Nota Kesepahaman Helsinki untuk Mengakhi

Nota Kesepahaman Helsinki untuk
Mengakhiri Konflik Aceh:
Telaah Sosiologi Politik dan Histori
Suadi Zainal1
ABSTRACT:
The protected conflict betw een Free Aceh Movem ent (GAM) and Governm ent
of Indonesia (GoI) lasted nearly 30 y ears (1976-20 0 5). It w as solved w ith
Mem orandum of Understanding (MoU) signed on 15 August 20 0 5 in Helsinki
Finland w hich m ediated by Crisis Managem ent Initiative (CMI). Consequently GoI should establish a new law on the governing Aceh (LoGA) as a
follow up of the MoU. But som e articles of LoGA are contra on MoU and
m any issues rem ain unsolved. N evertheless, this reality created opportunities for econom ic and socio-politic developm ent in Aceh. One great
change is GAM transform ed to political party and being the ruler in Aceh
since 20 0 6. Hence peace accord (MoU) has been lasting for 9 y ears, although
Aceh is fragile right now . This paper explains the conflict settlem ent and
constitution reform , and the im pact on authority arrangem ent and
relationship betw een Aceh-Indonesia after MoU Helsinki.
Kata Ku n ci: Konflik, Indonesia, GAM, Aceh

PEN D AH U LU AN
Konflik antara Aceh dan Pem erintah Indonesia sudah berlaku dua kali sejak
dibentuk Negara Kesatauan Republik Indonesia (NKRI), yaitu konflik DI/ TII

pada tahun 1953-1962 dan konflik GAM pada tahun 1976-20 0 5. Nam un
tujuan dari dua konflik tersebut berbeda, yaitu; konflik pertama tujuannya
adalah otonom i dan yang kedua adalah m erdeka, walaupun pada akhirnya
kedua konflik ini dapat diselesaikan dengan cara negosiasi yang menghasilkan
satu kesepaham an dan kesepakatan untuk dam ai. Nam un dem ikian, konflik
DI/ TII m enam pakkan hubungan asimetris dalam m encapai kesepakatan
dam ai, karena Pem erintah Indonesia lebih m ondominasi, bahkan
penyelesaian-nya diwakili oleh Pemerintah Daerah Aceh. Sedangkan konflik
GAM, kesepakatan dam ai (MoU Helsinki) yang dicapai adalah m elalui
1 Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh
Lhokseumawe, Email: suadisostro@yahoo.com

Volume IV, No.1, Januari 2015

I 10 5

perundingan dalam hubungan yang seim bang (sim etris), dan dim ediasi oleh
pihak ketiga eksternal. Oleh sebab itu, im plem entasi kesepakatan dam ai di
m asa transisi m asih m elibatkan pihak Internasional dari Uni Eropa dan Asia
yang bergabung dalam satu wadah, yang dikenal dengan Aceh Monitoring

Mission (AMM).
Sebagai pelaksanaan perdam aian jangka panjang, MoU Helsinki telah
ditafsirkan ke dalam satu Undang-Undang Indonesia, yang dinam ai UndangUndang Pemerintahan Aceh (UUPA), tetapi sebagian isi atau pasalnya tidak
sesuai dengan ketentuan MOU. Selain itu, tidak sem ua ketentuan yang telah
disepakati dapat dijalankan secara autom atis (langsung) oleh Pem erintah
Aceh, karena sebagian pasal undang-undang tersebut m em erlukan Peraturan
Pem erintah Indonesia lainnya untuk dapat dilaksana-kan. Akibatnya
transform asi konflik ke arah hubungan dam ai (positif) belum dapat
diwujudkan. Hubungan Aceh – Indonesia m asih tetap asim etris sebagaim ana
sebelum MoU Helsinki ditandatangani, walaupun kesepakatan dam ai sudah
berlangsung ham pir satu dekade. Hal ini sekaligus m enunjukkah bahwa
perdam aian Aceh telah terbebas dari 50 persen kesepakatan dam ai yang
dilakukan di kawasan konflik, nam un kem bali kepada konflik setelah lim a
atau sepuluh tahun perdam aian tersebut dijalankan.
D IN AMIKA KON FLIK ACEH D AN PEN YELESAIAN N YA
1. Ko n flik D aru l Is lam ( D I/ TII)
Gerakan Darul Islam (DI) atau Gerakan Daud Bereueh, penyebabnya lebih
banyak bernuansa ideologi negara; Islam vs Sekuler (kebangsaan), yang
boleh m em beri kesan kepada aspek-aspek kehidupan lainnya. Semasa ini,
Aceh belum ada kem ahuan m emisahkan diri dari Negara Republik

Indonesia, tetapi m enuntut hak otonom i untuk dapat m elaksanakan
pem erintahan yang Islam i. “Darul Islam w as not secessionist; its program
w as to Islam ise the Indonesian State and its legal and education sy stem s”.
Cornelis van Dijk (1981) dalam bukunya Rebellion Under The Banner of
Islam , bahwa pem berontakan DI/ TII di Aceh yang dipim pin Tengku
Moham m ad Daud Beuereuh lebih disebabkan kekecewaan ideologis,
politik, sosial, ekonom i serta budaya terhadap Kerajaan Pusat Indonesia
(Dam anik, 20 10 ). Dalam hal ini, Islam sudah m enjadi diskursus politik
antara Aceh dan Pemerintah Indonesia yang tidak pernah ada akhirnya.
Islam m erupakan identitas politik dan budaya m asyarakat Aceh. Oleh
sebab itu, Pem berontakan DI/ TII di Aceh berakhir setelah ada perjanjian
keistimewaan pem berlakuan syari’at Islam di Aceh; bidang agam a, hukum
adat dan pendidikan (Shaw, 20 0 8).

10 6 I

Konfrontasi

Walau bagaim ana pun, pada awalnya respon Pem erintah Indonesia
terhadap Gerakan DI/ TII Aceh adalah dengan kekuatan tentara, yaitu;

pem berlakuan Militaire Bijstand (Daerah Berbantuan Militer) bukan Staat
van Oorlog en Beleg (Keadaan Darurat Perang) (Daud, et.al., 20 10 ).
Selanjutnya m enggunakan pendekatan m iliter dan perseuasif dialogis.
Nam un setiap kabinet kerajaan m empunyai cara yang berbeda dalam
m engkombinasikan dua pendekatan tersebut. Nam un dem ikian,
penyelesaian konflik ini hanya dapat dilakukan dengan dialog perdam aian
pada tanggal 25 Mei 1959 yang dikenal dengan MISI HARDI, yang
dikukuhkan dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia
tanggal 26 Mei, Nom or 1/ Misi/ 1959 (Syam suddin, 1990 ; Gade, et al., 1994;
El Ibrahim y; 20 0 1).
Selanjutnya Pem erintah Aceh m elaksanakan satu m usyawarah rakyat,
yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA) di Blang Padang,
Banda Aceh pada tanggal 22 Mei 1962, yang menghasilkan satu ikrar
bersam a, “Memelihara dan membina kerukunan serta m emancarkan
persatuan dan persahabatan”. Ikrar ini dim asyhurkan dengan “Ikrar Blang
Padang2 yang dilandasi pada nilai dan norm a; “Nibak tje-bre, get
m eusaboh, tam eudjroh-droh ngon sjeedara” (Daripada berpecah belah,
lebih baik bersepaduan, kita berbaik-baikan sesam a saudara”); “Beuthat
tam eh surang sureng, asai puteng roh lam bara” (Bagaim anapun
bengkoknya tiang rum ah, yang penting ujung pahatan m asuk ke dalam

lubang kayu penyanggah); “Buet m upakat beu tadjundjong, bek m eukongkong ngon sjeedara” (Hasil m ufakat harus kita junjung dan jangan
berkelahi dengan sesam a saudara) (Daud, et.al., 20 10 ). Sebagai legal
yuridis m engenai pelaksanaan Syari’at Islam , Aceh ditetapkan sebagai
Daerah Istimewa menerusi Undang-undang Republik Indonesia Nom or 18
Tahun 1965 (El Ibrahim y, 20 0 1).
Ikrar Blang Padang m erupakan sim bol kerelaan seluruh m asyarakat Aceh
atas berlaku reintegrasi dan rekonsiliasi yang dapat dijadikan sandaran
bagi pembentukan perdam aian yang berterusan di Aceh. Oleh sebab itu,
walaupun perdam aian yang berlaku bersifat asimetris, ertinya berakhir
pem berontakan DI/ TII adalah dengan m enyerah 3 . Nam un perlakuan
2

