Perbandingan teori struktural fungsional (1)

PERBANDINGAN ANTARA TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL DENGAN TEORI
KONFLIK
Oleh Niza Egal S
Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia.
Indonesia merupakan negara yang memiliki wilayah yang luas dengan berbagai macam
keberagaman budayanya. Di dalam keberagaman yang dimiliki Indonesia itu tentu ada potensi
untuk terjadinya konflik karena adanya perbedaaan-perbedaan. Namun, kita tidak bisa mengelak
juga bila dengan adanya perbedaan-perbedaan itu membuat negara Indonesia semakin bersatu
untuk membangun kekuatan diatas segala perbedaan yang ada. Perbedaan-perbedaan yang ada
itu antara lain adalah perbedaan agama, suku, bahasa, ras, adat istiadat, dan lain-lain. Untuk
menjawab mengenai mengapa bisa terjadi konflik karena adanya perbedaan dan mengapa terjadi
integrasi meskipun ada perbedaan, tentunya kita perlu sebuah teori yang akan menjelaskan hal
itu. Pada bagian ini kita akan memabahas mengenai teori struktural fungsional dan teori konflik.
[1]

Teori Struktural Fungsional
Ada beberapa asumsi dasar yang digunakan untuk menerangkan apa itu teori Struktural
Fungsional. Adapun beberapa asumsi dari teori struktural fungsional itu, antara lain telah
dikatakan bahwa masyarakat itu sebenarnya merupakan suatu sistem yang memiliki hubungan
dan ketergantungan antara satu sama lain. Dalam hubungan itu terdapat suatu hubungan yang

timbal-balik dan saling pengaruh-mempengaruhi. Meskipun integrasi yang tercipta tak bisa
dicapai dengan sempurna. Akan tetapi sistem sosial itu selalu bergerak kearah keseimbangan
(equilbrium). Sehingga setiap da perubahan yang berasal dari luar itu selalu ditanggapi oleh titik
keseimbangan (equilibrium) itu.
Akan tetapi didalam teori struktural fungsional itu juga tak pernah bisa terlepas dari yang sebuah
ketegangan-ketegangan atau gesekan-gesekan. Hal tersebut tentunya dapat dikatakan sebagai hal

yang wajar terjadi. Akan tetapi hal tersebut nantinya juga bisa teratasi dengan adanya
penyesuaian-penyesuaian.
Dalam hal ini, yang menjadi kunci bagi sebuah terciptanya integrasi di dalam teori struktural
fungsional adalah adanya konsensus dari anggota masyarakat tentang nilai-nilai kehidupan yang
dianut oleh masyarakat tersebut. Suatu perubahan-perubahan yang terjadi di dalam teori
struktural fungsional tidaklah revolusioner. Perubahan itu terjad secara bertahap dan melalui
penyesuaian-penyesuaian. Ada tiga kemungkinan faktor penyebab perubahan-perubahan sosial
yang terjadi di dalam masyarakat menurut yang dikutip dari buku Sistem Sosial Budaya
Indonesia karangan Dr. Bustami Rahman, M.A. dan Dr. Hary Yuswadi, M.A. yang antara lain
adalah sebagai berikut:
Melalui penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan oleh sistem sosial terhadap perubahanperubahan yang datang dari luar.
Pertumbuhan melalui proses differensiasi fungsional dan struktural.
Penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat.

Dari berbagai asumsi yang ada diatas dapat dikatakan bahwa dalam perspektif struktural
fungsional, pada dasarnya masyarakat itu memiliki sebuah titik penyeimbang ketika ada sebuah
konflik. Karena memang pada dasarnya dalam teori ini masyarakat lebih ditekankan untuk selalu
tercipta konsensus dan keserasian. Jika di dalam masyarakat itu ada konflik, itu hanyalah
ketegangan ataupun penyimpangan yang pada akhirnya nanti akan kembali pada kondisi
konsensus maupun keseimbangan(equilibrium) lagi.
Lalu bagaimana dengan sistem-sistem personal agar bisa terintegrasi di dalam sistem sosial serta
bagaimana pula titik keseimbangan (equilibrium) itu bisa tercipta. Kaitannya dengan hal ini,
Parsons menggunakan dua mekanisme. Yang pertama adalah dengan mekanisme sosialisasi, dan
yang kedua adalah dengan mekanisme kontrol sosial. Artinya dengan menggunakan kedua
mekanisasi ini, dimungkinkan akan tercipta struktur yang padu dan harmonis antara sistem
personal dengan sistem sosial. Hal ini tentu berkaitan dengan sosialisasi kepada individu yang
dilakukan oleh masyarakat agar individu itu selalu bisa membawa dan menggunakan nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat. Selain itu ada juga kontrol sosial, maksudnya disini sangat

diperlukan kontrol yang dilakukan masyarakat kepada individu agar individu selalu berada
didalam koridor nilai-nilai yang dianut masyarakat. Karena bila individu bergerak diluar nilainilai yang dianut masyarakat, maka itu akan terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai yang ada
di dalam masyarakat itu. Dan bila itu tidak segera ditanggulangi, maka itu akan mengancam
integrasi yang ada di dalam masyarakat.


