjasama dengan Australia.
Masalah Umum Pembangunan Peternakan (Faktor Internal)
Struktur industri peternakan untuk semua komoditas ternak domestik
sebagian besar (60-80 persen) tetap bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Usaha
rakyat mempunyai ciri-ciri antara lain tingkat pendidikan peternak rendah,
pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi konvensional, lokasi
ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil serta pengadaan
input utama yakni HMT yang masih tergantung pada musim, ketersediaan tenaga
kerja keluarga, penguasaan lahan HMT yang terbatas, produksi butir-butiran
terbatas dan sebagian tergantung pada impor.
Faktor penghambat utama bagi perkembangan peternakan rakyat adalah
ketersediaan HMT dan butir-butiran. Indonesia memproduksi HMT untuk
ruminansia secara berlimpah, tersebar di seluruh wilayah, namun sebagian besar
terbuang. Pada sisi lain peternak membutuhkan tenaga kerja untuk mencari HMT.
Pengadaan input yang tidak efektif seperti itu dilakukan oleh jutaan peternak. Jika
tidak ada lembaga jasa penyedia HMT, maka kesulitan tenaga kerja akan menjadi
pembatas pengembangan ternak dan skala usaha untuk ternak sapi potong, sapi
perah, kerbau, kambing di tingkat peternak. Mereka tidak mempunyai modal
untuk membayar tenaga upahan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa
peningkatan skala usaha melebihi kemampuan ketersediaan tenaga kerja justru
membuat usaha menjadi tidak efisien (Yusdja, 2005; Swastika et al., 2000).
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

22

Atas dasar itu, ketersediaan lembaga pelayanan pengadaan HMT oleh
pihak ketiga akan mendorong peningkatan skala usaha dari minimal 3 ekor
menjadi maksimal 30 ekor dan peningkatan ini pada akhirnya meningkatkan
produksi peternakan dan akan terjadi peningkatan produksi lebih dari 200 persen.
Pelayanan pengadaan pakan dapat disamakan dengan pengadaan air irigasi untuk
tanaman pangan. Selama ini, ketiadaan pelayanan HMT oleh pihak ketiga
khususnya oleh pemerintah telah terbukti tidak mendorong perkembangan
industri peternakan. Usaha tradisional tetap tradisional dan tidak ada kemajuan
dalam usaha pembibitan. Jika pelayanan itu tersedia maka diharapkan dari 2 juta
peternak rakyat, 10 persen dapat bangkit menjadi pengusaha-pengusaha skala
menengah dan 2 persen menjadi usaha skala besar, dan sisanya adalah usaha
rakyat dengan skala usaha lebih dari 10 ekor per rumah tangga. Cita-cita ini dapat
dicapai dengan kerja keras dan tentu diperlukan seperangkat kebijakan yang
mendukung. Pengembangan peternakan yang berdayasaing haruslah dimulai dari
sini.
Faktor penghambat kedua adalah teknologi bibit. Hampir semua jenis
ternak domestik tidak mendapat sentuhan teknologi pembibitan yang intensif.
Mutu ternak semakin buruk karena ternak yang baik selalu terpilih untuk
dipotong. Penelitian-penelitian skala kecil tentang pembibitan telah banyak
dilakukan tetapi tidak pernah dapat disosialisasikan dalam skala besar. Ada
kegagalan komunikasi antara penelitian baik Badan Litbang maupun Perguruan
Tinggi dengan para perumus kebijakan di Direktorat Peternakan. Hambatan lain,
adalah bahwa peternak rakyat tidak mempunyai insentif nyata dalam mengadopsi
teknologi baru, apalagi pemanfaatan teknologi baru selalu disertai dengan
peningkatan biaya dan perbaikan manajemen. Pada sisi lain, peternak melakukan
budidaya dengan untung-untungan dan biaya mendekati nol.
Dari keseluruhan permasalahan tersebut, tetap menyisakan pertanyaan
yakni bagaimana kebijakan yang diperlukan untuk meningkatkan manfaat dan
nilai tambah sumberdaya ternak domestik. Banyak gagasan berkembang, antara
lain mendorong investor skala besar untuk mengambil alih usaha rakyat itu.
Namun, pengusaha besar lebih menyukai menggunakan manajemen dan teknologi
impor seperti apa yang dilakukan perusahaan feedlot sapi potong, perusahaan
peternakan ayam modern, perusahaan sapi perah dan babi. Namun demikian,
pemerintah Indonesia tidak dapat berpaling dari sumberdaya ternak domestik yang
bernilai trilyunan rupiah tersebut dan yang sudah terbukti berperan besar dalam
perekonomian pedesaan. Paling tidak untuk jangka menengah pemerintah
diharapkan menjadi satu-satunya investor bagi menciptakan pelayanan bagi
pengembangan usaha rakyat. Pemerintah merupakan lembaga yang saat ini layak
mengantarkan industri peternakan rakyat pada pintu gerbang siap landas. Untuk
itu sebenarnya sudah ada Unit Pelaksana Teknis baik yang didanai pusat maupun
daerah.
Masalah ketiga adalah Agroindustri peternakan. Kebijakan pembangunan
agroindustri peternakan selama ini secara umum tidak terkait ke belakang yakni
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

23

pada budidaya peternakan dalam negeri. Sebagai contoh, industri pengolahan
susu, sebagian besar menggunakan input dari negara asal, industri peralatan rumah
tangga dan aksesoris mengimpor kulit dari berbagai negara dan industri perhotelan
membutuhkan daging dari impor dan sebagainya. Ini artinya pertumbuhan
agroindustri tidak turut mendorong pertumbuhan subsektor peternakan.