Kenyataan ini boleh dipahami bahwa; (1) Hukum Syari’at Islam dengan automatik
sudah boleh berlaku di Aceh; (2) Aceh boleh membentuk undang-undang bagi pemeluk
agama Islam yang sesuai dengan Syari’at Islam; (3) Keistimewaan Aceh yang telah
dijelaskan dalam Missi Hardi boleh dijalankan sesuai dengan kebijakan pelaksanaan
unsur-unsur Syari’at Islam, sepanjang tidak bercanggahan dengan undang-undang yang
lebih tinggi (Ariwiadi, 1986).
3 DI/TII tidak dianggap menyerah karena kalah, tetapi karena ada kesepakatan
mengenai Stutus Aceh sebagai Daerah Istimewa yang melaksanakan unsur-unsur Syari’at

Volume IV, No.1, Januari 2015

I 10 7

Pem erintah Indonesia terhadap bekas pem berontak tidak seperti orang
kalah perang. Bekas anggota DI/ TII tidak ada yang dihukum m ati, bahkan
m ereka diberikan am nesti. Majoritinya bekas anggota DI/ TII m elebur
langsung dengan sendirinya ke dalam m asyarakat. Sebagiannya diterima
kem bali sebagai Tentera Negara Indonesia (TNI), seperti Hasan Saleh
(Panglim a Tertinggi TII) tetap m em peroleh pangkat kolonel di jajaran TNI
(Pane, 20 0 1). Bahkan diperkirakan lebih dari 50 persen anggota kom ando
m iliter Aceh pada 1970 -an adalah bekas pejuang DI/ TII dan begitu pula
pegawai negeri sipil yang ikut m em berontak dibolehkan kem bali ke dinasdinas pem erintahan (Syam suddin, 1990 ). Adapun kepada Daud Beureueh
sendiri, Pemerintah Indonesia menawarkan satu unit rum ah di Banda
Aceh dan satu unit mobil, tetapi Beliau m enolaknya, dan mem ilih kem bali
ke kam pungnya di Beureuneun Sigli-Pidie untuk bertani (Kawilarang,
20 0 8).
Kenyataan ini telah m emberi dam pak kepada bertahannya ‘kedam aian
Aceh’ selam a belasan tahun. Rakyat Aceh boleh hidup am an dan tenteram ,
tidak ada lagi pertumpahan darah sem asa ini. Namun karena

keistimewaan ini tidak boleh direalisasikan dengan sem estinya, bahkan
awal kepem im pinan Soeharto pada era Orde Baru sum ber daya alam Aceh
dieksploitasi tanpa distribusi yang adil antara Pemerintah Indonesia dan
Aceh. Kerajaan Pusat bukan sajai tidak m em enuhi janji-janjinya, tetapi
apabila diingatkan m engenai janji-janjinya dan tokoh-tokoh Aceh m ahu
m elibatkan diri dalam pem bangunan Aceh direspon dengan cara tidak
wajar atau negatif (Patji, et.al, 20 0 4). Keistem ewaan Aceh lebih bersifat
sim bolik berbanding substansi politik yang otonom i. Oleh sebab itu,
konflik perlawanan m uncul kembali di Aceh pada tahun 1976, yang dikenal
dengan GAM.
2 . Ko n flik GAM
Konflik GAM (konflik pem bebasan Aceh) yang dideklarasi pada 24
Desember tahun 1976, dianggap sebagai gerakan pengacau stabilitas
keam anan atau pem berontak oleh Pemerintah Indonesia. GAM dilabelkan
dengan Gerakan Pengacau Keam anan (GPK), Gerakan Pengacau Liar
Keam anan (GPLK), atau Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro (GPLHT)
(Patji, 20 0 4). GAM m uncul boleh dikatakan karena pengabaian dan
pengkhianatan terhadap identiti Aceh yang dituntut di era DI/ TII serta
penguasaan sum ber daya alam Aceh oleh Pem erintah Indonesia, yang
distribusinya kepada Aceh tidak adil (Sulaim an, 20 0 0 & 20 0 6; Djafar,

20 0 8). Sem entara proses penyelesaikannya dapat dibagikan kepada dua,
Islam.
10 8 I

Konfrontasi

yaitu secara internal dan m elibatkan pihak eksternal.
a. Pe n ye le s aian In te rn al
a.1. Me n e w as kan ( w in -lo o s e s o lu t io n ) d e n gan Milite r
Pada zam an kepem im pinan Soeharto, penyelesaian konflik GAM
m enggunakan pendekatan m iliter. Pada tahun 1976-1979 tekanan
m iliter sangat efektif untuk m engelim anisir m ereka. Pem erintah
Indonesia tidak perlu m enghantarkan m iliternya dar pulau J awa ke
Aceh untuk m elum puhkan GAM, cukup dibantu oleh m iliter (TNI-AD)
yang bertugas di Kodam Bukit Barisan I Medan. Nam un GAM kem bali
m enam pakkan kekuatannya m elawan Pem erintah Indonesia sejak
tahun 1989 dengan kekuatan senjata. Pem erintah Indonesia kem bali
m enggunakan pedekatan m iliter (Sulaim an, 20 0 0 ). Aceh ditetapkan
sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) utam anya di wilayah basis
GAM, yaitu; Aceh Timur, Aceh Utara dan Pidie. Nam un Operasi DOM

tidak m embuahkan hasil yang diinginkan, GAM tidak lum puh. Malahan
m enjadi lebih besar, jumlah anggotanya dan struktur organisasinya
m eluas. GAM mem peroleh sim pati yang lebih banyak dari kalangan
m asyarakat sipil. Terutam a organisasi sipil yang pro kepada penegakan
HAM. Ini karena tindakan aparat m iliter (TNI dan Polri) yang
sewenang-wenang. Keganasan mereka tidak sajai berlaku terhadap
aktivis GAM, tetapi juga rakyat sipil yang dekat dengan mereka, sam a
ada keluarga m ahupun sahabat. Oleh sebab itu, aparat keam anan tidak
hanya m elanggar HAM ringan, tetapi telah m elakukan kejahatan
terhadap kem anusiaan. Bahkan sesebagian orang m enilainya sebagai
tindakan kejahatan penghabisan etnis (the crim e of genocide) (Gade, et
al., 20 0 1).
Pada era Soeharto boleh dikatakan penanganan GAM lebih banyak
dilakukan dengan pendekatan keam anan negara (national security
approach). Penyelesaian m elalui cara negosiasi atau soft pow er tidak
pernah berlaku. Kecuali hanya untuk m erebut hati rakyat supaya tidak
m ensokong GAM. Itu pun kadang-kadang dilakukan dengan cara teror
dan intimidasi serta shock therapy . Sikap politik Soeharto dan TNI-nya
yang keras terhadap GAM dirasionalisasi dengan sem boyan “NKRI
harga m ati”, dan tidak ada ideologi selain Pancasila di Indonesia

