Globalisasi Negara Saudagar dan Rakyat

Globalisasi, Negara, Saudagar, dan Rakyat
FAJAR KURNIANTO
Globalisasi telah menjadi arus besar dunia yang tak terbendung. Globalisasi didefinisikan
sebagai interconnectivity yang mencapai tingkat tertinggi seperti tampak pada extensity,
intensity, velocity, dan dampak yang ditimbulkan (David Held et.al, 1999). Ideologi globalisme
menyatakan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan dunia hanya dapat dicapai dengan
perdagangan bebas yang dilakukan pengusaha swasta, tanpa intervensi oleh negara di bidang
ekonomi (Manfred Steger, 2005).
Dalam era globalisasi, batas-batas negara seperti kabur, bahkan lenyap. Kenichi Omahe
dalam bukunya, The End of Nation-State, secara eksplisit mengumumkan berakhirnya “nationstate” atau “negara-bangsa”. Negara, tutur Omahe, adalah “the artefact of the 18th and 19th
centuries”. Perdagangan antarnegara begitu terbuka melewati tapal batas dan merusak garis-garis
peta politik tradisional yang ada selama ini.
Thomas Friedman dalam bukunya, The Lexus and the Olive Tree, mengatakan, semua
negara di dunia kini harus berpakaian sama, yaitu “The Golden Straitjacket”. Artinya, negara
harus menjalankan pasar bebas, membuka lebar-lebar pasarnya untuk produk-produk dari mana
saja di dunia. Nasionalisme bagi Omahe dan Friedman adalah penghambat dari kegiatan
ekonomi yang kian mengglobal ini. Nasionalisme juga berakhir, seiring dengan berakhirnya
negara-bangsa.
Apakah eksistensi negara benar-benar lenyap? Faktanya tidak ada satu pun negara di
dunia yang lenyap karena globalisasi. Meski begitu, globalisasi tetap memiliki dampak bagi
suatu negara. Negara memang masih eksis, tapi perannya sedikit banyak berubah. Ronen Palan

dan Jason Abbott dalam buku mereka, State Strategies in the Global Political Economy,
memperlihatkan bagaimana negara-negara berusaha sekuat tenaga menyusun strategi yang tepat
untuk menghadapi aktor-aktor global seperti International Monetary Fund (IMF), World Bank,
World Trade Organization (WTO), ataupun CEO dari korporasi multinasional (MNC).
Menurut mereka, setidaknya ada tujuh strategi yang negara lakukan. Pertama, negara
yang satu bergabung dengan negara lain dan membangun sebuah kelompok regional. Kedua,
mengembangkan model developmental state. Ketiga, mengembangkan modus “demokrasi

sosial” dalam usahanya mengintegrasikan diri dalam ekonomi dunia. Keempat, beberapa negara
berupaya untuk mendominasi ekonomi regional, bahkan ekonomi dunia untuk menjalankan
hegemoni.
Negara bukan centeng Saudagar
Kelima, negara miskin dan lemah memanfaatkan tenaga murah yang melimpah untuk
menarik modal asing. Keenam, mereka akan mencari keunggulan khusus atau niches yang
bersifat paratis di pasar dunia, seperti tax havens. Ketujuh, mereka mungkin sama sekali tidak
ikut dalam kompetisi global akibat himpitan struktur. Ketujuh strategi negara tersebut sebenarnya
mewakili tujuh tipologi negara-negara yang sekarang ada di dunia.
Patut dicermati bahwa dalam globalisasi terjadi “pertarungan kepentingan” antara negara
di satu sisi dan aktor-aktor global di sisi lain. Jika diibaratkan, mereka adalah “para penyerbu”,
dan negara berusaha bertahan dari “serbuan” itu.Jika di era kolonialisme “serbuan itu”

menggunakan moncong senjata, dalam globalisasi serbuan itu menggunakan kekuatan ekonomi,
dan para penyerbu itu bukan lagi mewakili negara tertentu, tetapi mewakili para “saudagar”
dunia yang dengan lincah dan gesit masuk dari satu negara ke negara lain. Apalagi, dengan
kemajuan teknologi seperti internet, dinding-dinding pembatas negara pun runtuh.
Dalam sejarah, sebenarnya negara dan saudagar seperti saudara kembar. Negara
membutuhkan kaum saudagar untuk membiayai kehidupan para pemimpin, membiayai birokrasi,
dan membiayai perang. Sebaliknya, kaum saudagar juga membutuhkan perlindungan dari negara
dalam menjalankan usahanya. Di masa kolonialisme, negara secara terang-terangan mendukung
usaha para saudagar untuk membuka wilayah-wilayah baru, untuk mendapatkan sumber daya
alam. Hubungan saling menguntungkan itu berlangsung hingga hari ini.
Lantas, bagaimana dengan rakyat yang ada di antara kepentingan negara dan saudagar?
Relasi negara dengan saudagar sebetulnya dapat membawa manfaat bagi rakyat. Sayangnya,
dalam banyak hal negara tidak terlalu memerhatikan rakyat, dan lebih memerhatikan
kepentingan saudagar, demi keberlangsungan relasi yang saling menguntungkan tadi. Ketika
kepentingan para saudagar berbenturan dengan kepentingan rakyat, negara lebih memihak para
saudagar. Negara seperti tak berdaya, dan fungsinya sebagai pelindung rakyat terkadang berubah
– mengembangkan konsep Hertz – menjadi “centeng”, pelindung bayaran dari sekelompok kecil
saudagar, nasional maupun global.

Padahal, negara pada mulanya didirikan sebagai organisasi untuk melindungi warga

negara, namun pada akhirnya negara tidak mampu mencapai tujuannya itu semata-mata karena
negara harus tunduk pada kekuatan globalisasi. Negara tidak mau melindungi warga negaranya,
malah menjadi makelar global. Negara juga dibentuk untuk tujuan menyejahterakan warga.
Magnis-Suseno dalam bukunya, Etika Politik, menegaskan bahwa negara berkewajiban untuk
mengusahakan semua prasyarat yang diperlukan oleh masyarakat agar dapat sejahtera.
Dalam konteks Indonesia, negara harus menjamin agar arus globalisasi tidak sampai
menggerus keadilan sosial seperti digariskan Pancasila. Kita bisa menjadi bagian dari globalisasi
tanpa mengorbankan kepentingan rakyat demi kepentingan asing. Pengalaman pahit berada
dalam ketiak IMF setelah reformasi hendaknya tidak terulang lagi.
Para saudagar asing boleh saja berinvestasi di sini, tapi negara harus memberikan
perlindungan terhadap warganya. Negara jangan sampai menjadi “centeng” yang menghamba
pada asing sehingga kedaulatan negara tergadai. Negara harus jadi subjek yang memanfaatkan
globalisasi, bukan objek yang dihantam dan dilahap oleh globalisasi.
*Artikel ini dimuat di koran Kontan, Jumat 16 Mei 2014

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2