Demokrasi dan Kehadiran Rakyat docx

Demokrasi dan Kehadiran Rakyat
Oleh A Taufiq*

Demokrasi adalah alat, sebagaimana cangkul, palu, atau arit. Bedanya, cangkul adalah alat olah alam,
demokrasi adalah alat olah sosial-politik.
Semakin canggih suatu alat, semakin rumit tekniknya, dan semakin susah penguasaannya.
Mempergunakan alat tanpa menguasai tekniknya akan berakibat fatal. Alih-alih mencangkul tanah, yang
tercangkul malah kaki sendiri. Alih-alih menyiangi rumput, yang terpotong malah leher PKI. Itu misalnya.
Mungkin mudah saja jika ranah garapan demokrasi adalah suatu lingkup yang sempit, semisal satu RT
atau satu desa. Masalahnya justru sangat runyam jika demokrasi dijadikan alat mengolah lingkup yang
lebih luas seperti “nation-state”. Hambatan-hambatan akan bermunculan, dan karenanya perjalannya
akan tersendat-sendat.
Disisi lain, meninggalkan demokrasi dan kembali ke masalalu alias menjadi kerajaan adalah sesuatu yang
tidak mungkin.
Sejarah Demokrasi Indonesia
Sebagai alat olah nation-state, demokrasi melalui suatu proses penemuan dan pembentukan dalam fase
kesejarahan yang panjang dan berdarah-darah. Tentu saja sejarah yang populer itu terjadi di Barat.
Peristiwa Revolusi Perancis adalah satu singularitasnya. Lalu demokrasi jadi model yang umum di negaranegara Barat.
Ketika Barat (Belanda) menjajah Nusantara, kerajaan-kerajaan digusur, atau diakui sebatas bagian dari
teritorial khusus Hindia Belanda, sebagaimana vorstenlanden (eks-Mataram). Dan kebijakan kolonial
kemudian menggusur ranah bangsawan (aristokrasi) sebagai bagian dari sistem kerajaan, dengan

birokrasi modern kolonial. Karenanya, jika aristokrat hendak mempertahankan posisinya, mau tidak mau
harus memasuki birokrasi kolonial.
Ketika pendidikan modern diperkenalkan lebih luas sebagai bagian dari Politik Etis (1900), maka
berduyun-duyunlah peranakan bangsawan memasukinya. Mayoritas untuk mengisi birokrasi kolonial.
Dan dalam pendidikan modern itu, disadari atau tidak, gagasan demokrasi juga ikut tumbuh subur.
Kita bisa melihat makin menjamurnya organisasi pergerakan yang menuntut perbaikan nasib bangsa,
melakukan pemberdayaan masyarakat, adalah mereka yang mencium pendidikan modern. Sehingga
yang lahir adalah organisasi-organisasi modern seperti Sarikat Islam, Boedi Oetomo, PKI, atau PNI.
Selain itu, Belanda juga membentuk Volksraad (1917), semacam dewan rakyat, untuk menampung
suara-suara rakyat Hindia Belanda secara legal. Cuma Volksraad tidak punya wewenang apa-apa selain
sebatas penasehat.
Kedua kelompok tersebut, maksudnya kalangan pergerakan yang bergerak di bawah, dan kalangan politik
yang bergerak di Volksraad, adalah embrio demokrasi Indonesia. Baru ketika Republik Indonesia
diproklamirkan (1945), Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) didirikan sebagai suatu wadah para
“wakil rakyat” untuk menentukan nasib rakyat.

