Mega Karya Tulis Al Quran dan Kerukunan

Karya Tulis Tentang:
“Al-Qur’an dan Kerukunan Hidup Umat Beragama”
Disusun Oleh: Mega Julianty Rumakat (160301052)
Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan IAIN Ambon
Jurusan Pendidikan Agama Islam

Abstrak
Agama merupakan sesuatu yang diyakini dan dipahami oleh manusia. Sesuatu keyakinan
bisa tampak manakala diekspresikan dalam berbagai tindakan. Tindakan manusia beragama itu
merupakan penerapan konkrit dari nilai-nilai yang dimiliki manusia. Dan Al-Qur’an sebagai
pedoman bagi umat Islam dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Al-Qur’an berisi nilai-nilai
yang dapat dijelaskan dasar untuk berbuat, baik ketika berhubungan dengan Allah SWT, dengan
sesama manusia, maupun dengan alam sekitarnya.

Al-Qur’an mengatur bagaiman manusia

berperilaku, menggali dan memanfaatkan sumber daya alam, bahkan Al-Qur’an mengatur
bagaimana menjalani hidup bersama dengan orang lain yang berbeda agama atau keyakinan.
Kerukunan barangkali merupakan satu dari sekian banyak topik menarik yang belakangan ini
ramai diperbincangkan. Sehingga tujuan di buat karya tulis ini sebagai materi singkat yang
menjelaskan akan pembahasan tentang Al-Qur’an dan kerukunan hidup umat beragama sebagai

bahan belajar dalam penambahan wawasan dan pengetahuan berdasarkan judul yang di ambil
sebagai penulisan karya tulis.
Sebab kita lihat bahwa kekerasan di negeri ini tak pernah berunjuk. Kekerasan seolah-olah
menjadi fenomena eksesif yang berlangsung di hampir semuah renah kehidupan. Mulai dari
kaum elite sampai rakyat tak sepi dari kekerasan. Demikian pula kekerasan mengatasnamakan
agama. Dan disinilah pentingnya membangun toleransi (tasamuh) antar umat beragama,Sebagai
hubungan keberagamaan untuk menciptakan kekuatan bangsa bukan menjadi sumber konflik
memporak-poradakan persatuan bangsa dan negara. Sebab diketahui bahwa kata rukun
berkembang menjadi khazanah kekayaan bangsa khusus di Indonesia, yang dalam pengertian

sehari-hari dimaksudkan untuk menerangkan keadaan harmoni, terutama antara hak dan
kewajiban.
Pembahasan
A. Teologi Islam Mengenai Pluralisme Agama

Sebagai Negara-bangsa (nation-state), Indonesia dihadapkan pada kenyataan heterogenitas
atau kebinekaan masyarakat sebagai warga Negara. Ini realitas yang harus diterima oleh semua
warga Negara dengan tulus ikhlas dan tanpa paksaan. Inilah realitas pluralisme masyarakat yang
merupakan kenyataan sejarah bangsa khusus bangsa Indonesia. Lalu apakah pluralisme itu?
Menurut Nurcholish Masjid pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan

bahwa masyarakat kita plural, beraneka ragam, terdiri atas berbagai suku, etnis, ras, golongan
dan agama yang justru hanya menggambarka kesan fregnentasi (perbedaan). Dan pluralisme juga
tidak boleh dipahami sekedar kebaikan negatif, yang hanya ditilik dari kegunaannya untuk
menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai pertalian sejati kebinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban.
Dengan demikian, pluralisme adalah pemahaman yang mengakui adanya perbedaan
(pluralitas), dimana perbedaan itu dianggap sebagai beragam cara menuju kedamaian dalam
kehidupan. Karena perbedaan harus dipahami sebagai keniscayaan, sebab tidak ada yang dapat
menghilangkan perbedaan. Perbedaan bukanlah sebuah masalah, yang menjadi masalah adalah
cara kita menyakapi perbedaan itu. Jika kita lihat bahwasannya ketidakmampuan mengelolah
pluralisme inilah yang bisa mendorong terjadinya gejolak-gejolak social yang bahkan bermuansa
separatis seperti terjadi akhir-akhir ini. Akan tetapi, ketika masyarakat mampu mengelolah
pluralisme dengan baik, maka akan tumbuh menjadi kekuatan yang mampu membawah
kehidupan yang lebuh bermakna dan tentunya sangat bermanfaat bagi masyarakat itu sendiri.
Lalu bagaimanakah pandangan Islam mengenai pluralisme? Dewasa ini wacana tentang
Islam dan pluralisme masih tetap dibicarakan , paling tidak di Indonesia. Persoalan ini tetap
menarik karena secara objektif Islam adalah agama terbesar di Indonesia yang tampaknya masih
memiliki berbagai perbedaan, paling tidak pada interprestasi dan pelaksanaan ajaran-ajaran
agama di berbagai daerah. Pada posisi ini Islam di Indonesia memiliki peran penting untuk
menciptakan kedamaian di tengah pluralisme social budaya. Islam dituntut untuk mampu