Masalah Spesifik Agribisnis Ternak Unggulan
Ternak Ruminansia Besar Penghasil Daging
Ternak ruminansia besar terdiri atas sapi dan kerbau. Kelompok ternak ini
berbadan besar, dapat mencapai 600-1000 kg berat hidup. Mulai melahirkan umur
2 tahun dan jumlah anak pada umumnya satu ekor per tahun. Karena ciri-cirinya
itu, ternak ini membutuhkan pakan yang relatif banyak, mempunyai pertumbuhan
populasi yang relatif lambat namun produksi daging relatif tinggi. Sapi
mempunyai peran terbesar dalam perekonomian dibandingkan komoditas
ruminansia lain, karena jumlah populasi sapi mencapai 80 persen dari total
ruminansia dan tersebar hampir di seluruh provinsi.
Terdapat berbagai jenis sapi, yang utama adalah sapi bali (termasuk sapi
madura) dan sapi onggol. Sapi bali banyak berperan dalam perekonomian dengan
jumlah populasi 6 juta atau 60 persen dari jumlah sapi. Sapi bali mempunyai daya
hidup tinggi, tahan penyakit dan penggembalaan yang buruk, mempunyai
perdagingan yang baik dan digemari konsumen. Sebaran sapi bali sekitar 61
persen terdapat di Jatim, Jateng, Sulsel, Bali, NTT dan NTB. Keenam wilayah ini
sekaligus merupakan wilayah penghasil utama bagi kebutuhan wilayah konsumsi
khususnya DKI dan Jabar.
Sebagian besar ternak sapi dipelihara secara tradisional dalam bentuk
usaha rakyat. Ada tiga sistem pemeliharaan yang umum dilakukan yakni sistem:
pertama, sistem penggembalaan ternak, atau ”grazing” (NTT, NTB, Bali, Kalsel,
Sebagian Sumatera dan sebagian Kalimantan) sekitar 15 persen dari populasi.
Pada sistem ini pemeliharaan ternak tidak mempunyai tujuan yang jelas selain
status sosial dan tabungan. Karena itu keberhasilan pengembangan pada wilayah
ini sangat tergantung pada pengelolaan padang penggembalaan itu. Kedua, sistem
tidak digembalakan, ”cut and carry” (Jatim dan Jateng, sebagian Sulawesi),
mencakup sekitar 52 persen dari total populasi. Pada sistem ini pengembangan
peternakan sangat tergantung pada ketersediaan tenaga kerja keluarga yang setiap
harinya berkeliling mencari pakan hijauan. Karena itu, pengembangan ternak
dengan menyediakan pakan hijauan akan mengurangi tenaga kerja keluarga dan
karena itu skala usaha bisa meningkat. Tujuan produksi adalah tenaga kerja,
peternak tidak begitu perduli dengan pasar dan produksi. Ketiga, sistem
kombinasi, ternak digembalakan pada areal terbatas dan kekurangan pakan hijauan
diberikan di kandang. Sitem ini mencakup 23 persen dari populasi dan menyebar
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

24

di seluruh Indonesia. Sebagian besar usaha penggemukan berada dalam sistem ini.
Sistem ini bertujuan memproduksi daging, susu dan sapi bakalan.
Kebijakan pengembangan ternak sapi harus dilihat berdasarkan ketiga
sistem tersebut, karena terdapat perbedaan masalah yang dihadapi dan karena itu
penanganannya juga berbeda, terutama dalam memanfaatkan sumberdaya lahan
dan pakan (Ilham, 1995).
Sistem pemasaran dan tataniaga yang ada tidak memberikan insentif yang
layak kepada peternak. Dari sisi pemasaran, para peternak tidak mempunyai daya
tawar. Peran pedagang sangat dominan dalam menentukan harga. Pada sisi lain
perdagangan antar pulau dan wilayah dalam bentuk ternak hidup menimbulkan
biaya angkutan dan risiko ekonomi yang lebih besar. Sementara perdagangan
karkas menggantikan ternak hidup khususnya ternak ruminansia belum layak
dilakukan, karena infrastruktur yang tersedia belum memungkinkan.

Ternak Ruminansia Kecil
Kelompok ternak ruminansia kecil yang menjadi perhatian utama adalah
kambing dan domba. Ternak kambing dan domba berukuran 10 kali lebih kecil
dibandingkan sapi. Karena ukuran kecil dan kebutuhan HMT juga kecil, maka
ternak ini digemari masyarakat pedesaan, terutama pada wilayah lahan kering.
Pada lahan kering tersedia banyak HMT sesuai dengan selera ternak kambing dan
domba. Sebagian besar ternak kambing dan domba diusahakan sebagai usaha
rakyat.
Secara umum, Indonesia sampai saat ini dapat memenuhi kebutuhan
konsumsi dalam negeri dan hingga kini belum ada investor berminat mengimpor
kambing dan domba. Sebagaimana diketahui, Australia merupakan negara terbesar
dalam mengekspor kambing dan domba ke berbagai negara Arab dan Asia, ratarata 5 juta ekor per tahun sama besar dengan populasi domba di Indonesia.
Sekalipun tidak mengimpor kambing dan domba, namun terdapat gejala
pengurasan populasi kambing dan domba di Indonesia. Hasil penelitian
memperlihatkan beberapa provinsi seperti Jatim dan Jabar mengalami pengurasan
ternak kambing dan domba dalam 10 tahun terakhir. Indikator lain dapat dilihat
dari perkembangan harga kambing dan domba yang terus meningkat dengan
tingkat relatif tinggi yakni 40 persen dari tahun ke tahun, merupakan indikasi ada
kelangkaan ternak kambing dan domba.
Perusahaan swasta usaha ternak kambing dan domba sulit berkembang,
karena penyebaran dan penetrasi usaha rakyat sedemikian rupa sehingga
mempersempit pasar bagi usaha swasta. Kebijakan pengembangan swasta hanya
mungkin jika pasar ekspor terbuka. Namun demikian, membuka pasar ekspor
berarti membutuhkan ukuran usaha dalam skala besar, membutuhkan padang
penggembalaan luas. Selama ini, para investor kurang berminat mengusahakan
ternak kambing dan domba karena tidak memahami bisnis ini, risiko relatif tinggi,
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

