MAKALAH ANALISIS KONFLIK SUMBER DAYA HUT

ANALISIS KONFLIK
SUMBERDAYA HUTAN DI
KAWASAN
KONSERVASI
OLEH :KELOMPOK 7
EDI SUMARNO
(M1A1 13 136)
LA JURU
(M1A1 13 151)
MUH. AKBAR (M1A1 13 155)
IKE WIJAYANTI
(M1A1 13 158)
HARI AGUS SETIOBUDI (M1A1 13
164)
LA ODE AHMAD
(M1A1 13 152)

FAKULTAS KEHUTANAN DAN ILMU
LINGKUNGAN
UNIVERITAS HALU OLEO


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati
di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati
(tumbuhan) dan sumberdaya alam hewani (satwa)
yang bersama dengan unsur nonhayati di
sekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem
(Mensesneg,
1990). Budimanta (2007)
mengungkapkan bahwa keberadaan sumberdaya
alam yang penting bagi kehidupan manusia,
menjadikan kompleksitas hubungan antara berbagai
pihak yang
memiliki
kepentingan
dalam
pengelolaan sumberdaya alam.

LANJUTAN…..

Sejak ratusan tahun lalu, masyarakat adat Kasepuhan
telah melakukan pengelolaan hutan sesuai dengan
peraturan
adat.
Masyarakat
adat
mengelola
hutan
berdasarkan
dengan
jenis-jenis
hutan
yang
telah
dikategorikan oleh adat. Terdapat tiga jenis hutan yang
dikategorikan oleh adat, yaitu Leuweung tutupan (hutan
tutupan), Leuweung titipan (hutan titipan), dan Leuweung
bukaan (hutan bukaan). Pengelolaan ketiga jenis hutan ini
diatur oleh adat, yang diwakilkan oleh ketua adat (Abah).
Secara tiba-tiba, pemerintah mengklaim kawasan hutan

milik masyarakat adat Kasepuhan sebagai bagian dari
taman nasional, dan dilakukan secara sepihak tanpa
sepengetahuan masyarakat Kasepuhan dan mengancam
kehidupan masyarakat. Keberadaan Taman Nasional
Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi
Manusia | April 2011, hlm. 90-96 Gunung Halimun-Salak
telah meresahkan dan mengancam kehidupan masyarakat adat
Kasepuhan dalam bentuk pemanfaatan hutan.

B. Rumusan Masalah
bagaimana sejarah konflik dan pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik sumberdaya
alam, serta bentuk-bentuk penyelesaian
yang telah dilakukan untuk meredam konflik
di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak?
C. Tujuan
untuk mengetahui sejarah konflik dan pihakpihak
yang
terlibat
dalam

konflik
sumberdaya alam, serta memahami bentukbentuk penyelesaian yang telah dilakukan
untuk meredam konflik di Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Konflik dapat diartikan sebagai pertarungan antara dua
pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang
biasanya disebabkan oleh perbedaan nilai, pandangan,
aktivitas,
status, dan
kelangkaan sumberdaya alam.
Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Fuad dan
Maskanah (2000), Ibrahim (2002) sebagaimana dikutip
Ilham (2006) serta Fisher et al. (2001) yang mengungkapkan
bahwa konflik muncul karena ada sasaran-sasaran yang tidak
sejalan atau tidak sama. Konflik akan selalu ditemui selama
manusia menjalankan peranannya di dalam kehidupan. Manusia
melakukan berbagai usaha untuk memenuhi kebutuhnnya,

yang
dalam pelaksanaannya manusia harus melaksanakan hak
dan kewajibannya. Ketika merealisasikan hak-hak manusia
yang merupakan bagian dari komunal, sering terjadi benturanbenturan antara pemenuhan hak-hak tersebut.

Konflik dapat berwujud konflik tertutup
(latent),mencuat (emerging), dan terbuka(manifest)
seperti yang diungkapkan oleh Fuad dan Maskanah
(2000). Selain itu, Fuad dan Maskanah (2000) juga
membagi konflik menjadi dua jenis menurut level
permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan konflik
horizontal. Dalam konflik sumberdaya alam, konflik
yang terjadi dapat berwujud tertutup, mencuat,
maupun
terbuka,
tergantung karakteristik aktor
aktor
yang
berselisih.
Menurut

level
permasalahannya,
konflik
sumberdaya
alam
cenderung berwujud konflik vertikal, yang terjadi
antara pemerintah dan masyarakat.

Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai
aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan
yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui
untuk membantu menganalisis berbagai dinamika
dan kejadian yang berkaitan dengan masingmasing tahap konflik (Fisher et al., 2001). Analisis
dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, yaitu:
1.

Prakonflik

2.


Konfrontasi

3.

Krisis

4.

Akibat

5.

Pascakonflik

BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Konflik kehutanan di kawasan Gunung Halimun dimulai
sejak tahun 1970-an, ketika hak pengelolaan hutan dipegang
oleh Perhutani. Saat itu terjadi tumpang tindih antara hutan-hutan

milik Perhutani dan hutan adat milik Kasepuhan. Pada tahun
1974, kawasan Kasepuhan dengan dipimpin oleh Ki Ardjo
berpindah ke daerah Ciganas, Desa Sirna Rasa. Akan tetapi
kawasan ini sudah termasuk dalam kawasan Perhutani.
Persoalan mulai terjadi saat aparat keamanan melihat incu
putu (masyarakat adat) Kasepuhan mulai membuka huma
dengan membabat bukit-bukit di daerah penyangga. Namun
hal ini tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan, mengingat
saat itu, hubungan antara pihak Kasepuhan dengan Perhutani dan
pemerintah daerah setempat terjalin dengan baik. Keributan
mengenai pemukiman dan perladangan yang berpindah-pindah
dimulai sejak Kasepuhan dipimpin oleh Abah Anom pada tahun
1983 yang memindahkan Kasepuhan ke Cipta Rasa yang
termasuk dalam blok Datar Putat.

Permasalahan yang terjadi dengan Perhutani tidak hanya
mengenai persoalan lahan. Ada permasalahan lain yang
terjadi. Menurut Wa UGS, permasalahan muncul ketika
Perhutani menjadikan kawasan hutan titipan Kasepuhan
sebagai kawasan hutan produksi. Padahal menurut

peraturan adat Kasepuhan, di dalam kawasan hutan titipan
(leuweung titipan) tidak boleh ada kegiatan ekonomi
termasuk untuk produksi massal, bertentangan dengan
fungsi hutan produksi Perhutani yang memfungsikan
kawasan hutan tersebut untuk kegiatan ekonomi. Namun,
permasalahan ini tidak sampai menimbulkan konflik yang
keras, karena bisa diselesaikan dengan baik, dan
Perhutani memindahkan lokasi hutan produksinya ke luar
wilayah hutan titipan. Selain itu, pihak Perhutani juga
masih mengizinkan incu putu (masyarakat adat
Kasepuhan) untuk menggarap hutan produksi dengan
sistem tumpang sari.

Pemerintah mengeluarkan SK. Menteri Kehutanan
No.282 tahun 1992 yang mengacu pada UU pokok
Kehutanan No.5/1967 dan UU Konservasi dan
Sumberdaya Hayati No.5/1990 yang menetapkan
kawasanGunung Halimun seluas 40.000 hektar sebagai
kawasan taman nasional di bawah pengelolaan
sementara Balai Taman Nasional (BTN) Gunung Gede

Pangrango dengan nama Taman Nasional Gunung
Halimun1. Sejak berlakunya surat keputusan tersebut,
pihak balai taman nasional mulai membatasi segala
kegiatan pendayagunaan oleh manusia, termasuk di
dalamnya pelarangan pengambilan kayu bakar, tanaman
untuk obat-obatan, dan hasil hutan lainnya oleh
masyarakat sekitar kawasan. Selain itu, pengusiran secara
halus pun dilakukan kepada masyarakat yang wilayah
pemukimannya masuk dalam zona-zona taman nasional.

Keadaan bertambah parah saat pemerintah
mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No.
175/kpts-II/ 2003, tentang perluasan kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menjadi
113.357 hektar. Banyak lahan garapan maupun
pemukiman masyarakat, baik masyarakat adat
maupun masyarakat lokal yang akhirnya masuk
dalam kawasan konservasi sehingga kegiatan
pertanian pun menjadi terbatas. Pengelolaan Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak dilakukan dengan

sistem zonasi, sesuai dengan Peraturan Menteri
Kehutanan No.56 Tahun 2006, mengenai Pedoman
Zonasi Taman Nasional. Zonasi-zonasi tersebut
adalah zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan,
dan zona lain sesuai kebutuhan.

