MILITER dan POLITIK Keterkaitan keduanya

MILITER dan POLITIK
Keterkaitan keduanya di Indonesia

Peranan ABRI dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan semestinya sebatas
menciptakan keadaan yang kondusif bagi terselenggaranya negara yang sedang
membangun, bukan ikut serta menylenggarakan negara dan ikut serta membangun. Persepsi
itu juga terlalu sempit yang mengaggap organisasi yang baik untuk melaksanakn
pembangunan adalah model organisasi militer.
Pendekatan orde baru yang selalu mengedepankan dwi fungsi ABRI karena latarbelakang
ABRI di Indonesia dalam sejarah lahirnya militer dari rakyat yang berjuang di daerah daerah
dengan bergerilya melawan penjajah kolonial belanda, merupakan usaha rezim soeharto
dalam memberikan pembenaran bahwa tindakan represif militer yang selama ini dilakukan
adalah demi stabilitas rakyat juga.
Keberadaan dwi fungsi ABRI adalah salah satu bukti nyata dari adanya keikutsertaan militer
dalam dunia berpolitikan di Indonesia. perjalanan Indonesia berpolitik dalam tiga era yakni,
yang pertama era orde lama yang berjalan pada tahun 1945 hingga 1966, pada kurun waktu
ini TNI membentuk dirinya sendiri, menempatkan dirinya dalam pergaulan sipil militer tanah
air. Kedua yaitu era orde baru yang berlangsung selama 32 tahun (1966 – 1998) yang mana
pada masa kepemimpinan Soeharto ini sangat tampak betapa besarnya keikutsertaan dan
peran militer dalam kancah politik di Indonesia. Ketiga ialah era reformasi dan pasca
turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan yang bergerak pada kurun waktu 1998 hingga

sekarang dimana pada era ini terlihat titik balik dari perjalanan militer dalam kancah
perpolitikan di Indonesia dengan adanya gerakan sipil yang sangat kuat, menekan militer
untuk keluar dari kancah perpolitikan di Indonesia dan kembali mengemban fungsi yang jati
dirinya sebagai pertahanan negara, menjaga wilayah dan kehormatan negara.
Pada rezim orde baru dibawah presiden Soeharto, sebuah rezim yang secara khusus
ditopang oleh militer, Golkar dan birokrasi. Seiring berjalannya waktu, rezim orde baru
tersebut dapat dikatakan bobrok dan keropos. Rezim ini jugaa telah kehilangan legitimasinya
baik ditinjau dari keberhasilan ekonomi maupun dari sisi stabilitas politik. Para anggota

rezim yang tersisa larena tidak mampu lagi mempertahankan rezin orde baru maka
kemudian mereformasi diri.
Pada masa masa akhir orde baru suara suara ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah
umumnya, dan terhadap dominasi militer yang dianggap sebagai alat pemerintah khususnya
semakin kuat, yang pada akhirnya bergulir ke permukaan dengan gelombang yang semakin
membesardan tidak terhindarkan dalam bentuk gerakan reformasi. Seiring berjalannya
waktu, dan setelah terjadi krisis ekonomi dan politik yang berlanjut pada krisis kepercayaan,
muncullah gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa dan membawa dampak
terhadap jatuhnya kursi kepemimpinan Soeharto yang mengatasnamakan orde baru. Dengan
jatuhnya Soeharto dan kursi kepresidenannya pada tanggal 21 mei 1998, maka berakhir pula
pemerintahan orde baru karena Soeharto dianggap sebagai personifikasi orde baru.

Akumulasi kekecewaan dan penderitaan selama lebih dari 3 dekade dibawah orde baru
akibat dari ekses pelaksanaan dwi fungsi ABRI, khususnya ABRI sebagai kekuatan politik,
ditumpahkan oleh hampir semua lapisan masyarakat dan politisi dengan menghujat dan
mendesak ABRI kembali ke peran yang sebenarnya, yaitu mengurus masalah pertahanan
keaman negara.
Reformasi cukup tajam menyoroti posisi ABRI, baik sebagai Hankam maupun sebagai
kekuatan sosial politik. Sorotan masyarakat dalam semangat reformasi ini sangat
memojokkan posisi ABRI. Luka luka lama terungkit kembali. Di lain pihak ABRI juga
menyadari posisinya dan telah bertekad untuk melaksanakan konsolidasi dan reformasi
intern dalam rangka menyesuaikan dengan tuntutan zaman dengan memperbaiki serta
belajar dari pengalaman masa lalu.
Pasca orde baru, juga ditandai dengan terpisahnya lembaga kepolisian dari ABRI yang
merupakan langkah awal menuju militer professional. Tanggung jawab mereformasi tubuh
TNI diikuti puula dengan gerakan kembalinye militer ke barak, menandakan era militer dalam
politik sudah ditinggalkan. Tidak ada lagi pemberian jatah khusus pada legislatif untuk
militer, tidak ada lagi hak istimewa. Militer hanyalah orang biasa yang direkrut oleh negara,
dilatih dan dipersenjatai untuk menjaga kehormatan bangsa dan negara.