(Djum ala, 20 13).
a.2 . Me n e w as kan ( w in -lo o s e s o lu t io n ) d e n gan Milite r d an
Ke s e jah te raan Eko n o m i
Pasca jatuh Soeharto atau era Habibie, m uncul gerakan m assa yang
anti terhadap m iliter, bahkan ada yang anti J akarta. Tuntutan
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 10 9

pengungkapan pelanggaran HAM yang dilakukan TNI pun sem akin
terbuka dan m eluas di kalangan m asyarakat sipil, sam a ada di Aceh
m ahupun di luar Aceh. Oleh sebab itu, Panglim a Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI) J enderal Wiranto dan Presiden Habibie
m encabut status DOM di Aceh pada tanggal 7 Ogos 1998 dan m em inta
m aaf atas perilaku keganasan yang dialkukan oleh personil TNI
(Aspinal & Crouch, 20 0 3).
Nam un dem ikian, tindakan m iliter dengan pelbagai nam a operasi dan
pasukan lainnya m asih berlaku di Aceh, seperti Operasi Wibawa
(berm ula pada 2 J anuari 1999); Operasi Sadar Rencong I (Mei 1999 –
J anuari 20 0 0 ); Operasi Sadar Rencong II (Februari 20 0 0 – Mei 20 0 0 );

dan Operasi Sadar Rencong III (J uni 20 0 0 – 18 Februari 20 0 1);
Operasi Cinta Meunasah (J uni 20 0 0 - 20 0 1); dan Operasi Cinta Dam ai
(20 0 1 – 20 0 2). Nam un kenyataan ini tidak m embuat keam anan Aceh
lebih baik. Keadaan Aceh sem akin memanas, keganasan fisik dan darah
insan tetap m engalir setiap harinya. Pem bunuhan, penyiksaan,
penculikan, dan pem erkosaan sem akin parah, serta gelom bang
pengungsian pun m eningkat (Marzuki & Warsidi, 20 11).
Selain itu, juga dilaksanakan pem ulihan ekonom i dan kesejahteraan
rakyat Aceh (prosperity approach), m em berikan am nesti kepada
tahanan politik yang berhubung kait dengan GAM, bantuan dana
kepada anak yatim dan janda korban konflik serta kesem patan kerja
kepada anak bekas anggota GAM. Selain itu juga dipertegaskan kem bali
pem berlakuan keistim ewaan bagi Aceh di bidang agam a, budaya dan
pendidikan m enerusi Undang-undang Negara RI Nom or 44 tahun
1999. Nam un dem ikian, tindakan keganasan militer Indonesia tetap
m asih sangat m enonjol. Akibatnya, pelanggaran HAM berlaku secara
berterusan, tanpa pengadilan untuk m ewujudkan keadilan dan
penghentian keganasan (Djum ala, 20 13).
Kenyataan ini, m enyebabkan m ahasiswa dan pem uda Aceh
m erum uskan kem bali eksistensi dan integrasi Aceh dalam NKRI.
Sepertim ana telah dijelaskan sebelum nya, mereka m engadakan
kongres, yang dinam akan Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh
Serantau (KOMPAS) tahun 1999. Menetapkan referendum adalah cara
penyelesain konflik yang terbaik bagi Aceh. Opsinya ialah m erdeka atau
tetap bergabung dengan Indonesia. Sejak itu Sentral Inform asi
Referendum Aceh (SIRA) yang dibentuk sebagai wadah sosialisasi
kepada m asyarakat, secara proaktif m enyam paikan agenda berkenaan
kepada seluruh m asyrakat Aceh.
Hasilnya sidang rakyat untuk
referendum yang dilaksanakan pada tanggal 8 Novem ber 1999 dihadiri
110 I

Konfrontasi

oleh jutaan m asyarakat Aceh (Fasya, 20 0 5). Realiti politik sem acam ini
direspon baik oleh Panitia Khas daripada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) RI untuk Perm asalahan Aceh. Pada tanggal 16 Disember 1999
m ereka m em inta kepada pihak Pem erintah Indonesia supaya segera
m engintensifkan dialog dengan semua elem en m asyarakat Aceh.
Bahkan dengan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif Aceh supaya
m em peroleh kesepakatan m engenai langkah-langkah penyelesaian
konflik secara kom prehensif dan secepat m ungkin (Nurhasim , 20 0 8).
Menurut Djum ala (20 13) sem asa inilah ‘embrio’ negosiasi (soft pow er)
m ulai muncul, yang kem udian ditindak lanjutkan oleh kerajaankerajaan setelahnya.

b. Pe libatan Pih ak Ke tiga Eks te rn al
b.1. H e n ry D u n an t Ce n tre ( H D C) d an Co H A
Hard pow er (pendekatan m iliter) telah m embuktikan tidak efektif
m engeliminasi GAM, kecuali hilang, datang kembali dan m em besar. Untuk
itu, Presiden Indonesia (Abdurrahm an Wahid) pada tahun 1999
m enggantikan pendekatan m iliter dengan dialog (negosiasi), dengan
m elibatkan pihak ketiga, Internasional NGO Henry Dunant Center (HDC).
Secara inform al Hasan Wirajuda (Duta Besar Indonesia untuk PBB di
J enewa) m enem ui Hasan Ditiro pada tanggal 27 J anuari 20 0 0 . Selain itu,
HDC juga m enjum pai pim pinan elit GAM di luar negara, seperti Hasan
Ditiro dan Malik Mahm ud, serta Husaini Hasan (Fraksi MP-GAM) untuk
m enawarkan negosiasi dengan RI (Huber, 20 0 4; Zulkarnain, 20 0 8).
Ekoran itu, pada tanggal 12 Mei tahun 20 0 0 kedua pihak (RI-GAM) 4
secara formal m enandatangani satu kesepahaman bersam a “Joint
Understanding on Hum anitarian Pause for Aceh” di J enewa, Swiss
(Harish, 20 0 5), lebih dikenal dengan “J eda Kem anusian”. Matlam atnya;
penyediaan bantuan kem anusiaan; persiapan perangkat keam anan;
pengurangan tensi keganasan; dan prom osi nilai-nilai untuk m em bina
kepercayaan diri yang m engarah kepada perdam aian (Djohari, 20 11). J eda
Kem anusiaan (J K) efektif dijalan m ulai tanggal 2 J uni 20 0 0 , dengan
ditubuhkan Tim Modaliti Keselam atan Bersam a (TMKB) dan Kom ite
Bersam a untuk Aski Kemanusiaan (KBAK) atau Joint Security Com m ittee
(J SC) yang bertugas mengkoordinasi penyaluran bantuan kemanusiaan
dan penurunan ketegangan dan penghentian keganasan (Tippe, 20 0 1). Di
sam ping itu, juga dibentuk tim pem antau bagi kedua badan berkenaan

4

RI diwakili oleh Hassan Wirajuda (Menteri Luar Negeri Indonesia) dan GAM
diwakili oleh Zaini Abdullah (Menteri Kesihatan GAM).
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 111