mengayomi umat-umat lain yang minorotas. Sikap ini juga sebenarnya telah dibuktikan dalam

sejarah, dimana Islam sangat menghargai kaum minoritas dan mampuh menjadi penegak di
antara umat-umat yang lain.
Mengenai pandangan Islam terhadap pluralisme, Nurcholish Masjid banya memberikan
pendapatnya, dasar pendapatnya berpijak dan sangat humanitas dan universalitas Islam. Sangat
humanitas ini pada dasarnya mengandung pengertian bahwa Islam merupakan agama
kemanusiaan atau dengan kata lain Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pada umumnya.
Sedangkan semangat universalitas Islam disini secara teologis dapat dilacak dari perkataan
“Al-Islam” itu sendiri, yang berarti sikap pasrah pada Tuhan. Tafsiran ini bermuara pada konsep
kenabian (the unity of prophecy) dan kesatuan kemanusiaan (the unity of humanity) yang pada
dasarnya kedua konsep ini merupakan kelanjutan dari konsep kemahaesaan Tuhan
(the unity of God).
Dari penjelasan diatas pendapat lain juga tampak memperkuat jelas bahwasannya ia juga
mempunyai perhatian yang tinggih terhadap pluralisme. Yang terpenting adalah bagaiman umat
Islam mampu mengembangkan dimensi pluralitas sehingga menerima pluralisme, yakni system
nilai yang memandang secara positif optimal terhadap kemajemukan itu sendiri dengan
menerimanya sebagai kenyataan dan berbuat sebaik mungkin atas dasar kenyataan itu.
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an disebutkan:


















  

   




s







    

   

“ seandainya Allah tidak menyimbangi segolongan manusia dengan golongan yang lain, maka
pastilah bumi ini hancur, namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah pada seluruh

alam”. (Q,S. Al-Baqarah:251)
Secara eksplisit, ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan
beragama bentuk (golongan) dengan tujuan untuk memelihara keutuhan bumi dan merupakan


salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Dengan demikian,
perbedaan atau pluralitas merupakan salah satu sunnatullah yang keberadaannya tidak mungkin
ditolak oleh siapa pun.
B. Dokrin Kerukunan Hidup Umat Beragama Dalam Islam

Pada hakikatnya semua pemeluk agama menyembah Tuhan, hanya saja setiap agama
memiliki konsepsi atau rumusan tentang Tuhan yang berbeda-beda antara satu dengan yang
lainnya. Biasanya perbedaan itu terletak pada bagaiman mereka menyifati Tuhan yang mereka
sembah itu. Jangankan antar agama yang berbeda, dalam satu ajaran agama saja terkadang
muncul berbagai macam aliran yang berdebat satu sama lain tentang sifat-sifat Tuhan. Tiga
agama sumawi yaitu: Islam, Yahudi dan Kristen sama-sama mengajarkan adanya Tuhan. Hanya
saja masing-masing mempunyai konsepsi yang berbeda mengenai agama dan Tuhannya.
Menyikapi perbedaan tersebut, hendaknya setiap umat tidak mencari mempersoalkan
perbedaan yang ada. Justru yang dilakukan adalah mencari titik temu sebanyak mungkin diantara
umat yang beraneka ragam tersebut. Kenyataan perbedaan syariat itu adalah ujian keimanan
masing-masing pemeluk. Bahkan dalam ajaran Islam, umat Islam di perintahkan untuk
menghargai atau bila perluh mempelajari syariat-syariat agama sebelum islam.
Islam tidak melatang pemeluknya untuk membuat klain-klain eklusif bahkan Islam adalah
agama yang paling benar dan paling diridhoi Allah. Namun demikian, disamping klain-klain

ekslusifitas tersebut, Islam juga memberikan penekanan khusus pada inklusifisme keagamaa
yakni sikap menghargai keyakinan agama lain, dan tidak memaksakan kehendak pada pemeluk
agama lain untuk memeluk agama Islam. Hal ini dapat kita simak dalam sejumlah ajaran yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Secara tegas Allah SWT berfirman:

     

    

















    

   

“ tidak ada paksaan apapun dalam memeluk agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang salah”. Q.S. Al-Baqarah:256.
Ibnu Jarir At-Thabari (1992:15) dalam jami’ al-bayan fi’il tafsir Al-Qur’an menjelaskan
sebab-sebab turunnya (asbab al-nuzul) ayat ini. Menurutnya, ayat ini diturunkan pada kaum
anshar di madina. Pada saat itu, banyak dijumpai dikalangan penduduk anshar yang memiliki
anak-anak, baik laki-laki dan perempuan. Dan mereka telah menjadikan anak-anak mereka
pungut agama Yahudi dan Nasrani dua agama yang paling mendahului Islam. Ketika Allah
menyampaikan risalah Islam kepada Nabi Muhammad SAW, penduduk anshar ini mempunyai
keinginan untuk memaksa anak-anak mereka yang sudah beragama Yahudi dan Nasrani agar
masuk dan memeluk agama baru yaitu Islam. Mereka memaksa anak-anaknya agar memeluk
Islam. Sebagian jawaban dan penjelasan atas keinginan mereka mengkonfrensi putra putrinya
kepada Islam, kemudian turun ayat ini. Intinya Allah melarang mereka melakukan permutadan

secara paksa terhadap anak-anak tersebut agar pindah ke agama Islam. Siapa berkehendak ia
akan mengenakan tauhid Islam dan siapa yang berkehendak ia dapat meninggalkan Islam.
Pemaparan tersebut jika secara global menyatakan kedua hal penting mengenai dokrin
kerukunan hidup umat beragama dalam islam.
Pertama, Islam secara terbuka dan jujur mengakaui keberadaan agama-agama lain untuk hidup

berdampingan secara layak (koeksitensi) Islam sama sekali tidak membawah umatnya bersikap
masa bodoh, apatis, dan pura-pura tidak tahu atas hadirnya agama orang lain ( the relegius other
) kesiapan untuk hidup bertetangga dalam keagamaan dan perbedaan. Dan dalam situasi damai
merupakan cita-cita luhur Islam sebagai agama yang menjamin keselamatan bagi orang lain.
Kedua, lebih dari sekedar keoksitensi, Islam mengarahkan penganutnya untuk menunjukan

secara desntratif maupun persuasive kesiapan hidup dalam kaloborasi, kerja sama, saling
memberi dan menerima dengan siapapun yang menjadi tetangga iman, tetangga etnis dan
tetangga kultur mereka bahu membahu untuk menghadapi dan memecahkan problem bersama
umat Islam, inilah yang disebut preoksitensi.

Hidup rukun secara berdampingan (keoksitensi) dan kemaun menjalin hubungan
persahabatan dan bekerja sama dengan yang lain berbeda (preoksitensi) sangat membutuhkan
keterampilan bersikap untuk menghargai perbedaan dan keragaman itu. Menghargai bukan

semata-mata menerima secara pasif kehadiran namun mereka juga berpikiran postif atas mereka
tanpa harus kehilangan jati diri. Menghargai adalah menghormati keragaman agama-agama
sekaligus tetap loyal pada identitasnya diri.
C. Strategi Membangun Kerukunan Hidup Umat Beragama Perspektif
Al-Qur’an

