Pemilu 2014 Di Bawah Kutukan Minority Go

REPUBLIKA

SENIN, 7 APRIL 2014

27
Tahta Aidilla/Republika

PEMILU 2014
Di Bawah
Kutukan Minority Government

U

sai
sudah
masa
kampanye pemilu yang
berlangsung selama enam
belas bulan. Insya Allah,
dua hari lagi, 9 April,
rakyat Indonesia akan

kembali berbondong-bondong ke tempat
pemungutan suara (TPS) untuk memilih
wakil-wakilnya yang akan menduduki
kursi DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota.
Pemilu kali ini adalah pemilu legislatif
ke-11 sejak Indonesia merdeka. Sepuluh
pemilu sebelumnya digelar pada tahun
1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997,
1999, 2004, dan 2009. Pemilu 2014 ini,
juga merupakan pemilu legislatif keempat
di era reformasi.
Kendati Indonesia, negara demokrasi
terbesar nomor tiga, ini, kian berpengalaman menggelar pesta demokrasi, kinerja
partai-partai yang merupakan pilar demokrasi, bukan semakin bertenaga dalam
meraup suara. Sebaliknya, justru semakin
loyo. Hal itu sudah dikonfirmasi oleh
jajak pendapat sejumlah lembaga survei,
di mana tak satu pun partai yang bakal
meraih suara mayoritas mutlak.

Padahal, jumlah 12 partai politik nasional dan tiga partai lokal yang menjadi
peserta pemilu kali ini, merupakan yang
terendah di era reformasi. Pada Pemilu
1999 lalu, jumlah pesertanya empat kali
lipat, yaitu 48 partai. Pada Pemilu 2004
turun separuh menjadi 24 partai. Dan,
kembali naik menjadi 38 partai plus enam
partai lokal pada Pemilu 2009.
Mestinya, dengan semakin sedikitnya
kontestan pemilu, semakin mudah pula
bagi partai meraih suara, karena kompetitornya sudah berkurang. Namun, nyatanya, suara pemilih tetap sulit terkonsentrasi di kutub tertentu. Suara tetap
tersebar. Alhasil, apa yang kita sebut
sebagai partai besar saat ini, sesungguhnya masihlah merupakan partai medioker,
karena suara yang berhasil diraih pemenang pemilu dalam tiga pemilu terakhir,
masing-masing hanya di kisaran 30 persen, 20 persen, dan 20 persen, bukan suara
mayoritas.
Untuk Pemilu 2014 pun, situasinya tak
jauh berbeda. Riset pra pemilu sejumlah
lembaga survei mendapati partai pemenang pemilu kelak hanya akan meraih
suara di kisaran 20 hingga 27 persen. Ada

satu lembaga yang menyimpang, karena
memberi suara hingga 37 persen untuk
partai tertentu. Namun, lembaga-lembaga
survei mainstream seperti Cyrus Network,
Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga
Survei Indonesia, Poltrack, Charta
Politica, dan Indikator Politik Indonesia,
rata-rata memprediksi pemenang pemilu
belum akan menyundul angka 30 persen.
Tidak adanya partai yang bakal
meraih suara mayoritas ini, akan menjadi
ganjalan bagi upaya penguatan sistem
presidensial. Sebab, presiden terpilih
nanti, partainya hanya akan meraih
sekitar seperempat atau seperlima suara

■ Oleh Harun Husein

Salah satu misi UU Pemilu adalah memperkuat
sistem presidensial, tapi hasil pemilu kali ini

akan tetap sulit mewujudkannya.