25

ternak kambing dan domba lokal kurang produktif dibandingkan kambing dan
domba Australia (misalnya). Atas dasar itu, peluang pemecahan masalah
pengembangan agribisnis kambing dan domba adalah melalui pengembangan
usaha rakyat itu sendiri melalui strategi dan program-program efektif.

Unggas
Dalam sejarah perkembangan ayam ras di Indonesia yang dimulai sejak
tahun 1976 telah mencapai pertumbuhan fantastis melalui program penanaman
modal asing (PMA). Pengembangan yang luar biasa ini banyak didukung oleh
pengembangan infrastruktur industri yang relatif lengkap mulai dari hulu sampai
ke hilir. Sampai saat ini, ayam ras memberikan sumbangan produksi daging
terbesar merebut posisi daging sapi. Namun demikian, pertumbuhan yang dicapai
ayam ras tersebut pada umumnya rapuh karena ditunjang oleh impor yang besar.
Ketika krisis ekonomi tahun 1997-2000, industri ayam ras di Indonesia mengalami
”collapse” dan produksi turun hingga 80 persen. Industri kembali bangkit dengan
cepat pada tahun 2001. Dua tahun kemudian yakni tahun 2003 sampai pada saat
ini, industri ayam ras kembali menghadapi masalah besar yakni epidemi penyakit
flu burung.
Ancaman flu burung tidak saja datang dari dalam negeri tetapi juga dari
luar negeri. Jika epidemi flu burung terjadi pula di negara-negara eksportir bibit
grand parents stock (GPS), maka kelangsungan hidup industri ayam ras dalam
negeri terancam. Berdasarkan diskusi di atas dapat disimpulkan bahwa
penanganan dan pengembangan ayam ras adalah terletak pada kebijakan moneter,
pengendalian penyakit mulai dari tingkat kerjasama internasional sampai pada
tingkat kerjasama dengan peternak dan menegakkan azas kemandirian secara
bertahap. Azas kemandirian dapat dimulai dari pengadaan pakan dari dalam
negeri dalam 10 tahun ke depan sehingga dapat diharapkan Indonesia telah
mempunyai stok induk yang dapat memproduksi GPS.
Indonesia mempunyai banyak jenis unggas lokal yang sebenarnya dapat
diusahakan sebagai bisnis menguntungkan baik untuk usaha produksi makanan
maupun untuk tujuan-tujuan pariwisata dan kegemaran. Jenis unggas yang
berperan utama dalam perekonomian adalah ayam buras (termasuk ayam arab)
dan itik. Ayam buras terdapat hampir di seluruh desa di Indonesia, sedangkan itik
diusahakan semi intensif dan intensif dalam bentuk usaha peternakan rakyat di
Kalimantan, Jatim dan Jateng.
Ayam buras tidak umum diusahakan secara intensif, karena tidak
menguntungkan. Kelemahan ayam buras ini adalah produksi telur relatif sangat
rendah dan pertumbuhan lambat. Namun demikian, ayam buras mempunyai daya
tahan tinggi terhadap penyakit dan keadaan cuaca yang buruk, serta dapat
mengkonsumsi segala bentuk makanan, dan berukuran relatif kecil. Sifat-sifat
yang menguntungkan ini memungkinkan setiap orang dapat memeliharanya secara
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

26

ekstensif dengan biaya hampir nol. Dengan pola dan sistem pemeliharaan
ekstensif seperti itu maka pertumbuhan populasi ayam buras relatif sangat lambat
apalagi jika dibandingkan dengan peningkatan konsumsi. Hasil penelitian
memperlihatkan bahwa ternak ayam buras diindikasikan mengalami pengurasan
relatif besar sekitar 15 persen pertahun, bahkan di beberapa pusat konsumsi,
pengurasan itu mencapai titik parah.
Pada tahun 2000, Indonesia dikejutkan oleh kehadiran ayam buras baru
yang terkenal dengan nama ayam arab. Tidak jelas asal usul ayam ini, diduga dari
ayam buras negara Eropa. ayam arab mempunyai sifat yang sama dengan ayam
buras, tetapi mempunyai kemampuan produksi telur tiga kali lebih baik dan
pertumbuhan badan relatif cepat. Berdasarkan hasil penelitian, ayam arab layak
diusahakan secara ekonomi baik dalam skala kecil maupun skala besar. Sehingga,
kebijakan pengembangan ayam arab akan membantu mengurangi pengurasan
ayam buras. Saat ini ayam arab sudah berkembang dalam bentuk usaha intensif di
berbagai tempat dan diperkirakan mencapai jumlah 2 juta ekor. Jika pengelolaan
ayam arab dapat dikembangkan mengikuti langkah-langkah ayam ras,
diperkirakan dalam waktu 3 tahun pengurasan ayam buras dapat dihentikan.