yang m elibatkan elemen aktivis sipil (Darm i, 20 0 8). Hasilnya J K berjaya
m engurangi tindakan keganasan. Oleh sebab itu, J K yang m ulanya
disepakati untuk m asa tiga bulan, diperpanjang tiga bulan lagi (m enjadi
enam bulan). Nam un J K kurang berjaya dalam m enyelesaikan
perm asalahan kem anusiaan lainnya yang m enjadi tuntutan korban
pelanggaran HAM, seperti pengungkapan keganasan dan pengadilan
terhadap pelaku pelanngaran. Pada sisi lain, perm asalahan ekonom i dan
kesejahteraan m asyarkat sem akin terpuruk, dan belum m endapat
perhatian serius daripada pihak kerajaan (Elsam , 20 0 3). Bahkan
keganasan pun m ulai m eningkat kembali. Diperkirakan sekitar 30 0 orang
m ati antara J anuari-Ogos 20 0 0 . Pada perm ulaan Ogos J afar Siddiq,
Kepala Internasional Forum for Aceh (IFA) dibunuh di Medan. Pada bulan
yang sam a pegawai Oxfam ditangkap dan disiksa di Aceh Selatan (Large &
Aguswandi, 20 0 8).
Akibatnya kepercayaan m asyarakat Aceh kepada Pem erintah Indonesia
belum boleh dipulihkan. Sebaliknya GAM sem akin m enguat, yang m ana
sejak pertengahan 1999 mereka sudah terorganisir dengan baik. Pada masa
ini m ereka telah m am pu m enginternasionalisasi perm asalahan Aceh
dengan Indonesia, dan m em perluas basis sokongan penduduk (di
pedesaan) serta m eningkatkan konsolidasi kekuatan m iliternya (Djum ala,
20 13). GAM m em aknai J K adalah satu langkah yang m embawa Aceh lebih
dekat kepada kem erdekaan (Todd, 20 11).
Oleh sebab itu, perilaku keganasan antara aparat m iliter TNI dan GAM
(Tentera Nanggroe Aceh) terus berlaku dengan alasan m em pertahankan
diri dari serangan m usuh (Zulkarnain, 20 0 8), dan berbagai bentuk
keganasan tehadap m asyarakat sipil masih juga tidak terhindarkan. J K
lebih bersifat sim bolik dan rentan terhadap provokasi atau intervensi
pelbagai pihak yang boleh m erugikan pranata sosial m asyarakat Aceh
(Tippe, 20 0 1). Nam un, proses dialog tetap dilanjutkan, pada J anuari 20 0 1
diadakan pertem uan untuk m em bincangkan isu-isu substansial bagi
m encari solusi yang komprehensif, yang m erangkum i juga isu politik.
Untuk itu, pertem uan berkenaan mem bincangkan 4 perkara; proses
dem okrasi di Aceh; perlindungan terhadap hak asasi m anusia dan prinsipprinsip kem anusiaan; sokongan bagi pem bangunan ekonom i-sosial; dan
pengaturan keselam atan (Huber, 20 0 4). Untuk itu, Pem erintah Indonesia
dan GAM m enyepakati pem bentukan zona dam ai (peace zone) di
kabupaten Aceh Utara dan Bireuen pada tanggal 8 Marc 20 0 1. Akan tetapi
pada kenyataannya keganasan tidak boleh dihentikan, bahkan sem akin
m eningkat (Zulkarnain, 20 0 8). Akhirnya Pem erintah Indonesia
m engundurkan diri secara rasm i akibat daripada kritikan DPR-RI dan

112 I

Konfrontasi

Kom andan m iliter di lapangan, yang m enilai J K hanya m em beri
keuntungan bagi perkem bangan kekuatan GAM (Huber, 20 0 8).
Oleh yang dem ikian, Presiden Abdurrahm an Wahed (Gusdur)
m engeluarkan satu Instruksi Presiden (Im pres) Nom or 0 4 tahun 20 0 1.
Dalam hal ini, Polri diberi otoritas sebagai pem egang kom ando pelaksana
pem ulihan keselam atan. Akan tetapi kenyataannya yang berlaku TNI tetap
lebih m em iliki otoritas dan kesan yang sangat besar. Akibatnya perilaku
keganasan terus m eningkat (Elsam , 20 0 3). Menurut catatan Kontras
(20 0 6) intensiti peristiwa keganasan; tiga bulan sebelum Inpres hanya 79
peristiwa, nam un setelah dikeluarkan Inpres berkenaan (April– Agustus)
m eningkat 1216 peristiwa keganasan.
Selanjutnya pada era Presiden Megawati, Pem erintah Indonesia
m enawarkan kem bali form at otonom i khusus bagi Aceh, yang m elebihi
kekhasan sebelum nya. Ianya m erangkum i agam a, budaya, pendidkan,
politik dan ekonom i, yang dilegalkan dengan Undang-undang Republik
Indonesia Nom or 18 tahun 20 0 1 tentang Otonom i khusus bagi Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam 5. Aceh diberi kewenangan yang luas untuk
m enjalankan pem erintahannya sendiri. Ekoran itu, HDC m enjem put
kem bali pihak RI dan GAM untuk m elakukan negosiasi, dengan
m elibatkan “w ise m en 6 ” sebagai tim m ediator. Hasilnya pada pertem uan
tanggal 9-11 Mei 20 0 2 GAM m enerim a otonom i khusus sebagai kerangka
asas dialog. Dalam hal ini, Indonesia m enilai sebagai tawaran final
(m aksim a) bagi penyelesaian konflik Aceh. Manakala GAM m elihatnya
sebagai pem buka (langkah awal) bagi perjuangan selanjutnya dalam usaha
m em erdekakan Aceh dengan cara diplom asi (Kay, 20 0 3). Namun, HDC
berjaya m enyakinkan kedua pihak untuk terus menggunakan jalan dialog
bagi penyelesaian konflik yang sudah berlarut-larut. Akhirnya pada tanggal
9 Disember 20 0 2 RI dan GAM sepakat untuk m enandatangai satu
perjanjian penghentian perm usuhan, “Cessation of Hostilities Agreem ent
(CoHA)”, yang m erangkum i; penghentian perm usuhan, dem iliterisasi,
rehabilitasi dan rekonstruksi serta reform asi politik (Zulkarnain, 20 0 8).
Yang juga boleh dim aknai m elibatkan 4 perkara, iatu; keam anan,
5 Undang-undang ini sudah dicadangkan sejak era Habibie, disetujui oleh DPR RI
pada era Gusdur tanggal 19 Juli 2001 dan disahkan oleh Megawati pada tanggal 9 Ogos
2001 (Parera, et.al., 2001; Zulkairnain, 2008)
6 Anthony Zinni, bekas Jenderal Marinir U.S. yang punya hubungan dekat dengan
Presiden George W. Bush; Surin Pitsuwan, bekas Menteri Luar negeri Thailand;
Budimir Loncar, bekas ambasor Yugoslavia untuk Indonesia era Soekarno dan punya
hubungan baik dengan Megawati; dan Bengt Soderberg, bekas diplomat Swedia. Mereka
secara formal bukan representatif daripada negaranya masing-masing, dan mediator yang
tidak menerima bayaran (Kay, 2003; Harish, 2005).

Volume IV, No.1, Januari 2015

I 113

kem anusiaan, rekonstruksi, dan reform asi sipil:
a.

Keam anan, bererti penghentian kontak senjata dan tindak keganasan,
penentuan zona dam ai, dem iliterisasi (relokasi m iliter Indonesia dan
penggudangan senjata GAM), dan reform ulasi peranan Brimob
m enjadi polis sipil.

b. Kem anusiaan, ialah penyaluran bantuan kepada pengungsi
c.

Rekonstruksi m encakup rehabilitasi dan rekonstruksi sarana yang
hancur dan rusak akibat daripada konflik bersenjata.

d. Reform asi sipil, yakni penyelenggaraan dialog untuk m em perkuatkan
proses dem okrastisasi di Aceh (Elsam , 20 0 3).
Nam un demikian, dalam im plementasinya, menurut laporan J SC pada
penghujung J anuari 20 0 3 bahwa hanya jum lah perang sejata yang
m engalam i penurunan, manakala keganasan ke atas m asyarakat sipil
belum memberi kesan yang signifikan (Elsam , 20 0 3). Dan Akhirnya
COHA gagal dilanjutkan. Pertem uan Tokyo 17 Mei tidak m em bawakan RI
dan GAM kepada satu kesepakatan untuk m elaksanakan CoHA lebih
lanjut. Ini berawal daripada penangkapan enam orang anggota GAM 7
yang duduk di J SC apabila m ahu berangkat ke Tokyo m engikuti
pertem uan bersam a. Selanjutnya penolakan GAM terhadap otonom i
khusus dalam NKRI dan m eletakkan senjatanya. Akibatnya diberlakukan
kem bali darurat m iliter di Aceh dengan nam a Operasi Terpadu 8 m elalui
Keputusan Presiden Megawati yang diterbitkan pada tanggal 18 Mei,
Nom or 28 tahun 20 0 3 (YLBHI, 20 0 3).
Menurut Perez (20 0 9) kegagalan CoHA disebabkan oleh tiga faktor, yaitu:
(1) Lem ah kepem im pinan politik untuk m endesak dilaksanakan dialog
“peace talk”, yang m em iliki im pak ke atas kontrol terhadap m iliter; (2)
Lem ahnya kapasiti HDC dalam m enyelenggarakan negosiasi, karena
pengalam annya yang m asih m inim a dalam pengurusan konflik pada
peringkat internasional. Aceh adalah m erupakan kes pertam a yang
ditangani; (3) Tidak m elibatkan pihak internasional yang am at besar dan
m assive sepertim ana yang berlaku dengan CMI.
Pemberlakuan operasi militer pasca CoHA berjaya m enekan kekuatan
7