parlemen. Sebuah persoalan, karena
sebagian besar kursi parlemen dikuasai
oleh partai lain, sehingga programprogram pemerintah bisa dihadang
parlemen, bahkan setiap saat pemerintah
bisa digoyang dan presiden terancam diimpeach.
Persoalan ini memang bak kutukan
bagi negara-negara yang menerapkan
kombinasi sistem pemerintahan presidensial dengan sistem multipartai. Pakar politik, Scott Mainwaring, dalam papernya
Presidentialism, Multiparty System, and
Democracy: The Difficult Equation, menyebutnya dengan istilah divided government. Sedangkan, pakar politik lainnya, Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworski, dan Sebastian M Saiegh, dalam
paper bertajuk Government Coalition and
Legislative Success Under Presidentialism
and Parliamentarism, menyebutnya dengan istilah minority government.
Menurut penelitian Mainwaring dan
Cheibub-Przeworski-Saiegh, kombinasi
presidensialisme-multipartai, membuat
demokrasi cenderung tidak stabil, karena
eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai berbeda. Kondisi ini terjadi di hampir

semua negara penganut presidensialismemultipartai yang diteliti, dan telah menyulitkan eksekutif dan legislatif mencapai konsensus, dan kerap menciptakan
konflik
berkepanjangan,
bahkan
kebuntuan.
Dari semua negara yang menerapkan
kombinasi itu, sejak tahun 1900-an hingga 1990-an, Mainwaring mendapati hanya
satu negara yang bisa stabil, yaitu Chile.
Chile berhasil stabil, karena menerapkan
strategi koalisi. Koalisi ini dibangun sebelum pemilu legislatif digelar.
Strategi ini pula yang diterapkan oleh
SBY dengan Sekretariat Gabungan (Setgab)-nya, dalam dua periode pemerintahannya. Partner koalisi bahkan bukan
hanya partai pengusung yang mendaftarkan SBY sebagai calon presiden di
Komisi Pemilihan Umum, tapi juga partai
yang mendukung di tengah jalan, dan partai yang semula mendukung capres rival
SBY. Pada Pemilu 2009 lalu, misalnya,
Setgab menghimpun sebagian besar
partai di Senayan, dengan total kursi DPR
mencapai sekitar 75 persen.
Meski sudah mendapat back up sedemikian besar, nyatanya tak selalu mudah

bagi pemerintah mengegolkan agendaagendanya. Saat pemerintah mendorong
agenda-agenda tak populis ke Senayan,

seperti kenaikan harga BBM, nyatanya
koalisi tak lantas seia sekata. Bahkan, partai-partai mitra koalisi justru bisa dengan
mudah cikar kanan, dan bersikap bak oposisi. Dalam isu-isu populis, partai-partai
mitra koalisi lebih takut hukuman rakyat
pada pemilu berikutnya, ketimbang SBY.
Mengacu pada hasil polling sejumlah
lembaga survei, bahwa partai pemenang
pemilu hanya akan meraih seperlima atau
seperempat kursi parlemen, mau tidak
mau, pemerintahan mendatang akan
tetap menjadikan koalisi sebagai jalan
keluar. Koalisi itu terpaksa harus tetap
dibangun, meski partai tertentu bisa saja
meraih suara dan kursi yang melampaui
presidential threshold dan bisa mengajukan pasangan capres/cawapres sendiri.
Sebab, jika jalan sendiri, dia bisa
mendapat masalah di kemudian hari.

Dengan demikian, dapat diprediksi,
kabinet mendatang pun akan tetap menjadi kabinet pelangi, di mana kursi
menteri akan tetap diduduki para politisi
‘wakil partai di kabinet’, tak ubahnya
sistem parlementer. Sistem presidensial
bercita rasa parlementer ini harus tetap
dipelihara, kendati seorang presiden terpilih mempunyai legitimasi besar, karena
harus meraih suara mayoritas mutlak 50
persen plus satu, sebelum bisa melenggang ke Istana.
Tapi, Mainwaring mencatat, koalisi
yang dibangun di bawah presidensialisme,
adalah sesuatu yang complicated, dan
umumnya rapuh (vulnerable). Sebab, tak
seperti sistem parlementer –di mana
partai mayoritas atau koalisi partai
mayoritas yang otomatis memerintah—,
koalisi dalam sistem presidensial tidak
terinstitusionalisasi. Dan itu pun sudah
terbukti di Indonesia, ketika kontrak
koalisi tak berdaya meredam mitra koalisi