Teori Konflik
Dalam teori konflik ini, kita akan menggunakan tokoh Ralf Dahrendorf. Teori konflik yang
dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf ini bisa dikatakan sebagai teori yang digunakan untuk
menutupi kelemahan dari teori struktural fungsional. Teorinya yang dikenal yaitu tentang teori
konflik dialektika. Teori konflik Dahrendorf ini juga bisa dikatakan sebagai bentuk sanggahan
ataupun kritikan terhadap teori struktural fungsional milik Parsons, atau bahkan ini merupakan
bentuk sanggahan terhadap teori struktural fungsional secara keseluruhan. Dahrendorf
menyatakan bahwa sesungguhnya masyarakat itu memiliki dua wajah, yaitu konflik dan
konsensus.
Dalam pandangan Dahrendorf, suatu lembaga di dalam masyarakat itu melibatkan ICA
(imperatively coordinated association) atau asosiasi yang terkoordinasi secara imperative. ICA
ini bisa berbentuk organisasi yang kemudian memerankan kekuasaan di dalam masyarakat. Pada
saat kekuasaan sedang dalam kondisi kosong, maka disinilah peran sekelompok orang dengan
ICA berusaha untuk berkompetisi memperebutkan kekuasaan dan otoritas itu. Karena adanya
perebutan kekuasaan inilah akhirnya bisa menimbulkan konflik. Pada akhirnya ada pihak yang
berkuasa, dan ada pihak yang dikuasai. Bagi pihak yang berkuasa maka mereka akan menjaga
dan mempertahankan status quo. Sedangkan bagi pihak yang lain atau yang dikuasai, mereka
akan berusaha memperoleh pembagian kekuasaan itu. konflik ini akan terus terjadi dan berjalan
dialektis dalam membangun sebuah sistem sosial di dalam masyarakat.
Di dalam perspektif konflik, pada dasarnya masyarakat itu selalu dalam kondisi konflik. Karena

adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan inilah yang akhirnya juga bisa menimbulkan
konflik. Kepentingan yang bertentangan itu merupakan refleksi dari perbedaan-perbedaan dalam
distribusi kekuasaan antar kelompok yang mendominasi dan didominasi. Konflik yang terjadi ini

bersifat dialektika, konflik yang terjadi ini akan menimbulkan kepentingan baru. Kaitanya
dengan hal ini, konflik itu hanya bisa diredam dengan kekuasaan yang terhimpun di dalam ICA,
dan ICA yang dominan itulah yang akhirnya bisa membuat konflik akhirnya bisa teredam.
Dalam pandangan Dahrendorf mengenai pengaturan-pengaturan sosial untuk membentuk suatu
struktural, pasti disana terdapat kekuatan-kekuatan yang berupa konflik yang saling bertentangan
karena adanya perbedaan-perbedaan kepentinagn. Adanya kesadaran di dalam pihak yang
dikuasai mengenai hadirnya perbedaan-perbedaan kepentingan akan memunculkan suatu
kelompok konflik pada kelompok yang dikuasai. Jika konflik ini dilihat dari pandangan Karl
Marx, Marx menyatakan bahwa sumber konflik adalah nilai-nilai kultural dan pengaturanpengaturan kelembagaan yang mewakili kepentingan dan diciptakan oleh penguasa. Dalam
pandangan Marx ini terlihat bahwa terdapat nilai-nilai budaya dan pengaturan-pengaturan yang
sengaja diciptakan oleh penguasa untuk mengatur kepentingan pihak yang dikuasai. Hal ini
berbeda dengan Dahrendorf yang menyatakan bahwa sumber konflik itu berasal dari hubungan
otoritas yang telah terlembaga antara pihak yang berkuasa dan yang menguasai, adanya
perbedaan kepentingan antara pihak yang berkuasa dan yang dikuasai inilah yang memicu
terjadinya konflik.