Muhammad Usman Lampoh Awe, Kamaruzzaman, Ibrahim Tiba, Amni bin Ahmad
Marzuki ditahan oleh polis Indonesia di airport Sultan Iskandar Muda apabila mahu
berangkat Ke Tokyo (Zulkarnain, 2008).
8 Operasi Terpadu adalah kombinasi operasi militer dan non militer yang
merangkumi; operasi kemanusiaan, penegakan hukum, pemantapan pentadbiran kerajaan,
dan pemulihan keselamatan (security)..
114 I

Konfrontasi

m iliter GAM. Pem erintah Indonesia m em perkirakan enam bulan
pelaksanaan Operasi Militer, telah berjaya m engurangi kekuatan m iliter
GAM 55% (Sukm a, 20 0 4). Posisi GAM m enjadi lem ah (Shaw, 20 0 8),
walaupun sebelumnya telah m enguasai 75% dari keseluruhan wilayah Aceh
dan di Aceh telah berlaku dua pem erintahan semasa itu (Djuli, 20 11).
Kem udian status darurat m iliter diturunkan m enjadi darurat sipil m elalui
Keputusan Presiden Nomor 43 Tahun 20 0 4. Akan tetapi operasi terpadu
tidak dihentikan dan jumlah TNI-Polri belum dikurangkan.

b.2 . Cris is Man age m e n t In itiative ( CMI) d an Mo U H e ls in ki
Walaupun Operasi Militer telah berjaya m elem ahkan kekuatan GAM.
Nam un pemim pinan Indonesia tahun 20 0 4, Susilo Bam bang Yodhoyono
(SBY) dan J usuf Kalla (J K) melakukan kembali proses negosiasi dengan
GAM, yang m enghasilkan satu Nota Persefaham an m engenai perdam aian
Indonesia-Aceh (MoU Helsinki) yang ditandatangani pada 15 Ogos 20 0 5.
Berhasil ditandatangani MoU ini, di antaranya disebabkan oleh para aktor
yang terlibat di dalamnya, yaitu:
1.

Ke rajaan Re p u blik In d o n e s ia ( RI)
Pem erintah Indonesia SBY-J K m emiliki visi yang sam a dalam
m endekati m asalah Aceh, m ereka m enyakini bahwa pendekatan
m iliter hanya boleh m elem ahkan GAM, bukan m enyelesaikan
m asalah Aceh secara tuntas dan perm anen. Oleh sebab itu, dialog
dam ai harus diusahakan sekuat m ungkin sebagai media penyelesaian
sengketa. Akibatnya adalah m uncul persepaduan polisi di peringkat
tertinggi Pemerintah Indonesia yang mam pu m engatasi para oposisioposisi politik yang tidak suka dengan pendekatan negosiasi (Morfit,
20 13). Oleh sebab itu, SBY-J K berani dan bersedia m emberikan
otonom i yang lebih luas lagi kepada Aceh berbanding autotom i
sebelumnya, yaitu dengan m enambahkan bidang politik ke atas
keistimewaan Aceh yang telah diberikan sebelumnya (Djum ala, 20 13).
Selanjutnya SBY-Kalla m em bentuk tim ad hoc negosiasi yang bekerja
dengan m engesam pingkan birokrasi form il, di luar saluran tetapi arus
inform asi dikontrol secara kentat. Mereka dinyakini m ampu
m elakukan negosiasi tidak keluar dari rel utam a (NKRI dan konsisten
dengan Konstitusi RI) dan m am pu menyakinkan atau mem peroleh
kepercayaan dari pihaak GAM. Untuk itu, ditunjukkan Ham id
Awaluddin (Menteri Keadilan dan Hak Asasi Manusia), Sofyan J alil
(Menteri Kom unikasi), dan Farid Husain (Seorang Direktur J enderal
di Departm en Kesihatan). Ketiganya adalah “bukan orang J awa”
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 115

(Morfit, 20 13).
Dalam m elakukan negosiasi J usuf Kalla m em intakan kepada tim,
terutam a Ham id Awaludin untuk m enjalankannya seperti berdialog
dengan sahabat yang dikenal baik, dan m em andang lawan (GAM)
sederajat, tidak lebih rendah daripada Pem erintah Indonesia. Bahkan
secara teknis dim inta untuk selalu duduk berhadapan dengan Malik
Mahm ud dan m enatap m atanya tanpa berkedip sem asa berbincang
untuk mem peroleh kepercayaan dari GAM. Manakala Presiden SBY
m em berikan sokongan penuh kepada tim m enerusi Awaludin, bahkan
Beliau menyatakan bahwa kesepakatan dam ai yang ditandatangani
oleh Awaluddin adalah sam a pentingnya dengan proklam asi
kem erdekaan (Awaludin, 20 0 9).

2 . Ge rakan Ace h Me rd e ka ( GAM)
GAM bersedia m elakukan dialog dengan Kerajaan RI (SBY-J K yang
dipilih langsung oleh rakyat tahun 20 0 4) dengan dimediasi oleh CMI.
Walaupun sem asa dialog dilakukan m iliter RI m asih pun m enyerang
dan mem bunuh anggota-anggota GAM di Aceh. Mereka tetap
m elanjutkan negosiasi tanpa m embatalkannya kecuali mengajukan
protes sajai kepada Ahtisaari.
Karena m elihat tanda-tanda
kesungguhan dan keseriusan Kerajaan RI ingin m enyelesaikan
perm asalahan konflik Aceh m enerusi dialog dam ai, (Kingsbury, 20 0 6;
Husain, 20 0 7).
Selain itu, GAM juga bersedia m elepaskan tuntutan merdeka dan
m elakukan negosiasi dalam koredor otonom i, karena wujud
perubahan sikap dariapada Pem erintah Indonesia. Menurut GAM
m ereka lebih fleksibel berbanding kerajaan sebelumnya. “If Aceh can
get w hat it w ants peacefully w ithout separating itself from
Indonesia, w hy should w e go to w ar? So, that is w hat I said at the
tim e, that w e had the right people at the right tim e and the right
place to achieve peace” (Daly & Higgins, 20 10 ).

3 . Cris is Man age m e n t In itiative ( CMI)
Ahtisaari (CMI) m enganjurkan kepada kedua pihak supaya bersikap
dan berperilaku fleksibel, m enurunkan peringkat tuntutannya
m asing-m asing; RI bergerak m elebihi otonom i sebelum nya dan GAM
m enurunkan tuntutannya daripada m erdeka. Ekoran itu, kepada RI
dianjurkan supaya tidak m enangkap anggota GAM apabila