B. sumber-sumber konflik Sumberdaya Alam di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak
Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak disebabkan oleh empat sumber perbedaan, yaitu:
perbedaan
persepsi,kepentingan,
tatanilai,
dan
akuan hak
kepemilikan.Perbedaan persepsi terjadi ketika pihak taman nasional
menganggap masyarakat sebagai perambah hutan dan pelaku illegal
logging. Sedangkan masyarakat adat Kasepuhan menganggap
pihak taman nasional telah menyerobot lahan garapan masyarakat
untuk dijadikan taman nasional.
Perbedaan dalam menilai fungsi hutan terjadi ketika pihak taman
nasional menganggap kawasan Gunung Halimun sebagai kawasan
hutan yang perlu dijaga kelestariannya karena merupakan daerah
resapan air dan memiliki keanekaragaman yang tinggi, sehingga
diperlukan upaya konservasi.
Sedangkan
masyarakat
adat
Kasepuhan menilai hutan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari mereka dan sebagai tempat spiritual yang
dipercaya memiliki benda-benda pusaka.

C. Bentuk-bentuk Penyelesaian Konflik yang Telah Dilakukan
Konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak bukan tidak
pernah berusaha untuk diselesaikan. Telah ada upaya upaya
yang dilakukan baik oleh pihak pemerintah maupun pihak
Kasepuhan sendiri untuk meredam konflik yang terjadi.Beberapa
upaya yang telah dilakukan untuk
menyelesaikan
konflik
kehutanan Halimun adalah sebagai berikut:
1.

Taman Nasional Gunung Halimun-Salak menawarkan kepada
Kasepuhan untuk menjadikan wilayah adat Kasepuhan,
khususnya Kasepuhan Cipta Gelar yang wilayah berada pada
enclave taman nasional, untuk dijadikan zona khusus budaya,

2.

Pihak Taman Nasional Gunung Halimun-Salak juga pernah
mengajukan berkas pengelolaan Gunung Halimun kepada
Kasepuhan, namun pihak Kasepuhan menolak, karena
seharusnya usulan pengelolaan hutan harus berasal dari pihak
Kasepuhan yang lebih mengetahui kebutuhan masyarakatnya.

3.

saat ini, masyarakat Kasepuhan Adat Banten
Kidul khususnya yang berada di Kabupaten
Sukabumi (Kasepuhan Sinar Resmi, Cipta Gelar
dan Cipta Mulya) sedang mengajukan peraturan
daerah mengenai pengakuan hak tanah adat
kepada Pemerintah Daerah. Berkasnya sudah
sampai pada tingkat Badan Legislatif Daerah
pada bulan September 2010, namun masih dalam
proses karena pemetaan wilayah adat untuk
ketiga Kasepuhan tersebut belum dilaksanakan
Upaya yang telah dilakukan adalah negosiasi,
namun tidak sampai
pada
kesepakatan.
Diperlukan proses mediasi dan mediator untuk
mengakomodasi
keinginanpihak-pihak yang
berkonflik.

A.

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

1. Sejarah konflik sumberdaya alam di kawasan
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak dimulai
ketika kawasan Gunung Halimun dikelola oleh
Perhutani pada tahun 1970-an.
2. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak adalah Perhutani
yang kemudian digantikan oleh Balai Taman
Nasional Gunung Halimun-Salak melalui SK.
Menhut No. 175 Tahun 2003, serta masyarakat adat
Kasepuhan Sinar Resmi.

3. Penyebab konflik kehutanan yang terjadi di
Taman Nasional Gunung Halimun-Salak disebabkan
oleh empat sumber perbedaan,yaitu: perbedaan
persepsi, kepentingan, tatanilai, dan akuan hak
kepemilikan. Namun, permasalahan utama dalam
konflik di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak
terletak pada Perbedaan dalam akuan hak
kepemilikan, terjadi ketika pihak taman nasional
menganggap bahwa kawasan Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak sebagai milik Negara karena tidak
terbebani hak atas tanah, sedangkan masyarakat adat
menganggap bahwa kawasan Gunung Halimun
adalah milik adat, karena sudah diwariskan oleh
leluhur untuk anak-cucu mereka.

4. Konflik di Taman Nasional Gunung
Halimun-Salak bukan tidak pernah berusaha
untuk diselesaikan. Telah ada upaya-upaya
yang
dilakukan
baik
oleh
pihak
pemerintah maupun pihak Kasepuhan
sendiri untuk meredam konflik
yang
terjadi. Upaya yang telah dilakukan adalah
negosiasi, namun tidak sampai pada
kesepakatan. Diperlukan proses mediasi dan
mediator untuk mengakomodasi keinginan
pihak-pihak yang berkonflik.

THANK YOU

JOIN: edisumarnoblog.blogspot.com