Ternak Babi
Ternak babi merupakan kelompok ternak pemakan butir-butiran dan
hijauan, termasuk hewan prolifik karena itu cepat sekali berkembang. Ternak ini
secara komersil banyak diusahakan di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan beberapa
provinsi lain. Sangat disayangkan data statitistik babi tidak membedakan jenis
babi lokal dan babi hibrid. Salah satu pembatas pengembangan usaha ternak babi
adalah pasar konsumsi yang sempit karena penduduk Indonesia sebagian besar
adalah Islam dan sekaligus karena itu pula wilayah-wilayah pengembangannya
juga sangat terbatas.
Pemenuhan kebutuhan konsumsi daging babi dalam negeri tidak banyak
bermasalah, bahkan mencapai titik jenuh. Salah satu indikasi adalah harga daging
babi yang banyak bergerak dari tahun ke tahun dan lebih murah dari harga daging
biasa (Ilham et al., 2001). Namun demikian, Indonesia memiliki wilayah-wilayah
luas dan sesuai bagi pengembangan ternak dalam bentuk usaha komersil skala
menengah dan besar terutama untuk ekspor. Indonesia mempunyai peluang besar
untuk memenuhi ekspor apalagi hubungan-hubungan perdagangan internasional
telah dibina. Salah satu strategi merebut pasar adalah membangun peternakan babi
pada kawasan khusus bekerja sama dengan para pedagang babi di Singapura.
Kerjasama ini dalam bentuk kemitraan telah dilakukan di Sumatera Utara dan
Kepulauan Riau. Kerjasama produksi dan perdagangan ini layak dilakukan,
dibandingkan memproduksi sendiri, karena pasar yang tertutup. Pada saat ini,
karena kasus flu burung yang telah menyerang babi, menyebabkan permintaan
menurun.

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

27

Berdasarkan tantangan dan peluang yang dibahas di atas, merupakan audit
dalam analisis SWOT sehingga dapat diletakkan posisi agribisnis rakyat dan
pemerintah dalam diagram pada Gambar 2. Jelas terlihat dalam diagram tersebut
bahwa agribisnis rakyat berada pada wilayah survival yang berarti dalam keadaan
perjuangan antara hidup dan mati. Kontras dengan posisi pemerintah yang berada
pada wilayah pertumbuhan. Apa artinya ini? Pertama, walaupun pemerintah
berada pada garis pertumbuhan tetapi tidak akan mengalami pertumbuhan, karena
sangat tergantung pada agribisnis rakyat. Jika dua-duanya berimpit pada wilayah
pertumbuhan barulah pertumbuhan itu dapat dicapai. Kedua, posisi peternak
rakyat dapat diangkat dengan bantuan pemerintah. Artinya jarak yang berbeda
antara keduanya memperlihatkan tidak ada sinkronisasi pembangunan antara
pemerintah, peternak dan pengusaha.

Gambar 2. Posisi Agribisnis dan Pemerintah Dalam Diagram SWOT
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

28

STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN
Strategi adalah suatu cara taktis dan sistematis mencapai tujuan-tujuan
usaha dalam hal ini usaha membangun peternakan. Kebijakan adalah bentuk
aturan-aturan dan program-program yang hendak dilakukan dalam strategi yang
dimaksud. Strategi dan kebijakan pembangunan pertanian jangka menengah telah
diungkapkan secara umum dalam dokumen Rencana Pembangunan Pertanian
Tahun 2005-2009 (Deptan, 2005). Untuk subsektor peternakan, strategi umum
tersebut perlu diuraikan lebih rinci dan teknis, untuk menjaga bahwa rencana
kebijakan pembangunan peternakan tetap berada pada koridor rencana
pembangunan pertanian dan rencana pembangunan nasional.

Gambar 3. Strategi Kebijakan dan Tahapan Pencapaian Tujuan

Gambar 3 telah memperlihatkan posisi agribisnis rakyat dalam bidang
survival yang berarti agribisnis rakyat dekat dengan keberakhiran bisnis karena
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

29

tidak mampu mengatasi kelemahan yang relatif tinggi. Pada sisi lain, pemerintah
mempunyai posisi relatif sangat baik dalam posisi pertumbuhan. Atas dasar itu,
dapat dinyatakan bahwa pemerintah merupakan pihak yang saat ini dapat
menyelamatkan agribisnis ternak rakyat, karena kekuatan dan peluang yang
dimilikinya.
Peran pemerintah adalah bagaimana mengangkat agribisnis rakyat dari
kelemahan-kelemahannya menjadi kuat seperti terlihat pada Gambar 3.
Selanjutnya adalah bagaimana menggiring agribisnis rakyat mempunyai daya
saing yang tinggi sehingga dapat bergerak menuju titik nol dan setelah itu
menggiringnya menuju pertumbuhan. Untuk melaksanakan peran pemerintah
semacam itu, diperlukan beberapa strategi dan kebijakan sebagaimana dibahas
berikut.
Strategi Dasar
Strategi dasar adalah strategi kebutuhan yang harus diutamakan sebelum
pembangunan peternakan itu sendiri dilaksanakan. Strategi dasar bisa jadi bukan
strategi tetapi suatu cara yang mutlak ada untuk mempertahankan kehidupan
ternak. Namun dalam kerangka pengembangan ternak untuk tujuan mencapai
ketahanan pangan, peningkatan produksi, dan kesejahteraan petani, maka
kebutuhan mutlak tersebut menjadi strategi. Ada tiga hal yang harus diperhatikan
dalam strategi dasar, sebagai berikut:
Sumberdaya, Komoditas dan Produk Ternak
Strategi dasar pertama adalah memposisikan ternak sesuai dengan fungsi
pemanfaatan dan pengembangannya. Posisi ternak dalam budidaya terdiri atas tiga
manfaat utama yakni ternak sebagai sumberdaya, ternak sebagai komoditas dan
ternak penghasil produk (Gambar 4).
Ternak sebagai sumberdaya dapat diibaratkan setara dengan sumberdaya
alam seperti lahan dan air merupakan sumber turunan dan produksi. Sumberdaya
ternak dapat hilang, tidak bisa diganti tetapi dapat dikembangkan. Karena itu
sumberdaya harus dirawat supaya dapat terus memberikan keturunan dan
berproduksi. Perbedaan posisi manfaat memberikan implementasi program dan
kebijakan yang berbeda. Contoh ternak sumberdaya adalah sapi bali, sapi
brahman, ayam buras, kambing etawah, domba garut dan sebagainya.
Ternak sebagai komoditas, adalah sekelompok ternak yang dihasilkan dari
turunan ternak sumberdaya melalui suatu perkawinan tertentu atau kelompok
ternak yang telah terpilih melalui suatu jalur perkawinan tertentu atau seleksi
genetis tertentu berdasarkan ciri-ciri karakteristik yang diunggulkan. Ternak
komoditas berfungsi menghasilkan bakalan unggul. Contoh kelompok ini adalah
ayam ras GPS (Grant Parents Stock), sapi perah FH. Adapun ternak sebagai
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