116 I

Konfrontasi

perundingan, sepertim ana yang berlaku pada m asa CoHA; harus ada
lembaga pengawas untuk m em antau im plem entasi hasil perundingan;
RI juga harus m enguasakan cara-cara yang tepat untuk
m engintegrasikan m antan kom batan GAM kedalam m asyarakat; dan
RI m esti mem beri tawaran baru yang m enarik dan m em bahagiakan
bagi GAM. Manakala kepada GAM, CMI m enegaskan kembali bahwa
jika ingin dibantu untuk m enyelesaikan konflik Aceh, GAM jangan
m enuntut kem erdekaan karena dunia internasional belum ada yang
m ensokong perkara berkenaan. Perundingan mesti dibincangkan
dalam had kerangka otonom i. GAM boleh m enjelajahi opsi-opsi
perluasan otoritas Aceh m elebihi otonom i luas/ khas yang sudah
pernah diterim a sebelum nya (Morfit, 20 13).
Selain itu, supaya negosiasi berlaku hingga mem peroleh hasil yang
kom prehensif Ahtisaari m enegakkan satu prinsip dasar “tak ada yang
disepakti sam pai sem uanya disepakati”, dengan kata lain “tidak
satupun diterim a sebelum sem ua diterim a” (Kivim aki & Gorm an,
20 0 8). J ika berlaku deadlock m engenai satu perkara, sepertimana
genjatan senjata sem asa negosiasi yang dicadangkan oleh GAM, maka
negosiasi dihentikan untuk m asa sem entara dan kepada kedua pihak
dim intakan fokus sahja pada apa-apa yang telah disepakati (Husain,
20 0 7).
Selanjutnya negosiasi pun dilakukan secara kom prehensif, tidak
partsial dan berfase sebagaim ana perundingan yang berlaku
sebelumnya; gencatan senjata, jeda kem anusian, dan penghentian
perm usuhan. Untuk itu, gencatan senjata yang diusulkan oleh GAM
pada putaran pertam a ditolak oleh delegasi RI. Hal sem acam ini tentu
m em iliki kesam aan prinsip dengan Ahtisaari, “tak ada yang disepakti
sam pai sem uanya disepakati”. Selain itu, supaya perundingan cepat
m em peroleh hasilnya, CMI juga m enentukan had masa perundingan
yang m esti diakhiri, yaitu J uli 20 0 5 (Husain, 20 0 7).

4 . Akto r d i Lu ar Me ja Pe ru n d in gan
Perlu dipaham i bahwa huraian di atas adalah perkara yang berlaku di
m eja negosiasi rasm i. Hal ini tentu tidak akan berwujud jika saling
percaya antara kedua pihak tidak kuat. Terutam anya adalah
kepercayaan GAM kepada Pem erintah Indonesia yang telah pudar
ham pir 30 -an tahun. Untuk itu, negosiasi di luar m eja 9 perundingan
9

Detail lagi boleh dibaca lagi buku-buku yang telah dinukilkan oleh aktor-aktor yang
berpartisipasi langsung dalam perdamaian Aceh, seperti To See the Unseen, Farid Husain
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 117

rasm i juga dilakukan. Farid Husain dalam m em bina kembali
kepercayaan GAM kepada Kerajaan RI, Beliau melakukan kom unikasi
dengan pelbagai elem en m asyarakat Aceh. Daripada rakyat awam
sam pai kepada tokoh GAM dan keluarganya serta orang-orang yang
m em iliki hubungan dekat dengan GAM. Mereka diharapkan boleh
m em beri kesan kepada perubahan m inda dan hati tokoh-tokoh GAM 10
terhadap Pem erintah Indonesia, sam ada di Aceh, luar Aceh m ahupun
di luar negara. Beliau menunjukkan rasa em patinya kepada orang
Aceh dengan m engatakan bahwa orang Aceh dan Beliau adalah sam asam a kecewa kepada Pem erintah In donesia. Orang Bugis juga pernah
m em berontak dua kali untuk m ewujudakan negara federal. Nam un
tanpa sokongan dari luar negara, perjuangan akan sia-sia (Husain,
20 0 7).
Dalam usaha m enyakinkan GAM bahwa Kerajaan RI serius ingin
berdialog kem bali dengan GAM, Farid Husain dibantu oleh J uha
Christensen. Untuk lebih m enyakinkan GAM m engenai rencana ini,
J uha m enemui negosiator GAM yang ditahan oleh Kerajaan RI di
Sukam iskin atas perm intaan GAM di Swedia. Selain itu, J uha juga
m em bantu melobi Martti Ahtisaari untuk bersedia m enjadi mediator
perundingan. Proses m em bangun kepercayaan ini m enghabiskan
m asa sekitar satu setengah tahun sebelum perundingan rasm i dimulai
pada tanggal 27 J anuari 20 0 5. Bahkan sem asa negosiasi berlaku,
Farid Husain dan J uha mengambil peran mencairkan keadaan yang
tegang di m eja perundingan dengan cara m enjumpai para delegasi
GAM di luar m eja perundingan dan m enjem put m ereka untuk m akan
bersam a. Di sam ping itu, untuk mem udahkan dan mem percepat
proses perundingan, Farid Husen m enggunakan prinsip m enjumpai
dan m engajak bicara semua yang terlibat dalam perundingan (GAM).
Oleh sebab itu, Dam ien Kingsbury sebagai penasehat GAM pun
dijem put ke Indonesia secara diam-diam oleh Wakil Presiden
Indonesia J usuf Kalla untuk m embincangkan penyelesaian konflik
Aceh, dan Irwandi Yusuf dijum pai oleh Farid Husain di Singapura

(2007); Peace in Aceh, Hamid Awaludin (2008) dan Peace in Aceh, Damien Kingsbury
(2006).
10 Farid Husen mejumpai Abu Abdullah pada Ogos 2003, kakak Hasan Ditiro dan
ayah daripada Zaini Abdullah. Selain itu, juga menemukan Teungku Amir, abang
kandung Malik Mahmud di Singapura. Bahkan Sofyan Dawod juga dijumpai oleh Farid
Husain sendiri di wilayah pergunungan Aceh Utara. Hal ini diharapkan boleh membina
hubungan emosional dan menumbuhkan rasa saling percaya sebagai fondasi yang kokoh
bagi menciptakan dialog perdamaian (Husain, 2007: 39).
118 I

Konfrontasi

sebelum ia melibatkan diri dalam anggota delegasi GAM pada putaran
kedua (Husain, 20 0 7).

TAFSIRAN MOU H ELSIN KI KE D ALAM U U PA: MEN GAKH IRI
KON FLIK ATAU MEN TRAN SFORMASI KON FLIK KE ARAH
PERD AMAIAN POSITIF
MoU Helsinki telah membatasi otoritas Pemerintah Indonesia ke atas Aceh,
yaitu hanya pada enam perkara; hubungan luar negeri, pertahanan luar,
keam anan nasional, hal ihwal m oneter dan fiskal, kekuasaan kehakim an dan
kebebasan beragam a (MoU, poin 1.1.2,a). Karenanya pada poin 1.1.1 MoU
disebutkan “Undang-undang baharu tentang Penyelenggaraan Pem erintahan
di Aceh akan diundangkan dan akan sesegera m ungkin dijalankan, dan
selambat-lambatnya tanggal 31 March 20 0 6”, sebagai pengganti UndangUndang Nanggroe Aceh Darussalam (UU-NAD) Nom or 18 tahun 20 0 1, yang
ditolak oleh GAM sem asa konflik. Dalam hal ini Pem erintah Indonesia telah
m enafsirkan MoU ke dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA)
Nom or 11 tahun 20 0 6. Nam un, sebagiannya tidak sesuai dengan MoU
Helsinki. Bahkan sebagian poin UUPA m asih m em erlukan Peraturan
Perlaksana (PP) dari Pemerintah Indonesia supaya boleh diim plem entasikan
oleh Pemerintah Aceh, seperti m engenai wewenang (otoritas) pengelolaan
m inyak dan gas, pertanahan, pembentukan Kom isi kebenaran dan
Rekonsiliasi.
UUPA diharapkan Aceh tidak saja m enggantikan status Otonom i Khusus
kepada Otonom i Seluas-luasnya 11, akan tetapi juga m enem patkan Aceh
sebagai Daerah Self Goverm ent (Pem erintahan Sendiri) 12 . Ini m erupakan
kom prom i politik sebagai jalan tengah antara otonom i khusus dan m erdeka
yang dim intakan oleh GAM dalam negosiasi MoU Helsinki (Sugeng, et.al.,
20 10 ). Dengan dem ikian, diharapkan Aceh akan m engurus dirinya sendiri
bagi m em bangun dan mem bina Aceh supaya “m erdeka” secara substansi,
yaitu sejahtera, adil dan berm aruah. Di m ana m asyarakat Aceh dapat m erasa
dam ai positif secara berterusan.
11Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 belum memadai untuk menampung aspirasi,
kepentingan pembangunan ekonomi, dan keadilan politik. Oleh sebab itu, pembentukan
UU No. 11 Tahun 2006 dengan prinsip otonomi seluas-luasnya (Djojosoekarto, et.al.,
2008), yang dihadkan pada enam perkara (MoU, poin 1.1.2,a).
12 Self-Government merupakan konsep desentralisasi (otonomi daerah) yang dibincangkan dalam proses negosiasi MoU Helsinki sebagai pengganti konsep otonomi khusus
yang ditolak oleh GAM, namun ianya tidak disebutkan secara eksplisit dalam MoU. Akan
tetapi dalam UUPA berlaku sebaliknya, di mana konsep otonomi khusus bagi Aceh
dijelaskan secara tegas.