Dalam perkembangan politik Indonesia, pelaksanaan UU No.26 itu kemudian kian menjadi
sulit, ketika para perwira tingi militer yang diduga bertanggungjawab dalam suatu peristiwa

pelanggaran HAM berat dipromosikan dalam kedudukan strategis termasuk dalam komando
operasional TNI dan badan eksekutif lainnya. Sebagai contoh bisa disebutkan Sjafrie
Sjamsoedin yang sebelumnya Pandam Jaya ketika terjadi peristiwa Trisakti dan Mei 1998
malah dipromosikan menjadi Kapuspen TNI di Mabes TNI. Begitu pula AM. Hendropriyono
sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), pada tahun 1989 Hendro memimpin operasi
militer terhadap masyarakat Talangsari-Lampung yang mengakibatkan jatuhnya banyak
korban sipil. Lebih jauh dari itu, hambatan juga datang dari institusi legislatif karena kuatnya
pengaruh fraksi TNI/Polri dilembaga parlemen, diperparah dengan rendahnya kapasitas dan
perhatian anggota DPR dari kalangan partai politik terhadap pertanggungjawaban atas
kejahatan masa lalu. Dalam situasi seperti itu akhirnya UU 26/2000 yang ditujukan sebagai
upaya pencegahan keberulangan ternyata tidak mampu berjalan secara signifikan. Alhasil
bentuk dan pola pelanggaran berat HAM itu terjadi terus setelah UU itu diberlakukan.
Keberulangan itu terus terjadi disebabkan oleh masih digunakannya mekanisme Peradilan
Militer sebagaimana yang diatur dalam UU 31/1997 tentang Peradilan Militer yang memiliki
jurisdiksi sangat luas terhadap seluruh tindakan aparat militer. Undang-undang ini
menggunakan cara identifikasi subyek. Jika yang melakukan adalah anggota TNI maka akan
diproses melalui mahkamah militer tanpa memperhatikan delik-nya. Dengan sendirinya
peristiwa pelanggaran HAM yang semestinya diperiksa oleh penyelidik dan penyidik secara
khusus akhirnya tetap ditangani secara internal oleh TNI. Dalam kondisi inilah mekanisme
pertanggungjawaban yang termaktub dalam UU N0.26/2000 tentang Pengadilan HAM

menjadi ‘macet’.

Perubahan lainnya adalah sikap dan tindakan ABRI yang semula lebih mengutamakan
paradigma lama pendekatan keamanan berubah menjadi paradigma baru berdasarkan
pendekatan komperhensif. Perubahan ini relatif masih dalam tataran konsep dan belum
menyentuh substansi yang diinginkan masyarakat umum, yaitu pencabutan dwi fungsi ABRI.
Reformasi militer di tubuh TNI masih sukar terwujud karena militer masih otonom dan
independen dari pengawasan dan kendali otoritas politik sipil. TNI masih enggan melepaskan

dirinya dari politik oleh karena pencitraan dirinya yang sangat lekat dengan label tentara
politik.
Tuntutan terhadap ABRI untuk mundur dari dunia politik merupakan aspirasi ekstrem yang
berkembang dikalangan masyarakat. Di sisi lain , tarik menarik pendapat terhadap perlu
tidaknya mempertahankan dwi fungsi ABRI yang tidak kalah tajam. Tuntutan pencabutan dwi
fungsi ABRI masih sering terdengar dalam aksi aksi protes, apalagi dihubungkan dengan
berbagai kekerasan politik pada masa orde baru.
Reformasi pertahanan Indonesia dalam Buku Putih Pertahanan mencakup perubahan
struktur organisasi pertahanan, tataran kewenangan, fungsi dan tugas Departemen
Pertahanan, fungsi dan tugas TNI. Upaya penataan itu ditujukan agar penyelenggaraan
pertahanan negara dapat lebih efektif sesuai dengan perkembangan konteks strategis serta

dalam bingkai masyarakat demokratis. Pada aspek kultur dan tata nilai, perubahan diarahkan
pada sikap dan prilaku penyelenggara pertahanan negara untuk mampu memposisikan diri
sesuai dengan peran dan tugasnya. Perubahan itu berlaku bagi segenap jajaran TNI dan
Departemen.

AHMAD WILDAN JUNDULLAH
I72215026
FISIP / HI

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PARTAI POLITIK PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH TAHUN 2012 DI KOTA BATU (Studi Kasus Tim Pemenangan Pemilu Eddy Rumpoko-Punjul Santoso)

119 459 25

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2