30

penghasil produk adalah kelompok ternak yang berfungsi menghasilkan daging,
susu dan telur secara efisien. Contoh kelompok ini adalah sapi bakalan impor,
ayam ras FS dan sebagainya. Implikasi kebijakan pada setiap kelompok akan
berbeda. Strategi pembangunan peternakan dengan memposisikan ternak dalam
tiga jalur tersebut akan lebih memudahkan menetapkan program dan sasaran
sekaligus akan memudahkan dalam monitoring dan evaluasi keberhasilan
program.

Gambar 4. Pembagian Kelompok Ternak Menurut Fungsi dan Pemanfaatannya

Selama ini program pembangunan peternakan tidak jelas membuat
perbedaan semacam itu. Indonesia telah menghasilkan ribuan ton daging yang
hampir seluruhnya berasal dari pemotongan ternak sumberdaya. Artinya kita
mengkonsumsi plasma nuftah yang seharusnya dirawat. Sementara ternak yang
diimpor adalah ternak komoditas dan ternak produk, sehingga Indonesia tidak
memperoleh manfaat lebih dari impor ternak produk tersebut. Pada sisi lain
Indonesia mengekspor ternak hidup dari kelompok ternak sumberdaya, sehingga
suatu hari nanti, ternak sumberdaya Indonesia telah pindah ke negara lain.

Memenuhi Kebutuhan Dasar
Apapun bentuk peternakan masa depan yang diidamkan, maka satu hal
harus dilakukan terlebih dahulu, yakni memenuhi kebutuhan dasar ternak sebagai
makhluk hidup. Kebutuhan dasar ternak adalah pakan (HMT dan butiran) dan air.
Manusia harus memberikan pelayanan tinggi bagi kebutuhan pakan, sehingga
ternak tidak perlu luntang lantung mencari HMT yang tidak ada. Penyediaan
pakan yang cukup merupakan titik awal bagi mendorong industri untuk tumbuh
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

31

dan berkembang dengan sendirinya tanpa turut campur tangan pemerintah. Untuk
memberikan pelayanan penyediaan pakan diperlukan lahan khusus bagi produksi
HMT, kebutuhan air dan pengumpulan sisa-sisa produksi hijauan asal tanamantanaman yang diusahakan manusia seperti tanaman pangan.
Memenuhi kebutuhan dasar usaha peternakan rakyat yang terdiri atas 5090 persen dari total populasi pada umumnya memiliki manajemen dan teknologi
yang relatif rendah, sehingga harus dilakukan oleh pemerintah dengan mengajak
masyarakat peternakan untuk berpartisipasi. Pemerintah harus menjamin
tersedianya HMT dan butiran dalam bentuk investasi publik sebagaimana
pemerintah menjamin ketersediaan irigasi dan pupuk dalam usahatani padi.
Kebijakan investasi publik dalam usaha penyediaan pakan ini akan mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan peternakan secara nyata.
Pengendalian Penyakit
Penyakit ternak selain merupakan ancaman bagi kehidupan ternak sebagai
makhluk tetapi juga menjadi ancaman bagi manusia yang hidup berdampingan
dengan ternak dan yang mengkonsumsi hasil ternak. Struktur industri peternakan
apapun bentuknya harus melakukan pengendalian panyakit. Dalam
pelaksanaannya, sebagian besar peternak karena tidak mempunyai pengetahuan
dan modal, tidak mampu melakukan pengendalian penyakit tersebut dan
kewajiban itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah dengan mengajak
partisipasi masyarakat sesuai dengan visi pembangunan peternakan. Kita sudah
mengalami bagaimana serangan penyakit sapi gila, flu burung, mulut dan kuku
menghancurkan industri peternakan negara-negara maju dan berkembang serta
mengancam keselamatan manusia.
Pengendalian penyakit menuntut pengetahuan dan penguasaan teknologi
tinggi dan kemampuan menanganinya di lapang. Usaha-usaha pengendalian
penyakit, merupakan investasi publik dimana pemerintah harus menggerakkan
kegiatan-kegiatan penelitian dan percobaan, memproduksi vaksin dan obat-obatan
dan melakukan pengawasan dan pencegahan penularan penyakit dari satu wilayah
ke wilayah lain. Pada sisi lain, pemerintah dapat mengajak partisipasi masyarakat
peternakan dengan melakukan penyuluhan dan biosekuriti di lingkup
peternakannya sendiri. Pemerintah harus bekerjasama dengan badan-badan
penelitian dan perguruan tinggi.
Strategi Pengembangan Agribisnis
Pengembangan agribisnis bertujuan meningkatkan nilai manfaat, nilai
tambah dan daya saing produk peternakan untuk mencapai kemandirian.
Pengembangan agribisnis mencakup pengembangan usaha rakyat, skala menengah
dan usaha skala besar. Tiga tipe pendekatan agribisnis akan dilakukan sebagai
strategi pengembangan peternakan sesuai dengan struktur usaha sebagai berikut.
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