Volume IV, No.1, Januari 2015

I 119

UUPA dilihat secara sekilas nam paknya Pem erintah Aceh telah m em iliki
otoritas yang lebih luas berbanding dengan undang-undang otonom i khusus
sebelum nya (tahun 20 0 1). Karena di dalam nya telah diatur otoritas Aceh atas
pelbagai perkara, kecuali enam perkara. Akan tetapi pada kenyataannya yang
sebenar tidak dem ikian, bahkan UUPA sekaligus telah m engurangi otoritas
Aceh ke atas perkara berkenaan. Karena pada pasal 7 dan pasal 8 telah
disebutkan:
Pas al 7:
(1) Pem erintahan Aceh dan kabupaten/ kota berwenang (otoritas)
m engatur dan m engurus urusan pem erintahan dalam sem ua sektor
publik kecuali urusan pem erintahan yang m enjadi kewenangan
Pem erintah (Pem erintah Indonesia).
(2) Kewenangan Pemerintah sebagaim ana dim aksud pada ayat (1)
m eliputi u ru s an p e m e rin tah an yan g be rs ifat n as io n al, politik
luar negeri, pertahanan, keselam atan, yustisi, m oneter dan fiskal
nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agam a.
Pas al 8 :
(1) Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan
Pem erintahan Aceh yang dibuat oleh Pem erintah dilakukan dengan
konsultasi dan p e rtim ban gan DPRA.
(2) Rencana pem bentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan
Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pem erintahan Aceh
dilakukan dengan konsultasi dan p e rtim ban gan DPRA.
(3) Kebijakan
adm inistratif yang berkaitan
langsung dengan
Pem erintahan Aceh yang akan dibuat oleh Pem erintah dilakukan
dengan konsultasi dan p e rtim ban gan Gubernur.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi dan pem berian
pertim bangan sebagaim ana dim aksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) d iatu r d e n gan Pe ratu ran Pre s id e n .
Ayat urusan pem erintahan y ang bersifat nasional, tidak disebutkan dalam
MoU Helsinki, dan kata pertim bangan m erupakan pergantian daripada
“persetujuan” yang disepakati dalam MoU. Dua perkataan ini telah m emberi
im pak besar kepada pem batasan otoritas Aceh. Boleh dipastikan sam a dengan
otoritas provinsi lainnya yang tidak m emiliki keistim ewaan. Sepertim ana yang
berlaku pada provinsi-provinsi sum atera pada am nya.
Menurut Irwandi Yusuf, bahwa penam bahan urusan pem erintahan y ang
bersifat nasional, “a ll n a t io n a l in t e r e s t s ” ke dalam UUPA telah

12 0 I

Konfrontasi

m enyebabkan ketentuan perundang-undangan ini sangat am at kabur (a very ,
very obscure stipulation), nam un undang-undang ini lebih baik daripada
tidak ada undang-undang bagi Aceh (Shaikh, 20 0 8). Selanjutnya pem batasan
otoritas Aceh atas pentadbiran dirinya oleh Pem erintah Indonesia lagi
diperkuat menerusi poin 1 daripada Pasal 11 UU PA “Pem erintah (Pem erintah
Indonesia) m enetapkan norm a, standar, dan prosedur serta m elakukan
pengaw asan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh
Pem erintah Aceh dan pem erintah kabupaten/ kota”.
Sedar akan im pak negatif yang dem ikian, perkara tersebut mulanya telah
ditolak oleh para pengawal selia pembentukan UUPA, terutam a oleh elem en
m asyarakat sipil apabila ditem patkan pada pasal 7. Nam un ternyata
dim unculkan kem bali pada pasal 11. Afrizal (ADF) yang m erupakan seorang
pengawal selia terhadap pem bahasan Rancangan UU PA di Parlimen
Indonesia menyebutkan:
“kita sudah sangat bahagia dan menepuk tangan sem asa penolakan
terhadap ayat ini diterima. Sebelumnya sem pat berlaku diskusi alot dan
panas m engenai perkara ini. Bahkan anehnya kam i harus berargumen
keras dengan seorang anggota Parlimen RI asal daripada Aceh sem asa
m enolak ayat ini. Tetapi karena m ungkin sudah sangat bahagia dan eforia
terhadap kejayaan, kam i tidak m emantau lagi pada ayat-ayat selanjutnya
m engenai perkara serupa ini” (Wawancara 29 Oktober 20 13 di Banda
Aceh).
Kenyataan ini telah menyebabkan Aceh “kehilangan” keistim ewaannya. Aceh
m em erlukan energi banyak untuk m elakukan negosiasi lanjut dengan
Pem erintah Indonesia. J ika tidak m am pu, berpotensi besar konflik akan
m uncul kembali, yaitu sebagaim ana yang pernah berlaku pada tahun 1976, di
m ana satu sebabnya adalah gagal dalam diplom asi (negosiasi) keistimewaan
yang dijanjikan dan disepakati dalam “Ikrar Lam teh” (Yusni Sabi,
Perbincangan 19 Disember 20 13) pada penyelesaian konflik DI/ TII tahun
1962.
Selain itu, poin-poin MoU yang menjelaskan bahwa Kerajaan dan Parlimen
Indonesia dalam m embuat satu kebijakan atau keputusan Internasional yang
berhubung-kait dengan Aceh mesti “berkonsultasi dan m em peroleh
persetujuan” daripada Kerajaan dan Parlim en Aceh (Poin 1.1.2. b,c,d), dalam
UUPA telah digantikan dengat kata “konsultasi dan pertim bangan”. Akibatnya
sem angat Aceh m emberi kepada Indonesia berubah m enjadi sem angat
m enerim a dan m em inta-minta.
Kenyataan sem acam ini, Muslahuddin m enyebutkan, “Aceh dilihat dari
kontainnya adalah sudah federal, akan tetapi praktiknya m asih m engikut
sistem Republik Indonesia (Perbincangan, 17 Disem ber 20 13). Manakala
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 12 1