Proses di atas menunjukkan bahwa bangsa kita menerima demokrasi sebagai alat olah sosial-politik
dalam bernegara-bangsa kedepan, dan tidak berpaling ke masa lalu yaitu mengembalikan sistem
kerajaan.
Namun dalam perjalanannya, karena demokrasi tidak lahir dari tanah air, melainkan barang impor, maka

seringkali ada ketidaknyambungan antara pengguna (rakyat) dengan alatnya (demokrasi). Apalagi
“golongan terdidik” dari bangsa kita yang mengerti demokrasi baru segelintir.
Maka, demokrasi ketika diperkenalkan pada rakyat Indonesia, adalah ibarat orang udik yang tahunya
tentang alat itu ya cuma cangkul, palu atau arit, tiba-tiba disuruh mengoperasikan pesawat terbang. Ya
macet. Dan karena kemacetan itulah, kita bisa melihat dalam sejarahnya, agar demokrasi diterima (atau
lebih sesuai), kemudian diberi embel-embel "Terpimpin" atau "Pancasila." Tujuannya agar demokrasi jadi
"Timur" atau "made in Indonesia".
Hambatan Struktural
Kita tahu, jika demokrasi maksudnya adalah kedaulatan rakyat, yaitu kuasa di tangan rakyat, maka agar
demokrasi berjalan, rakyat harus hadir. Masalahnya adalah sampai saat ini rakyat masih belum hadir.
Hambatan-hambatan struktural semakin kuat dan sangat menjepit, sehingga membuat rakyat sebagai
warga negara tidak bisa hadir. Seperti dalam tiap hiruk-pikuk pemilu sebagai suatu “pesta demokrasi”,
rakyat hanya “orang bayaran” yang menjual suaranya pada partai/calon yang alias perusahaan
pengumpul suara.
Politik memang sudah jadi bisnis. Dan ini akibatnya fatal, sebab bisnis adalah ranah privat, dan politik
ranah publik. Nilai dari bisnis adalah laba, dan nilai dari politik adalah keadilan dan kesejahteraan
bersama. Tapi rupanya hal itu tidak kita pahami bersama, sehingga politik jadi mati. Dan politik yang
berjalan saat ini, adalah politik kematian (nekropolitik), yang berakibat mematikan. Itulah jalan sesat
yang kita tempuh dengan nalar sesat. Dan sebaik apapun menjalani jalan sesat, hasilnya akan masuk ke
jurang.

Maka jadi wajar jika kemudian privatisasi sektor publik menjadi marak. Mereka yang memimpin negara
merasa memimpin suatu perusahaan. Menduduki kursi kabinet misalnya, laiknya kerja di perusahaan,
dengan gaji dibayar di muka, yaitu kursi kekuasaan dengan sekian privilage-nya.
Belum lagi media massa dengan sangat hegemonik mempublish isu-isu politik elitis, untuk dikonsumsi
khalayak. Padahal yang dibutuhkan adalah jerit suara rakyat didengar oleh para pemangku kebijakan.
Sementara media menawarkan sebaliknya. Di sini, media bukan menghadirkan rakyat, tapi
membenamkannya.
Itulah hambatan struktural kita dalam demokrasi. Demokrasi ujungnya malah memakan rakyatnya
sendiri, ibarat cangkul yang selalu mengenai kaki sendiri.
Demokrasi Gedongan
Demokrasi dengan sekian risalah perjalanan yang ditulis diatas adalah demokrasi orang gedongan.
Sehingga yang mampu hadir dalam demokrasi macam begitu adalah orang gedongan, dengan modal
mumpuni, dan didukung pengetahuan ilmiah terbaratkan.

Demokrasi seperti itu, selain tak mampu dipahami oleh rakyat, juga tak memungkinkan kehadiran rakyat.
Karenanya, lalu rakyat tetap terperosok ke dalam kemelaratan dan kehina-dinaan, sehingga ilusi tentang
suatu kehidupan adil makmur jadi membiak. Dari sini lalu muncul istilah Satrio Piningit atau Ratu Adil
yang bakal membebaskannya dari nasib buruknya.
Demokrasi gedongan membuat kita lari dari kenyataan.


Blandongan, 19 November 2015
*Penulis tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Pecinta Demokrasi (KMPD)

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2