Nabi Muhammad SAW pernah mendapat teguran dari Allah, yang terekam dalam surah
Yunus 99 yang artinya: “ maka apakah kamu (Muhammad) akan memaksakan seluruh umat
manusia hingga mereka menjadi orang-orang yang beriman semua ?, artinya: Islam

berpandangan bahwa menjadi hak setiap orang untuk memercayai bahwa agamanya-lah yang
benar. Namun, dalam waktu bersama yang bersangkuta juga harus menghormati jika orang lain
berfikir serupa. Karena itu soal pribadi tidak banyak gunanya memaksakan seseorang untuk
memeluk suatu agama kalau tidak diberi dengan kepercayaan dan keyakinan penuh dari orang
tersebut. Memeluk agama karena paksaan dan intimidasi merupakan kepemelukan agama yang
pura-pura, tidak serius dan bohong.
Oleh karena itu, denga memperhatikan realitas keagamaan masyarakat kita yaitu yang
terdiri atas berbagai macam agama dan bahkan pada masing-masing agama tersebut terdapat
aliran yang berbeda-beda, maka kerukunan antar umat beragama menjadi kata kunci agar
kedamaian, persatuan, dan kesatuan nasional tetap terjaga. Dalam membangun kerukunan hidup

antar umat beragama Al-Qur’an membangun prinsip “titik temu” melalui dua strategi antara lain:
a. Menebar toleransi
Toleransi dalam bahasa arabnya At-tasamu sesungguhnya merupakan salah satu diantara
sekian ajaran inti dalam Islam. Toleransi sejajar dengan ajaran fundamental yang lain seperti
kasih saying (ramah), kebijakan (hikmah), kemaslahatan universal (al-mashlahal al-amah) dan
keadilan (Erwin Kusuma 2010:154).

Sedangkan secara umum, toleransi memiliki makna yang sangat luas. Menurut James
Hasting dan Muhammad Abdul Hakim (2002:31), toleransi berkonotasi menahan diri dari
pelanggaran dan penganiayaan. Yakni tidak melarang berkembangnya keyakinan dan agama
orang lain. Serta tidak mengintimidasi atau menganiaya oarnga-orang yang berbeda keyakinan
dengan kita. Lebih lanjut, toleransi mengakui adanya kebebasan beragama dan persamaan hak
beragama.
Sebagai salah satu ajaran yang fundamental, konsep toleransi telah banyak di tegaskan
dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Al-Qur’an berpandangan bahwa perbedaan agama bukan penghalang
untuk merajut tali persaudaraan antar sesama manusia yang berlainan agama. Jangan lupa bahwa
Tuhan Menciptakan bumi tidak untuk satu golongan agama tertentu. Dengan adanya bermacammacam agama itu, tidak berarti bahwa Tuhan membenarkan diskriminasi atas manusia, nelainkan
untuk saling mengakui eksitensi masing-masing.
Landasan-landasa utama kehidupan bersama menjelaskan dengan tegas bahwa Islam
mengakui pluralisme dalam beragama dan berkebudayaan dalam konteks fhidup berdampingan
yang didasarkan pada nilai-nilai keadilan, penghormatan, penghargaan dan kebebasan partisipasi
semua warga.

Landasan-landasan utama itu dapat dikembangkan dan diperluas, dimodifikasi

dan disesuaikan dengan kebutuhan saat ini.
b. Menyamai komunikasi
Tidak ada yang menyangkal bahwa komunikasi merupakan factor penting untuk
mewujudkan kerukunan ditengah masyarakat. Komunikasi merupakan jalan untuk membangun
keharmonisan. Untuk membangun sikap toleransi maka perluh komunikasi yang intensif diantara
umat beragama. Sedangkan secara terminology, komunikasi banya pengertian diantaranya
komunikasi adalah memberi, meyakinkan atau bertukar ide, pengetahuan atau informasi, baik
melalui ucapan tulisan atau tanda. Komunikasi juga diartikan sebagai proses dimana individu
dalam hubungannya dengan orang lain, kelompok, organisasi atau masyarakat merespon dan
menciptakan pesan untuk berhubungan dengan lingkungan orang lain disekitarnya.
Dengan demikian, komunikasi merupakan proses penyampaian pikiran dan perasaan
seseorang kepada orang lain atau sekelompok orang. Ada sejumlah cara yang dipakai untuk
berkomunikasi yaitu melalui lisan (pembicaraan), tulisan, tanda atau lainnya. Dalam konteks

membangun kerukunan hidup umat beragama, ada dua pola komunikasi yang bisa dibangun
anatar lain yaitu:
Pertama , komunikasi langsung. Diantaran berbagai kelompok masyarakat baik dari segi agama,