Saifuddin menyatakan bahwa 70 % Aceh m asih dikuasai oleh Pem erintah
Indonesia (Perbincangan, 18 Disember 20 13). J auh lagi Chairul Fahm i
m enyebutnya bahwa MoU Helsinki adalah sam a dengan perjanjian dam ai
“Ikrar Lam teh”, yang pada prakteknya tidak ada keistimewaan bagi Aceh.
Sem ua ketentuan yang dibuat mesti m engikut perundang-undangan
Indonesia yang Pancasilais (Perbincangan, 28 Disem ber 20 14).
Lebih buruk lagi keistim ewaan Aceh, selain akibat dari pergantian tem inologi
p e r s e t u ju a n kepada k o n s u lt a s i adalah Peraturan Presiden (Perpres)
No.75/ 20 0 8, disebutkan bahwa kebijakan adm inistratif pem erintah pusat
antara lain seperti pem ekaran wilayah, harus m elalui ko n s u ltas i d an
p e rtim ban gan Gubernur Aceh. Sedangkan bagi provinsi lainnya harus
m enerusi p e rs e tu ju an Gu be rn u r d an D PRD provinsi yang bersangkutan
(Am rizal, 20 10 ). Pada pasal 5 UU No.32/ 20 0 4, poin 2 disebutkan, “Syarat
adm inistratif sebagaim ana dim aksud pada ayat (1) untuk provinsi m eliputi
ad an ya p e rs e tu ju an D PRD kabu p ate n / ko ta d an Bu p ati/ W aliko ta
yang akan m enjadi cakupan wilayah provinsi,
p e rs e tu ju an D PRD
p ro vin s i in d u k d an Gu be rn u r, serta rekom endasi Menteri Dalam
Negeri”.
Oleh sebab itu, keistim ewaan Aceh dipastikan hanya dalam hal m enerim a
dana/ uang lebih banyak dari Pemerintah Indonesia. Itu pun m ekanisme
pengelolaan dan pem anfaatan m esti mengikut ketentuan yang berlaku um um
bagi seluruh provinsi di Indonesia. Misalnya koreksi Anggaran Pendapatan
Belanja Aceh (APBA) tahun 20 13 yang dilakukan oleh Gumawan Fauzi
(Menteri Dalam Negeri Indonesia), karena m enilai bertentangan dengan
ketentuan (Peraturan Menteri Keuangan) (Warsidi, 20 13). Ini berlaku karena
Pem erintah Pusat belum paham UUPA (Zaini Abdullah, Gubernur Aceh,
20 13). Kenyataan ini menurut Nurzahri, Anggota Parlim en Aceh, bahwa
Pem erintah Indonesia m asih m engontrol pengalokasian anggaran Aceh seraca
penuh m enerusi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Mereka akan
m engatakan ‘ya’ atau ‘tidak’ terhadap usulan anggaran daripada Pem erintah
Aceh (Perbincangan 18 Disem ber 20 13). Pengesahan APBA 20 13 m isalnya,
disahkan setelah dievalusi dan dikoreksi oleh Mendagri, alasannya adalah
m enyesuaikan dengan regulasi (MedanBisnis, 0 6 March 20 13).
Senada itu, m enurut Mawardi Nurdin (bekas Wali kota Banda Aceh) bahwa
perubahan nyata yang diperoleh Aceh dalam MoU adalah peningkatan
perolehan uang daripada Pem erintah Indonesia. Manakala pelaksanaan
adm inistrasi m asih berlaku sepertim ana pelaksaksanaan desentralisasi yang
sudah berlaku pada m asa perm ulaan tahun 20 0 0 (UNDP, 20 12). Tidak ada
perbezaan yang m endasar antara otonom i daerah (bagi provinsi lain) dan
otonom i khusus bagi Aceh (Kemitraan, 20 0 8).
12 2 I

Konfrontasi

Uraian di atas m enjelaskan bahwa MoU Helsinki yang m emerlukan undangundang baru tidak banyak m em beri kesan positif kepada perluasan otoritas
Aceh untuk m engurus dirinya sendiri. Nam un telah m emberi kesan positif
kepada peningkatan pendapatan (uang) bagi Aceh, terutam a yang bersumber
daripada dana alokasi khas yang tidak pernah diperoleh sebelum nya, dan
dana bagi hasil pertam bangan minyak dan gas tanpa pengurangan
peratusannya. Dua sum ber pendapatan ini dimiliki oleh provinsi lain yang
tidak m em peroleh hak istim ewa daripada Pem erintah Indonesia (Kem itraan,
20 0 8). Akibatnya pendapatan Aceh meningkat secara signifikan. Daripada
bilionan (sebelum MoU) kepada triliunan (pasca perdam aian) 13 .
Kenyataan ini berlaku, karena negosiasi lanjutan (proses pem bentukan
UUPA) tidak lagi m elibatkan pihak ketiga sebagai mediator. Akibatnya proses
negosiasi belaku dalam hubungan tidak seimbang (asim etris), karena Aceh
telah disahkan sebagai bahagian sub-state daripada Negara Indonesia, dan
Pem erintah Indonesia lebih banyak m erujuk kepada undang-undang otonomi
daerah, berbanding kepada MoU Helsinki (Baldan, 20 0 7). Akibatnya perkaraperkara prinsipil dihapuskan, sem isal otoritas Pem erintah Indonesia yang
disepakti hanya 6 perkara m enjadi kabur, dan sebagian poin-poin UUPA telah
m enyim pang dari ketentuan MoU Helsinki. Oleh sebab itu, reform asi
hubungan asim etris kepada hubungan yang seimbang tidak berlaku. Padahal
perkara ini adalah core daripada pem binaan perdamaian (Lederach, 1999). Ini
satu kelemahan MoU Helsinki yang sifatnya tidak im plem entatif
keseluruhannya, tetapi m ensyaratkan negosiasi lanjutan, m enanggalkan
tahapan
ceasefire serta langsung m elakukan
pelucutan
senjata
(disarm am ent) pihak GAM sebelum negosiasi lanjutan diselesaikan.
Walaupun GAM tidak dinyatakan dibubarkan, tetapi kekuatannya sudah tiada
lagi, m ereka tidak memiliki senjata yang dapat m engancam eksistensi
Pem erintah Indonesia. Padahal Rom bostham , et al (20 0 5) dan Fisher (20 0 7)
m enyatakan bahwa ceasefire m erupakan bagian dari proses fase perdam aian
negatif sebelum penandatangan kesepakatan dam ai.
Pada sisi lain, Pem erintah Indonesia dengan sengaja m engabaikan
pelaksanaan hak keistim ewaan Aceh yang telah disepakati, seperti Peraturan
Pem erintah (Indonesia) yang m engatur tentang otoritas atau kewenangan
Aceh, Peraturan tentang Minyak dan Gas, Peraturan tentang Pertanahan,
sem ua aturan ini belum dibuat atau diselesaikan sehingga kini. Padahal
sepatutnya tahun 20 0 8 sudah harus diselesaian sem ua aturan turunan
pelaksaksanaan UUPA. Ini m enunjukkan akan berlaku kem bali pengkhiatan
Pem erintah Indonesia terhadap Aceh sebagaim ana yang telah berlaku
13

Lihat World Bank (2006) “Aceh Public Expenditure Analysis Spending For Reconstruction
And Poverty Reduction”, http://www.worldbank.org/id
Volume IV, No.1, Januari 2015

I 12 3

terhadap Perjanjian Dam ai Konflik DI/ TII 1962, yang pada akhirnya m uncul
kem bali konflik Aceh (GAM 1976) setelah 14 tahun perjanjian perdam aian.
Akibat daripada punca konflik yang tidak diselesaikan.

KESIMPU LAN
Berdasarkan uraian di atas, boleh diambil konklusinya bahwa MoU Helsinki
yang m em erlukan penafsiran untuk dapat diim plementasi setelah pelucutan
senjata GAM telah berimpak kepada tidak berlaku transform asi hubungan
Aceh – Indonesia yang seim bang, bahkan telah berlaku pengabaian terhadap
pelaksanaan otoritas Aceh untuk m engatur dirinya. Untuk itu, MoU
faedahnya masih terbatas kepada penghentian perang dan belum kepada
pem binaan hubungan yang dam ai antara Aceh dan Indonesia, yaitu hubungan
seim bang atau sim etris dengan ‘nasionalism e Aceh’ dalam NKRI.

12 4 I

Konfrontasi

BIBLIOGRAFI:
Am rizal, J . (20 10 ) Mengupas Perpres Konsultasi dan Pertim bangan dalam
Zain, F., et al. eds. Geunap Aceh: Perdam aian Bukan Tanda Tangan.
Banda Aceh: Aceh Institute Press.
Ariwiadi, (1986) Gerakan Operasi Militer VII: Penjelesaian Peristiw a Atjeh.
J akarta: Mega Bookstore
Aspinal, Edward (20 0 6) Sejarah konflik Aceh, http:/ / www.acehinstitute.org/
id/ index. Diakses tanggal 29 Disem bir 20 10 .
Aspinall, Edward and Crouch, Harold (