32

Pengembangan Agribisnis Usaha Rakyat
Usaha rakyat merupakan fondasi peternak di Indonesia untuk semua jenis
ternak, karena mempunyai peran besar dalam ketahanan pangan dan kesejahteraan
peternak. Sesuai dengan bentuk, sistem produksi dan kelemahan-kelemahannya
maka strategi pengembangan agribisnis usaha rakyat dilakukan dengan
pendekatan agribisnis wilayah.
Pendekatan agribisnis wilayah merupakan cara pandang yang berbeda
dengan pendekatan agribisnis pada umumnya. Pendekatan agribisnis secara umum
adalah membangun secara simultan empat subsistem agribisnis dengan basis
pengembangan ternak dan peternak merupakan fokus. Agribisnis pendekatan
wilayah dimaksudkan adalah memperlakukan suatu wilayah geografis tertentu
sebagai kawasan usaha rakyat. Fungsi pemerintah dalam wilayah itu adalah
mengelola semua agribisnis yang ada dalam wilayah itu dengan terpadu.
Peternakan merupakan salah satu agribisnis dalam wilayah itu yang harus
didukung oleh agribisnis tanaman pangan, perkebunan dan hortikultura. Dengan
demikian pendekatan wilayah adalah mengintegrasikan berbagai agribisnis dalam
wilayah dan masing-masing agribisnis akan mengembangkan pula ke empat
subsistem agribisnis baik horisontal maupun vertikal. Pendekatan ini adalah dalam
usaha mengelola input dan output agribisnis keseluruhan, sehingga tercapai
peningkatan efisiensi, manfaat dan nilai tambah.
Untuk menerapkan strategi ini, kita perlu belajar terlebih dahulu dari
pengalaman kecil antara lain membangun suatu kawasan padat ternak tertentu
seperti wilayah kecamatan atau kabupaten. Dalam wilayah itu, pemerintah
merupakan stimulator menggerakan simpul-simpul agribisnis berbagai komoditas
terkait sehingga menimbulkan kelembagaan yang mengkoordinasikan seluruh
agribisnis dalam kawasan tersebut. Untuk menjadi stimulator, hal pertama yang
harus dilakukan adalah melaksanakan strategi dasar dan selanjutnya merupakan
hal teknis yang sangat tergantung pada kondisi kawasan tersebut.
Pengembangan Agribisnis Skala Menengah
Pemerintah selama ini selalu memfokuskan program pembangunan
peternakan pada usaha-usaha rakyat dengan skala usaha relatif kecil baik untuk
ayam buras, sapi, kambing, domba dan sapi perah. Kebiasaan itu harus
ditingkatkan menjadi lebih fokus pada skala menengah. Pembangunan skala
menengah akan menciptakan landasan perekonomian peternakan yang jauh lebih
kuat dan stabil dibandingkan jika peternakan tetap bertahan dengan landasan
peternakan rakyat.
Usaha skala menengah pada intinya adalah usaha yang setingkat lebih
tinggi dari usaha rakyat baik dalam ukuran usaha maupun manajemen budidaya.
Usaha skala menengah untuk sapi adalah 50-100 ekor, kambing 50-500 ekor dan
ayam ras antara 10-50 ribu ekor, serta ayam buras 5-10 ribu ekor. Pengembangan
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

33

agribisnis skala menengah ditujukan pada peternak yang sudah ada saat ini,
mereka tersebar di seluruh wilayah. Tahap pertama yang harus dilakukan adalah
mendata usaha peternakan skala menengah yang ada saat ini sehingga diketahui
jumlah dan sebarannya. Langkah selanjutnya membangun strategi pembinaan
skala menengah sehingga menjadi kekuatan baru dalam pembangunan peternakan.
Strategi yang dilakukan untuk pengembangan skala menengah adalah pendekatan
agribisnis ternak dengan tujuan mengintegrasikan subsistem agribisnis secara
vertikal dan secara tidak langsung melalui suatu koordinasi.
Pengembangan Agribisnis Skala Besar
Agribisnis peternakan skala besar adalah usaha-usaha mandiri,
membutuhkan modal besar serta manajemen dan teknologi maju. Pemerintah tidak
bisa banyak berperan dalam agribisnis ini kecuali memberikan pelayanan dan
peraturan-peraturan yang tidak menghambat pertumbuhan sektor ini. Pendekatan
agribisnis yang dilakukan adalah mengintegrasikan subsistem agribisnis secara
vertikal dan langsung.
Kebijakan Pembangunan Peternakan
Sumberdaya Manusia (SDM)
Untuk meningkatkan kemampuan SDM khususnya masyarakat peternak
adalah tidak mungkin saat ini dilakukan melalui pendidikan langsung, kecuali
melalui training-training pendek tetapi tetap membutuhkan biaya besar. Merekrut
aparat yang berpendidikan cukup profesional adalah syarat penting dalam langkah
meningkatkan sumberdaya manusia. Seleksi aparat yang berpendidikan dan
profesional mengurangi beban negara dan memberikan produktivitas yang lebih
baik.
Pendidikan tak langsung adalah menimba pengalaman dari pengelolaan
pekerjaan yang berkesinambungan. Strategi lain adalah memproyeksikan tugas
besar dalam pekerjaan kecil. Jika pekerjaan kecil berhasil, maka pekerjaan besar
kemungkinan besar berhasil pula. Dalam hal ini, program nasional harus
diproyeksikan pada tingkat kecamatan terlebih dahulu. Rekayasa program harus
sedemikian rupa sehingga dapat memaksa aparat belajar secara autodidak. Metode
ini selain paling murah dan efektif juga tidak menghambat rencana pembangunan.
Pada waktu yang akan datang, kedudukan seseorang akan ditentukan oleh
prestasinya sehingga para eksekutif selalu bekerja sesuai dengan blueprint dan
bukan pada keinginan individu pimpinan.
Pendekatan Lokasi Spesifik untuk Ternak Spesifik
Kebijakan pembangunan peternakan difokuskan pada lokasi spesifik untuk
ternak spesifik. Lokasi spesifik, ditentukan oleh kearifan lokal, kepadatan ternak,
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