suku, etnis, budaya, golongan dan sebagainya, perluh diadakan sebuah forum dialog yang
memberikan kebebasan untuk mengemukakan pendapat. Dari forum-forum semacam ini, akan
diperlukan masukan, pembagian tugas dan tanggung jawab masing-masing. Forum-forum
semacam ini perluh diadakan secra rutin sehingga masing-masing kelompok dapat mempunyai
saluran untuk mengemukakan pemikiran atau gagasan untuk membangun suatu tatanan
kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, aman, tertib dan nyama.
Kedua , komunikasi tidak langsung. Komunikasi ini dilakukan dengan tidak berhadapan secara

langsung, melainkan dapat menggunakan media masa, baik cetak maupun elektronik. Dari
komunikasi semacam ini dapat diperoleh gambaran tentang-masing tugan dan tanggung jawab
sehingga tercipta sikap saling menghormati. Dalam hal ini, peran media masa baik cetak maupun
elektronik sangan signifikan.

Media-media tersebut dapat memberikan segala sesuatu kepada

masyarakat secara luas. Oleh karena itu, apaka yang diberikan akan berdampak massal. Akan
tetapi perluh perhatian disini adalah bagaimana media-media tersebut dapat menimbulkan
informasi dan pemberitaan yang dapat menimbulkan kerukunan, sikap saling menghormati dan
membangun toleransi bukan sebaliknya, pemberitaan justru membuat masyarakat terprofokasi
untuk membuat perusakan atau permusuhan.
Baik secara langsung maupun tidak langsung agar terhindar dari konflik-konflik social
ditengah, masyarakat maka komunikasi yang dibangun harus memperhatikan sumber konflik,
karakteristik masa dan tingkat kerawanan social yang ada di masyarakat.
Kesimpulan

Pluralisme agama atau kepercayaan adalah suatu fakta kehidupan dan suatu gambaran yang
dapat dijumpai dalam semua peradaban bangsa. Pluralisme agama ibarat dua mata pisau pada
satu sisi ia merupakan sarana potensial untuk menciptakan kekuatan bangsa. Namun disi lain ia
dapatmenjadi sumber konflik horizontal yang sama memporak-porandakan persatuan semacam
manajemen atau strategi untuk mengelola keragaman tersebut agar kerukunan hidup umat
beragama dapat tercapai. Dari tulisan ini setidaknya yang damai diantara umat beragama yaitu:

Pertama , koeksitensi dan proeksitensi. Koeksitensi (ta’aruf) satu dengan yang lain untuk

memperluas horizontal social. Sedangkan proeksistensi adalah menindak lanjuti kebersamaan
kebertentanggan dan kesalingkenalan itu pada tingkat kerja sama dan kaloborasi saling memberi
dan menerima serta saling berkorban dalam hal keragaman (altruis) berdasarka batas-batas yang
ditentukan.
Kedua , toleransi (tassamuh) adalah modal social untuk menghadapi keragaman dan perbedaan

(tanawwu’iyah). Toleransi bisa bermakna penerimaan atas kebebasan untuk berbeda dan
beragama, perlindungan hak-hak asasi manusia dan warga Negara.
Ketiga , membangun komunikasi dan dialog multicultural. Kata kunci yang ditengarai berhasil

menciptakan kerukunan ditengan masyarakat multicultural dalah kesedian untuk mempelari
sekaligus menerapkan norma-norma komunikasi dan aturan-aturan diolog yang terbuka dan
saling percaya.
Keempat, toleransi dan komunikasi di selenggarakan dalam semangat agelitarian (al-musawwah)

bahwa manusia itu bersaudara (ukhuwah basyariyah), berasal dari satu nenek moyang dan setara
dihadapan Tuhan meski berbeda-beda secara jenis kelamin, ras, etnis, warna kulit dan
kepercayaannya. Didalam perbedaan kemanusiaan atas dasar prestasi bagi kehidupan manusia
secara menyeluruh, yang dilakukan berdasarkan perintah Allah SWT dan ketentuan atau
batas-batas yang diterapkan sebagai aturan yang menjadikan perbedaan itu. Sebaik-baik manusia
adalah yang bermakna dan bermanfaat bagi orang lain.