yang menolak mendukung kenaikan
harga BBM. Dan, bisa jadi pasca-Pemilu
2014, kita pun masih akan menyaksikan
drama serupa.
Sebenarnya, semua keganjilan ini bisa
teratasi, jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Effendi Ghazali
untuk menerapkan pemilu serentak pada
Pemilu 2014. Namun, ternyata, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemilu serentak, namun menunda
pemberlakuannya lima tahun lagi.
Pemilu serentak ini, memang merupakan solusi, bagi negara seperti Indonesia.
Tak seperti Mainwaring yang cenderung
memakruhkan bahkan mengharamkan

multipartai dalam sistem presidensial, studi
terbaru ternyata berhasil mendapatkan
bukti lapangan bahwa presidensialismemultipartai ternyata tetap bisa menghasilkan sistem presidensial yang efektif.
Caranya, dengan pemilu serentak. Dan itu,
menurut Mark J Payne dalam Democracies
in Development: Politics and Reform in
Latin America, sudah dibuktikan oleh negara-negara Amerika Latin, seperti Brazil.

Brasil adalah negara yang sangat
mirip dengan Indonesia. Negara bola ini
mengombinasikan presidensialismemultipartai-sistem pemilu proporsional
terbuka (open list).
Pada 2010 lalu, 23 partai menjadi peserta pemilu legislatif di Brazil. Sebanyak
10 partai berkoalisi mendukung calon
presiden Dilma Roussef (Koalisi Lulista),
partai-partai lainnya mendukung delapan
calon presiden lainnya. Karena pemilunya
serentak, koalisi itu dilakukan sebelum
pelaksanaan pemilu.
Dan, kendati peserta pemilu legislatif
dan peserta pemilu presiden cukup
banyak, namun pemilu serentak berhasil
menciptakan hasil yang sebangun. Koalisi
Lulista berhasil meraih kursi mayoritas
di dua kamar lembaga legislatif, yaitu
DPR (60,6 persen) dan Senat (61,7 persen).
Dilma Roussef pun berhasil meraih 46,91
persen suara pada pilpres putaran pertama, dan akhirnya dipastikan menjadi

presiden terpilih setelah memenangkan
56,05 persen pada pilpres putaran kedua.
Hasil pemilu eksekutif dan legislatif
yang sebangun itu, membuat demokrasi
di Brazil menjadi lebih stabil. Pemerintah
pun lebih mudah mengegolkan agendanya
di parlemen. Dan, karena energinya tak
lagi terlalu banyak dikuras oleh gonjangganjing politik, Brazil pun kemudian
melesat menjadi salah satu negara dengan
pertumbuhan ekonomi pesat, yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia,
India, Cina, dan Afrika Selatan).
Pemilu serentak berhasil menjadi penyelamat, karena bekerjanya bandwagon
effect atau coattail effect: pemilih presiden
A, punya kecenderungan memilih partai
asal/pendukung presiden A, sehingga sang
presiden terpilih pun berhasil mendapatkan dukungan mayoritas parlemen.
Sayang, untuk menerapkan rekayasa
yang solutif itu, Indonesia harus menunggu
lima tahun lagi. Itu pun modelnya lebih
rumit. Brasil menerapkan pembagian

pemilu nasional-lokal, sedangkan pada
2019 nanti, Indonesia akan melakukan
pemilu lima kotak (presiden, DPR, DPD,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).
Akibatnya, bukan hanya akan lebih
rumit, apalagi jika sistem pemilunya tetap
proporsional terbuka, tapi solusinya pun
parsial. Kelak, bisa jadi pemerintahan di
tingkat pusat sebangun, tapi di tingkat
lokal —karena pemilihan gubernur dan
bupati/wali kota dipisah dengan DPRD—
justru tetap disandera oleh kutukan
minority government. ■