34

dan dukungan sumberdaya alam. Posisi lokasi tersebut menentukan sumbangan
produksi hasil ternak untuk kebutuhan nasional. Ternak spesifik, ditentukan oleh
jenis ternak unggulan tingkat nasional maupun daerah. Strategi ini sangat
bermanfaat karena kemampuan dana pemerintah terbatas, ternak menyebar luas
dalam 30 provinsi, kemampuan aparat dinas peternakan terbatas, kearifan lokal
berbeda antar wilayah. Manfaat strategi dengan pendekatan ini adalah dampak
program dan permasalahan lebih mudah terlihat (proses induksi) sehingga
rumusan program berikutnya untuk lokasi yang lebih luas akan lebih efektif
(proses deduksi).
Sebagai contoh, kebijakan implementasi program untuk ternak sapi
diprioritaskan atau dikonsentrasikan pada provinsi penghasil ternak sapi untuk
wilayah konsumsi DKI dan Jabar, Jatim dan Sumut. Provinsi tersebut adalah NTT,
NTB, Sulsel, Jatim, Lampung dan Sumatera Barat. Pembenahan ternak pada
wilayah produksi akan dapat mengurangi impor daging dan ternak di wilayah
konsumsi dan menekan angka pengurasan ternak. Kearifan lokal pada keenam
provinsi mendukung demikian juga sumberdaya alam tersedia.
Memperhatikan Struktur dan Sistem Produksi Ternak
Struktur produksi menyangkut apakah usaha rakyat tradisional, usaha
maju, usaha skala menengah dan bagaimana porsi dari masing-masing usaha
tersebut. Sementara sistem produksi adalah bagaimana budidaya ternak dilakukan
apakah sistem padang penggembalaan, sistem pemberian pakan di tempat atau
kombinasi kedua sistem itu. Sebagai contoh, sistem produksi ternak pada padang
penggembalaan dan pemberian pakan di tempat pada umumnya hanya sesuai
untuk pengembangan usaha rakyat (khususnya di Indonesia). Sistem kombinasi
pada umumnya hanya sesuai untuk usaha-usaha komersil terutama untuk budidaya
ternak penghasil produk. Pengembangan sumberdaya ternak lebih sesuai pada
sistem padang penggembalaan, sedangkan untuk produksi komoditas dan produk
lebih sesuai pada sistem pakan diantarkan atau kombinasi.
Membina Kerjasama Investasi dan Pembiayaan Saling Menguntungkan
Pemerintah pada saat ini selain memiliki dana terbatas tetapi juga
perhatian pada sektor peternakan sangat rendah dibandingkan dengan perhatian
terhadap tanaman pangan. Selain berupaya mengangkat masalah peternakan ke
dalam bidang politik supaya mendapat perhatian lebih besar dalam rencana
pembangunan ekonomi nasional tetapi juga perlu dicari upaya-upaya kerjasama
khususnya investasi dan pembiayaan dalam peningkatan manfaat dan nilai tambah
ternak lokal.
Pendekatan strategis dan mungkin dapat dilakukan adalah kerjasama
dengan peternak rakyat. Peternakan adalah setingkat di atas pertanian pada
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

35

umumnya yang berlandaskan pada lahan. Peternakan tidak hidup langsung berakar
dari tanah, tetapi ternak merupakan konsumen dari tanaman yang dihasilkan dari
tanah. Dalam konteks ini, kita memahami bahwa tidak ada lahan bebas tersedia
untuk memberi pakan ternak, karena sebagian besar mendapat pakan dari
pengumpulan yang mungkin. Dengan cara ini peternakan rakyat dapat merupakan
usaha yang mendatangkan sumber pendapatan.
Karena itu diperlukan suatu kerjasama yang melembaga antara peternak
dengan petani dan pemilik lahan setempat sehingga peternak memperoleh akses
dan ketersediaan pakan yang lebih besar. Kapasitas kelembagaan ditingkatkan
dari tidak ada menjadi ada dan berbentuk bisnis, sehingga peternak dapat berdiri
kokoh. Kapasitas itu juga harus ditingkatkan kepada pemerintah setempat yang
menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan, termasuk pembinaan SDM
pada kantor Dinas Peternakan.
Peternak rakyat menguasai hampir 10 juta ternak sapi, 200 juta ayam
buras, 16 juta kambing domba dan 300 ribu sapi perah. Kerjasama ini akan
meringankan pemerintah karena tidak usah dan tidak perlu pembiayaan dan
investasi selama kerjasama itu saling menguntungkan dan tidak menjadikan
peternakan sebagai objek. Sebagai contoh jika pemerintah bermaksud
meningkatkan populasi, maka pemerintah dapat bekerjasama dengan peternak
pada satu kawasan tertentu. Dalam kawasan itu pemerintah memberikan
pelayanan dalam hal pengadaan HMT, air, inseminasi buatan (IB), transfer embrio
dan pengendalian penyakit serta kompensasi lain. Seluruh ternak dalam kawasan
diasuransikan atas nama pemerintah.
Kerjasama dapat juga dilakukan dengan luar negeri terutama dalam
pengembangan produk ternak. Kerjasama dengan para pedagang produk babi di
Singapura dengan investor dalam negeri dan pemerintah menyediakan dana
pendamping yang diperlukan dalam usaha ternak babi, usaha penggemukan sapi
bakalan impor di wilayah perkebunan dan sebagainya. Khususnya kerjasama
dengan Australia dalam memproduksi daging sapi dapat menjadikan Indonesia
sebagai pengeskpor daging ke negara-negara Asia dan negara Islam yang merasa
lebih yakin kehalalan produk dari negara muslim, ketimbang membeli daging
langsung dari Australia. Kerjasama ini saling menguntungkan semua pihak
termasuk negara konsumen.
Kerjasama signifikan juga dapat diterapkan dalam program tunda potong.
Seperti telah disampaikan di atas bahwa jumlah pemotongan sapi sekitar 1,6 juta
ekor per tahun. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan 40 persen dari jumlah
pemotongan adalah sapi betina dan 70 persen di antaranya adalah betina produktif.
Artinya, jumlah sapi produktif yang dipotong adalah 40 persen x 70 persen x 1,6
juta atau 448 ribu ekor merupakan sapi betina produktif. Angka ini terus
meningkat sepanjang tahun. Pemotongan sapi betina mempunyai dampak yang
sangat luas terhadap populasi. Setiap pemotongan 100 ribu ekor sapi betina
produktif berarti menghilangkan kesempatan tambahan populasi dari kelahiran
Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 4 No. 1, Maret 2006 : 18-38

36

sebesar 60 ribu ekor. Jika pemotongan sapi betina dapat diselamatkan dalam masa
3 tahun saja maka akan dapat peningkatan populasi sebesar 1,7 juta ekor ditambah
dengan 2,7 juta yang batal dipotong maka total peningkatan populasi 4,4 juta ekor
dalam waktu 3 tahun.
Salah satu strategi untuk menyelamatkan pemotongan sapi betina adalah
dengan menegakkan hukum larangan pemotongan betina, serta mengkompensasi
tunda potong sapi betina produktif dalam bentuk pinjaman lunak, dibeli
pemerintah (tergantung umur ternak), dan asuransi. Kompensasi dapat dibayarkan
kembali setelah 3 tahun. Kebijakan kompensasi ini harus disertai dengan
kebijakan memberi izin impor sapi bakalan sebesar sapi betina yang mendapat
kompensasi yakni 448 ribu ekor. Maka total impor sapi bakalan per tahun adalah
sekitar 700 ribu ekor per tahun. Pada tahun ke 3 impor sapi bakalan sudah dapat
dihentikan karena kebutuhan 700 ribu ekor per tahun sudah dapat dipenuhi dari
produksi dalam negeri.

Strategi Mencapai Ketahanan Pangan
Pada dasarnya ketahanan pangan merupakan konsekuensi dari strategi dan
kebijakan pembangunan yang sejak semula diarahkan ke sana. Strategi dan
kebijakan pengembangan agribisnis seperti yang telah dibahas di atas juga
mempunyai sasaran mencapai ketahanan pangan, khsususnya dalam hal
peningkatan produksi hasil ternak.
Berdasarkan kondisi pengamanan produk ternak yang ada saat ini dan
kondisi fasilitas pendukung maka strategi dan kebijakan yang perlu dilakukan
adalah: (1) Meningkatkan kemampuan SDM dan fasilitas laboratorium pada
BPMPP, BPPV, BBPPV, Balitvet, Laboratorium pada Dinas Peternakan Provinsi
dan Dinas Peternakan Kota/Kabupaten sesuai wewenang dan tugas yang
diembankan pada lembaga tersebut; (2) Membudayakan jaringan kerja
pengendalian keamanan pangan asal ternak/hewan lingkup Deptan dan instansi
terkait lain (Depkes, BPOM, Pemerintah Daerah dan Kepolisian); (3) Melakukan
sosialisasi pada masyarakat luas tentang mutu produk ternak dan hasil pengujian
mutu produk ternak yang diperdagangkan di pasar; (4) Memperketat pengawasan
Program ASUH pada usaha RPH/RPA dan proses pengolahan makanan asal
produk ternak.
PENUTUP
Langkah selanjutnya setelah merumuskan strategi dan kebijakan
pembangunan di atas adalah merumuskan program induk. Program induk
pembangunan peternakan konsisten dengan pemecahan masalah dan strategi
pembangunan. Kebijakan yang diperlukan harus memberikan pelayanan dan
ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN RAKYAT Yusmichad Yusdja dan Nyak Ilham

37

dukungan bagi terlaksananya program-program tersebut. Program induk utama
adalah menjawab pertanyaan bagaimana mengembangkan peternakan melalui tiga
jalur pertumbuhan ternak yakni ternak sebagai sumberdaya, komoditas dan
produk.

DAFTAR PUSTAKA
Mindtools. 1999. "SWOT Analysis- Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats." PMIPlus, Minus, Interesting. http://www.mindtools.com/swot.html.
Departemen Pertanian. 2005. Rencana Pembangunan Pertanian Tahun 2005-2009.
Departemen Pertanian.
Bradford, Robert. W., Duncan, Peter. J., Tarcy, Brian. 2005. Simplified Strategic
Planning. Internet Center for Management and Business Administration, Inc.
Ilham